Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Praktik korupsi di Indonesia mengalami perkembangan dengan munculnya praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pemberian hadiah seringkali kita anggap hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan sesuatu uang atau benda kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu tidak hanya sekedar ucapan selamat atau tanda terima kasih, akan tetapi sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian gratifikasi. Sesungguhnya pelarangan atas segala bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait kapasitasnya sebagai pejabat atau penyelenggara negara bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, gratifikasi menjadi perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang baru dalam perundang- undangan dan perlu sosialisasi yang lebih optimal. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: “Setiap commit to user gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ditinjau secara hukum, sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan ini hanyalah sekadar suatu perbuatan seseorang memberikan hadiah atau hibah kepada orang lain. Tentu saja hal tersebut diperbolehkan. ”Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”. Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk tanda kasih tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Kenyataannya seseorang yang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamrih. Oleh karena itu para pembentuk undang-undang berusaha dengan gigih membuat jaring hukum yang sangat rapat agar tidak ada celah- celah kemungkinan bebasnya pegawai negeri dari jaring hukum dalam menerima setiap pemberian dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Oleh karena itu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dibuat sedemikian rupa dan mengatur semua hal yang menyangkut tentang penyelewengan Keuangan Negara sampai pegawai negeri. Pada akhirnya pembentuk undang-undang sepakat untuk memasukkan gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dimana undang-undang tersebut merubah sekaligus commit to user melengkapi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pengaturan mengenai gratifikasi belum ada. Jadi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan perjalanan wisata dan fasilitas lainnya, baik yang diterima didalam atau luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik. Namun, kendala untuk mengungkap tindak pidana korupsi terutama tindak pidana gratifikasi bukanlah perkara yang mudah dan ringan. Kendala utamanya terletak pada pembuktian tindak pidana tersebut. Karena tindak pidana korupsi khususnya gratifikasi mempunyai karakteristik tertentu, yang menyulitkan bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Banyaknya perkara korupsi yang gagal dibuktikan di pengadilan, yang ditandai dengan dijatuhkan putusan bebas untuk terdakwa, menunjukkan bahwa perkara korupsi memang mengandung tingkat kesulitan yang sangat tinggi dalam masalah pembuktian. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP antara lain keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Maka, terdakwa harus dinyatakan bersalah dan akan dijatuhi putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan dengan hal tersebut, maka hakim harus berhati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah commit to user pembuktian. Hakim harus meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP Yahya Harahap, 2000:783. Pada perkara nomor 534Pid.B2008PN.Slmn tentang mantan ketua DPRD Kabupaten Sleman yang menerima gratifikasi dari suatu korporasi yang menjadi mitra dalam pengadaan buku wajib teks SDMI, SMPMTs dan SMAMA, yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp1.230.050.000,00 satu milyar dua ratus tiga puluh juta lima puluh ribu rupiah. Penuntut Umum menggunakan dakwaan tunggal dalam tindak pidana gratifikasi. Hal tersebut dikarenakan dakwaan tunggal lebih sederhana dan pembuktiannya mudah. Dan hakim dalam menjatuhkan putusan itu seimbang dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum sehingga hakim tidak mengabaikan pembuktian Jaksa Penuntut Umum pada waktu persidangan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan mencermati hal-hal yang mungkin timbul dari segala permasalahan di atas, maka dalam penelitian hukum ini penulis memilih judul : “KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN ATAS DIRI TERDAKWA Studi Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 534Pid.B2008PN.Slmn”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang ada, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konstruksi hukum pembuktian Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana gratifikasi Nomor 534Pid.B2008PN.Slmn? 2. Bagaimana implikasi yuridis pembuktian Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan pemidanaan dalam kasus tindak pidana gratifikasi atas diri terdakwa Nomor 534Pid.B2008PN.Slmn? commit to user

C. Tujuan Penelitian