commit to user
45
45
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab IV ini menjelaskan mengenai deskripsi data, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil pengujian yang telah dilakukan selama penelitian. Model
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda.
A. Deskriptif Data
Analisis deskriptif data terdiri dari seleksi sampel dan statistik deskriptif.
1. Seleksi Sampel
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa annual report tahun 2007 hingga 2009. Data ini diperoleh dari situs www.idx.co.id dan dari situs masing –
masing perusahaan sampel. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2009, dengan
rincian sebagai berikut: Tabel 4.1
Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian
Tahun Populasi Sampel
2007 28 24
2008 28 25
2009 28 24
Total 84 73
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Perusahaan yang menjadi sampel adalah perusahaan yang memenuhi
beberapa kriteria tertentu yang sudah dijelaskan di Bab III. Berdasarkan teknik
commit to user
46
46 pengambilan sampel tersebut, dari 84 perusahaan, ternyata hanya 73 perusahaan
yang menyediakan data dan informasi secara lengkap terkait corporate governance dalam annual report – nya
, nama perusahaan sampel dapat dilihat
pada Lampiran 2.
2. Statistik Deskriptif
Pada tabel 4.2 di bawah ini dijelaskan statistik deskriptif dari variabel dependen penelitian. Informasi mengenai statistik deskriptif tersebut meliputi:
nilai minimum, maksimum, rerata mean, dan standar deviasi yang dihitung dengan menggunakan alat bantu statistik SPSS release 16. Hasil dari perhitungan
tersebut ditampilkan pada tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2
Statistik Deskriptif Pengungkapan Risiko dalam
RDS Mean Max
Min St.
Deviasi
RDS 42,12
75,00 14,00
0,125 Dalam tabel 4.2 mengenai statistik deskriptif tingkat pengungkapan risiko
dapat diketahui bahwa rerata tingkat pengungkapan risiko pada perbankan di Indonesia berada pada score 42,12. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa
tingkat pengungkapan risiko masih berada di tingkat rendah, mengingat pengungkapan risiko adalah salah satu pengungkapan wajib yang diharuskan oleh
PSAK No. 50 Revisi 2006. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Solomon et al 2000 yang menyatakan bahwa pengungkapan risiko merepresentasikan
perbaikan praktik corporate governance. Pihak manajemen bank sebagai penyedia informasi enggan untuk memperluas pengungkapan risiko serta pengaruhnya pada
commit to user
47
47 perusahaan di masa depan dalam annual report Devilin, 2009. Bank Indonesia
selaku regulator belum membuat regulasi yang memadai dan spesifik mengenai apa saja yang harus diungkapkan dalam annual report juga menjadi salah satu
penyebab rendahnya tingkat risk disclosure pada perbankan di Indonesia. Perbankan Indonesia mulai menata kembali struktur perbankan di Indonesia,
salah satunya dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor: 58PBI2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Namun,
kecurangan yang terjadi di perbankan Indonesia masih terjadi. Hal ini terbukti dengan terjadinya kasus Bank Century tahun 2008. Kasus Bank Century tersebut
menunjukkan bahwa dewan komisaris tidak menjalankan tugasnya dengan baik, terbukti dengan pemecatan dan penjatuhan hukuman kepada komisaris utama
Bank Century www.tempointeraktif.com
, 2009. Berdasarkan data selama tiga tahun tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa terjadi peningkatan tingkat pengungkapan risiko tiap tahunnya. Bank Negara Indonesia adalah bank dengan tingkat kepatuhan pengungkapan yang
paling mendekati 100,00, yang menunjukkan bank ini sudah hampir mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapakan sesuai dengan Lampiran
Surat Edaran Bank Indonesia No.521DPNP2003. Rerata tingkat pengungkapan risiko yang dilakukan oleh Bank Negara Indonesia selama tiga tahun adalah
65,00. Seperti yang diungkapkan dalam annual report Bank Negara Indonesia tahun 2009, yaitu:
“Perjanjiankontrak yang dilakukan oleh BNI dengan nasabah, debitur dan counterparty lainnya menimbulkan potensi risiko hukum yang
telah diantisipasi dengan cara 1 melakukan kajian berkala terhadap dokumen hukum, perjanjian dan kontrak dengan pihak ketiga serta
commit to user
48
48 mengevaluasi kelemahan perjanjian yang dapat menimbulkan risiko
hukum bagi BNI, 2 melakukan penilaian atas risiko hukum yang tercermin dari besarnya gugatan, perkara yang ditujukan ke BNI, dan
3 menetapkan kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko hukum”
AR BNI, 2009: 115. Bank Agroniaga adalah bank dengan tingkat pengungkapan paling rendah
dengan rerata tingkat pengungkapan risiko selama tiga tahun sebesar 18,66. Bank Agroniaga justru mengalami penurunan tingkat kepatuhan pengungkapan
risiko tiap tahunnya. Bank Agroniaga adalah salah satu bank yang belum memisahkan antara pengungkapan risiko pasar-nilai tukar dengan pengungkapan
risiko pasar-suku bunga seperti yang diungkapan dalam annual report Bank Agroniaga di bawah ini:
“Mengembangkan sistem pengelolaan risiko yang terintegrasi dengan assets and liabilities management system untuk mengendalikan risiko
suku bunga, risiko harga, dan risiko likuiditas. Melakukan perhitungan beban risiko pasar dengan menggunakan model standar sebagai
komponen perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum. Menyempurnakan sistem informasi manajemen risiko pasar dan
sistem pelaporan risiko pasar” AR Bank Agroniaga, 2009: 73. Risk disclosure dalam penelitian ini diperoleh dari skor total pengungkapan
yang dilakukan oleh perusahaan dibagi jumlah pengungkapan yang diwajibkan seperti yang sudah disebutkan dalam bab III. Risiko yang wajib diungkapkan
tersebut meliputi: 1 Risiko kredit, 2 Risiko pasar yang dibagi menjadi risiko suku bunga dan risiko nilai tukar, 3 Risiko likuiditas, 4 Risiko operasional, 5
Risiko hukum, 6 Risiko reputasi, 7 Risiko strategi, dan 8 Risiko kepatuhan PBI Nomor: 58PBI2003.
commit to user
49
49 Tabel 4.3
Tingkat Pengungkapan Risiko
Jenis Risiko Perbankan yang
mengungkapkan
Risiko Kepatuhan 93,00
Risiko Kredit 82,00
Risiko Operasional 80,00
Risiko Likuiditas 58,00
Risiko Strategi 41,00
Risiko Hukum 33,00
Risiko Reputasi 28,00
Risiko Pasar-Suku Bunga 25,00
Risiko Pasar-Nilai Tukar 14,00
Tabel 4.3 di atas menunjukkan tingkat pengungkapan risiko untuk masing- masing jenis risiko pada perbankan di Indonesia. Dari semua tipe risiko yang
diungkapkan, risiko kepatuhan menempati posisi tertinggi dengan tingkat pengungkapan risiko sebesar 93,00. Risiko kepatuhan adalah risiko terkait
dengan kepatuhan perusahaan dalam menerapkan Undang-Undang. Tingkat pengungkapan risiko yang paling rendah adalah pengungkapan risiko pasar-nilai
tukar, dengan tingkat pengungkapan sebesar 14,00. Integrasi antara pengungkapan risiko pasar-suku bunga dengan risiko pasar-nilai tukar
mengakibatkan pengungkapan ini pada nilai yang rendah. Perbankan yang belum memisahkan kedua pengungkapan risiko ini dianggap belum mengungkapkan
risiko terkait masing-masing risiko ini. Belum adanya tingkat pengungkapan risiko dengan nilai 100,00 fully
comply menunjukkan pengungkapan risiko pada perbankan di Indonesia belum memadai dan belum sesuai dengan yang disyaratkan, mengingat pengungkapan
commit to user
50
50 risiko adalah salah satu mandatory disclosure. Kurangnya pengungkapan risiko
pada perbankan dikhawatirkan dapat memicu terjadinya bank fraud dan kejahatan perbankan lainnya, seperti yang sudah pernah terjadi di Indonesia. Contoh
kejahatan perbankan seperti manipulasi letter of credit pada Bank BNI tahun 2006, penggelapan dana nasabah oleh teller atau oleh pimpinan kantor cabang,
kredit fiktif, dan pembobolan dana melalui anjungan tunai mandiri ATM, seperti yang terjadi di Bank BCA pada tahun 2010
http:grundelanbankcentury.wordpress.com , 2010.
Pengungkapan risiko pasar-nilai tukar dan risiko pasar-suku bunga menempati posisi terbawah dalam jumlah item yang diungkapkan. Hal ini terjadi
karena banyak perusahaan yang tidak memisahkan antara kedua pengungkapan risiko ini, sebagian besar dari mereka mengungkapkan secara general pada bagian
pengungkapan risiko pasar. Hal tersebut kurang sesuai dengan PSAK No. 50 Revisi 2006 yang sudah mengharuskan pemisahan antara risiko pasar-suku
bunga dengan risiko pasar-nilai tukar. Pengungkapan risiko untuk kedua risiko ini dinilai kurang. Pengungkapan yang masih tergolong rendah lainnya adalah
pengungkapan risiko hukum, reputasi, dan strategi. Hal ini terjadi karena pengungkapan atas ketiga risiko tersebut adalah pengungkapan yang diwajibkan
paling akhir dibandingkan dengan pengungkapan risiko dari kelima risiko lainnya. Salah satu aspek kebijakan dalam risiko hukum adalah adanya satuan
kerjabagian hukum Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.521DPNP2003. Pada kasus Bank Century yang mencuat pada tahun 2008,
terjadi kredit bermasalah yang lebih dikenal dengan istilah “kredit komando”.
commit to user
51
51 Istilah “kredit komando” diberikan karena kredit bisa cair tanpa melalui prosedur
yang seharusnya http:nasional.kompas.com
, 2011. Kredit seharusnya baru bisa cair setelah ditandatangani oleh Kepala Divisi Corporate Legal, tetapi pada kasus
Bank Century, divisi corporate legal seolah dilangkahi otoritasnya oleh petinggi Bank Century saat itu, Robert Tantular. Permasalahan tersebut meluas dan
melibatkan banyak pihak, seperti KPK, POLRI, DPR, dan Komite Kebijakan Sektor Keuangan KSSK yang terdiri dari Bank Indonesia, Lembaga Penjamin
Simpanan LPS, dan Menteri Keuangan http:karodalnet.blogspot.com
, 2009. Kasus tersebut adalah salah satu contoh gagalnya divisi corporate legal dalam
mengendalikan dan memitigasi risiko hukum. Tabel 4.4
Statistik Deskriptif Variabel Independen
Variabel Mean Min
Max St.
Deviasi
BSIZE 5,00 1,00
8,00 1,802
PRODKI 58,59 20,00
100,00 0,136
LBPDK 72,80
25,00 100,00
0,228 Leverage
8,26 -31,53
16,86 6,002
Profitabilitas ROE 6,53
-167,51 46,65
25,082
Berdasarkan data di atas, rerata jumlah dewan komisaris adalah lima orang. Abeysekera 2008 mengungkapkan bahwa jumlah dewan komisaris dinilai efektif
berada pada rentang lebih dari 5 lima orang dan kurang dari 14 orang. Jumlah dewan komisaris paling sedikit dimiliki oleh Bank Kesawan, Bank Century, dan
Bank UOB Buana. Pada tahun 2007, ketiga bank tersebut hanya memiliki dewan komisaris sebanyak 1 satu orang. Ketiga bank tersebut dianggap tidak memenuhi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
commit to user
52
52 Terbatas, Pasal 108 yang menyebutkan bahwa perusahaan go public wajib
memiliki paling sedikit 2 dua orang anggota dewan komisaris. Ada beberapa perusahaan yang memiliki jumlah dewan komisaris yang paling besar, sebanyak 8
orang. Ada 2 perusahaan yang selama 3 tahun berturur-turut memiliki 8 orang anggota dewan komisaris, yaitu Bank OCBC NISP dan Bank Permata. Bank
Internasional Indonesia hanya pada tahun 2007 saja dan Bank Danamon pada tahun 2008 dan 2009.
Pada tahun 1997, terjadi likuidasi yang menimpa 16 bank swasta nasional di Indonesia yang menyebabkan menurunnya kinerja perbankan. Salah satu faktor
yang mengakibatkan kinerja perbankan menurun serta banyaknya bank yang dikategorikan sakit adalah adanya deregulasi perbankan Pakto 88 yang
memberikan kemudahan kepada swasta untuk mendirikan bank. Paket Oktober 1988 menyebabkan pertumbuhan bank di Indonesia, dengan modal Rp 10 milyar
seseorang sudah bisa mendirikan bank sekaligus menjadi pemilik dan direkturnya, tetapi pendirian bank ini tidak diimbangi dengan kualitas dan kemampuan bank
dalam menjalankan usahanya Nabila, 2006. Kebijakan ini pada akhirnya membawa dampak pada struktur industri perbankan Indonesia dengan intensitas
kompetisi yang tinggi dan berpengaruh buruk pada tingkat efisiensi dan kesehatan perbankan dalam jangka panjang Nabila, 2006.
Pemerintah melikuidasi 16 bank swasta nasional akibat besarnya kesulitan likuiditas perbankan sehingga menimbulkan krisis pada perbankan nasional
Nabila, 2006. Munculnya bank yang tidak sehat yang akhirnya dilikuidasi salah satunya disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan perbankan, terutama
commit to user
53
53 dalam penyaluran kredit. Para pemilik atau pengelola bank menyalurkan kredit ke
grup perusahaannya sendiri melebihi batas ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia sehingga banyak terjadi kasus kredit macet Nabila, 2006. Peristiwa ini
sama seperti kasus yang menimpa bank Summa pada tahun 1992. Faktor lemahnya sistem pengawasan perbankan tersebut diduga menjadi
salah satu faktor yang mendasari PBI Nomor: 814PBI2006 yang menetapkan bahwa proporsi komisaris independen sekurang-kurangnya berjumlah 50,00 dari
jumlah anggota dewan komisaris. Komisaris independen diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengawasan karena komisaris independen adalah pihak
yang tidak terafiliasi dengan manajemen. Rerata proporsi dewan komisaris independen adalah 58,59. Berdasarkan
peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam pada tanggal 1 Juli tahun 2000, yang menyatakan bahwa proporsi dewan komisaris independen adalah 30,00 dari
total anggota dewan komisaris, maka proporsi dewan komisaris independen ini sudah baik. Komisaris independen mempunyai peranan penting dalam
pengungkapan manajemen risko pada annual report. Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa semua perusahaan sudah memenuhi persyaratan jumlah
minimal komisaris independen yang ditetapkan oleh Bapepam, kecuali Bank UOB Buana.
Proporsi komisaris independen pada Bank UOB Buana hanya 20,00, yang mengindikasikan bahwa perusahaan ini tidak memenuhi peraturan Bapepam. Pada
tahun 2008, Bank UOB Buana menyatakan delisting atas sahamnya di Bursa Efek Indonesia dan pada tahun 2010 Bank Indonesia menyetujui merger yang
commit to user
54
54 dilakukan antara Bank UOB Buana dan Bank UOB Indonesia. Ada dua
perusahaan yang proporsi komisaris independennya paling besar, sebanyak 100,00 yaitu Bank Kesawan di tahun 2007 dan 2009 dan Bank Century pada
tahun 2008. Hal tersebut terjadi karena baik Bank Century maupun Bank Kesawan memiliki jumlah komisaris independen sama dengan jumlah anggota
dewan komisarisnya. Bank Century dan Bank Kesawan 2007 hanya memiliki satu anggota dewan komisaris dan Bank Kesawan pada tahun 2008 memiliki dua
anggota dewan komisaris dan keduanya juga merupakan komisaris independen. Rerata proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris adalah 72,80.
Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anggota dewan komisaris pernah menempuh pendidikan formal di bidang ekonomibisnis. Banyak dari
mereka bahkan menempuh studinya hingga master ataupun doktor. Hal tersebut menunjukkan bahwa dewan komisaris memiliki level pendidikan yang tinggi.
Latar belakang pendidikan yang dimiliki dewan komisaris menunjukkan luasnya pengetahuan yang dimiliki yang juga dapat mempengaruhi kemampuan mereka
dalam melakukan analisis masalah yang ada. Dari seluruh jumlah anggota dewan komisaris pada semua sampel perbankan, anggota dewan komisaris yang berasal
dari ekonomibisnis terlihat mendominasi. Untuk data mengenai jumlah anggota dewan komisaris yang berlatar pendidikan ekonomibisnis dan non
ekonomibisnis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.5
Latar Belakang Pendidikan Dewan Komisaris
Tahun Jumlah Anggota
Dewan Komisaris EkonomiBisnis
Non EkonomiBisnis
2007 111 76 35
commit to user
55
55 2008 115
82 33 2009 108
82 26 Sementara itu, dari sisi leverage dapat dilihat bahwa perbankan di Indonesia
memiliki rerata leverage sebesar 8,26. Hal ini mengindikasikan bahwa sekitar 8,26 investasi perusahaan dibiayai oleh utang. Pada penelitian ini tingkat
leverage terendah sebesar -31,53 dimiliki oleh Bank Pundi Indonesia di tahun 2009, sementara tingkat leverage tertinggi sebesar 16,86 dimiliki oleh Bank
Artha Graha Internasional di tahun 2007. Menurut Hertanti 2005, pada perekonomian yang membaik, perusahaan dengan leverage yang tinggi lebih
banyak mempunyai kesempatan untuk memperoleh laba yang tinggi. Pada kondisi seperti ini perusahaan menyediakan informasi yang lebih komprehensif termasuk
yang berkaitan dengan risiko dalam annual report-nya untuk menarik investor dan penabung.
Contoh kasus kurangnya transparansi perbankan di masa lalu adalah kasus yang menimpa Bank Summa pada tahun 1992 yang dilikuidasi karena terlibat
kredit macet. Pendiri Bank Summa, Edward Suryadjaya salah mengambil keputusan dalam membiayai kredit grup perusahaannya sendiri. Bank Summa
mengalami musibah karena kreditnya yang sebagian besar disalurkan kepada grup perusahaan sendiri Summa Grup ternyata macet, karena proyek-proyek yang
dibiayainya gagal http:businessknowledges.blogspot.com, 2009. Untuk ukuran profitabilitas, penelitian ini menggunakan return on equity
ROE sebagai proksinya. Rerata profitabilitas perusahaan sampel pada penelitian ini sebesar 6,53. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan dari modal
perusahaan untuk menghasilkan laba bagi pemegang saham sebesar 6,53.
commit to user
56
56 Profitabilitas tertinggi sebesar 46,65 diperoleh Bank Century, sedangkan untuk
profitabilitas terendah didapat oleh Bank Pundi Indonesia sebesar -167,51. Pada tahun 1997, terdapat 16 bank swasta nasional yang dilikuidasi oleh
pemerintah. Kesulitan likuiditas yang dialami 16 bank tersebut menyebabkan kinerja perbankan di Indonesia menurun. Dari 16 bank yang dilikuidasi tersebut,
diketahui bahwa ROE bank yang tidak dilikuidasi lebih baik daripada bank dilikuidasi sebesar 1,95 kali Nabila, 2006. Semakin besar variabel return on
equity ROE maka kemungkinan bank dilikuidasi semakin kecil. Pada tahun 2010, performa perbankan di Indonesia tergolong terbaik di
Asean, terutama dari sisi profitabilitas dan pertumbuhan laba http:bataviase.co.id
, 2010. Tingkat profitabilitas perbankan Indonesia lebih baik dari rerata profitabilitas bank di tingkat regional dan kinerjanya tercatat stabil
pada 2008 dan 2009 http:beritasore.com
, 2009. Tabel 4.6
Latar Belakang Etnis Komisaris Utama
Tahun Indonesia Tionghoa Lainnya
2007 13 5
6 2008 15
6 4
2009 14 4
6 Total 42
15 16
Karakteristik personal komisaris utama yang berasal dari berbagai macam etnis menjadikan masing-masing komisaris utama memiliki sifat dan cara yang
berbeda dalam menjalankan perusahaan. Berdasarkan tabel 4.6 di atas, sebagian besar komisaris utama perbankan di Indonesia berasal dari kaum pribumi atau
commit to user
57
57 orang Indonesia sendiri. Komisaris utama yang berasal dari Indonesia tetap
mendominasi setiap tahunnya. Posisi kedua dan ketiga diisi secara proporsional dari kalangan etnis Tionghoa dan etnis lainnya, seperti etnis yang berasal dari
Amerika, Eropa, India, Malaysia, dan Jepang. Berdasarkan hasil statistik deskriptif dan penjelasan di atas maka dapat
diketahui bahwa rerata tingkat risk disclosure sebesar 42,12; rerata jumlah anggota dewan komisari adalah 5 orang; rerata proporsi komisaris independen
sebesar 59,20; rerata proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris sebesar 72,89; rerata leverage sebesar 8,26; rerata profitabilitas sebesar
6,53; latar belakang pendidikan dewan komisaris yang paling mendominasi adalah yang berasal dari pendidikan ekonomi dan bisnis; dan latar belakang etnis
yang paling mendominasi adalah dari kalangan pribumiIndonesia.
B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan