Analisis semantik leksikal pada padanan Arab-Indonesia dalam kamus Al-Munawwir dan Al-'Ashri

(1)

ARAB-INDONESIA DALAM KAMUS

AL-MUNAWWIR

DAN

AL-‘ASHRI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

 

Oleh

RUMSARI MARJATSARI

NIM 106024000947

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H./2010 M.


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “ANALISIS SEMANTIK LEKSIKAL PADA PADANAN

ARAB-INDONESIA DALAM KAMUS AL-MUNAWWIR DAN AL-‘ASHRI

telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa, 15 Juni 2010 . Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

 

Jakarta, 15 Juni 2010 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. NIP: 195708161994031001 NIP: 19700505200003103

ii 


(3)

ARAB-INDONESIA DALAM KAMUS

AL-MUNAWWIR

DAN

AL-‘ASHRI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Rumsari Marjatsari

NIM:106024000947

Pembimbing

Ahmad Saekhuddin, M.Ag.

NIP : 19700505200003103

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H./2010 M.

iii 


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 01 Juni 2010

Rumsari Marjatsari

NIM: 106024000947

             

iv 


(5)

melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam semoga selalu tercurahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, MA.g., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag.

Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Ahmad Saekhuddin, M.Ag. yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak. Serta para dosen Jurusan Tarjamah yang tak kenal lelah dalam mengajar. Maaf, penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu.

Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Enjang dan Ibunda Acong yang selalu tulus memberikan kasih sayangnya, selalu ikhlas untuk memberi, dan yang tak kenal lelah untuk memberikan nasihat, perhatian, serta doanya. “ terimakasih banyak atas semuanya. Jasa Bapak dan Umie sungguh berharga. Tanpa Bapak dan Umie ananda bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.” Salam sayang untuk kakakku


(6)

tercinta: teh Enung, A Idin, A Agung, A Abay, Bang Untung dan wa ku tercinta Ma Iwan beserta nenek dan kakek ku tersayang, dan tidak lupa untuk adikku tersayang Titie dan Biella terimakasih untuk semuanya yang selalu memberikan dukungan, motivasi, serta bantuan yang tak henti-hentinya. Jazakumullahu khairan katsiron……..

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2006, kepada Jun, Tie, Imel, Lan, Na, Opa, Rina, Aini, Yun, Mv, Yatmi, Leni, Aniz, Elida, Yuli, Midut, Fufu, Cholis, Cocom, Dauz, dan Ruston. Semoga kita akan selalu terus bersaudara dan jangan pernah memutuskan silaturahmi yang pernah kita bina. terimakasih atas dukungan, support, dan kenangan yang pernah kalian berikan, semoga kita akan selalu terus bersahabat.

Serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh kakak kelas dan adik kelas sehingga Penulis bangga menjadi salah satu mahasiswa Tarjamah. Penulis menghaturkan terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis. Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Ciputat, 01 Juni 2010

Penulis

vi 


(7)

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا - Tidak dilambangkan

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis di bawah

ض d de dengan garis di bawah

ط t te dengan garis di bawah

ظ z zet dengan garis di bawah

ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

ك k ka

ل l el

م m em

ن n en

و w wa

ه h ha

ء ´ apostrof

ي y y

vii 


(8)

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

A. Vokal Pendek

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

---- a Fathah

---- i Kasrah

ُ

--- u Dammah

B. Vokal rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

---ي ai a dan i

---و au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي/ا---- â a dengan topi di atas

----ي î i dengan topi di atas

---وُ û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

viii 


(9)

dengan sebuah tanda---ّ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah

itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda

syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf

syamsiyyah. Misalnya, kata ةروﺮّﻀﻟا tidak ditulis ad-darûrah melainkan

al- darûrah, demikian seterusnya. 5. Ta Marbûtah

Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh no.3)

No. Kata Arab Alih Aksara

1 ﺔﻘ ﺮﻃ tarîqah

2 ﺔ ﻼ ﻹاﺔﻌ ﺎ ﻟا al-jâmi’ah al-islâmiyah

3 دﻮﺟﻮﻟاةﺪﺣو wihdat al-wujûd

6. Huruf kapital

Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kapital.

     

 

ix 


(10)

ABSTRAK

Rumsari Marjatsari, Analisis Semantik Leksikal pada Padanan Arab-Indonesia dalam Kamus Al-Munawwir dan Al-‘Ashri, Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1431H./2010 M.

Padanan adalah satuan leksikal bahasa sasaran yang mempunyai makna leksikal yang sama dengan masing-masing satuan leksikal bahasa sumber. Satuan leksikal yang dimaksud adalah padanan. Padanan berbeda dengan terjemahan. Karena terjemahan atau penerjemahan adalah proses pengalihan bahasa untuk mendapatkan hasil yang sama yang hampir mendekati bentuk aslinya di dalam bahasa sumber dan yang memiliki makna yang sama dengan bahasa sasarannya. Sedangkan padanan bukanlah proses, melainkan hasil dari suatu proses penerjemahan dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa).

Di dalam kedua kamus tersebut (Al-Munawwir dan Al-‘Ashri) padanan makna kata istilahnya masih berkaitan. Sehingga, kata yang diperbandingkan adalah kata-kata istilah yang masih berkaitan dengan bidang tertentu. Seperti: bidang sains dan teknologi, bidang sosial, politik, dan hukum, bidang ekonomi, bidang kedokteran, dan bidang linguistik.

Dalam menerjemahkan teks berbahasa Arab juga, seorang penerjemah dituntut untuk bisa menyampaikan pesan yang ada di bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Oleh karena itu, di dalam mencari padanan maknanya, seorang penerjemah harus pintar-pintar memilih kamus Arab-Indonesia yang ada di sekitarnya. Biasanya seorang penerjemah menggunakan kamus Al-Munawwir

dan Al-‘Ashri di dalam menerjemahkan teks tersebut. Tetapi, kebanyakan para penerjemah menggunakan kamus Al-‘Ashri dibandingkan kamus Al-Munawwir. Karena, bagaimana pun kedua kamus tersebut adalah kamus yang tidak asing lagi di kalangan mahasiswa dan penerjemah, tetapi kebanyakan penerjemah menggunakan kamus Al-’Ashri di dalam menerjemahkan teks Arab dibandingkan kamus Al-Munawwir. Itu disebabkan karena kamus Al-’Ashri  menggunakan makna yang terkini/terbaru, jika dilihat dari sisi semantik leksikal.

Menurut kesimpulan penulis, kamus Al-’Ashri dalah kamus yang paling dominan digunakan seorang penerjemah di dalam menerjemahkan sebuah teks Arab, dan kamus tersebut bisa dibilang kamus modern (jika dilihat dari sisi maknanya). Oleh karena itu, bagi seorang penerjemah haruslah pintar-pintar di dalam memilih kamus, serta pemadanan makna yang digunakan dalam menerjemahkan sebuah teks yang akan diterjemahkan.


(11)

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………i

SURAT PERNYATAAN ………..ii

PRAKATA ………....iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ………..v

ABSTRAK ………..viii

DAFTAR ISI ……….ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………1

B. Perumusan Masalah………5

C. Tujuan Penelitian………6

D. Manfaat Penelitian……….6

E. Tinjauan Pustaka………6

F. Metodologi Penelitian………6

G. Sistematika Penulisan……….7

xi 


(12)

BAB II KERANGKA TEORI

A. Wawasan Semantik ………..9

1. Pengertian Semantik………...9

2. Jenis Semantik………..10

3. Manfaat Semantik………15

B. Jenis Makna……….16

1. Makna Leksikal………16

2. Makna Gramatikal………17

3. Makna Kontekstual/Situasional………18

4. Makna Tekstual………19

5. Makna Konotatif………..19

6. Makna Deskriftif………..20

7. Makna Referensial………21

8. Makna Afektif………..21

C. Penjelasan Makna dengan Padanan ……….22

1. Padanan Penerjemahan/Sinonim ( ﺟﺮﺘﻟافداﺮ ﻟا)………22

2. Padanan Penjelasan (يﺮ ﺴﻔﺘﻟافداﺮ ﻟا)………25

3. Antonimi………..27

4. Hiponimi………..28

5. Homonimi………28

xii 


(13)

xiii 

 

A. Sinopsis Kamus Al-Munawwir………...30

B. Sinopsis Kamus Al-‘Ashri………...33

BAB IV ANALISIS SEMANTIK LEKSIKAL DALAM KAMUS AL-MUNAWWIR DAN AL-‘ASHRI A. Analisis terhadap Padanan makna dalam kamus Al-Munawwir dan Al-‘Ashri dilihat dari sisi Leksikologi……….37

B. Analisis Semantik Leksikal terhadap Padanan makna yang terdapat dalam Dua Kamus tersebut (Al-Munawwir dan Al-‘Ashri)………...40

1. Bidang Sains dan Teknologi………..40

2. Bidang Sosial, Politik, dan Hukum………44

3. Bidang Ekonomi ………52

4. Bidang Kedokteran………. ……57

5. Bidang Linguistik………...61

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ………68

2. Saran ………..69


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Leksikologi adalah kajian linguistik terapan, dan tugas leksikologi adalah menyusun kamus. Sedangkan, penyusunan kamus disebut leksikografi yang tidak lain merupakan bentuk terapan dari leksikologi. Sehingga, leksikologi mendeskripsikan kata-kata sebuah bahasa dan menerangkan bagaimana penutur menjalankannya secara bahasa. Sebaliknya, leksikologi berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode-metode penulisan kamus.1

Kamus adalah (1) buku acuan yang memuat kata dan ungkapan yang disusun menurut abjad beserta keterangan tentang maknanya, pemakaiannya, dan terjemahannya; (2) buku yang berisi kumpulan istilah atau makna yang disusun menurut abjad beserta penjelasan maknanya dan pemakaiannya.2 Setiap makna kata dalam kamus memiliki padanan. Padanan adalah satuan leksikal bahasa sasaran (Bsa) yang mempunyai makna leksikal yang sama dengan masing-masing satuan bahasa sumber (Bsu).3

Di dalam padanan juga ada yang namanya anisomorfisme bahasa, maksudnya adalah ketidaksamaan antar struktur fonologis, gramatikal, leksikal atau semantik antar dua bahasa/lebih. Anisomorfisme dapat terjadi karena pada masyarakat pemakai dua bahasa yang berbeda terdapat adanya perbedaan

1

Teressa, Cabre, Terminology & Lexicography, (Amsterdam: t.p, 1992), h. 30 2

Abdul Chaer, Leksikologi & Leksikografi Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 180 3

Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h.86


(15)

kebudayaan dan lingkungan hidup yang dimiliki.4 Kamus juga tidak jauh dari penerjemahan.

Penerjemahan merupakan peralihan dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Pengalihan ini dilakukan dari bentuk bahasa pertama ke dalam bentuk bahasa kedua melalui struktur semantis. Maknalah yang dialihkan dan harus dipertahankan, sedang bentuk boleh diubah. Larson merumuskan pengertian terjemahan secara lebih lengkap sebagai berikut: “menerjemahkan berarti mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari bahasa sumber. Kemudian menganalisis teks tersebut untuk menemukan maknanya dan menemukan kembali makna yang sama itu dengan mengungkapkan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budaya.”5

Dalam mengalihkan pesan dari bahasa ke bahasa lain, yang harus dipertahankan sedapat mungkin ialah isi, sedangkan bentuk di-nomor-duakan kecuali dalam kasus-kasus tertentu seperti dalam puisi. Oleh karena itu, agar pengalihan suatu bahasa terjemahan tersebut dapat dipahami dan dimengerti, maka harus diperhatikan bentuk bahasa sasarannya. Eugena A. Nida mengungkapkan bahwa: “menerjemahkan berarti menciptakan padanan paling dekat dalam bahasa penerima terhadap pesan Bsu, pertama dalam hal makna dan kedua pada gaya bahasanya.”6

Ada 4 unsur yang terlibat dalam proses penerjemahan, yaitu berupa unsur isi, unsur pembaca, situasi dan kondisi pada saat terjemahan dibuat, dan situasi

4

Zgusta ladislav, Manual of Lexicography, (Paris: The Hogue Mouton, 1971), h. 312 5

Milred L. Larson, Penerjemahan Berdasarkan Makna : Pedoman Untuk Pemadanan Antar

Bahasa, (Jakarta: Arca, 1991), cet. II, h. 262

6


(16)

3

kondisi pada saat berita itu diterima. Menurut Nida dalam bukunya mengajarkan bahwa cara baru menerjemahkan haruslah berfokus pada respon penerima pesan. Itu berarti bahwa terjemah dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya.7

Kegiatan penerjemahan, khususnya pada tingkat pemula berpedoman pada kamus. Kamus harus jadi teman bagi setiap pemula yang ingin menerjemahkan. Bukan saja karena banyaknya perbendaharaan kata yang sulit untuk dikuasai oleh penerjemah tingkat pemula, tetapi juga perlunya setiap kata itu dipilih oleh penerjemah sehingga artinya sesuai dan tepat.

Kamus juga erat kaitannya dengan semantik leksikal, karena Semantik leksikal adalah semantik yang objek penyelidikannya berupa leksikon dari bahasa tersebut. Dalam semantik leksikal, makna yang diselidiki adalah makna yang ada pada leksem-leksem bahasa tersebut.

Di sini penulis akan menganalisis Semantik Leksikal terhadap Kata-kata yang terdapat dalam Dua Kamus (Al-Munawwir dan Al-’Ashri).

Contoh :

ﺔﻐ ﻟا

ﻢ ﻋ

Al-Munawwir artinya ‘Ilmu Bahasa’8

Al-‘Ashri artinya ‘Leksikologi’9

Jika penulis lihat dari arti kata perkata, kata tersebut mempunyai arti tersendiri. Kata

ﻢ ﻋ

dalam kamus Al-‘Ashri mempunyai arti ‘ilmu pengetahuan’, dan dalam

7

A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan , h. 12 8

Ahmad Munawwir Warson, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 199), h.1276

9

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer (Arab-Indonesia), (Yogyakartâ: Yayasan Ali Maksum, 1996), h. 1317


(17)

Kata ‘leksikologi’ juga merupakan kata istilah dalam bidang tata bahasa. Kata ‘leksikologi’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ‘cabang linguistik yang menyelidiki kata dan kosakata’10. Sedangkan dalam Kamus Linguistik kata ‘leksikologi’ artinya ‘cabang linguistik yang mempelajari leksikon’11. Leksikon adalah ‘komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa’12.

10

Frista Artmada W., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ( Jombang: Lintas Media, 2000), h. 510 11

Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 127 12


(18)

5

Teori semantik leksikal adalah ‘makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita’13. Jadi, dapat penulis simpulkan bahwa padanan makna yang digunakan kamus Al-’Ashri lebih tepat dibandingkan kamus

Al-Munawwir dilihat dari sisi semantik leksikal dan lebih maju dilihat dari sisi leksikologi.

Dari yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil

judul tentang ‘ANALISIS SEMANTIK LEKSIKAL PADA PADANAN

ARAB-INDONESIA DALAM KAMUS AL-MUNAWWIR DAN AL-‘ASHRI’ yang akan dianalisis hanya 50 kata yang terdapat dalam kamus Al-Munawwir dan

Al-’Ashri secara panjang lebar dalam bab-bab selanjutnya.

B. Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Di sini penulis membatasi permasalahannya dengan:

1. Kata-kata yang diperbandingkan adalah kata-kata yang berkaitan dengan istilah bidang sains dan teknologi, sosial, politik, hukum, ekonomi, dan linguistik. 2. Kata-kata yang dicari merupakan sampel/contoh yang dipilih secara acak

(random) berdasarkan bidangnya sebanyak 50 kata.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

13


(19)

1. Adakah perpadanan antara kamus Al-Munawwir dan Al-’Ashri dalam memberikan padanan pada kata istilah tertentu?

2. Dari dua kamus tersebut (Al-Munawwir dan Al-’Ashri), manakah padanan makna yang lebih tepat dilihat dari sisi analisis semantik leksikal?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui, perpadanan antara kamus Al-Munawwir dan Al-’Ashri dalam memberikan padanan pada kata istilah tertentu.

2. Mengetahui, Dari dua kamus tersebut (Al-Munawwir dan Al-’Ashri), dalam ketepatan pemadanan maknanya dilihat dari sisi analisis semantik leksikal.

D. Manfaat Penelitian

Di samping untuk mengetahui kemajuan yang dilihat dari sisi semantik leksikal dan leksikologi terhadap kamus Al-Munawwir dan Al-’Ashri, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat dan kontribusi keilmuan kepada mahasiswa Tarjamah. Selain itu, setelah dilakukan penelitian ini penulis berharap agar para penerjemah bisa menggunakan kamus yang sesuai dengan teks yang akan diterjemahkan dan menambah wawasan dalam bidang perkamusan.

E. Tinjauan Pustaka

Sejauh yang penulis temukan, penelitian tentang masalah kamus bahasa Arab-Indonesia dilakukan oleh satu orang, yaitu: Urwatul Wustqo (2004) ‘Kamus dan Peranannya sebagai Alat Bantu Penerjemahan’. Sementara itu, belum ada


(20)

7

penelitian yang menganalisis tentang semantik leksikal atas padanan Arab-Indonesia dalam kamus Al-Munawwir dan Al-’Ashri, seperti yang akan penulis teliti.

F. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif, maksudnya penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaiman adanya, sehingga hanya ada pengungkapan fakta.14 Dalam hal ini penulis akan mengungkit tentang semantik leksikal dalam kamus Arab. Kemudian, masalah tersebut diklasifikasikan sesuai kepentingan dan tujuan penelitian.

Selain itu, untuk memperoleh data, penulis menggunakan metode kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mengumpulkan data yang terkait dengan bahasan objek penelitian. Kemudian, agar hasil penelitian ini lebih maksimal, penulis merujuk pada buku , internet, ensiklopedi, koran, dan kamus. Penulis juga akan selalu konsultasi kepada ahli yang terkait dengan masalah yang ada. Terkait dengan kamus, penulis akan merujuk kepada Abdul Chaer dalam bukunya “Leksikologi dan Leksikografi Indonesia”, dan yang terkait dengan semantik leksikal penulis merujuk kepada Mansur Pateda dalam bukunya

“Semantik Leksikal”.

Secara teknis, penulisan skripsi ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang berlaku di lingkungan

14


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Agar penulisan ini berjalan dengan baik dan lebih terarah, penulis menyajikannya sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan yang meliputi, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penilitian, serta sistematika penulisan.

Bab II adalah kerangka teori. Bab ini merupakan landasan teori pada analisis di bab berikutnya yang terdiri dari gambaran umum tentang semantik dan padanan kata.

Bab III menguraikan tentang sinopsis kamus Al-Munawwir dan Al-’Ashri. Bab IV berupa analisis Semantik Leksikal pada kamus Al-Munawwir dan

Al-‘Ashri. Analisis terhadap Padanan makna dalam kamus Al-Munawwir dan

Al-‘Ashri dilihat dari sisi Leksikologi. Analisis Semantik Leksikal terhadap Padanan makna yang terdapat dalam Dua Kamus tersebut (Al-Munawwir dan

Al-‘Ashri) yang dibagi menjadi beberapa bidang, diantaranya: bidang sains dan teknologi, bidang sosial, bidang politik, bidang hukum, bidang ekonomi, bidang kedokteran, dan bidang linguistik.

Bab V berupa penutup kesimpulan dan saran yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dan akhir dari penelitian ini.


(22)

BAB II

KERANGKA TEORI

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan terkait dengan masalah (1) semantik yang meliputi beberapa sub-sub bab, dan (2) jenis makna yang terdiri dari beberapa sub-sub bab. Selain itu, penulis juga membahas inti dari permasalahan pembahasan, yaitu masalah yang terkait dengan penjelasan makna dengan padanan.

A. Wawasan Semantik

1. Pengertian Semantik

Bidang yang mengkaji dan menganalisis makna kata atau kalimat dari suatu bahasa dikenal sebagai bidang semantik. Dalam bahasa Arab, semantik dinamakan dengan ‘Ilmu al-Dalâlah yang berarti

ﻰﻨﻌ ﻟا

سرﺪ

يﺬﻟا

ﻢ ﻌﻟا

(ilmu yang mempelajari tentang makna).1 Selain itu, semantik disebut juga dengan

ﻰﻨﻌ ﻟا

ﻢ ﻋ

(ilmu makna). Artinya semantik merupakan ilmu yang objek kajiannya tentang makna suatu bahasa. Bahasa dalam bentuk struktur sintaksis dan morfologis pada satu sisi dan struktur bunyi pada yang lain hanyalah merupakan sarana untuk menyampaikan segala aspek kemaknaan yang hendak disampikan oleh penuturnya.2

Bahasa adalah fenomena kemaknaan dalam komunikasi antar manusia di mana pun ia berada, kebermaknaan komunikasi inilah yang menjadi ciri khas

1

Ahmad Mukhtar Umar, ‘ilam Al-Dalâlah, (Kairo: ‘Alam Al-Kutub, 1998), h.11 2

J.D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 2


(23)

bahasa sebagai satu isyarat komunikasi.3 Dalam hal ini, suatu bahasa dapat dimengerti maksud dan tujuannya apabila makna bahasa itu telah dipahami.

Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris ‘semantics’, dari bahasa Yunani ‘Sema’ (Nomina) yang berarti ‘tanda’: atau dari verba ‘samaino’ yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Istilah tersebut digunakan oleh para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis) dan semantik.4

Istilah semantik baru muncul pada tahun 1984 yang dikenal melalui American Philological Association ‘organisasi filologi Amerika’. Istilah semantik sendiri sudah ada sejak abad ke-17 bila dipertimbangkan melalui frase semantics philosophy. Sedangkan di jazirah Arab, sejarah muculnya ilmu dilalah (Semantik) ini sudah lama, semenjak awal-awal abad. Hal ini nampak dari adanya perhatian yang amat besar dari para saintis Arab. Sebagai contoh konkrit dan bukti nyata yang masih sempurna dan utuh hingga sekarang pemberian titik dan baris pada AlQur'an.5

2. Jenis Semantik

a. Semantik Leksikal

Semantik Leksikal adalah semantik yang objeknya adalah leksikon dari bahasa itu, dan semantik leksikal juga menyelidiki makna yang ada pada

3

Ahmad Mukhtar Umar, ‘ilmu Al-Dalâlah, h. 41 4

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka cipta, 2002), cet. Ke-2, h.2 5


(24)

11

Contoh :

ﺪ ﻟا

ةﺮ

Buah Tangan berarti oleh-oleh

Semantik leksikal memperhatikan makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan mandiri. Misalnya dalam Bahasa Indonesia terdapat kata habitat

yang maknanya: (i) tempat tinggal khas bagi seseorang atau kelompok masyarakat; (ii) tempat hidup organisme tertentu; tempat hidup yang alami bagi tumbuhan dan hewan; lingkungan kehidupan asli; (iii) tempat kediaman atau kehidupan tumbuhan, hewan dan manusia dengan kondisi tertentu pada permukaan bumi. Secara mudah untuk mengetahui makna leksikal suatu kata, orang dapat memanfaatkan kamus.6

b. Semantik Gramatikal

Semantik gramatikal adalah semantik yang objeknya adalah bentuk makna gramatikal dari tataran bahasa yaitu morfologi dan sintaksis, kata, frase, klausa, dan kalimat. Semua bentuk tersebut memiliki makna. Semantik gramatikal juga khusus mengkaji tentang makna yang terdapat dalam satuan kalimat.7 Meskipun kalimat berunsurkan kata, namun bukan kata dalam satuan yang mandiri yang dibahas, tetapi kata yang terdapat dalam satuan kalimat. Dalam bahasa Arab morfologi disebut dengan istilah “Ilmu Sharaf” (

فﺮﺼﻟا

ﻢ ﻋ

) dan sintaksis

disebut dengan istilah “Ilmu Nahwu” (

ﻮﺤﻨﻟا

ﻢ ﻋ

).

6

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 74 7


(25)

c. Semantik Behavioris

Sikap umum penganut aliran behavioris yakni : (i) penganut pandangan behavioris tidak terlalu yakin dengan istilah-istilah yang bersifat mentalis berupa mind, concept, dan idea; (ii) tidak ada perubahan esensial antara tingkah laku manusia dengan tingkah laku hewan; (iii) mementingkan faktor belajar dan kurang yakin terhadap faktor-faktor bawaan; dan (iv) mekanismenya atau determinasinya.

Formula umum yang berlaku bagi penganut aliran behavioris adalah hubungn antara rangsangan dan reaksi. Adapun makna berada dalam rentangan stimulus dan respon, antara rangsangan dan jawaban. Makna ditentukan oleh situasi yang berarti ditentukan oleh lingkungan. Oleh karena itu, makna hanya dapat dipahami apabila ada data yang dapat diamati dalam lingkungan pengalaman manusia.8

Semantik behavioris dalam dunia linguis sebelumnya dapat pengaruh dari psikologi berdasarkan temuan J.B. Warton sebagai pendiri aliran behavioris, penelitian Skinner dan Pavlov. Berdasarkan penelitian-penelitian ini dikembangkan istilah stimulus, jawaban, dan karena sesuatu berulang-ulang terjadi, maka hal itu menjadi kebiasaan yang pada gilirannya menjadi gerak refleks tidak bersyarat.

d. Semantik Maksud

Semantik maksud adalah semantik yang berkaitan dengan pemakaian bentuk –bentuk gaya bahasa seperti : Metafora, Ironi, Litotes, dan lain-lain. Menurut Verhaar, semantik maksud yang dikemukakannya mirip dengan istilah

8


(26)

13

semantik pragmatik yang sering di kemukakan oleh pakar-pakar semantik lainnya, dan sering diartikan dengan bidang studi semantik yang mempelajari makna ujaran yang sesuai dengan konteks situasinya.9

Contoh : Metafora (

ﺔ ﺜ ﺘﻟا

)

نﺎ ﻹا

ﺔ ﺎﻈﻨﻟا

Metafora kebersihan adalah bagian dari iman juga menggantikan metafora bahasa Indonesia bersih pangkal sehat. Metafora ini juga merupakan metafora serapan dari metafora berbahasa Arab. Bangsa Arab menempatkan kebersihan sebagai bagian dari iman, karena keimanan merupakan hal sakral yang tidak bisa diabaikan.

e. Semantik Struktural

Penganut strukturalisme berpendapat bahwa setiap bahasa adalah sebuah sistem, sebuah hubungan struktural yang unik yang terdiri dari satuan-satuan yang disebut struktur. Menurut pandangan linguis struktur pada unsur fonem tidak ada makna tetapi dapat membedakan makna; pada unsur morfem ada yang bermakna, dan ada yang hanya mengakibatkan munculnya makna; pada unsur kata memang ada makna yang disebut makna leksikal; pada unsur frasa ada makna, yakni makna klausa itu sendiri; pada unsur kalimat terdapat makna, yakni makna gramatikal; dan pada unsur wacana terdapat makna wacana.10

f. Semantik Deskriptif

Semantik deskriptif adalah kajian semantik yang khusus memperhatikan makna yang sekarang berlaku. Makna kata ketika kata itu untuk pertama kali

9

J.W.M. Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1995), cet. Ke20, h. 237

10


(27)

muncul, tidak diperhatikan. Misalnya dalam Bahasa Indonesia ada kata abu. Makna kata abu adalah sisa yang tinggal setelah sesuatu barang mengalami pembakaran lengkap. Orang tidak akan memperhatikan makna sebelumnya, yakni kalah dalam permainan gasing. Semantik deskriptip hanya memperhatikan makna sekarang dalam bahasa yang diketahui secara umum, dan bukan karena kata tersebut kebetulan ada dalam bahasa daerah atau dialek bahasa yang bersangkutan. 11

g. Semantik Historis

Semantik historis adalah studi semantik yang mengkaji sistem makna dalam rangkaian waktu, bukan sejarah perubahan bentuk kata. Sebab sejarah perubahan bentuk kata merupakan kajian linguistik historis. Karena semantik merupakan hal yang abstrak, maka apa yang ditampilkan oleh semantik sekedar membayangkan kehidupan mental pemakai bahasa. Kalau membicarakan semantik historis, maka hal yang pasti dibicarakan adalah sejarah masyarakat pemakai bahasa yang pemikiran bahasanya semakin berkembang. Perkembangan pemikiran itu kadang tercermin dalam kata dan perubahan makna yang disandang oleh kata meskipun kata pemakai bahasa dapat mengubah makna. Semantik historis menekankan studi makna dalam rentangan waktu, bukan sejarah perubahan bentuk kata.

Misalnya kata juara,dahulu bermakna pengatur pesta atau hakim pada waktu penyabung ayam. Kini makna hakim pada penyabung ayam telah dilupakan orang dan orang lebih banyak menghubungkannya dengan orang yang mendapat

11


(28)

15

peringkat teratas dalam pertandingan, perlombaan atau di sekolah. Itulah sebabnya muncul urutan kata: juara; juara kelas, juara umum, juara harapan, dan lain-lain.12

h. Semantik Logika

Semantik logika adalah cabang logika modern yang berkaitan dengan konsep-konsep dan notasi simbolik dalam analisis bahasa. Semantik logika mengkaji sistem makna yang dilihat dari logika seperti yang berlaku dalam matematika yang mengacu kepada pengkajian makna atau penafsiran ujaran. Semantik logika disebut juga semantik murni.13

i. Semantik Generatif

Semantik generatif muncul 1968. Teori ini berkesimpulan bahwa tata bahasa terdiri dari struktur dalam yang berisi struktur semantik dan struktur luar yang merupakan perwujudan ujaran. Kedua struktur ini dihubungkan dengan suatu proses yang disebut transformasi. Teori semantik generatif lebih banyak membicarakan makna yang muncul dalam kalimat.14

j. Semantik Kalimat

Semantik kalimat adalah semantik yang berkaitan dengan topik kalimat. Menurut Verhaar, semantik kalimat ini belum banyak menarik perhatian para ahli linguistik. 15

3. Manfaat Semantik

Manfaat apa yang dipetik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang digeluti oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Bagi seorang

12

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h.73 13

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h.75 14

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 69 15


(29)

wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik, yang dapat memudahkan dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.

Bagi peneliti bahasa dan bagi pelajar Sastra, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk menganalisis bahasa yang sedang dipelajari. Sedangkan, bagi pengajar Sastra, pengetahuan semantik akan memberi manfaat teoritis, maupun praktis. Secara teoritis, teori-teori semantik akan membantu dalam memahami dengan lebih baik bahasa yang akan diajarkannya. Manfaat praktisnya adalah kemudahan untuk mengajarkannya, dan untuk orang awam pemakaian dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahami dunia yang penuh dengan informasi dan lalu-lintas kebahasaan yang terus berkembang.16

B. Jenis Makna

1. Makna Leksikal

Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski pada konteks apa pun. Bisa dikatakan juga, makna leksikal adalah makna yang bersifat leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata), bersifat leksem (satuan bentuk bahasa yang bermakna), atau bersifat kata.17 Mansoer Pateda mendefinisikan makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri,

16

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h.12 17


(30)

17

entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu.

Misalnya leksem pensil memiliki makna leksikal ‘sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’. Dengan contoh itu dapat pula dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya.18

Makna leksikal yang dapat dikatakan berdiri sendiri, apabila makna sebuah kata dapat berubah dan apabila kata tersebut telah berada di dalam kalimat. Dengan demikian, ada kata-kata yang makna leksikalnya dapat dimengerti jika kata-kata tersebut sudah dihubungkan dengan kata-kata yang lain. Kata-kata seperti ini disebut dengan kata tugas atau partikel, misalnya: kata dan, ini, ke, yang, dan lain-lain. Kata-kata ini tidak memiliki makna leksikal.19

2. Makna Gramatikal

Makna gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi prefik

ber-dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan’ atau ‘memakai baju’.20

18

Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 289 19

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 119 20


(31)

Makna leksikal dapat berubah ke dalam makna gramatikal secara operasional. Sebagai contoh dapat kita pahami makna leksikal kata belenggu

adalah (i) alat pengikat kaki atau tangan; borgol, atau (ii) sesuatu yang mengikat (sehingga tidak bebas lagi). Sebagaimana makna gramatikal perhatikan ekspresi berikut: (i) Polisi memasang belenggu pada kaki dan tangan pencuri yang baru tertangkap itu, (ii) mereka terlepas dari belenggu penjajahan.21

3. Makna Kontekstual/Situasional

Makna kontekstual (contextual meaning) atau makna situasional (situational meaning) muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan konteks. Jadi, makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan bahasa itu.

Konteks di sini dapat berwujud dalam banyak hal, seperti (1) konteks orang, di sini termasuk hal yang berkaitan dengan jenis kelamin, kedudukan pembicara, usia pembicara/pendengar, latar belakamg sosial ekonomi pembicara/pendengar; (2) konteks situasi, misalnya situasi aman dan ribut; (3) konteks tujuan, misalnya meminta dan mengharapkan sesuatu; (4) konteks formal; (5) konteks suasana hati pembicara/pendengar. Misalnya: takut, gembira, dan jengkel; (6) konteks waktu, misalnya malam setelah magrib; (7) konteks tempat, misalnya di sekolah, di pasar, di depan bioskop, dan lain-lain; (8) konteks objek, maksudnya apa yang menjadi fokus pembicaraan; (9) konteks alat kelengkapan bicara/dengar pada pembicara/pendengar; (10) konteks kebahasaan, maksudnya

21


(32)

19

apakah memenuhi kaidah bahasa yang digunakan oleh kedua belah pihak; (11) konteks bahasa, yakni bahasa yang digunakan.22

4. Makna Tekstual

Makna tekstual (textual meaning) adalah makna yang timbul setelah seseorang membaca teks secara keselruhan. Makna tekstual tidak diperoleh hanya melalui makna setiap kata, atau makna setiap kalimat, tetapi makna tekstual dapat ditemukan setelah seseorang membaca keseluruhan teks. Dengan demikian makna tekstual berhubungan dengan bahasa tertulis. Makna tekstual lebih berhubungan dengan amanat, pesan, boleh juga tema yang ingin disampaikan melalui teks.23

Makna tekstual adalah makna yang akan dipahami jika dibaca keseluruhan teks. Untuk mencari makna kata tertentu agaknya seseorang harus sabar. Ia harus membaca teks keseluruhan sebelum menentukan makna kata tertentu yang ia tidak ketahui maknanya.

5. Makna Konotatif

Makna konotatif (conotative meaning) muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau kata yang dibaca. Zgusta (1971:38) berpendapat makna konotatif adalah makan semua komponen pada kata ditambah beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi menandai. Harimurti (1982:91) berpendapat “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca)”. Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal.

22

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 116 23


(33)

Misalnya kata amplop. Kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan, dan lain-lain. Makna ini adalah makna denotasi. Tetapi pada kalimat “ Berilah ia amplop agar agar urusanmu cepat selesai”, makna amplop

sudah bermakna konotatif, yakni berilah ia uang. Kata amplop masih ada hubungan, karena uang dapat saja diisi di dalam amplop. Dengan kata lain, kata

amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi uang pelicin, uang pelancar, dan uang gosok. Makna kata amplop tidak sebagaimana adanya lagi, tetapi mengandung makna yang lain, yang kadang-kadang masih berhubungan dengan sifat, rasa, benda, peristiwa yang dimaksudkan.24

6. Makna Deskriptif

Makna deskriptif yang biasa disebut pula makna kognitif atau makna referensial adalah makna yang terkandung di dalam setiap kata. Makna yang ditunjukan oleh lambang itu sendiri. Jadi, kalau seseorang mengatakan air, maka yang dimaksud adalah sejenis benda cair yang digunakan untuk mandi, mencuci atau minum. Orang mengerti makna kata air, karena itu ia membawa air seperti yang kita kehendaki.

Makna deskriptif adalah makna yang terkandung dalam makna itu pada masa sekarang. Makna dimaksud adalah makna yang masih berlaku sekarang, makna yang berlaku dalam masyarakat pemakai bahasa. Makna deskriptif tidak dikaitkan lagi dengan makna kata itu pada waktu dahulu, atau tidak dikaitkan dengan makna ketika itu baru muncul. Yang diperhatikan yakni makna yang

24


(34)

21

sekarang berlaku dalam masyarakat pemakai bahasa. Makna dapat berubah, tetapi tetap yang diperhatikan adalah makna yang masih berlaku pada waktu sekarang.25

7. Makna Referensial

Makna referensial (referential meaning) adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata. Sebelum dilanjutkan uraian makna referensial, ada baiknya dipahami lebih dahulu, apakah yang dimaksud dengan istilah referen. Menurut Palmer adalah hubungan antara unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat, dan dunia pengalaman yang non-linguistik.

Referen dan acuan boleh saja benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambang. Makna referensial mengisyaratkan kepada kita tentang makna yang langsung menunjuk kepada sesuatu, apakah benda, gejala, kenyataan, peristiwa, proses, sifat. Makna referensial merupakan makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia di luar bahasa.26

8. Makna Afektif

Makna afektif (affective meaning) merupakan makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan kata atau kalimat. Oleh karena itu, makna afektif berhubungan dengan reaksi pendengar atau pembaca dalam dimensi rasa, maka dengan sendirinya makna afektif berhubungan pula dengan gaya bahasa.27

25

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 100 26

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 125 27


(35)

C. Penjelasan Makna dengan Padanan

Padanan adalah satuan leksikal bahasa sasaran yang mempunyai makna leksikal yang sama dengan masing-masing satuan leksikal bahasa sumber. Satuan leksikal yang dimaksud adalah padanan. Padanan berbeda dengan terjemahan. Terjemahan atau penerjemahan adalah proses pengalihan bahasa untuk mendapatkan hasil yang sama yang hampir mendekati bentuk aslinya di dalam bahasa sumber dan yang memiliki makna yang sama dengan bahasa sasarannya.28 Sedangkan padanan bukanlah proses, melainkan hasil dari suatu proses penerjemahan dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Padanan juga merupakan kumpulan sinonim dalam bahasa asing, baik sebagai kata tunggal yang mengacu pada obyek yang sama maupun kalimat-kalimat, penjelasan-penjelasan yang dianggap sebagai padanan penjelasan dari kata kepala.

Di sini penulis akan membagi padanan berdasarkan jenis penggunaannya dalam kamus dwibahasa sebagai berikut:

1. Padanan Penerjemahan/Sinonim (

ﺟﺮﺘﻟا

فداﺮ ﻟا

)

Padanan penerjemahan adalah satuan leksikal yang bisa langsung digunakan pada saat menerjemahkan ke bahasa sasaran. Contoh padanan dalam kamus Inggris-Perancis, yaitu kata boy yang diberi padanan garcon. Padanan ini dapat langsung dimasukan ke dalam kalimat bahasa sasaran, karena maknanya benar-benar sepadan dengan makna boy yaitu anak laki-laki.29 Padanan penerjemahan terkadang disebut juga padanan sinonim.30

28

Zgusta ladislav, Manual of Lexicography, h. 312 29

Al-Kasimi, Linguistic and Bilingual Dictionary, (Leiden: E.J Brill,1967), h. 60 30


(36)

23

Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari sin “sama” atau “serupa” dan akar kata onim “nama” yang bermakna “sebuah kata yang dikelompokan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna umum”.31 Dengan perkataan lain : sinonim adalah kata-kata yang mengandung makna pusat yang sama tetapi berbeda dalam nilai rasa. Atau secara singkat sinonim adalah kata-kata yang mempunyai denotasi yang sama tetapi berbeda dalam konotasinya. Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.32

Pada definisi yang diungkapkan oleh Verhaar, kita melihat adanya penggunaan urutan kata, yang lebih sama maknanya. Hal itu memang beralasan, karena kesamaan maknanya tidak berlaku secara sempurna. Artinya, meskipun maknanya sama, tetapi memperlihatkan perbedaan-perbedaan, apalagi jika yang dihubungkan dengan pemakaian kata-kata tersebut. Itu sebabnya Lyons (1981:148) membedakan kata yang bersinonim sempurna dengan kata yang bersinonim secara absolut.

Suatu kata dikatakan bersinonim secara sempurna apabila kata-kata tersebut mengandung makna deskriftif, ekspresif, dan sosial yang sama, sedangkan suatu kata disebut bersinonim secara absolut, apabila kata-kata tersebut mempunyai distribusi yang sama dan bermakna secara sempurna di dalam kehadirannya pada semua konteks. Contoh: kata meninggal dan kata mati

memperlihatkan kesamaan makna, tetapi pemakiannya berbeda. Kata meninggal

hanya digunakan untuk manusia, dan tidak untuk binatang atau

31

H.G. Tarigan, Pengajaran Sematik, (Bandung: Angkasa, 1995), Cet. Ke-3, h. 17 32


(37)

tumbuhan. Tidak mungkin orang mengatakan “pohon saya meninggal kemarin.” Atau “sapi saya baru saja meninggal.” Kita hanya dapat mengatakan, “ si Ali mati

kemarin.” Atau “si Ali meninggal kemarin.” Derajat makna kata mati dan

meninggal pada kalimat-kalimat ini pun berbeda, dalam arti kata meninggal lebih halus jika dibandingkan dengan kata mati.33

Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagi faktor, antara lain:

Pertama, faktor waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata

komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang

hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan

hanya cocok untuk situasi masa kini (modern).

Kedua, faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia Timur (Maluku); sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana saja.

Ketiga, faktor sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.

Keempat, faktor keformalan, misalnya kata uang dan duit adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata uang dapat digunakan dalam ragam formal dan tak formal, sedangkan kata duit hanya cocok untuk ragam tak formal.

33


(38)

25

Kelima, bidang kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa saja, atau dapat digunakan secara umum; sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus. Terutama ragam sastra.

Keenam, faktor nuansa makna. Umpamanya kata hotel bersinonim dengan kata penginapan; tetapi kata penginapan lebih luas maknanya dari kata hotel. Sebab di dalam penginapan termasuk juga hotel, losmen, dan motel.34

Dari keenam faktor yang dibicarakan di atas, bisa disimpulkan dua buah kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan.

2. Padanan Penjelasan (

يﺮ

ﺴﻔﺘﻟا

فداﺮ ﻟا

)

Padanan penjelasan adalah satuan leksikal yang tidak dapat selalu langsung digunakan pada saat menerjemahkan ke bahasa sasaran. Al-Kasimi memberi contoh pada dalam kamus Inggris-Perancis dengan kata boyhood yang diberi padanan etat de garcon. Padanan ini tidak dapat langsung digunakan dalam teks karena selain berbentuk penjelasan, kata boyhood dalam bahasa inggris maknanya terbatas pada arti masa remaja untuk laki-laki belasan tahun saja, sedangkan makna kata Perancis etat de garcon tidak, maknanya masih bersifat umum yakni masa laki-laki. Untuk menyesuaikannya maka penyusun kamus dapat memberikan padanan boyhood dengan kata adolescenel jeunesse yang berarti masa remaja untuk anak laki-laki atau anak perempuan (belasan tahun).35 Sehingga padanan kata boyhood yang tepat yaitu adolescence (d’un garcon) yang berarti masa remaja (untuk laki-laki belasan tahun). Dengan demikian barulah padanan tersebut

34

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 298 35

AliAl-Qasimi, Ilm al-Lughah wa Shina’at al-Mu’jam, (Riyadh: Jamiat al-MalikSu’ud, 1991), h. 92


(39)

dapat digunakan di dalam teks di karenakan maknanya sudah sepadan dan berterima di dalam bahasa sasaran.

Zgusta membedakan padanan secara khusus nenjadi padanan sisipan dan padanan deskriptif. Padanan sisipan mempunyai kelebihan dalam hal kemampuannya untuk dapat langsung digunakan kedalam kalimat serta dapat juga langsung disisipkan kedalam konteks kalimat bahasa sasaran. Sebaliknya padanan deskriptif mempunyai kelebihan dalam memberikan penjelasan atau informasi yang lebih lengkap terhadap satuan leksikal bahasa sasaran.

Zgusta juga menerangkan bahwa pada dasarnya terdapat padanan yang dapat dikombinasikan. Padanan kombinasi (padanan gabungan yang dimaksud adalah padanan penerjemahan (sisipan) atau padanan penjelasan (deskriptif) yang dapat disertai keterangan penjelas. Padanan gabungan ini timbul akibat kedua padanan terdahulu terkadang tidak mampu untuk memberikan makna padanan yang jelas. Sehingga untuk mencegah keambiguan makna. Maka munculah padanan-padanan yang disertai dengan keterangan penjelas.36

Padanan berdasarkan ketepatan makna dapat terbagi menjadi dua yaitu padanan mutlak dan padanan sebagian. Padanan mutlak (sempurna) adalah padanan yang membutuhkan makan leksikal dari suatu satuan makna leksikal yang mutlak sama dalam semua komponennya seperti penunjukan (designation), konotasi (connotation), dan ruang lingkup pelaksanaan (range of application). Salah satu hal yang dapat menyebabkan mengapa padanan sempurna ini sulit ditemukan, karena adanya anisomorfisme. Anisomorfisme adalah jika makna leksikal dari satuan leksikal masing-masing bahasa sasaran hanya serupa sebagian

36


(40)

27

padanannya dalam bahasa sumber, oleh karena itu padanan tersebut dinamakan padanan tak sempurna (padanan sebagian).37

Jika terdapat padanan kategori dari bagian-bagian ujaran bahasa sumber yang tidak dapat ditemukan dalam bahasa sasaran, maka penyusun kamus dapat beralih ke makna leksikal dasar padanan.38 Al-Kasimi menambahkan bahwa hal itu dapat diatasi dengan cara meminjam satuan leksikal bahasa sumber dengan pengucapannya yang disesuaikan dalam bahasa sasaran (menciptakan istilah baru yang maknanya sama).39

3. Antonimi

Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’.40 Maka, antonim adalah kata yang mengandung makna yang berkebalikan atau berlawanan dengan kata yang lain. Verhaar (1983:133) mengatakan “Antonim adalah ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat juga frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.”41

Antonim dan antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya: kata buruk berantonim dengan kata baik; kata mati berantonim dengan kata hidup; kata guru berantonim dengan kata

murid; dan kata membeli berantonim dengan kata menjual.42

37

Zgusta ladislav, Manual of Lexicography, h. 312 38

Ali Al-Qasimi, Ilm al-Lughah wa Shina’at al-Mu’jam, h. 314 39

Al-Kasimi, Linguistic and Bilingual Dictionary, h. 61 40

H.G. Tarigan, Tarigan, Pengajaran Sematik, h. 41 41

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 207 42


(41)

Dalam buku-buku pelajaran Indonesia, antonim biasanya disebut lawan kata. Banyak orang yang tidak setuju dengan istilah itu sebab pada hakikatnya yang berlawanan bukakn kata-kata itu, melainkan makna dari kata-kata itu.

4. Hiponimi

Hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’, dan hypo

berarti ‘di bawah’. Secara harfiyah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Verhaar (1983:131) mengatakan “ hiponimi adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya bisa juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.”43

Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya terucap dalam bentuk makna ujaran yang lain. Misalkan: kata warna

adalah hiponimi, sedangkan merah, hijau, kuning, biru, putih adalah hipernimi. Jadi merah berhiponim terhadap warna, maka warna berhiponimi terhadap

merah.44 5. Homonimi

Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’, dan

homo yang artinya ‘ sama’. Homonimi adalah kata-kata yang sama bunyinya tetapi mengandung arti dan pengertian berbeda.45 Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.46

43

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h.98 44

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 305 45

H.G. Tarigan, Pengajaran Sematik, h. 30 46


(42)

29

Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentukya ‘kebetulan’ sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya: kata pacar yang bemakna ‘inai’, dan makna pacar yang bermakna ‘kekasih’.47

Homonimi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu homofon dan homograf. Homofon merupakan dua ujaran yang sama lafalnya tetapi berlainnan tulisannya. Seperti kata bank dan bang, sangsi dan sanksi. Sedangkan homograf merupakan dau ujaran yang sama ejaannya tetapi berlainan lafalnya. Seperti kata gang dan

gang.48

47

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 302 48J.D. Parera, Teori Semantik,


(43)

BAB III

Wawasan Tentang Kamus Al-Munawwir dan Al-‘Ashri

Bab III ini hanya terdiri dari dua sub bab. Pada bab ini, penulis mencoba menelusuri sinopsis kamus Al-Munawwir yang disusun oleh Ahmad Warson Al Munawwir dan sinopsis kamus Al-‘Ashri yang disusun oleh KH. Atabik Ali dan Drs. A. Zuhdi Muhdlor.

A. Sinopsis Kamus Al-Munawwir

Kamus ini termasuk kamus yang banyak pemakaiannya di Indonesia. Para santri dan pelajar menjadikannya sebagai rujukan utama. Sejak diterbitkannya kamus ini pada tahun 1984, para pelajar, santri dan peminat bahasa Arab menjadi sangat terbantu dalam belajar bahasa Arab. Penyusun, Ahmad Warson Al Munawwir, dalam pendahuluannya yang ditulis dalam bahasa Indonesia menyebutkan dasar penyusunan kamus ini adalah semata-mata didorong oleh hasrat keinginan untuk ikut serta mengisi kekurangan akan buku-buku bahasa Arab atau buku-buku pembantu dalam mempelajari bahasa Arab, dan untuk membantu mereka yang bermaksud menggali mutiara-mutiara berharga dalam kitab-kitab berbahasa Arab.

Penyusunan kamus ini merupakan upaya pengembangan buku-buku ilmiah Pondok Pesantren “Al-Munawwir” Krapyak Yogyakarta yang pelaksanaannya dilakukan oleh Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan. Walaupun proses pengadaan kamus ini hanya dibantu kemampuan peralatan yang minim dan hanya diolah sendiri oleh keluarga pesantren, namun hasilnya sungguh diluar dugaan,


(44)

31

kamus ini bisa diperbanyak untuk memenuhi kebutuhan para pelajar, santri dan peminat.

Bila dilihat dari ukuran dan jumlah halamannya yang mencapai 1701 halaman, kamus ini termasuk jenis kamus besar yang bersifat umum. Kamus ini tidak mencantumkan daftar rujukan dalam sebuah halamannya, sehingga agak kesulitan untuk mengetahui sumber pengambilan data yang ada dalam entri. Namun menurut sumber lisan yang terpercaya, kamus ini merupakan turunan dari kamus Arab ekabahasa Al-Munjid yang ditulis oleh Pendeta Katolik bernama Fr. Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i yang dicetak oleh sebuah percetakan Katolik sejak tahun 1908.

Karena kamus ini merupakan turunan dari kamus Al-Munjid, maka entri-entri yang terkandung didalam kamus Al-Munawwir sesuai dengan kamus

Al-Munjid, hanya saja bahasa penjelas kamus Al-Munawwir ini adalah bahasa Indonesia. Dan kalaupun ada perbedaan antara keduanya dalam beberapa hal, misalnya dari segi desain kamus, hal itu karena harus menyesuaikan dengan kondisi lokal.

Entri dalam kamus ini disusun menurut urutan akar kata, misalnya untuk mencari kata

نﺎ

tidak bisa dicari dalam susunan huruf

ن

-

ا

-

ص

, tetapi harus

dikembalikan ke asal katanya, yakni dicari dalam urutan

ن

-

و

-

ص

karena

نﺎ

berasal dari kata

ن

. Sehingga dalam pencarian kata-kata dalam kamus ini lebih dahulu harus diperhatikan apakah kata itu semua hurufnya terdiri dari huruf asli, atau apakah ada diantaranya termasuk huruf zaid (tambahan). Jika semua hurufnya merupakan huruf asli, maka kata dicari berdasarkan permulaan dan


(45)

Sedangkan jika diantara huruf-hurufnya ada yang termasuk huruf zaid (tambahan), maka terlebih dahulu harus diketahui huruf-huruf aslinya dan pencarian kata menurut huruf-huruf asli tersebut, misalnya untuk mencari kata

بﺎﺘآ

&

ﺔ ﺘﻜ

tidak bisa dicari dalam urutan

ت

ك

م

atau

ب

ا

ت

, tetapi harus dicari dalam bab entri “

ك

” dengan urutan

ب

-

ت

-

ك

. Kamus ini juga dilengkapi dengan singkatan-singkatan dan tanda-tanda untuk membantu pemakai memahami setiap entri yang ada. Tanda-tanda yang digunakan antara lain:

• (tanda asterik) yang digunakan untuk menunjukkan permulaan materi, yang berarti tanda ini digunakan untuk memisahkan satu tema materi dengan materi lainnya. Misalnya setelah menyebutkan kata

dengan

semua turunannya (

ﺤﻟا

,

بﺎﺤ

,

,

,

ﺣأ

بﻮ ﺤ ﻟا

,

ﺔ ﺤﻟا

ﺤﻟا

,

بﺎ ﺤﻟا

,

ﺤﻟا

,

ﺔ ﺎ ﺤﻟا

,

ﺤﻟا

,

ﺤ ﻟا

,), kemudian masuk ke

materi baru, misalnya

ﺮﺘ ﺤﻟا

dengan turunannya (

ﺮﺘ ﺤﻟا

,

ﺮ ﺎ ﺤﻟا

), maka

diawal kata

dan kata

ﺮﺘ ﺤﻟا

diberi tanda asterik ini.

• yang digunakan untuk menunjukkan harakat ain fi’il mudhari’nya. Contoh:

ﺎﺜﺤ

---

ﺚﺤ

-

(tanda hubung) yang berarti ulangan dari kata di atasnya.


(46)

33

Contoh:

بﺬآ

-(menuduhnya bohong)

لﻮﻘﻟا

- ( menyangkal kebenarannya, mendustakan)

دارأ

ﺮ أ

ﻦﻋ

-(mundur)

ﺮﺤﻟ

ا

-(mereda).

Sedangkan mengenai singkatan-singkatan yang digunakan dalam bahasa Arab antara lain:

ج

untuk menunjukkan jamak,

م

untuk menunjukkan muannats dan

خ

untuk menunjukkan bahwa kata itu berasal dari kata asing. Demikian pula dalam bahasa Indonesia juga digunakan singkatan-singkatan di antaranya: bb, bgn, dlm, mnr dll.1

B. Sinopsis Al-‘Ashri

Kamus ini disusun oleh KH. Atabik Ali dan Drs. A. Zuhdi Muhdlor, keduanya dalah aktifis pondok pesantren Krapyak Yogyakarta. Dengan penuh keuletan, ketelitian, serta kesabaran yang tinggi mereka turut memperkaya khazanah perkembangan penyusunan kamus, yang pada masa mereka dikenal dengan sebutan kamus modern. Kamus kontemporer ini demikian mudah digunakan, karena menggunakan pola alfabet (huruf). Sehingga untuk mencari kata atau lafadz tertentu, kita tidak perlu susah-susah mencari akar kata atau fi’il (madli)nya, melainkan langsung pada kata atau lafadz tersebut sesuai dengan huruf awalnya. Adapun petunjuk penggunaannya sebagai berikut:

1

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. xi-xii


(47)

1). Sesuai dengan pola yang kami tempuh dalam penyusunan kamus ini, maka pembaca tidak perlu mencari akar kata atau kata asal dari kosakata yang akan dicari. Pembaca cukup membuka kepada bab atau kelompok huruf dari huruf pertama kosakata tersebut. Sebagai contoh: kata

ﺧدأ

dicari pada bab alif,

kata

ﺧاﺪ

dicari pada bab ta’, kata

ﺧاد

dicari pada bab dal, dan kata

ﺔ ﺧاﺪ

dicari pada bab mim.

2). Secara umum kami tidak mencantumkan “

ﺮﻌﺘﻟا

لا

” kecuali pada bab

beberapa kata yang penulisannya menjadi berubah jika di situ dituliskan

ﺮﻌﺘﻟا

لا

, seperti pada kata

,

(

ﺎﻘﻟا

)

ضﺎ

,

(

يرﺎﻀﻟا

)

رﺎ

لﺎﻋ

)

ﻟﺎﻌﻟا

(

.

3). Secara pula kosa kata Arab yang ada pada kamus ini adalah berjenis (bershigat) laki-laki atau mudzakkar kecuali dalam beberapa kata yang kami anggap penting untuk dicantumkan jenis (shigat) perempuan atau muannatsnya.

4). Untuk kata yang searti ada kalanya ditulis lagi dibelakang muradif atau padanannya tanpa membedakan terjadinya perubahan bentuk (mabni). Seperti

طﻮﻐ

,

زوﺮ أ

dibelakangnya ditulis lagi

زوﺮ

.

Demikian pula kata

ﺼ ا

,

ﺮ ﺘ ا

dibelakangnya ditulis lagi

اﻮ

dan seterusnya.

5). Dalam hal terjadi kesamaan huruf pada kosa kata, tetapi harkatnya berubah-ubah. Maka menyusunnya berurutan mulai dari yang berharkat fathah, kemudian dlommah, kasrah, lalu sukun.


(48)

35

6). Alif maqsurah (

ى

) dipersamakan dengan alif biasa. Seperti kata

,

ﻰﻘ ا

,

ىﻮﺘﺣا

ىﺰﺟ

.

7). Alif mamdudah (

) dipersamakan dengan alif biasa dan tidak mempengaruhi urutan-urutan penulisan.

8). Hamzah (

ء

) dalam bentuk dan tulisan seperti apapun dipersamakan dengan alif, karena itu dibedakan antara hamzah dengan alif layyinah, baik jika hamzah itu di atas alif, wawu atau ya, bahkan ketika berdiri sendiri. Karenanya jika hamzah atau alif menjadi huruf terdepan dari sebuah kosakata, maka harus dicari pada bab hamzah.

9). Ta marbuthah (

,

ة

) dipersamakan dengan ta mabsuthah (

,

ت

).

10). Penggunaan tanda kurung baik pada kosakata Arab maupun artinya dalam bahasa Indonesia, adakalanya untuk:

(a). Memperjelas penggunaan kata tersebut, seperti:

)

ﻜﺸﻟا

(

,

ﺘﺋإ

)

(

,

ﻰﻘ أ

)

ﺎ ﺣ

ﻰ ﻋ

(

إ

Indonesia: (bulan) April, putih (warna), surat tuduhan (jaksa), dsb.

(b). menunjukan bahasa asli (untuk terjemah bahasa ‘ajamnya) seperti: saluran air kencing (urethra), kemauan bebas (free will), tulang rawan (cartilage), dsb. (c). Menunjukan ilmu disiplin ilmu tertentu, seperti:

ةﺮﻐ

)

(

,

ﺔ ﺪﻋ

)

ﺔﻔﺴ

(

,

عﺎ

,

عﺎ ﺸﻟا

ﺔ آﻮآ

)

(

,

مﺎ ﺘﻟا

)

ﺔ ﺎ ر

(

Indonesia/’Ajamnya: superiority complex (psi: psikologi), sinus (mat: matematika), citoplasma (bio: biologi), dsb.


(49)

(d). Menunjukan macam atau jenis seperti (Arab):

ةﺮﻘﻨ

\

رﻮﻘﻨ

)

ةﺮﺋﺎﻃ

(

,

ةرﻮ ﻨ

)

(

,

بﻼﻘ

)

تﺎ

(

Indonesia/’Ajamnya: argon, unsur gas (kimia), yang berinsang bawah (ikan), benang sari (bunga), yoyo (mainan anak-anak), dsb.2

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kamus Al-Munawwir dan Al-‘Ashri sama-sama mempunyai persama-samaan yaitu dalam penyusunan entrinya yaitu dengan menggunakan pola alfabet.

2

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer (Arab-Indonesia), (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), h. xi


(50)

   

BAB IV

ANALISIS SEMANTIK LEKSIKAL DALAM KAMUS AL-MUNAWWIR

DAN AL-‘ASHRI

Pada bab ini, Penulis mencoba menganalisis padanan makna yang terdapat dalam kamus Al-Munawwir dan Al-‘Ashri melalui pendekatan semantik leksikal dan leksikologi. Sehingga, Penulis membaginya menjadi beberapa bidang yang akan dikritisi, di antaranya:

1. Bidang Sains dan Teknologi.

2. Bidang Sosial, Politik dan Hukum.

3. Bidang Ekonomi.

4. Bidang Kedokteran.

5. Bidang Linguistik.

A. Analisis terhadap Padanan makna dalam kamus Al-Munawwir dan

Al-‘Ashri dilihat dari sisi Leksikologi

Pada bab ini, penulis mencoba menganalisis padanan makna yang terdapat dalam kamus Al-Munawwir dan Al-‘Ashri dilihat dari sisi leksikologi. Di mana kamus dwibahasa ini memiliki kelebihan masing-masing yang tidak dimilki oleh kamus-kamus lain. Jika penulis lihat dari ragam kamus-kamusnya, kamus-kamus ini termasuk dalam


(51)

Di sini penulis melihat ada perbedaan antara kamus Al-Munawwir dan

Al-‘Ashri di dalam penyusunan kamus tersebut. Kamus Al-Munawwir dan Al-‘Ashri sama-sama menggunakan sistem alfabet; dalam menyusun entrinya. Sedangkan, yang membedakan keduanya adalah cara mencari kata atau lafadz yang akan diterjemahkannya. Jika kamus Al-Munawwir harus diketahui lebih dahulu “apakah kata itu semua hurufnya terdiri dari huruf asli atau ada huruf zaid (tambahan). Jika semua hurufnya terdiri dari huruf asli, maka untuk mencarinya dengan menentukan huruf pertama dari kata tersebut, misalnya kata

ﺮﺼ

(nasara)

, untuk mencarinya dalam Al-Munawwir adalah dengan menentukan

huruf pertamanya yaitu nun

(

ن

)

, kemudian mencarinya pada bab nun

(

ن

).

Sedangkan, jika di antara huruf-hurufnya terdapat huruf zaid (tambahan) maka kita harus mengetahui terlebih dahulu mana huruf yang asli dan mana huruf tambahan. Misalnya kata (majlis), maka kita harus tetap mencari awal

katanya dan menyingkirkan huruf zaidnya yaitu huruf mim

(

م

)

, dan mencari huruf

      

1

Emil Ya’kub, Al-Ma’ajim al-Lughawiyyah al-‘Arabiyyah: Badaatuhaa wa Tathawwuruha, (Beirut: Dār Ast-Tsaqāfah Al-Islāmiyyah, tth), h. 26

   


(52)

39 

 

Berbeda dengan kamus Al-‘Ashri, untuk mencari kata atau lafadz tertentu, kita tidak perlu susah-susah mencari kata dan fi’il (madli)nya, melainkan langsung pada kata atau lafadz tersebut sesuai dengan huruf awalnya. Misalnya kata

حﻮﺘﻔ

(maftûh) maka kita tidak perlu susah-susah mencari katanya, dan kita hanya cukup

mencarinya pada huruf mim

(

م

)

, atau pada bab entri mim

(

م

)

.

Dilihat dari sisi leksikologi padanan maknanya, kamus Al-Munawwir dan

Al-‘Ashri masih mengikuti acuan yang terdapat dalam leksikologi Indonesia atau perkamusan di Indonesia yaitu dapat menemukan makna sebuah kata, dapat mengetahui sinonim dan antonim makna sebuah kata, dan dapat mengetahui asal usul kata. Tetapi, jika di teliti lebih dalam lagi kamus Al-‘Ashri lebih modern atau terkini dalam memaknai sebuah kata. Misalkan kata

لُواﺪ

(tadâwul) di dalam kamus Al-Munawwir diartikan dengan ‘peredaran’, sedangkan di dalam kamus

Al-‘Ashri kata tersebut diartikan dengan ‘rotasi’. Yang di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘rotasi’ artinya adalah perputaran (perputaran bumi pada porosnya dari arah Barat kearah Timur selama sehari (24 jam) yang mengakibatkan siang dan malam).2 Jika dilihat dari padanan maknanya, kedua kamus tersebut masih bersinonim. Tetapi kamus Al-‘Ashri lebih menggunakan makna yang terkini (makna yang sering kita dengar dalam bidang sains dan teknologi) dibandingkan kamus Al-Munawwir.

      

2

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet. Ke-3, h. 963

   


(53)

B. Analisis Semantik Leksikal terhadap Padanan makna yang terdapat

dalam Dua Kamus tersebut (Al-Munawwir dan Al-‘Ashri)

Di sini Penulis akan menaganalisis padanan makna yang terdapat dalam kamus

Al-Munawwir dan Al-‘Ashri, dan mengambil secara acak (random) kata istilah sebanyak 50 kata atau frasa, kemudian menganalisis padanannya. Padanan makna tersebut akan dianalisis melalui pendekatan semantik leksikal, yang mana Penulis akan membaginya menjadi beberapa bidang, di antaranya:

1. Bidang Sains dan Teknologi

a.

ﻖ ﺋز

(zi’baq) di dalam kamus Al-Munawwir artinya ‘air raksa’,3 dan kamus

Al-‘Ashri artinya ‘mercury’.4 Sehingga kata tersebut menjadi padanan makna yang bersinonim. Kata ‘mercury’ tersebut merupakan kata serapan dari bahasa asing yang diserap oleh bahasa Indonesia, dan dalam Kamus Kimia kata ‘air raksa’ masih berpadanan dengan kata ‘mercury’ yang artinya adalah unsur yang tergolong logam, berwujud cair pada suhu kamar, berwarna putih perak, penghantar panas yang buruk, mudah membentuk paduan atau amalgam dengan hampir semua logam, dapat bereaksi dengan semua logam, dan tidak bereaksi dengan asam nonoksidator.5 Dalam kamus Al-‘Ashri kata

ﻖ ﺋز

diartikan dengan ‘mercury’, kata ‘mercury’ tersebut adalah sebutan untuk ‘air raksa’ dalam bidang kimia dan kesehatan. Di sini jelas, bahwa kamus Al-‘Ashri mengikuti perkembangan zaman yang ada dalam bidang tersebut sesuai dengan

      

3

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 557

4

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, KamusKontemporer (Arab-Indonesia), (Yogyakartâ:Yayasan Ali Maksum, 1996), h.1004

5

Mulyono HAM, Kamus Kimia, (Jakarta: Bumi Aksara,2009), h. 354

   


(54)

41 

 

b.

جاز

(zâj) dalam kamus Al-Munawwir diartikan dengan ‘belerang’,6 dan dalam kamus Al-‘Ashri artinya ‘vitriol’.7 Kata ‘vitriol’ adalah sebutan untuk ‘asam sulfat’ dalam bidang sains terutama dalam bidang kimia. Walaupun kata tersebut bersinonim, tetapi kata tersebut adalah kata-kata yang sering digunakan oleh para ahlinya itu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kata ‘vitrol’ dalam Kamus Kimia diartikan dengan ‘zat cair kental menyerupai minyak, tak berwarna, higroskopis, dalam larutannya (air) bersifat asam kuat, dalam keadaan pekat bersifat oksidator, dan bersifat dapat mengikat air (sebagai zat pendehidrasi)’,8 dan kata ‘belerang’ dalam kamus kimia diartikan dengan ‘unsur bukan-logam berwarna kuning muda, padatannya mengkilap tidak berbau, tidak larut dalam air tetapi larut dalam (s₂).9 Jadi, kedua arti kata tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Karena, arti kata dalam dua kamus tersebut saling berhiponimi. Kata ‘belerang’ menjadi hiponimnya, dan kata ‘vitriol’ menjadi hipernimnya. Karena, bahan baku untuk pembuatan vitriol (asam sulfat) adalah belerang.

      

6

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, h.591 7

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, KamusKontemporer (Arab-Indonesia), h. 1004 8

Mulyono HAM, Kamus Kimia, h.45 9

Mulyono HAM, Kamus Kimia, h.70

   


(55)

c.

ئﺪ

(sadi´) kamus Al-Munawwir artinya ‘berkarat’,10 dan kamus Al-‘Ashri

artinya ‘teroksidasi’.11 Dalam Kamus Kimia kata ‘berkarat’ adalah ‘hasil oksidasi suatu logam’,12 dalam Kamus Kimia kata ‘oksidasi’ itu sendiri adalah ‘peristiwa bereaksinya suatu zat dengan oksigen; reaksi kimia yang melibatkan pelepasan elektron dari suatu atom, molekul, atau ion; reaksi kimia yang melibatkan penaikan bilangan oksidasi dari pereaksi’.13 Jadi kata ‘karat’ dan ‘oksidasi’ mempunyai kemiripan atau bersinonim dalam pemaknaan, tetapi kata ‘karat’ diperhalus menjadi ‘oksidasi’ dalam bidang sains terutama dalam bidang kimia.

d.

ىّﺮﻌ ﻟا

(al-Mu’arra) dalam kamus Al-Munawwir diartikan ‘tanah yang tak bertumbuh-tumbuhan’,14 dan dalam kamus Al-‘Ashri artinya ‘erosi’.15 Jika dilihat dari arti yang terdapat dalam kamus Al-Munawwir, maka maknanya tersebut lebih mendekati pada padanan penjelasan yang satuan leksikalnya tidak dapat langsung diterjemahkan ke bahasa sasaran, dan susah untuk dipahami oleh banyak orang terutama bagi pelajar. Sehingga, makna kata ‘erosi’lah yang sering didengar dalam bidang ilmu pengetahuan, dan sudah dapat dimengerti oleh para pelajar. Makna ‘erosi’ adalah kata yang sering digunakan dalam bidang sains terutama biologi. Dalam Kamus Biologi ‘erosi’ adalah’ pengikisan’.16 Jadi, jelaslah bahwa kamus Al-‘Ashri lah yang menggunakan padanan makna yang terkini atau terbaru dibandingkan kamus Al-Munawwir.

      

10

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, h. 767 11

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, KamusKontemporer (Arab-Indonesia), h. 1170 12

Mulyono HAM, Kamus Kimia, h. 206 13

Mulyono HAM, Kamus Kimia, h. 307 14

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, h. 925 15

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, KamusKontemporer (Arab-Indonesia), h 1763 16

Wildan Yatim, Kamus Biologi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h.150

   


(56)

43 

 

e.

لُواﺪ

( tadâwul) dalam kamus Al-Munawwir diartikan dengan ‘peredaran’,17 sedangkan di dalam kamus Al-‘Ashri kata tersebut diartikan dengan ‘rotasi’.18 Yang di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘rotasi’ artinya adalah perputaran (perputaran bumi pada porosnya dari arah Barat kearah Timur selama sehari (24 jam) yang mengakibatkan siang dan malam).19 Jika dilihat dari padanan maknanya, kedua kamus tersebut masih bersinonim. Tetapi, yang lebih mendekati semantik leksikal adalah kata ‘rotasi’ dibandingkan kata ‘peredaran’. Di karenakan makna ‘rotasi’ adalah makna yang sesuai dengan referennya, atau makna yang sudah sering digunakan orang.

f.

بﺎﺴﺤﻟا

ﻢ ﻋ

(‘ilm al-hisâb) makna dalam kamus Al-Munawwir adalah ‘ilmu hitung’,20 dan dalam kamus Al-‘Ashri adalah ‘aritmetika’.21 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘aritmetika’ adalah pengkajian bilangan bulat positif melalui penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.22 Makna kedua kamus tersebut saling berpadanan atau bersinonim. Tetapi dalam konteks sekarang ini, frase ‘ilmu hitung’ sudah tidak digunakan lagi di kalangan masyarakat khususnya para pelajar dan guru. Sehingga, Frase ‘ilmu hitung’ mengalami peningkatan makna yang lebih baik menjadi kata ‘aritmetika’, kata tersebut sering digunakan dalam bidang sains dan teknologi.

      

17

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, h. 434 18

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, KamusKontemporer (Arab-Indonesia), h. 443 19

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 963 20

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, h. 262 21

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, KamusKontemporer (Arab-Indonesia), h. 1316 22

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 65

   


(1)

67   

   

       

n.

تﺎ

ّﻌ ﺴﻟا

ﻢ ﻋ

(‘ilm al-sam’iyyât) maknanya dalam kamus Al-Munawwir

adalah ‘ilmu suara’,177 dan dalam kamus Al-‘Ashri adalah ‘ilmu akustik’.178 Dilihat dari makna kamus keduanya saling berhubungan. Karena, sama-sama meneliti pada suara/ilmu bunyi. Tetapi, dalam bidang kebahasaan frase ‘ ilmu akustik’ lah yang sering digunakan oleh para bahasawan. Karena, frase ‘ilmu suara’ telah mengalami penghalusan makna menjadi ‘ilmu akustik’. Kata ‘akustik itu sendiri adalah cabang fisika yang menyelidiki penyampaian, penerimaan, dan pengaruh bunyi atau suara.179

Jadi, dapat disimpulkan bahwa diantara dua kamus (Al-Munawwir dan

Al-‘Ashri) tersebut memiliki padanan makna yang tidak jauh berbeda dalam konteks bahasa sehari-hari. Tetapi, jika dilihat dari bidangnya masing-masing kami Al-‘Ashrilah yang menggunakan makna yang terkini atau modern. Walaupun masih ada padanan makna yang digunakan oleh kamus Al-‘Ashri yang belum diserap oleh bahasa Indonesia.

 

176

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1177

177

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, h. 660

178

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, KamusKontemporer (Arab-Indonesia), h. 1088

179


(2)

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

Penulis dapat menyimpulkan bahwa dari kedua kamus tersebut (Al-Munawwir dan Al-‘Ashri) masih berpadanan dalam memberikan padanan

pada kata istilah tertentu. Pada bab empat Penulis menemukan padanan istilah yang sering dipakai dalam bidang masing-masing, yang Penulis bagi menjadi beberapa bidang, seperti kata istilah dalam bidang sains dan teknologi, bidang sosial, politik, dan hukum, bidang ekonomi, bidang kedokteran, dan bidang linguistik.

Penulis juga melihat masih dari kedua kamus tersebut (Al-Munawwir dan Al-‘Ashri) masih mempunyai kepadanan makna dalam menerjemahkan bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa), jika dilihat dari sisi semantik leksikal. Walaupun demikian, kamus Al-Munawwir tidak begitu mempunyai banyak perpadanan makna yang terkini/modern dibandingkan kamus Al-’Ashri. Tetapi, jika dilihat dari sisi semantik leksikal kamus Al-’Ashri lebih banyak menawarkan padanan makna yang begitu bervariasi/bermacam-macam dan terkini/modern dibandingkan kamus Al-Munawwir. Di sini penulis melihat jelas perbedaan dari kedua kamus tersebut. Di antara kedua kamus tersebut, kamus Al-’Ashrilah yang selalu memberikan dan menghadirkan padanan makna kata-kata baru/terkini dalam bidangnya masing-masing yang sesuai referen atau alat panca indera kita, dibandingkan kamus Al-Munawwir. Jika dilihat dari padanan maknanya pun, kamus Al-’Ashri mempunyai berbagai macam padanan. Seperti padanan sisipan dan padanan deskriftif.


(3)

69

Jika Penulis lihat dari sisi leksikologi, kamus Al-Munawwir dan Al-’Ashri

sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam pemadanan maknanya. Sebelum menganalisis kamus Al-Munawwir dan Al-’Ashri melalui sisi leksikologi, Penulis harus lebih dahulu mengetahui kriteria kamus yang baik dan maju/modern. Kamus Al-Munawwir dan Al-’Ashri pun mengikuti acuan yang terdapat dalam leksikologi Indonesia atau perkamusan di Indonesia yaitu dapat menemukan makna sebuah kata, dapat mengetahui sinonim dan antonim makna sebuah kata, dan dapat mengetahui asal usul kata. Setelah Penulis teliti pada bab empat, penulis akhirnya dapat menyimpulkan bahwa kamus Al-’Ashri adalah kamus yang maju dan modern dibandingkan kamus Al-Munawwir. Itu semua Penulis melihat dari pemadanan makna serta arti kata yang digunakan oleh kamus

Al-’Ashri. Walaupun, masih ada padanan makna yang dipakai dalam kamus

Al-’Ashri yang belum diserap oleh Bahasa Indonesia. Ini membuktikan bahwa kamus Al-’Ashri masih belum terlalu up to that/terkini.

2. Saran

Di sini Penulis menyarankan agar kamus Al-’Ashri dapat menambahkan lagi kosa kata yang terbaru, sehingga kamus Al-’Ashri menjadi benar-benar kamus kontemporer (modern). Penulis juga mengharapkan agar para penerjemah bisa mengapresiasikan dirinya terhadap perkamusan di Indonesia supaya lebih maju.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada penyusun kedua kamus tersebut, karena beliau telah mengapresiasikan dirinya untuk negeri ini, dengan membuat sebuah kamus untuk membantu para penerjemah pemula di dalam menerjemahkan sebuah teks.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kasimi. Linguistic and Bilingual Dictionary. Leiden: E.J Brill, 1967.

Ali, Attabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhar. KamusKontemporer (Arab-Indonesia). Yogyakartâ :Yayasan Ali Maksum. 1996.

Al-Qasimi, Ali. Ilm al-Lughah wa Shina’at al-Mu’jam. Riyadh: Jamiat al-Malik Su’ud, 1991.

Artmada, Frista, W. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jombang: Lintas Media, 2000.

Asrul. Kamus Terlengkap Kedokteran. Surabaya: Nusantara Publisher, 2009. Badudu, J.S. Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:

Kompas, 2005.

Bahri, Zainul. Kamus Umum Khusunya Bidang Hukum Dan Politik. Bandung: Angkasa, 1996.

Chaer, Abdul. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

_____, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

_____, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Collins. Kamus Lengkap Ekonomi. Jakarta: Erlangga, 1994.

Darmawan, Indra. Kamus Istilah Ekonomi Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Cet. Ke-1.


(5)

71

---. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Cet. Ke-3.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan & Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Djuaeni, M. Napis. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia: Istilah Politik-Ekonomi. Jakarta: Teraju, 2006.

Echols, M. John. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Gayatri, Arum. Kamus Kesehatan. Jakarta: Arcan, 1990. HAM, Mulyono. Kamus Kimia. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Larson, ML. Penerjemahan Berdasarkan Makna : Pedoman Untuk Pemadanan Antar Bahasa. Jakarta : Arca, 1991.

Mukhtar, Ahmad Umar. ‘ilam Al-Dalâlah. Kairo: Ilmu Al-Kutub, 1998. Parera, J.D. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga, 1991.

Pateda, Mansur. Semantik Leksikal. Ende Flores : Nusa Indah, 2001. Penguin. Kamus Lengkap Biologi. Jakarta: Erlangga,1993.

Verhaar, J.W.M. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1995. Cet. Ke-20.

Sunaryo. Metode Penyusunan Kamus. Jakarta: t.pn, 1984.

Teressa, Cabre. Terminology & Lexicography. Amsterdam: t.p, 1992. Tarigan, H.G. Pengajaran Sematik. Bandung: Angkasa, 1995.


(6)

Warson, Ahmad Munawwir. Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap.

Surabaya : Pustaka Progressif, 1997.

Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta : Gramedia, 1993. www.atependang.blogspot.com diakses pada tanggal 05-04-2010

Ya’kub, Emil. Al-Ma’ajim al-Lughawiyyah al-‘Arabiyyah: Badaatuhaa wa Tathawwuruha. Beirut: Dār Ast-Tsaqāfah Al-Islāmiyyah, tth.

Yatim, Wildan. Kamus Biologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Zgusta, ladislav. Manual of Lexicography. Paris: The Hogue Mouton, 1971.