1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Selain memiliki kebudayaan yang begitu beragam, Jepang juga memiliki perindustrian yang maju dan ekonomi yang kuat. Tidak banyak negara maju yang
mampu mempertahankan kebudayaannya hingga dikenal diseluruh dunia namun diimbangi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang merupakan
salah satu dari negara-negara Asia yang mampu bersaing dengan negara-negara barat saat ini, Jepang yang awalnya mencontoh dari negara-negara barat terutama
Amerika dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat ini mampu mengimbangi negara-negara tersebut bahkan mengunggulinya.
Kemajuan Jepang dalam berbagai bidang telah dimulai sejak pemerintahan Meiji yang menganjurkan industrialisasi dan peningkatan produksi, kemakmuran
nasional, dan kekuatan militer, akibatnya ekonomi kapitalis Jepang mulai tumbuh pesat. Setelah Perang Dunia II kemakmuran Jepang juga dikarenakan adanya
perjanjian keamanan dengan Amerika Serikat yang menekankan kemajuan ekonomi dan politik yang berorientasi pada perdagangan dan pendidikan, hal itu
membantu memulihkan kondisi rakyat yang menderita trauma dan peperangan. Pencapaian Jepang hingga sekarang tidak terlepas dari semangat kerja orang
Jepang yang sangat tinggi serta budaya kelompok yang kuat. Setiap pekerjaan yang mereka lakukan merupakan pekerjaan untuk kepentingan bersama. Mereka
bekerja keras untuk menunjukkan keberhasilan pekerjaan yang dilakukannya juga
Universitas Sumatera Utara
2
rela dan loyal melakukan pekerjaan yang menjadi kewajibannya demi kepentingan keluarga dan negara walaupun pekerjaan itu berat. Sikap loyal diperlukan dalam
usaha memenuhi kebutuhan hidup didalam masyarakat. Semangat kerja mayarakat Jepang ini dapat dilihat disiaran televisi, koran, ataupun majalah Jepang yang
sering memberitakan tentang orang meninggal karena kelelahan dalam bekerja, fenomena ini disebut dengan istilah karoshi Skripsi Lastri Pebriyanti Situmorang:
2008. Ini merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Jepang, bahkan mereka lebih mementingkan pekerjaannya daripada kehidupan sosialnya.
Statistik tahun 2013 menunjukkan rata-rata setiap tahunnya pekerja Jepang
bekerja sekitar 1.765 jam yang merupakan salah satu jam kerja tertinggi di dunia
dan para pekerja Jepang lebih sering merelakan hari liburnya untuk bekerja. Para pekerja di Jepang secara tradisional maupun struktural didorong untuk
meningkatkan pendapatan dengan bekerja lembur. Perusahaan tidak memaksa pegawai bekerja lebih panjang, akan tetapi pegawai secara sukarela melakukannya
demi prestasi. Mereka secara sukarela harus bekerja lebih lama, baik untuk prestasi atau meraih pendapatan lebih tinggi karena dalam budaya kerja
masyarakat Jepang kenaikan pangkat dinilai berdasarkan prestasi kerja. Orang-orang yang hidupnya tergantung gaji ini dikenal dengan istilah
Salaryman. Mereka adalah kaum pekerja kelas menengah kebawah yang hidupnya serba pas-pasan. Para salaryman ini seluruh hidupnya berkutat disekitar pekerjaan
dikantor dan bekerja lembur setiap hari. Jenis pekerjaan yang termasuk kedalam Salaryman adalah pegawai Bank, asuransi, perusahaan pelayanan, pegawai
perusahaan listrik dan gas, pegawai perkapalan, pegawai kontruksi, dan lain sebagainya. Sikap masyarakat Jepang yang seperti ini tidak terlepas dari tingginya
Universitas Sumatera Utara
3
biaya hidup yang harus dipenuhi. Hal ini menyebabkan para pekerja tidak memiliki kehidupan sosial diluar kehidupan kantornya karena mereka hanya
berteman dan bergaul dengan orang-orang ditempat kerjanya. Mereka tidak mengenal orang-orang dilingkungan sekitarnya sehingga ketika mereka telah
pensiun dan berpisah dari teman-teman kantornya mereka tidak memiliki teman untuk berbagi bahkan dengan keluarga sendiripun tidak memiliki ikatan
kekeluargaan yang kuat, yang lebih mengkhawatirkan adalah mereka bahkan tidak memiliki keluarga karena tidak pernah menikah. Kondisi seperti ini disebut
dengan istilah Muen shakai yaitu seseorang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Kondisi masyarakat yang seperti ini pada akhirnya menimbulkan
berbagai masalah sosial dalam masyarakatnya. Salah satu masalah sosial yang sedang dihadapi Jepang saat ini adalah
kodokushi. Jika dilihat dari kanjinya yaitu kodoku孤独 yang berarti kesepian dan shi死 yang berarti kematian, maka kodokushi dapat diartikan mati kesepian atau
mati dalam kesendirian. Kodokushi merupakan masalah sosial yang saat ini sedang dihadapi kaum lansia Jepang, suatu kondisi dimana orang tua yang hidup
sendiri, di apartemen ataupun di rumah mereka, meninggal tanpa ada keluarga yang merawatnya. Hal ini dikarenakan adalah berubahnya sistem masyarakat di
Jepang yang disebabkan beralihnya masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Pola keluarga Jepang yang awalnya berbentuk Ie dimana dalam satu
rumah tangga dapat hidup dua sampai tiga generasi berubah menjadi kaku kazoku atau keluarga inti yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum
menikah. Hal ini dimaklumi mengingat biaya hidup yang semakin lama semakin mahal membuat tradisi keluarga besar yang hidup bersama semakin pudar.
Universitas Sumatera Utara
4
Akibatnya banyak orangtua yang tidak lagi tinggal bersama anak atau cucunya kemudian menyebabkan banyak orang tua tinggal sendiri atau di panti jompo dan
kemudian meninggal. Fenomena kodokushi ini merupakan dampak dari peningkatan jumlah lansia di Jepang dimana saat ini pertumbuhan kaum lansia
meningkat sedangkan penduduk usia muda semakin menurun atau biasa disebut shoushi koreika. Penyebab menurunnya jumlah penduduk usia muda dikarenakan
kaum wanita Jepang saat ini merasa kesulitan untuk memilih antara kodratnya sebagai ibu rumah tangga yang harus mendidik anak atau berkarir. Banyak dari
mereka lebih memilih bekerja sehingga mereka tidak mau melahirkan anak bahkan semakin banyak kaum wanita yang tidak mau menikah. Ini menyebabkan
angka kelahiran di Jepang saat ini adalah yang terendah di dunia yaitu sekitar 1,3 per pasangan sedangkan angka lansia mencapai 23,3 pada 2011 dan diprediksi
akan mencapai 38,5 pada 2050. Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan kaum lansia yang hidup tanpa keluarga dan hubungan sosial yang baik dengan
sekitarnya. Pada dasarnya peningkatan usia hidup disatu sisi menunjukkan hal yang positif karena hal ini berarti meningkatnya sistem kesehatan dan pola hidup
yang baik, akan tetapi dalam perkembangannya hal ini menimbulkan masalah yaitu tentang penanganan lansia. Para lansia tidak mendapatkan kualitas
pemeliharaan yang memadai akibat keterbatasan tenaga muda yang produktif. Fenomena kodokushi adalah fenomena sosial yang muncul ke permukaan di
Jepang pasca gempa bumi Kobe tahun 1995. Kasus ini mencuat pasca ditemukannya 207 lansia yang meninggal di rumah penampungan sementara
Themporary Shelter Housing. Mereka adalah para lansia yang menjadi korban gempa dan tidak memiliki sanak keluarga. Kondisi ini menyebabkan mayoritas
Universitas Sumatera Utara
5
dari mereka mengalami deperesi akibat kesepian, banyak diantaranya yang akhirnya mengalami ketergantungan alkohol. Sebagian lagi ditemukan karena
kelaparan, kekurangan gizi, atau sakit lever. Mayoritas adalah pria berusia 55 tahun-an. Jumlahnya hampir dua kali lipat wanita yang rata-rata berusia 70 tahun-
an. Kasus-kasus kodokushi lainnya banyak dialami oleh para pekerja yang
memasuki usia pensiun dimana sebagian besar masyarakatnya, terutama kaum pria, memiliki fokus yang lebih besar terhadap pekerjaannya sehingga mereka
akan merasa diasingkan apabila mereka telah pensiun atau kehilangan pekerjaan. Pada lansia berumur 70-80 tahunan sering muncul perasaan tidak puas terhadap
kaum muda yang dianggap tidak mampu merawat mereka dan mereka beranggapan bahwa keberhasilan Jepang menjadi negara maju yang membuat para
generasi muda hidup nyaman adalah berkat jasa mereka. Hal ini diperparah karena adanya budaya malu dalam masyarakat Jepang dan kebiasaan tidak ingin
mencampuri masalah orang lain sehingga ketika seseorang dalam kesulitan mereka tidak mau meminta bantuan orang lain meski itu keluarganya sendiri, bagi
mereka lebih baik bertahan dalam penderitaan daripada harus meminta bantuan orang lain. Karenanya masyarakat Jepang cenderung individualis dan merasa
hidup nyaman tanpa harus berinteraksi dengan banyak orang. Gaya hidup masyarakat Jepang yang cenderung individualis ini pada akhirnya membawa
dampak negatif karena ketika mereka meninggal tidak ada yang mengurus jasad mereka. Namun disisi lain hal ini melahirkan perusahaan-perusahaan yang
menangani urusan kematian, mulai dari pemindahan barang-barang orang yang sudah meninggal, upacara kematian, hingga pemakaman.
Universitas Sumatera Utara
6
Menurut Soekanto dalam sosiologi suatu pengantar, sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu menjadi satu
dengan manusia lain disekelilingnya serta menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya 1990: 124. Proses ini bisa disebut sosialisasi sehingga ketika
kehilangan agen sosialisasi untuk sebagian besar manusia ini membuat mereka merasa terisolasi dari lingkungannya dan kehilangan masa depannya. Hal inilah
yang dirasakan oleh sebagian besar kaum lansia Jepang sekarang ini, ditambah tidak adanya lagi sistem keluarga besar dimana dalam satu keluarga dapat hidup
dua sampai tiga generasi yang memungkinkan kaum lansia dapat terus bersosialisasi.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis merasa penting untuk membahas dan menganalisis tentang sejarah dan pekembangan kodokushi
yang berdampak pada kehidupan sosial masyarakat Jepang. Hal ini akan penulis bahas melalui skripsi yang berjudul
“
Fenomena Kodokushi di Jepang
Dewasa Ini . “
1.2. PERUMUSAN MASALAH