Korupsi di Indonesia Karikatur Editorial Clekit Edisi 3 November 2009

86 cicak dan buaya. Tapi sebelumnya akan menjelaskan perkembangan korupsi di Indonesia.

4.4.1 Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Orde Lama Dasar Hukum: KUHP awal, UU 24 tahun 1960 Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali 87 Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap kabinet sebelumnya, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan- perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur. Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman,MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad diBandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad. 88 Orde Baru Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971 Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis. Reformasi Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001 Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi: 1. Tim Tastipikor Tindak Pidana Korupsi 2. KPK Komisi Pemberantasan Korupsi 3. Kepolisian 4. Kejaksaan 5. BPKP 6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa mis: ICW http:www.kpk.go.idmodulesnewsindex.php?storytopic=4 89 4.4.2 Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsidi Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Visi dan misi KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Visi Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi Misi - Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi - Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi http:www.kpk.go.idmoduleseditocontent.php?id=1 Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Orde Lama Kabinet Djuanda Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan 90 Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara Paran. Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Operasi Budhi Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagaiMenteri Koordinator Pertahanan dan KeamananKasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal denganOperasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi. Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara 91 kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya olehSoebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi Kontrar dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet. Orde Baru Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi TPK, yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib Opstib 92 dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru. Era Reformasi Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara KPKPN, KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TGPTPK melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis. 93 KPK dibawah Taufiequrachman Ruki 2003 – 2007 Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian Akpol 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator pemicu bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah good and clean governance pemerintahan baik dan bersih di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi. Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh island of integrity daerah contoh yang bebas korupsi. Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif pencegahan dan represif pengekangan ini dilakukan dengan memposisikan KPK sebagai katalisator trigger bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK Indeks Persepsi 94 Korupsi sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan 27, perpajakan 17, kepolisian 11, DPRD 10, kementeriandepartemen 9, bea dan cukai 7, BUMN 5, lembaga pendidikan 4, perijinan 3, dan pekerjaan umum 2. Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu Barometer Korupsi Global, menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup. Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 terkorup 10 di atas India 8,9, Vietnam 8,67, Filipina 8,33 danThailand 7,33. Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu corruption by needs korupsi karena kebutuhan, corruption by greeds korupsi karena keserakahan atau corruption by opportunities korupsi karena kesempatan. Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis. 95 Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK. http:www.kpk.go.idmodulescommissioners KPK dibawah Antasari Azhar 2007 – 2009 Antasari menghabiskan masa kecilnya di Belitung. Baru setelah menamatkan pendidikan SD-nya pada tahun 1965, dia melanjutkan pendidikan SMP dan SMA di Jakarta sampai lulus pada tahun 1971. Dia melanjutkan pendidikannya dengan masuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Jurusan Tata Negara dan menamatkannya pada tahun 1981. Pada saat kuliah Antasari sangat aktif berorganisasi. Ia menjadi Ketua Senat Mahasiswa dan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa. Bahkan dia dengan bangga mengakui bahwa dirinya adalah bekas demonstran pada tahun 1978. Selain pendidikan formal tersebut, selama dalam karir kejaksaannya, Antasari juga mengikuti sejumlah kursus di antaranya: Commercial Law di New South Wales University Sydney dan Investigation for environment law, EPA, Melbourne. Antasari memulai karirnya dengan bekerja di BPHN Departemen Kehakiman 1981-1985. Keinginannya menjadi seorang diplomat pun akhirnya berganti setelah dia diterima menjadi jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang dijalaninya dari tahun 1985 sampai 1989. Keinginannya untuk tidak pernah berhenti belajar membuat karirnya semakin meningkat. Tercatat setelah itu, dia menjadi Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang 1989-1992, Kasi Penyidikan Korupsi Kejaksaan Tinggi Lampung 1992-1994 96 dan kemudian Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Barat 1994-1996. Antasari mulai merasakan posisi puncak dengan menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Baturaja 1997-1999. Setelah itu ia mulai berkarir di jajaran Kejaksaan Agung. Tahun 1999, ia menjadi Kasubdit upaya hukum pidana khusus Kejaksaan Agung, Kasubdit Penyidikan Pidana khusus Kejaksaan Agung 1999-2000 dan terakhir Kepala bidang hubungan media massa Kejaksaan Agung 2000. Namun sebenarnya jabatannya saat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 2000-2007 yang membuat namanya pertama kali dikenal secara luas di publik. Pada saat itu dia gagal mengeksekusi Tommy Soeharto begitu putusan MA turun. Ketika eksekusi paksa hendak dilakukan setelah panggilan pada siang harinya tidak berhasil, Tommy sudah tidak ada lagi di Cendana. Kejadian tersebut memunculkan kesan di masyarakat kesan kalau Antasari sengaja mengulur-ulur waktu eksekusi. Kontroversi itu tidak menghalangi pengangkatannya menjadi Ketua KPK setelah berhasil mengungguli calon lainnya yaitu Chandra M. Hamzahdengan memperoleh 41 suara dalam pemungutan suara yang dilangsungkan Komisi III DPR. Kiprahnya sebagai Ketua KPK langsung mencuri perhatian setelah KPK mebuat gebrakan di antaranya menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitan penyuapan kasusBLBI Syamsul Nursalim. Kemudian juga penangkapan Al Amin Nur Nasution dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan. 97 Mengenai kasus pidana, Antasari diduga bekerja sama dengan pengusaha Sigid Haryo Wibisono untuk membunuh Nasrudin Zulkarnaen , direktur PT Rajawali Putra Banjaran dengan alasan yang belum jelas. Meski Antasari menolak semua tuduhan termasuk bahwa perselingkuhan menjadi motif utama pembunuhan itu dan mengaku tetap setia pada Ida Laksmiwati yang telah menjadi istrinya selama 26 tahun, tetapi statusnya sebagai tersangka membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009 memberhentikannya sementara dari jabatannya sebagai ketua KPK. Antasari pun bisa terancam hukuman mati jika benar-benar terbukti sebagai otak dari pembunuhan berencana ini. http:www.kpk.go.idmodulescommissioners

4.4.3 Konfrontasi Cicak dan Buaya

Dokumen yang terkait

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “PAPUA DALAM CINTA” (Studi Semiologi Pemaknaan Lirik Lagu “Papua Dalam Cinta” yang dipopulerkan oleh Pay feat. Soa Soa).

1 51 154

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “PAPUA DALAM CINTA” (Studi Semiologi Pemaknaan Lirik Lagu “Papua Dalam Cinta” yang dipopulerkan oleh Pay feat. Soa Soa).

1 1 154

Representasi Kebencian dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali” (Studi Semiologi Tentang Representasi Kebencian di dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band).

1 6 103

REPRESENTASI “SEKSUALITAS” PADA LIRIK LAGU ” LAGU GITUAN ” (Studi Semiologi Tentang Representasi “Seksualitas” Pada Lirik Lagu ” Lagu Gituan ” Yang dipopulerkan Oleh Grup Rap KungPow Chickens Dalam Album ”Alit Da Baong”).

1 6 117

REPRESENTASI KASIH SAYANG DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiotika tentang Representasi Kasih Sayang dalam Lirik Lagu “Ibu” yang dipopulerkan oleh Sulis).

1 6 124

REPRESENTASI “SEKSUALITAS” PADA LIRIK LAGU “CINTA SATU MALAM” (Studi Semiologi Tentang Representasi “Seksualitas” Pada Lirik Lagu “Cinta Satu Malam” Oleh Melinda).

1 9 99

REPRESENTASI CINTA DAMAI DALAM LIRIK LAGU ” PERDAMAIAN ’’ (Studi Semiologi Representasi Dalam Lirik Lagu ’’ Perdamaian ’’ Oleh Band GIGI).

0 5 64

REPRESENTASI CINTA DAMAI DALAM LIRIK LAGU ” PERDAMAIAN ’’ (Studi Semiologi Representasi Dalam Lirik Lagu ’’ Perdamaian ’’ Oleh Band GIGI)

0 0 15

REPRESENTASI KASIH SAYANG DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiotika tentang Representasi Kasih Sayang dalam Lirik Lagu “Ibu” yang dipopulerkan oleh Sulis)

0 0 21

REPRESENTASI “SEKSUALITAS” PADA LIRIK LAGU “CINTA SATU MALAM” (Studi Semiologi Tentang Representasi “Seksualitas” Pada Lirik Lagu “Cinta Satu Malam” Oleh Melinda)

0 0 22