commit to user penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri Pasal 159 ayat 2 KUHAP.
3 Satu saksi bukan saksi. Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat 2 KUHAP yang
berbunyi: keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut undang-undang menjadi
saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman di lapangan, keterangan saksi merupakan alat bukti yang dominan dalam mengadili
perkara pidana di pengadilan.
Setiap acara pemeriksaan biasa, hampir sering dikuatkan dengan alat bukti saksi. Keterangan saksi yang diberikan apabilahanya berdiri
sendiri dan tidak di kuatkan dengan alat bukti lain yang sah, maka kesaksian yang berdiri sendiri tersebut tidak cukup membuktikan
kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan penuntut umum.
4 Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.
Pasal 189 ayat 4 KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
c. Teori-Teori Pembuktian
Teori pembuktian terdapat 2 masa, yaitu teori pembuktian tradisional dan teori pembuktian modern, yang menjelaskan tentang
commit to user sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para
pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu : 1 Teori Pembuktian Tradisonal, antara lain:
a Teori Pembuktian Bebas Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhurpendapat
umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b Teori Pembuktian Negatif Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang
mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini
dilarang dengan pengecualian Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW
c Teori Pembuktian Positif Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya
perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat Pasal. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW.
2 Teori Pembuktian Modern, antara lain: a Conviction – in Time
Sistem pembuktian conviction – in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian
“keyakinan” hakim. Kenyataan hakim yang menentukan
keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannnya, tidak menjadi masalah dalam
sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa
juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan
commit to user langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa.
Sistem pembuktin conviction – in time sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman
pada seseorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya
hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti
dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
Jadi, dalam sistem pembuktian conviction – in time, seklipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian
yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar
alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang
“dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib
terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem
pembuktin ini.
b Conviction – Raisonee Sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, factor
keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas
maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib
commit to user menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning
atau alasan-alasan, dan reasoning tersebut harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus
mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang
tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
c Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Pembuktian
menurut undang-undang
secara positif
merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian
menurut keyakinan
atau conviction-in
time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan
hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman
pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa
semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa
tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.
Dalam sistem ini, hakim seolah-olah merupakan “robot pelaksana” undang-undang yang tak memiliki hati nurani.
Sehingga, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh- jauh factor keyakinan, tetapi berdiri tegak pada nilai pembuktian
objektif tanpa mencampur adukkan hasil pembuktian yang diperoleh dipersidangan dengan unsure subyektif keyakinannya.
commit to user d Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif Negatief
Wettelijk Stelsel Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time. Sehingga, untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan
hakim semata-mata. Atau hanya didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah
apabila kesalahan yang didakwakan
kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian
kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat
dua komponen: 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang. 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem pembuktian negatif dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, dimana
syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih
commit to user ditekankan pada perumusan yang tertera dalam undang-undang,
seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhkan pidana kepadanya, apabila:
1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti”,
2. Dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim akan “memperoleh keyakinan “bahwa tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat digunakan
untuk pembuktian. Dalam pembuktian penuntut umum membuat surat dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung jawab untuk
menyusun alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan atau tentang kesalahan terdakwa, bukan sebaliknya
terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. “Pembuktian juga dimaksudkan untuk mencapai suatu kebenaran
yang sesungguhnya, yaitu kebenaran dari hubungan hukum terhadap pihak-pihak yang berperkara” Teguh Samudera. 2007.
“Pemahaman Hukum Pembuktian dan Alat Bukti Sebagai Upaya Meningkatkan Pembangunan Bangsa”. Jurnal Hukum Respublica.
Vol. 6. No. 2.
Hakim dalam menjatuhkan putusan akan menilai semua alat bukti yang sah untuk menyusun keyakinan hakim dengan
mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana apa yang
harus dijatuhkan kepadanya setimpal dengan perbuatannya.
commit to user Pembuktian di pengadilan yang salah membuktikan
keadilan yang lemah. Pelanggaran-pelanggaran ini menginfeksi keakuratan proses pencarian fakta dan merusak integritas
keseluruhan sistem peradilan. Jaksa tidak berperforma baik sebagai penyedia bukti membebaskan tetapi tetap teguh pada perlawanan
mereka. Pengadilan pidana harus melihat serius alat bukti di dua belah pihak serta praktek-praktek yang memungkinkan berperkara
untuk memperkenalkan penemuan kesalahan bukti di pengadilan, baik nantinya pengadilan dikenakan sanksi atau sebagai bukti yang
relevan kelemahan kasus terdakwa Cynthia E. Jones. 2010. “A Reason To Doubt: The Suppression Of Evidence And The
Inference Of Innocence”. Northwestern University, School Of Law Vol. 100, No. 2.
Jenis alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat 1 KUHAP, meliputi:
1. Keterangan saksi Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang didengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu Pasal 1 butir 27 KUHAP. Dari urut-urutan penyebutan alat-alat bukti tersebut
dapat disimpulkan bahwa di dalam perkara pidana yang terutama suatu tindak pidana dibuktikan dengan alat bukti
saksi. Karena di dalam melakukan suatu kejahatan, seseorang akan berusaha menghilangkan jejaknya Hari Sasangka dan
Liliy Rosita, 2003: 224.
2. Keterangan ahli Keterangan yang diberikan oleh seseorang, yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
commit to user terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
Pasal 1 butir 28 KUHAP. Keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan.
Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat
bukti keterangan saksi Yahya Harahab, 2003: 304.
3. Surat Surat sebagai alat bukti yang sah menurut Pasal 187 KUHAP,
adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.
4. Petunjuk Perbuatan,
kejadian, atau
keadaan yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya Pasal
188 ayat 1 KUHAP. Alat bukti petunjuk diperoleh dari alat bukti saksi, surat dan keterangan terdakwa saat di persidangan.
5. Keterangan terdakwa Merupakan apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perubahan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri Pasal 189 ayat 1 KUHAP. Keterangan
terdakwa sebagai alat bukti merupakan keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan keadaan atau
perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain Andi Hamzah, 2005: 273-274.
commit to user
2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum