menguasai benda secara fisik tidak secara otomatis memiliki hak eksklusif atas benda fisik tersebut.
14
Prinsip tersebut juga diakui oleh Sanusi Bintang yang menyatakan bahwa: “. . . memiliki benda tertentu yang berwujud tidak berarti juga memiliki
hak atas kepemilikan intelektual hak cipta yang ada di dalamnya. Misalnya seseorang yang membeli sebuah buku atau lukisan, maka yang
bersangkutan hanya menjadi pemilik buku atau lukisan saja, tidak mencakup hak cipta atas buku atau lukisan itu. Hak milik atas buku atau
lukisan itu berada pada tangan pembeli, sedangkan hak ciptanya berada pada pencipta buku atau lukisan. Hak cipta itu tetap melekat dalam tangan
siapa pun kepemilikan benda itu berada.”
15
Sanusi Bintang juga menjelaskan bahwa memiliki suatu benda tidak secara
otomatis memiliki hak cipta yang ada dalam benda tersebut karena hak milik atas benda tangible right terpisah dari hak milik intelektualnya incorporeal right.
16
1.7.2 Doktrin Fair UseFair Dealing
Doktrin fair usefair dealing mengajarkan bahwa suatu perbuatan menggunakan atau memanfaatkan ciptaan secara pantas atau wajar sepanjang
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta bukan merupakan pelanggaran hak cipta. Contoh fair usefair dealing menurut Henry Soelistyo
adalah: Salah satu bentuk fair use adalah penggunaan dan perbanyakan karya cipta
untuk tujuan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dengan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta dengan syarat sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
17
14
Tomi Suryo Utomo, op.cit, h. 15.
15
Sanusi Bintang, op.cit, h. 40.
16
Sanusi Bintang, op.cit, h. 83.
17
Henry Soelistyo, op.cit, h. 87.
1.7.3 Asas Kebebasan Berkontrak
Dasar hukum asas kebebasan berkontrak adalah Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
18
selanjutnya disingkat KUHPerdata yang menentukan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang- undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan asas kebebasan
berkontrak maka para pihak diberikan kebebasan untuk “1 membuat atau tidak membuat perjanjian; 2 mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3 menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan 4 menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan”.
19
Namun kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan.
20
Lahirnya asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh adanya paham individualisme.
21
Berdasarkan paham individualisme, setiap individu bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya.
22
Implementasi paham individualisme dalam bidang hukum perjanjian berimplikasi pada kebebasan individu dalam
membuat perjanjian termasuk kebebasan memilih bentuk perjanjian baik tertulis maupun lisan.
18
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi Ketentuan- ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar,
h. 47.
19
Salim HS, Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak Memorandum of Understanding MoU, Ed. I, Cet. V, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.
20
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Cet. III, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I, h. 225.
21
Salim HS, loc.cit.
22
Salim HS, loc.cit.