Penyebab Terjadinya Kodokushi TINJAUAN UMUM TERHADAP KODOKUSHI

22

2.2. Penyebab Terjadinya Kodokushi

Peningkatan jumlah lansia di Jepang dari tahun ke tahun menyebabkan makin meningkatnya kasus kodokushi yang terjadi. Adapun fenomena kodokushi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Hidup sendiri tanpa keluarga

Fenomena kodokushi turut dipicu oleh berubahnya struktur keluarga yaitu dari sistem ie berubah menjadi kaku kazoku keluarga inti. Perubahan ini disebabkan oleh industrialisasi yang mendorong kaum muda di Jepang melakukan urbanisasi dan beralih pekerjaan dari sektor agraris ke sektor industri. Pada masa sebelum perang ie menjamin kehidupan para lansia karena harta warisan yang ada tidak dibagi-bagi, melainkan diwariskan kepada anak tertua dengan syarat pewaris akan menjaga dan merawat orangtuanya dimasa tua mereka Fukutake, 1988: 45-46. Namun berubahnya sistem keluarga menjadi keluarga inti kaku kazoku menyebabkan banyak lansia yang harus hidup terpisah dari anak dan cucu mereka. Alasannya sebagian besar anak-anak tinggal dan menetap di kota atau tempat lain karena penempatan kerja. Selain itu pasangan suami-istri yang baru saja menikah lebih suka hidup terpisah dari orang tua mereka. Keluarga kelas atas, meskipun mempunyai ruangan di rumah lama bagi pengantin baru, lebih suka membangun rumah baru bagi mereka. Sedangkan pasangan dari kelas menengah bawah yang baru menikah biasanya tidak mempunyai dana untuk menjamin kemandirian mereka dan kerap kali mereka hidup terpisah dari orang tua mereka dalam kamar sewaan dengan bantuan dari orang tua Fukutake, 1988: 45. Okamoto mengatakan bahwa orang tua yang terbiasa hidup dalam keluarga besar menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari, Universitas Sumatera Utara 23 kesehatan yang buruk, kesepian, dan bunuh diri. Sebenarnya antrian untuk masuk rumah jompo memang tinggi namun masih banyak yang memilih untuk hidup sendiri, mereka ingin mempertahankan sosialisasi dalam komunitas yang mereka kenal. Alasan lain mereka hidup sendiri karena mereka tidak pernah menikah sebelumnya sehingga tidak ada keluarga yang mengurus mereka ketika tua.

2. melemahnya interaksi sosial fureai

Masyarakat Jepang saat ini menghabiskan seluruh waktunya ditempat kerja menyebabkan mereka apatis terhadap orang-orang dilingkungan tempat tinggalnya. Kesibukan tersebut akhirnya menyebabkan para tetangga yang rumahnya berdekatan tidak lagi sering saling menyapa sehingga ketika di tempat mereka tinggal ada orang tua, yang rentan terhadap penyakit dan tentunya kecelakaan didalam maupun diluar rumah, luput dari perhatian dan tidak menyadarinya. Selain itu sifat masyarakat Jepang yang cenderung tertutup menyebabkan mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain dan sebaliknya tidak ingin urusannya dicampuri. Menurut sebuah survei yang dikutip penyiaran TBS menyatakan 70 persen penduduk Jepang tidak menginginkan tetangga untuk masuk dalam kehidupan mereka. Ini mengindikasikan meskipun terjadi interaksi antar tetangga hanya berupa ucapan salam dan obrolan ringan saja. Akibatnya banyak orang yang memilih meninggal sendirian di apartemen atau rumah mereka karena tidak lagi memiliki keinginan untuk berkomunikasi dan bersosialisasi, mereka merasa tersisihkan dari lingkungan sekitarnya. Berdasarkan survei nilai dunia yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development OECD yang meminta para responden memberitahu tentang kontak sosial mereka didapati bahwa Jepang merupakan Universitas Sumatera Utara 24 salah satu negara paling kesepian di dunia. Orang Jepang tampaknya memiliki paling sedikit kontak sosial dengan teman-teman, rekan kerja, dan kenalannya. Tidak heran keadaan ini menyebabkan para lansia merasa kesepian. Kata-kata seperti masyarakat, relawan, kodokushi, mengembangkan tsunagari hubungan, seikatsu fukko rekonstruksi kehidupan, fureai interaksi sosial, dan yang berkaitan dengan kepedulian sosial menjadi kosa kata yang umum untuk dibahas baik oleh media maupun pidato pemerintah setempat.

3. kondisi ekonomi

Jepang merupakan negara dengan tingkat perekonomian terbesar ketiga di dunia. Jepang telah mengambil berbagai langkah untuk memacu pertumbuhan perekonomiannya hingga menjadi salah satu negara dengan pereokonomian terbesar di dunia setelah bertahun-tahun mengalami stagnansi, namun tingkat kemiskinan meningkat 15,7 persen ditahun 2007. Satu dari enam penduduk Jepang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut OECD mereka yang masuk kategori miskin adalah mereka yang berpenghasilan setengah dari penghasilan rata-rata pendudk Jepang, yaitu sekitar Rp 79 juta per tahun. Angka ini termasuk besar jika dilihat dari kacamata orang Indonesia namun di Jepang hanya untuk membayar sewa rumah sudah menghabiskan setengah dari gaji yang didapat. Ini belum termasuk biaya makan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Maka jumlah ini tidak mencukupi. Menurut kementrian kesehatan, ketenagakerjaan, dan kesejahteraan, sejak tahun 2000 lebih dari 700 orang meninggal karena kelaparan. Masalah ekonomi ini juga menjadi masalah yang sangat mengkhawatirkan bagi penduduk lansia yang hidupnya hanya tergantung pada uang pensiun. Kaum lansia Jepang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memenuhi Universitas Sumatera Utara 25 kebutuhan hidupnya. Hal ini terbukti dari banyaknya laporan yang menyatakan bahwa lansia yang meninggal dunia tidak mampu mebayar tagihan listrik dan gas, sewa rumah, bahkan banyak dari mereka yang meninggal karena kelaparan sehingga terserang berbagai penyakit.

4. Rendahnya angka kelahiran

Rendahnya angka kelahiran turut pula memperparah keadaan para lansia. Kementrian komunikasi dan urusan dalam negeri Jepang memprediksi di Tokyo saja jumlah anak dibawah 15 tahun menurun 160 ribu orang dibandingkan tahun 2013. Itu adalah penurunan tertinggi sejak pemerintah setempat memulai sensus tahunan pada 1950. Jumlah anak-anak saat ini hanya 12,8 dari populasi Jepang. Jika dibandingkan negara lain yang berpenduduk diatas empat puluh juta, Jepang memiliki rasio jumlah anak-anak terendah. http:internasional.kompas.comread201401030837105Penurunan.Populasi.C atat.Rekor.Tertinggi.di.Jepang. Menurunnya populasi di Jepang berarti berkurangnya tenaga kerja produktif untuk merawat lansia dan menurunnya pajak penghasilan yang didapat untuk membiayai lansia. Akibat jumlah lansia yang meningkat setiap tahunnya berarti memerlukan tenaga medis dan perawat yang lebih banyak sedangkan populasi penduduk muda Jepang terus menurun pada tahap yang mengkhawatirkan. Diperkirakan ada beberapa penyebab rendahnya angka kelahiran, antara lain: 1. Tidak ingin memiliki anak karena biaya pendidikan anak yang sangat mahal. 2. Tidak ingin memiliki anak karena ketika mempunyai anak seorang wanita harus menghentikan karirnya keluar dari pekerjaan dan harus Universitas Sumatera Utara 26 menghabiskan banyak waktu untuk merawat anak, di Jepang tidak ada asisten rumah tangga. 3. Tidak ada kewajiban merawat orang tua, apalagi jika punya anak perempuan yang marga-nya berubah ketika telah menikah. 4. Meski punya anak tidak ada jaminan akan dirawat dihari tua karena tempat tinggal yang terpisah bahkan jauh. Di hari tua pun mereka tetap tinggal sendiri, apalagi jika pasangannya telah meninggal. http:majalah1000guru.net201102lansia-di-jepang Saat ini di Jepang juga muncul istilah “anak kunci”, yaitu suatu kondisi dimana ketika seorang anak pulang ke rumah mereka mendapati rumah itu kosong sehingga mereka harus membawa kunci rumah atau apartemen Fukutake, 1988: 45. Baik suami maupun istri terus bekerja untuk meningkatkan taraf hidup mereka agar bisa meninggalkan perumahan umum dan memasuki rumah milik sendiri sehingga mengakibatkan pembatasan jumlah anak yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Berkurangnya angka kelahiran ini terkait dengan peningkatan jumlah wanita yang ikut berpartisipasi dalam angkatan kerja dan banyaknya jumlah wanita yang baru melahirkan anak pertama mereka pada usia tua. Beberapa kritikus menafsirkan bahwa merosotnya angka kesuburan merupakan pembalasan kaum wanita Jepang yang menentang sistem sosial patriarkal dan dominasi kaum pria, serta institusi-institusi terkait. Akibat dari penurunan jumlah kaum muda ini mengindikasikan di masa yang akan datang jumlah perawat lansia akan semakin berkurang. Masalah lain yang menyebabkan kurangnya tenaga perawat adalah perawat untuk usia lanjut di Universitas Sumatera Utara 27 Jepang kebanyakan bekerja dimalam hari seperti memandikan pasien. Orang yang berhenti dari perawat orang jompo biasanya disebabkan depresi, sakit pinggang, dan lain-lain. Mereka merasa tidak sanggup lagi bekerja. Yang lebih fatal lagi, menjadi perawat jompo menyebabkan meningkatnya presentase perceraian di Jepang. Penurunan angka kelahiran membawa dampak negatif bagi negara maju dan harus mendapat perhatian khusus. Kementrian menyatakan secara resmi bahwa ancaman berkurangnya penduduk produktif semakin nyata. Sebuah penelitian pada 2012 memprediksi bahwa Jepang akan punah seribu tahun lagi. Sebab, rendahnya tingkat kelahiran membuat jumlah anak-anak menurun seorang setiap seratus detik. Hiroshi Yoshida, Profesor Ekonomi di Universitas Tohoku menyatakan jika penurunan rasio ini berlanjut, kami akan merayakan Hari Anak 5 Mei pada 3011 tanpa ada anak-anak di Jepang.

5. Budaya malu

Jepang merupakan negara yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi budaya malu. Terdapat beberapa hal yang mendasari sikap orang Jepang dalam bertindak, yaitu bertindak dengan menghindari “rasa malu” karena rasa malu merupakan sanksi yang utama dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu sebelum sanksi masyarakat itu jatuh pada dirinya, mereka bertindak seolah-olah mengungkapkan pengakuan dirinya dengan sikap rasa bersalah. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dibayangkan seolah-olah dia sedang diperolok-olok oleh orang lain, sedangkan rasa bersalah merupakan bagian dari tata karma dalam bertindak. Bersikap yang didasari atas rasa malu dan rasa bersalah ini sudah merupakan bagian sikap yang sudah melekat pada orang Jepang. Berdasarkan Universitas Sumatera Utara 28 kedua hal tersebut ini merupakan bagian dari tata krama dalam bertindak. Berdasarkan kedua hal ini Ruth Benedict mengatakan bahwa, budaya malu haji no bunka dan budaya rasa bersalah tsumi no bunka merupakan budaya yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Jepang. Untuk menghindari rasa malu, masyarakat Jepang dalam bersosialisasi berusaha menjaga hubungan dengan memegang prinsip “meiwakuni sarenaiyouni meiwakuwo shinai” yang artinya jangan mengusik orang, supaya tidak di usik. http:ameliaazzahra.weebly.com26post201206kajian-kebudayaan-orang- jepang-sekarang-sudah-berubah.html Rakyat Jepang mempunyai kecendrungan mendalam untuk menganggap bantuan keringanan penderitaan sebagai sesuatu yang memalukan; kemiskinan itu adalah sesuatu yang harus ditanggung oleh keluarga dan sanak saudara. Kemiskinan yang tidak dapat ditangani dengan cara ini dianggap sebagai suatu masalah orang-orang bernasib malang dan harus ditangani melalui kegiatan- kegiatan karitatif. Orang-orang yang tidak mempunyai sanak saudara untuk membantu mereka hanya dipandang sebagai yang terendah diantara orang-orang yang malang nasibnya. Sama sekali tidak terdapat suatu sikap bahwa orang-orang itu mempunyai hak untuk memperoleh bantuan dari masyarakat melalui sistem kesejahteraan nasional Fukutake, 1988: 140. Karena sikap tersebut ketika para lansia mengalami kesulitan mereka tidak mau meminta bantuan kepada orang lain maupun memanfaatkan fasilitas yang diberikan pemerintah karena menganggap hal tersebut dianggap sesuatu yang memalukan. Universitas Sumatera Utara 29

6. Semakin meningkatnya jumlah wanita yang bekerja

Wanita dari dulu sampai sekarang merupakan perawat utama dalam keluarga. Menurut Spitze dan Logan dalam Suleeman 1999: 108, ada dua alasan kenapa lebih banyak wanita yang merawat orang tuanya dibandingkan pria. Pertama, baik pria maupun wanita percaya bahwa anak perempuan secara alamiah mempunyai sifat merawat sehingga tugas wanita berkisar dibidang perawatan dan pengasuhan. Sebelum menikah dia mengasuh adiknya, setelah menikah dia merawat anak, suami, dan orang tua mereka yang sudah lanjut usia. Kedua, wanita biasanya tidak mencari nafkah, atau kalaupun mencari nafkah, biasanya mereka bekerja paruh waktu part time sehingga mereka memiliki waktu lebih banyak untuk merawat orang tua mereka dibandingkan dengan pria. Namun saat ini sangat sulit bagi wanita yang juga mempunyai pekerjaan diluar rumah untuk dapat melaksanakan perannya dengan baik dalam hal merawat lansia, baik orang tuanya sendiri maupun mertua, yang berada dalam kondisi fisik yang lemah di rumah. Banyak dari wanita Jepang saat ini mengambil pekerjaan full time. Di kota padat seperti Tokyo dimana suami-istri benar-benar harus bekerja keras untuk membiayai hidup, bahkan untuk mempunyai anak saja tidak ada waktu, mengurus orang tua atau para lansia mereka adalah sebuah hal yang berat. Menurut survey tahun 1975 mengenai tenaga kerja, hampir separuh 47 dari karyawan wanita yang bekerja penuh dalam pekerjaan bukan pertanian dan bukan kehutanan adalah wanita-wanita yang telah menikah. Dan kira-kira seperempat dari jumlah wanita yang tidak bekerja menginginkan pekerjaan; 40 persen atau lebih dari mereka mengatakan “ini bukanlah karena kita mengalami kesulitan untuk mencari nafkah; saya hanya ingin mencari uang untuk biaya Universitas Sumatera Utara 30 pengeluaran tambahan bagi rumah tangga Fukutake, 1988: 48. Jumlah ini meningkat dari tahun ke tahun, Jeff Kingston menyatakan pada tahun 2010 sebanyak 55 pasangan suami-istri Jepang bekerja sehingga beban perempuan menjadi lebih berat. Bahkan karena kesibukan pekerjaan wanita Jepang saat ini banyak dari mereka lebih memilih karir daripada harus menikah. Karena tidak memiliki waktu mereka lebih memilih menitipkan orang tua mereka di panti jompo atau health care manula. Mereka berpendapat bahwa hal ini lebih baik daripada membiarkan orang tua mereka mati kesepian.

2.3. Perubahan Perilaku Sosial Masyarakat Jepang terhadap Lansia