Orangtua menjadi komunikator dan anak menjadi komunikan begitu juga sebaliknya. Hal ini memberikan kesempatan kepada anak untuk melatih bahasa
komunikasi anak dengan baik sehingga akan berpengaruh kepada perkembangan pribadinya, menjadi anak yang bertanggung jawab atau mandiri, dan bisa
membedakan mana yang harus dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan. Orangtua asuh memberi respon terhadap apa yang dilakukan anak, jika anak
asuh tersebut berbuat baik atau melakukan hal yang baik misalnya mencuci bajunya, atau pandai dalam belajar maka anak mendapatkan hadiah atau imbalan
atas perjuangannya. Namun begitu juga sebaliknya jika anak bersalah atau melakukan hal yang tidak wajar, anak asuh tersebut akan mendapat arahan,
teguran, ataupun hukuman ringan dari orangtua asuh disertai dengan alasan yang jelas atas apa yang telah dilakukannya. Secara emosional antara anak dengan
orangtua akan terjadi kedekatan, memiliki inisiatif yang positif serta sopan santun dan budi pekerti yang baik.
4.3 Pembahasan
Dari pernyataan ketiga Orangtua asuh diatas, bisa diketahui bahwa pola asuh yang dilakukan Di dalam podok sosial ada dua orangtua asuh yang memiliki
hubungan pola komunikasi authoritative atau demokratis, sedangkan satu memiliki pola hubungan komunikasi authoritarian atau otoriter. Jadi bisa
disimpulkan bahwa kebanyakan dari pembina atau pembimbing yang mendampingi anak tunagrahita didalam pondok sosial kalijudan memiliki
72
hubungan pola komunikasi authoritative atau demokratis. Secara teori maupun praktek pola komunikasi ini adalah pola yang seharusnya digunakan oleh para
orangtua. Karena pola komunikasi yang demokratis ini bersifat sirkuler sehingga arus komunikasi antara komunikator dan komunikan terjadi dua arah, dan
kedudukannya seimbang artinya orangtua dan anak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi komunikator dan komunikan. Banyak hal positif yang
didapatkan dalam pola hubungan ini antara lain anak bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri self control, bersikap
sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai tujuan
atau arah yang jelas, dan berorientasi terhadap prestasi.
Hubungan suatu keluarga pasti sulit bersatu sebelum dan setelah adanya anak tunagrahita datng di dalam panti, seorang anak yang tidak dapat menyesuaikan
diri atau tidak sempurna secara fisik atau mental. Walaupun semua anak kecil membutuhkan lebih banyak waktu, perhatian, dan tenaga orang tua dibandingkan
dengan anak yang lebih besar, anak yang tidak sempurna sebagaimana anak tunagrahita akan terus mencapai usia dimana mereka seharusnya sudah lebih
mandiri sering meningkatkan kebutuhan mereka seiring dengan bertambahnya usia akan lebih membutuhkan perhatian-perhatian khusus dari orangtuanya.
Peran orangtua asuh sebagai orang pertama dalam keluarga di dalam pondok sosial kalijudan yang berinteraksi dengan seorang anak sangat memiliki peranan
dalam menentukan pembentukkan dan perkembangan mental anak untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh anak. Didalam tercakup
pemberian kasih saying, penerimaan, penyediaan, aturan dan disiplin, mendorong
73
kompetensi serta kepercayaan diri, menampilkan model peran yang pantas dan
menciptakan sebuah lingkungan yang menarik dan responsive.
Sikap dan perlakuan orangtua yang baik adalah mempunyai karakteristik : a memberikan curahan kassih saying, b bersikap menghargai anak, c menerima
anak sebagaimana anak biasanya, d mau mendengar keluhan anak , e memaafkan kesalahan anak dan meminta maaf bila ternyata orangtua sendiri salah
kepada anak, f meluruskan kesalahan anak dengan pertimbangan atau alasan- alasan yang tepat. Yusuf, 2002 : 139
Pola komunikasi yang demokratis memberikan informasi secara terbuka serta memberikan kesempatan anak untuk mengemukakan pendapat. Semangat yang
diberikan orangtua menjadi jurus jitu untuk menjalin kedekatan diantara mereka, anak akan merasa dirinya diperhatikan. Bekal pendidikan ataupun pengetahuan
yang cukup dari orangtua diharapkan anak mempunyai sikap yang kuat dan tangguh dalam menghadapi segala macam godaan. Hal ini akan menjadikan anak
percaya diri , bersahabat, dan berusaha memberikan jalan yang terbaik untuk orangtuanya dengan sepenuh hati tanpa keterpaksaan.
Sedangkan dalam pola komunikasi permissive, ketiga orangtua asuh memiliki sifat permissive yaitu orangtua asuh memberikan kebebasan kepada anak asuh
untuk berinteraksi dengan siapapun dan melakukan apapun yang dinginkan sang anak , namun pola komunikasi tersebut digunakan orangtua asuh pada saat-saat
tertentu tetapi masih dalam pengawasan orangtua asuh, misalnya pada saat waktu kosong dan waktu istirahat sekolah, hal ini dilakukan oleh orangtua asuh karena
74
jika pola komunikasi permissive ini digunakan tidak pada waktu khusus sehingga anak tunagrahita akan semakin liar dan yang terjadi adalah anak tersebut
cenderung akan merusak barang-barang fasilitas yang ada selain itu mereka akan menyakiti diri sendiri dan teman-temannya maka lebih baik pola komunikasi
permissive tersebut digunakan pada waktu tertentu agar tidak merugikan anak tunagrahita sendiri ataupun orang lain.
Sedangkan pola komunikasi yang sedikit dijumpai dalam pondok sosial kalijudan yang membina atau mendapingi anak tunagrahita adalah pola
komunikasi authoritarian. Yaitu pola hubungan komunikasi antara orangtua asuh kepada anak dengan cara otoriter. Hal ini disebabkan karena dalam komunikasi
yang otoriter arus hubungan komunikasinya linier atau satu arah yang posisinya tidak seimbang. Yaitu anak selalu menjadi komunikan tanpa diberi kesempatan
untuk menjadi komunikator dalam berbicara serta untuk mengungkapkan pendapatnya. Orang tua selalu bertindak semena-semena dalam memerintah serta
mempunyai keinginan yang absolute yang harus dilakukan oleh anak tanpa penjelasan dan pertimbangan alasan agar dapat diterima dengan baik oleh anak.
Dalam beberapa kasus, bentuk dari pola komunikasi yang otoriter ini sangat merugikan pihak anak, misalnya dengan menghukum secara fisik berlebihan
mencubit, sentilan, pukul, mengguyur, ataupun menguncinya didalam kamar. Hal tersebut dilakukan karena orangtua merasa anaknya masih hidup dalam
dunianya sendiri, dan tidak mempunyai empati pada oranglain, sehingga untuk
membesarkan anaknya orangtua terlalu overprotect.
75
Menggunakan hukuman fisik secara psikologis dapat membuat anak menjadi tertekan atau depresi, selain itu penggunaan kekerasan atau kekuasaan tidak
dibenarkan atau tidak boleh dilakukan dalam penangan anak dengan kebutuhan khusus ini. Jika orangtua asuh menangani anak tunagrahita dengan kekerasan,
maka akan membuat anak tunagrahita ini menjadi tidak kreatif dalam bertindak selain itu anak-anak ini akan berusaha melarikan diri dari panti. Oleh sebab itu
disarankan seharusnya orangtua asuh atau pembina untuk menghindari penerapan pemberian hukuman ini karena dianggap tidak efektif dalam mengurangi atau
menghilangkan sebuah perilaku yang tidak diinginkan.
Dampak buruk atau akibat dari pola hubungan komunikasi yang otoriter ini membuat anak mudah tersinggung atau marah, penakut, pemurung, dan merasa
tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas serta tidak bersahabat. Dalam hal ini kasus yang sering dijumpai
adalah saat orang tua memberikan hukuman kepada anak ketika si anak berbuat salah atau tidak melaksanakan perintah orangtua asuhnya.
76
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa terdapat 3 jenis pola komunikasi, yaitu pola komunikasi
authoritarian otoriter, pola komunikassi permissive membebaskan, dan pola komunikasi authoritative demokratis. Namun secara garis beras hasil penelitian
ini yaitu kebanyakan orangtua asuh yang membina anak-anak tunagrahita yang tinggal didalam Pondok Sosial Kalijudan Surabaya menganut pola komunikasi
authoritative demokratis, dari 3 orangtua asuh yang mendampingi anak-anak tunagrahita tersebut selama 24 jam ada dua orang yang menganut pola komunikasi
authoritative demokratis dan hanya satu orangtua asuh yang menganut pola komunikasi authoritarian otoriter.
1. Pola Komunikasi Authoritative Demokratis
Dua informan dalam penelitian ini menganut Pola komunikasi yang demokratis, dimana orangtua asuh memahami kekurangan-kekurangan yang
dimiliki oleh anak tunagrahita, selain itu pola komunikasi ini arah atau arus hubungan komunikasi bersifat sirkuler sehingga arus komunikasi antara
komunikator dengan komunikan yang terjadi adalah dua arah dan kedudukannya seimbang artinya orangtua asuh dan anak memiliki kesempatan yang sama untuk
menjadi komunikator dan komunikan. Biasanya pola komunikasi ini diterapkan oleh orangtua asuh yang benar-benar bisa memahami keadaan yang dimiliki anak
77