“POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANGTUA ASUH DENGAN ANAK TUNAGRAHITA” (Studi Kualitatif Tentang Pola Komunikasi Orangtua Asuh Dengan Anak Tunagrahita Di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok Sosial Kalijudan Surabaya).

(1)

POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA ASUH DENGAN ANAK TUNAGRAHITA

(Studi Kualitatif Tentang Pola Komunikasi Orang Tua Asuh Dengan Anak Tunagrahita Di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok Sosial Kalijudan

Surabaya)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

RIZQA DIENDA DEWANTI 0643010120

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA ASUH DENGAN ANAK TUNAGRAHITA

(Studi Kualitatif Tentang Pola komunikasi Orang Tua Asuh Dengan Anak Tunagrahita Di Unit Palaksanaan Teknis Dinas pondok Sosial Kalijudan

Surabaya) Disusun Oleh : Rizqa Dienda Dewanti

0643010120  

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 21 – Mei – 2010

Menyetujui, PEMBIMBING

Ir. H. Didiek Tranggono, M.Si NIP. 195812251990011001

TIM PENGUJI Ketua 1.

Ir. H. Didiek Tranggono, M.Si NIP. 195812251990011001

Sekretaris 2.

Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1 Anggota 3.

Dr. Catur Suratnoaji, M.Si NPT. 3 6804 94 0028 1 Mengetahui,

DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 195507181983022001 


(3)

POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA ASUH DENGAN ANAK TUNAGRAHITA

(Studi Kualitatif Tentang Pola komunikasi Orang Tua Asuh Dengan Anak Tunagrahita Di Unit Palaksanaan Teknis Dinas pondok Sosial Kalijudan

Surabaya)

Disusun Oleh : Rizqa Dienda Dewanti

0643010120    

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,

PEMBIMBING

Ir. H. Didiek Tranggono, M.Si NIP. 195812251990011001

Mengetahui, DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 195507181983022001 


(4)

iii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan Hidayah-Nya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan sripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan untuk melanjutkan skripsi dengan judul ” POLA KOMUNIKASI ANTARA PEGAWAI DINAS SOSIAL DENGAN ANAK

TUNAGRAHITA ”. Dalam menulis skripsi ini, penulis telah mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak yang telah memberikan motivasi, bimbingan, saran serta dorongan moril baik langsung maupun tidak langsung sampai terselesainya penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yth :

1. Ibu Dra. Hj. Suparwati, MSi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN ”VETERAN” Jawa Timur.

2. Bpk. Juwito, S.Sos. MSi selaku ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UPN ”VETERAN” Jawa Timur.

3. Bpk. Ir. Didiek Tranggono, MSi, selaku Dosen pembimbing laporan skripsi saya.

4. Bpk. Juwito, S.Sos. MSi, selaku Dosen Wali yang memberi masukan dan arahan selama kuliah.

5. Kepada seluruh dosen Ilmu Komunikasi UPN ”VETERAN” Jatim, terima kasih sebanyak-banyaknya atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis.


(5)

iv

6. Kepada Ibu Hj. Rosalia Endang Setyawati selaku kepala UPTD Pondok Sosial Kalijudan Surabaya.

7. Buat sahabat saya Venny yang selalu menemaniku bimbingan, nemenin penulis mencari buku untuk referensi skripsi ini, serta untuk support, memberi masukan dan mendengarkan keluh kesahku dalam mengerjakan laporan ini dan doanya

8. Buat adik-adik saya (bhe2q, kecenk, dan lia) terima kasih sudah mau mendengarkan dan menemani selama skripsi buat ini.

9. Juga buat sahabat saya Didin dan Julb memberikan motivasi, terima kasih banyak atas waktu, doa, bantuan, dukungan, serta semangat yang telah kalian berikan. Dan juga buat teman-teman baikku Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2006.

10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.

11. Ayahanda Dadang Hidayat dan Ibunda Endang Setyawati, yang telah memberikan doa restu semangat moril maupun materiil serta telah mampu membimbing, mendidik dan membahagiakan saya sebagai peneliti, sembah bakti saya. Buat kakak2q mbak putri, mas bedjo dan mbak sari terimakasih atas dorongan moral, dan menghiburq selama ak bingung dalam mengerjakan skripsi. Serta mas Sholikin yang setia menemaniku selama ini, memberikan dorongan, motivasi dan dukungan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya ( Semoga Allah


(6)

v

melimpahkan kemuliaan Rahmat dan Hidayah – Nya pada kita semua, Amin.. )

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan Berkah, Rahmat dan Hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Untuk itu penulis menghargai segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun karena hal tersebut sangat membantu menghanturkan pada kesempurnaan skripsi ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Surabaya, Mei 2010


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Kegunaan Penelitian ... 13

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 13

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 15

2.1.1 Teori Atribusi ... 15

2.2. Komunikasi ... 16

2.3. Komunikasi Interpersonal ... 17

2.3.1 Definisi Komunikasi Interpersonal ... 17

2.3.2 Proses Komunikasi Interpersonal ... 19

2.4. Pengertian Pola Komunikasi ... 21

2.4.1.Pengertian Keluarga ... 22

2.4.2.Fungsi Keluarga ... 22

2.4.3.Pola Komunikasi Dalam Keluarga ... 25

2.4.4.Pengertian Orang Tua ... 28

2.4.5.Pengertian Anak ... 29


(8)

2.5. Tunagrahita ... 31

2.5.1 Ciri Fisik dan Penampilan Anak Tunagrahita ... 33

2.5.2 Kebutuhan Pembelajaran Anak Tunagrahita ... 33

2.6 Karakteristik Tunagrahita ... 34

2.6.1 Pendekatan Anak Tunagrahita ... 37

2.7 Kerangka Berfikir ... 37

BAB III METODOLOGI ... 40

3.1.Metode Penelitian ... 40

3.2.Pembatasan Masalah ... 43

3.3.Lokasi Penelitian ... 44

3.4.Unit Analisis Penelitian ... 44

3.5.Subjek Informasi Penelitian ... 46

3.6.Teknik Pengumpulan Data ... 47

3.7.Teknik Analisis Data ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 82

LAMPIRAN ... 83


(9)

4.2.1 Pola Komunikasi Pada Anak Tunagrahita ... 57

4.3 Pembahasan ... 72

BAB V : KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ... 77

5.2 Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 82

LAMPIRAN ... 83


(10)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 : In Depth Interview ... 83 Lampiran 2 : Foto-Foto Hasil Penelitian dan Wawancara... 93


(11)

 

ABSTRAKSI

RIZQA DIENDA DEWANTI, “POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANGTUA ASUH DENGAN ANAK TUNAGRAHITA” (Studi Kualitatif Tentang Pola Komunikasi Orangtua Asuh Dengan Anak Tunagrahita Di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok Sosial Kalijudan Surabaya) SKRIPSI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Pola Komunikasi antara Orangtua Asuh dengan Anak Tunagrahita. Karena adanya krisis ekonomi dan urbanisasi yang berlebih sehingga semakin banyak Penyandang Maasalah kesejahteraan Sosial (PMKS) di Indonesia dan salah satunya adalah adanya anak tunagrahita. Maka peneliti mengangkat masalah tersebut untuk mengetahui bagaimana Pola Komunikasi atau binaan yang diberikan oleh Orangtua Asuh terhadap Anak Tunagrahita. Untuk itulah digunakan analisis Deskriptif Kualitatif

sebagai suatu metode analisis in-depth interview sebagai pengumpulan data. Landasan Teori yang digunakan adalah konsep Teori atribusi, Komunikasi Interpersonal, Keluarga, Pola Komunikasi. Analisis deskriptif kualitatif, penelitian ini menggunakan keknik in-depth interview dipakai sebagai teknik pengumpulan data, karena teknik tersebut memungkinkan untuk menggali bagaimana pola komunikasi, aksi, dan interaksi berlangsung diantara subyek penelitian.

Hasil dari penelitian ini, berdasarkan tiga pola komunikasi yaitu Authoritative (Demokratis), Orangtua asuh menggunakan pola komunikasi ini untuk menerapkan kepada anak Tunagrahita dengan dapat menerima kondisi anak tunagrahita dan orangtua asuh memberi kesempatan anak untuk bisa berkembang, namun tetap ada pengawasan atau kontrol jika anak asuhnya bersalah orangtua asuh mengingatkan dengan teguran dan sesekali orangtua asuh memberikan hukuman fisik. Authoritarian (Otoriter), Orangtua asuh memiliki sifat kontrol yang tinggi dan lebih memaksakan kehendaknya tanpa memberi kesempatan anak asuhnya atau anak tunagrahita untuk menjadi komunikator jika anak tersebut berbuat salah, orangtua asuh cenderung menggunakan hukuman fisik. Dan dalam pola komunikassi permissive (Membebaskan) orangtua asuh menggunakan komunikasi ini untuk membebaskan anak tunagrahita dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa di dalam Unit Pelaksan Teknis Dinas Pondok Sosial Kalijudan Surabaya diantara 3 Orangtua Asuh ada 2 Orangtua Asuh atau pendamping yang menggunakan atau menganut pola komunikasi Authoritative (Demokratis), yaitu menggunakan arus komunikasi dua arah, Orangtua Asuh dan anak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi komunikator dan komunikan. Permissive (Membebaskan) pola komunikasi ini digunakan ketiga orangtua asuh pada waktu tertentu, sedangkan pola komunikasi yang sedikit dianut oleh orangtua asuh adalah Authoritarian (Otoriter) pola komunikasi ini satu arah sang anak tidak diberi kesempatan menjadi komunikator dan orangtua memaksa anak untuk melakukan sesuai dengan keinginannya


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Komunikasi adalah segala sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia untuk mempertahankan hidup. Karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain untuk mempertahankan hidupnya.

Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sejak pertama manusia itu dilahirkan manusia sudah melakukan kegiatan komunikasi.

Hubungan antar manusia tercipta melalui komunikasi, baik komunikasi itu komunikasi verbal (bahasa) maupun non verbal (simbol, gambar, atau media komuniksi lainnya). Selain itu komunikasi dilakukan karena mempunyai fungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, memupuk hubungan dan memperoleh kebahagiaan.

Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata lain comunication dan bersumber dari kata komunis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna mengenai suatu hal (Effendy, 2002 : 3).

Komunikasi mempunyai banyak makna namun dari sekian banyak definisi yang diungkapkan oleh para ahli dapat disimpulkan secara lengkap dengan maknanya yang hakiki yaitu komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik secara lisan maupun tidak langsung melalui media (Effendy, 2002 : 5).


(13)

2

Komunikasi interpersonal biasa disebut komunikasi antar pribadi. Adapun yang dimaksud dengan komunikasi intrpersonal adalah suatu proses penerimaan pesan dari seseorang kepada orang lain atau kelompok kecil kepada kelompok kecil lainnya dengan beberapa efek dan umpan balik. Lebih lanjut, menurut Devito dalam Liliweri (1997), komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain dengan efek dan umpan balik yang langsung.

Ciri unik lainnya adalah bahwa komunikasi interpersonal juga menurut adanya tindakan yang saling memberi dan menerima antar pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dengan kata lain, para pelaku yang ada dalam proses komunikasi antar pribadi saling bertukar informasi, pikiran dan gagasan (Sandjaja, 1993 : 117)

Komunikasi Antarpersonal (Interpersonal communication) adalah komunikasi antara komunikator dengan seseorang komunikan. Komunikasi ini dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang.

Karena sifatnya dialogis berupa percakapan arus balik bersifat langsung. Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, Pada saat komunikasi dilancarkan komunikator mengetahui pasti apakah komunikasinya itu positif atau negatife, berhasil atau tidak, jika tidak ia dapat meyakinkan komunikan ketika itu juga karena ia dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.


(14)

3

Pentingnya situasi komunikasi antarapersonal seperti itu bagi komunikator ialah karena ia dapat mengetahui diri komunikan selengkap-lengkapnya. Ia dapat mengetahui namanya, pekerjaannya, pendidikannya, agamanya, pengalamanya, cita-citanya dan yang penting artinya untuk mengubah sikap, pendapat atau perilakunya. Dengan demikian komunikator dapat mengarahkannya ke suatu tujuan sebagaimana ia inginkan (Onong Uchjana 2008 : 8).

Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. ( Djamarah 2004 : 1).

Terdapat 3 pola komunikasi hubungan orang tua dan anak menurut (Yusuf, 2001 :51) :

a. Authoritarian ( cenderung bersikap bermusuhan )

Dalam pola hubungan ini sikap acceptance (penerimaan) rendah, namun kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik, bersikap mengkomando mengharuskan atau meerintah anak untuk melakukan (sesuatu tanpa kompromi), bersikap kaku (keras), cenderung emosional dan bersikap menolak.

Sedangkan dipihak anak mudah tersinggung, penakut, pemurung dan merasa tidak bahagia, mudah terpengaruh stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas serta tidak bersahabat.

Ciri pada pola komunikasi ini menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena – mena tanpa dapat dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dari segi positifnya anak cenderung akan menjadi


(15)

4

disiplin , yakni menaaati peraturan, akan tetapi bisa jadi ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan dihadapan orangtua padahal hati berbicara lain, sehingga ketika dibelakang orang tua anak bersikap dan bertindak liar pula.

Dalam hal tersebut anak-anak tunagrahita harus menaati peraturan-peraturan yang ada dalam panti, dan peraturan-peraturan ini tidak mudah bagi orangtua asuh untuk menyampaikan kepada anak tunagrahita. Begitu pula bagi anak tunagrahita juga tidak mudah untuk mengikuti peraturan yang ada didalam panti, karena anak-anak tunagrahita yang cenderung terbiasa hidup di jalanan.

Misalnya dalam hal makan anak tunagrahita sewaktu di jalanan terbiasa makan sembarangan atau makanan apapun yang ditemunya akan dimakan untuk menahan laparnya tapi waktu didalam panti orangtua asuh akan bersikap keras kepada anak tunagrahita tersebut.

Orangtua merasa segala tindakannya benar dan cenderung selalu menyudutkan anak dengan alasan demi kemajuan anak , cendurung orang tua tidak memberikan kesempatan anak untuk mengungkapkan perasaannya sehingga anak tersebut malas untuk berinteraksi dari orangtua.

Kebanyakan anak pada pola komunikasi authoritarian ini bersifat tertutup dan rasa stress yang tinggi. Pada pola komunikasi authoritarian ini orangtua memegang peran yang sangat dominan saat berkomunikasi dengan anak.

b.Permissive ( cenderung berperilaku bebas )

Dalam hal ini sikap orang tua untuk menerima tinggi namun kontrolnya rendah, memberikan kebebasan pada anak untuk menyatakan keinginan.


(16)

5

Sedangkan anak bersikap impluisif serta agresif, kurang memiliki rasa percaya diri, suka mendominasi, tidak jelas arah hidupnya serta prestasinya rendah. Sifat pola komunikasi ini children centered yakin segala aturan dan ketetapan keluarga ditangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak, Anak cenderung bertindak semena-mena tanpa pengawasan orang tua. Dari segi negatif anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab maka anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif atau inisiatf dan mampu mewujudkan aktualisasinya.

Berdasarkan asumsi peneliti bahwa kesibukan orang tua membuat minimnya interaksi antara orangtua dengan anak. Orangtua memberikan kepercayaan seutuhnya pada seorang anak untuk menjalankan aktivitasnya dengan kontrol yang rendah.

Pola komunikasi tersebut orangtua asuh membebaskan anak tunagrahita untuk melakukan kebiasaannya. Misalnya tidur, anak tunagrahita terbiasa tidur di jalanan atau disembarang tempat hingga orangtua asuh bersikap keras terhadap anak-anak tunagrahita tersebut.

Pada pola komunikasi permissive anak lebih menempati peran dominant saat berkomunikasi dengan orang tua asuh.

c. Authoritative ( cenderung terhindar dari kegelisahan dan kekacauan )

Dalam hal ini sikap acceptance (penerimaan) daan kontrolnya tinggi, bersikap responsive terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan


(17)

6

pendapat atau pernyataan, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk.

Sedangkan anak bersikap barsahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri (self control) bersikap sopan, memiliki rassa ingin tahu yang tinggi dan memiliki tujuan atau arah hidup yang jelas, berorientasi terhadap prestasi.

Kedudukan orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan di ambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak, anak diberi kebebesan yang bertanggung jawab artinya apa yang dilakukan oleh anak tetapi harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral akibat positif dari pola komunikasi ini adalah anak akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab, tidak munafik, jujur. Namun akibat negatif anak akan cendurung merongrong kewibawaan otoritas orang tua.

Pola komunikasi ini orangtua asuh anak-anak tunagrahita dalam bermain sesuai dengan kemauannya tetapi tetap dalam kawasan orangtua asuh. Misalnya anak tunagrahita yang biasa bermain dijalan bebas seperti manjat-manjat, lari-lari, dan lainnya. didalam panti orangtua asuh akan membiarkan mereka memanjat selama tidak membahayakan tapi, jika panjatannya membahayakan orangtua asuh akan memperingatinya (Yusuf, 2001:51-52).

Pada pola komunikasi authoritative peran orangtua dan anak saat berkomunikasi berjalan seimbang, masing-masing memahami perannya sebagai pembicara maupun pendengar.


(18)

7

Perbedaan pola komunikasi orangtua terhadap anak seperti itulah yang membuat perbedaan perkembangan kejiwaan dan emosi pada diri seorang anak. Begitu pentingnya faktor komunikasi dalam keluarga sehingga cara tepat untuk memperlancar perkembangan emosi dan kejiwaan anak adalah dengan membangun kualitas komunikasi yang baik dalam keluarga dan menciptakan ruang komunikasi yang intensif dengan keluarga.

Pola komunikasi keluarga yang kurang baik dan kurang perhatian antar anggota keluarga serta rendahnya pendidikan moral yang di tanamkan orangtua pada diri seorang anak menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang pada diri anak, Salah satunya adalah anak menjadi gelandangan, dengan demikian seorang anak merasa bebas dan memiliki dunianya untuk mendapatkan apa yang dia mau. Tanpa disadari oleh anak bahwa perilakunya tersebut salah, Bahwa dunia anak adalah dunia yang khas bukan miniature dunia orang dewasa, maka semangat berkomunikasi kepada anak adalah bukan memberitahukan sesuatu yang dianggap baik dari sudut pandang orang dewasa melainkan duduk sejajar bersama anak, berempati dan menemani anak.

Tugas anak yang seharusnya adalah belajar dan bermain dengan lingkungan atau temannya bukan bekerja untuk memenuhi kebutuhan atua mendapatkan kepuasan pribadi dan keluarga.

Komunikasi dalam keluarga dapat berlangsung secara timbal balik dan silih berganti, bias dari orang tua ke anak atau dari anak ke orangtua, ataupun dari anak keanak. Dalam komunikasi keluarga, tanggung jawab orangtua adalah mendidik anak, maka komunikasi yang terjadi dalam keluarga bernilai pendidikan. Ada


(19)

8

sejumlah norma yang diwariskan orangtua pada anak, misalnya norma agama, norma akhlak, norma social, norma etika dan estetika dan juga norma moral (Bahri, 2004 : 37)

Komunikasi dalam keluarga perlu dibangun secara harmonis dalam rangka membangun pendidikan yang baik. Pola komunikasi keluarga yang dibangun akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan pola pikir anak, serta mempengaruhi kondisi kejiwaan anak, secara langsung dan tak langsung.

Sebuah keluarga akan berfungsi secara optimal bila didlamnya terdapat pola komunikasi yang terbuka, ada sikap saling menerima, mendukung rasa aman, dan nyaman serta memiliki kehidupan spiritual yang terjaga (Kriswanto, 2005 : 9) Selain itu fungsi atau tugas anak menjadi menyimpang, karena adanya masalah sosial salah satunya yakni kemiskinan ataupun generasi muda dalam masyarakat modern yaitu generasi muda masuk kedalam masyarakat modern karena adanya implikasi dan media untuk mengikuti model atau trend.

Akibat situasi krisis ekonomi dan urbanisasi berlebih (over urbanizxation) di kota-kota besar, salah satu masalah sosial yang membutuhkan pemecahan segera adalah Anjal (anak jalanan) yang belakangan ini makin mencemaskan di berbagai kota besar, sebagaian dari anak jalanan memiliki hendaya perkembangan fungsional (Tunagrahita) yang seharusnya membutuhkan perhatian khusus.

Namun, karena keadaan ekonomi yang kurang ataupun orang tua yang tidak bisa menerima keadaan anak dengan kondisi seperti itu. Padahal bagi anak tunagrahita yang dibutuhkannya adalah penangan khusus atau perhatian khusus untuk kemajuan atau kemandirian anak tunagrahita tersebut.


(20)

9

Tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh dibawah rata-rata sedemikian rupa, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus.

Dalam penanganan demikian maka Pemerintah melakukan pendekatan dengan membina anak-anak tunagrahita untuk memperoleh berbagai bentuk pelayanan yang diberikan kepada klien (orang yang menerima bantuan atau pelayanan di bidang usaha kesejahteraan sosial).

Permasalahan inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengangkat dalam sebuah kajian tentang Pola Komunikasi Antara Orang tua asuh dengan Anak Tunagrahita di Unit Pelaksana Teknis Dinas Dimana Orang tua asuh yang dimaksud adalah pegawai Dinsos di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok Sosial Kalijudan yang khusus menangani keberadaan anak tunagrahita dan memiliki peranan penuh terhadap klien, peranan yang dimaksud baik dalam psikis ataupun biologis seperti orang tua kandung kepada anaknya.

Orangtua asuh adalah Orang yang membiayai hidup seseorang yang bukan anak kandungnya atas dasar kemanusiaan. (Wright : 1991:12).

Orangtua asuh biasa disebut juga perorangan, kelompok atau lembaga atau organisasi, atau badan yang memberikan bantuan kepada anak asuh usia sekolah dari keluarga tidak mampu agar dapat mengikuti pendidikan dasar 9 tahun sampai tamat. (http://www.gn-ota.or.id/aboutus/tanya.php?sec=7&mode=id).

Dinas sosial Provinsi Jawa Timur adalah Piranti Negara yang ada di tingkat Provinsi berperan dalam merancang dan melaksanakan berbagai program


(21)

10

pembangunan kesejahteraan sosial untuk menangani masalah-masalah kesejahteraan sosial di wilayah kerja kota Surabaya.

Lokasi Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok sosial Kalijudan, beralamat di Jalan Kalijudan Indah kav XV nomer 2-4. Komplek Perumahan PT. Perumahan Diponggo Kelurahan Kalijudan, Kecamatan Mulyorejo Kota Surabaya. Dengan memiliki Luas tanah ± 9.089 M2.

Salah satu tujuan keberadaan atau adanya Unit Pelaksana Teknis Dinas Kalijudan yaitu untuk mengentas atau menangani permasalahan kesejahteraan sosial yang biasa disebut PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).

Anak tuna grahita memiliki fungsi intelektual tidak statis kelompok tertentu, termasuk beberapa dari down syndrom, memiliki kelainan fisik dibanding temannya, tetapi mayoritas dari anak tuna grahita terutama yang tergolong ringan terlihat sama seperti yang lainnya. Dari kebanyakan kasus banyak anak tuna grahita terdeteksi setelah masuk sekolah tes IQ mungkin bisa dijadikan indikasi dari kemampuan mental seseorang. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya tercermin pada hasil IQ latihan, perjalanan, motivasi, dan lingkungan sosial sangat besar pengaruh pada kemampuan adaptif seeorang.

Pada dasarnya gejala-gejala yang diderita oleh anak tuna grahita sama dengan yang dimiliki anak autis. Anak autis diklasifikasikan sebagai ketidak normalan perkembangan neuro yng menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bias terdeteksi pada anak berumur paling sdiit satu tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki daripada perempuan.


(22)

11

Sedangkan tuna grahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (Mental Retardation). Tuna berarti merugi, dan Grahita berarti pikiran, Retardasi Mental (Mental Retardation/ Mentally Retarded) berarti terbelakangan mental, selain itu tuna grahita sering disepadankan dengan istilah-istilah sebagai berikut :

- Lemah pikiran (Feeble-Mended) - Terbelakang Mental (Mentally Retared) - Bodoh / Dungu (Idiot)

- Pandir (Imbecile) - Tolol (Moron)

- Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau butuh rawat mental sub normal, defisit mental, defisit kognitif, cacat mental, deficiensi mental, gangguan intelektual (http//www.google.Prestasikita.com/index.php ; 23 februari 2010, 17.00).

Tunagrahita atau Keterbelakangan Intelektual, Tunagrahita (Reyardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh dibawah rata-rata sedemikian rupa, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas – tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus.

Untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang, secara umum biasanya diukur melalui tes Intelegensi yang hasilnya disebut tes IQ (intelligence quotient), yang dibagi menjadi :

a. Tunaghrahita ringan biasanya memiliki IQ 70-55 b. Tunaghrahita sedang biasanya memiliki IQ 55-40


(23)

12

c. Tunaghrahita berat biasanya memiliki IQ 40-25 d. Tunagrahita berat sekali biasanya memiliki IQ <25 Para ahli Indonesia menggunakan klasifikasi :

a. Tunagrahita ringan IQnya 50-70 b. Tunagrahita sedang IQnya 30-50

c. Tunagrahita berat dan sangat berat IQnya kurang dari 30 (Anonymous, 2004 : 17).

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang menggunakan pendekatan kualitataif yakni meyakini bahwa realitas itu berwajah banyak, bersifat holistik, dan tidak bias dipisah-pisahkan. Pendekatan kualitatif memandang individu itu sangat beragam sehingga tidak mungkin dikelompokkan dalam satu sifat

Disini akan diteliti mengenai pola komunikasi keluarga di dalam Ponsos Kalijudan yang digunakan orangtua asuh dalam membina anak tuna grahita di dasarkan pada data kualitatif yang diperoleh dengan teknik in-depth interview. Peneliti menggunakan teknik in-depth interview sebagai teknik pengumpulan data, karena teknik tersebut memungkinkan untuk menggaali bagaimana pola komunikasi di dalam Pondok sosial, aksi, dan interaksi berlangsung diantaranya subyek penelitian.

Penelitian ini dilakukan untuk mengindetifikasi apa saja mengenai bagaimana pola komunikasi dan pembinaan yang diberikan oleh Pegawai Ponsos terhadap anak tuna grahita.


(24)

13

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Bagaimanakah pola komunikasi antara Orangtua Asuh dengan Anak Tunagrahita di Pondok Sosial Kalijudan Surabaya?”

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi antara Orang Tua Asuh dengan Anak Tunagrahita di Pondok Sosial Kalijudan Surabaya.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah penelitian dibidang ilmu komunikasi, yang berkaitan dengan pola komunikasi yang membina anak tuna grahita di dalam Pondok Sosial Kalijudan . Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi berkaitan dengan pola komunikasi organisasi dalam lingkungan pondok sosial terhadap Anak Tunagrahita.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada orangtua asuh yang dalam hal ini adalah pegawai Dinas sosial kalijudan Surabaya tentang cara berkomunikasi terhadap Anak Tunagrahita.


(25)

   

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 LANDASAN TEORI

2.1.1 Teori Atribusi

Teori ini diperkenalkan oleh Heider pada tahun 1958 melalui bukunya yang berjudul “The Psychoogi Interpersonal Reletion”. Heider mengemukakan, jika anda melihat perilaku orang lain, maka anda harus melihat sebab tindakan

Dengan demikian anda sebagai pihak yang memulai komunikasi harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi perilaku yang tampak di depan anda. Heider seperti di kutip Rahmat (1998) mengungkapakan ada dua jenis Atribusi, yaitu atribusi kausalitas dan atribusi kejujuran (Liliweri 1997:52).

Contoh, jika anda mengamati perilaku seseorang pertama-tama anda harus bisa menentukan dahulu apa yang menyebabkan perilaku itu terjadi, apakah faktor situsional ini atau personal. Dalam teori atribusi lazim disebut kuaalitas eksternal dan kualitas internal. Intinya hanya mempertanyakan perilaku orang lain tersebut dipengaruhi oleh faktor situasional atau faktor-faktor personal. Itulah “atribusi kausalitas”.

Kedua yaitu atribusi kejujuran, Robet A, Baron dan Byrne yang dikutip Rahmat (1988) mengemukakan, ketika seorang memperlihatkan atribusi kejujuran maka ada dua hal yang harus diamati :

14   


(26)

15 

1. Sejauh mana pernyataan orang itu menyimpang dari pendapat umum.

2. Sejauh mana orang itu memperoleh keuntungan dari anda akibat pernyataan anda.

Makin besar jarak antara pendapat pribadi dengan pendapat umum maka kita makin percaya bahwa dia jujur.

Lain lagi dengan pendapat Effendi (Liliweri, 1997) pada hakekatnya komuniksi antar pribadi adalah komunikasi antara seoarang komunikator, yaitu yang menyampaikan pesan dengan komunikan, yaitu menerima pesan. Effendi berpendapat bahwa jenis komunikasi tersebut dianggap cara komunikasi yang paling efektif untuk sikap, pendapat, atau perilaku manusia.

2.2Komunikasi

Komunikasi merupakan sebuah kata yang abstrak dan memiliki sebuah arti. Kata “komunikasi” berasal dari bahasa latin yang communis , yang berarti “sama”, atau communicare yang berarti “membuat sama” (Mulyana, 2001:41). Demikian pula pakar komunikasi mencoba untuk mendefinisikan komunikasi, diantaranya adalah (Effendy, 2001:10).

Harrold Lasswell (Pakar ilmu komunikasi) menyatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah menjawab pertanyaan sebagai berikut “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect” (Komunikasi adalah penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media


(27)

16 

yang menimbulkan efek tertentu). Carl L Hovland (Psikolgi Eksperimen, seorang pelopor komunikasi Amerika) menyatakan: “Comunication is the process to modify the behavior of other individuals” (Komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain).

2.3 Komunikasi Interpersonal

2.3.1 Definisi Komunikasi Interpersonal

Para ahli komunikasi mendefinisikan komunikasi interpersonal secara berbeda-beda, dan berikut ini adalah tiga sudut pandang definisi utama, diantaranya :

a. Berdasarkan Komponen

Komunikasi intewrpersonal didefinisikan dengan mengamati komponen-komponen utamanya, yaitu mulai dari penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampak hingga peluang untuk memberikan umpan balik.

b. Berdasarkan Hubungan Diadik

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berlangsung diantara dua orang yang mempunyai hubungan mantap dan jelas. Sebagai contoh komunikasi interpersonal antara anak dengan orang tua, guru dengan murid, dan lain-lain.


(28)

17 

Definisi ini disebut juga dengan definisi diadik, yang menjelaskan bahwa selalu ada hubungan tertentu yang terjadi antara dua orang tertentu.

c. Berdasarkan Perkembangan

Komunikasi interpersonal dilihat sebagai akhir dari perkembangan dari komunikasi yang bersifat tak pribadi (impersonal) menjadi komunikasi pribadi yang lebih intim (Defito, 1997 : 231)

Ketiga definisi diatas membantu dalam menjelaskan yang dimaksud dengan komunikasi interpersonal dan bagaimana komunikasi tersebut berkembang, bahwa komunikasi interpersonal dapat berubah apabila mengalami suatu perkembangan, Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berlangsung diantara dua orang yang mempunyai hubungan mantap dan jelas.

Komunikasi interpersonal yang terjadi antara orang tua dan anak bertujuan untuk menciptakan hasil yang baik dan maksimal. Artinya, setiap individu yang terlibat didalamnya membutuhkan komunikasi interpersonal yang baik untuk membina suatu hubungan yang harmonis. Dibawah ini akan dijelasskan lebih lanjut bagaimana proses komunikasi interpersonal berlangsung demi tercapainya ssuatu hubungan interpersonal yang baik.

Dalam komunikasi antar pribadi dapat dilihat adanya umpan balik seketika karena proses komunikasinya dilakukan ndengan bertatap muka, sehingga dalam komunikasi antarpribadi ini juga harus diperhatikan mengenai umpan balik yang terjadi, seperti yang telah dijelaskan olehteori Atribusi bahwa pihak yang memuulai komunikasi antarpribadi harus mempunyai kemampuan untuk


(29)

18 

memprediksi perilaku umpan balik yang akan terjadi, karena kualitas dalam kualitas komunikasi dapat dilihat dari bagaimana proses yang terjadi dapat menimbulkan umpan balik yang positif atau juga dapat disebut dengan istilah

“how to communicate”.

Lebih khususnya dalam komunikasi interpersonal arus komunikasi yang terjadi adalah skunder atau berputar, artinya setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi komunikator dan komunikan dalam proses komunikasi. Karena dalam komunikasi antarpribadi efek atau umpan balik dapat terjadi seketika.

2.3.2 Proses Komunikasi Interpersonal

Setiap definisi komunikasi interpersonal diatas, menunjukkan adanya suatu proses dalam komunikasi. Adapun proses komunikasi merupakan tahapan-tahapan penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Berdasarkan definisi yang dikutip dari Philip kotler dalam bukunya Marketing Management (Effendy, 2001 : 18), yang mengacu pada pradigma Harold Lasswell, terdapat unsure-unsur komunikasi dalam proses komunikasi, yaitu :

a. Sender adalah komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang.

b. Encording disebut juga dengan penyandian, yakni proses pengalihan pikiran kedalam bentuk lambang.


(30)

19 

c. Message adalah pesan yang merupakan seperangkat lambing bermakna yang disampaikan oleh komunikator.

d. Media adalah saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan.

e. Decoding disebut juga dengan pengawasandian, yaitu proses dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan olehkomunikator kepadanya.

f. Receiver adalah komunikan yang menerima pesan dari komunikator.

g. Response adalah tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterima pesan.

h. Feedback adalah umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila pesan tersampaikan / disampaikan kepada komunikator.

i. Noise adalah gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan olek komunikator kepadanya.

Komunikasi interpersonal berperan dalam mentransfer pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain berupa ide, fakta, pemikiran, serta perasaan. Oleh karena itu, komunikasi interpersonal merupakan suatu jembatan bagi setiap individu, dimana mereka dapat berbagi rasa, pengetahuan, serta mempererat hubungan antara sesam indivudi pada masyarakat di lingkungannya. Komunikasi


(31)

20 

interpersonal selalu menimbulkan saling pengertian atu saling mempengaruhi antara seorang dengan orang lainnya (djamadin, 2004 ; 17-19).

Dengan adanya kesembilan unsur komunikasi diatas, diharapkan adanya suatu peningkatan hubungan interpersonal yang baik antara orang tua dan anak yang dapat terjadi melalui sebuah pembicaraan.

2.4Pengertian Pola Komunikasi

Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau struktur yang tetakan. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan melalui media tertentu sehingga pesan yang dimaksud dapat diterima.

Dengan demikian, yang dimaksud pola komunikasi adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami ( Bahri,2004:1 ).

Tubbs dan moss mengatakan bahwa pola komunikasi atau hubungan ini dapat dicirikan oleh komplementaris atau simetris. Dalam hubungan komplementer, suatu bentuk perilaku akan diikuti oleh lawannya. Contohnya perilaku dominan dari suatu partisipan mendatangkan perilaku tunduk lainnya. Dalm simetris, tingkatan sejauh mana orang berinteraksi atas dasar kesamaan. Dominasi bertemu dengan dominasi kepatuhan dengan kepatuhan ( Tubss dan Moss, 2001 : 26 ).

Dimensi pola komunikasi terdiri dari dua macam, yaitu pola yang berorientasi pada konsep dan pola berorientasi pada sosial yang mempunyai arah berlainan.


(32)

21 

(Sunarto,2000:1). Disini kita mulai melihat bagaimana proses interaksi menciptakan struktur sistem. Bagaimana merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka miliki.

Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalm proses pengiriman dan penerimaan pesan yang mengkatkan dua komponen, yaitu gambar atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada suatu aktifitas dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar manusia atau kelompok dan organisasi.

2.4.1 Pengertian Keluarga

Menurut sigelma dan Shaffer (dalam yusuf, 2001: 36), bahwa keluarga unit terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat pada setiap di dunia (univerce) atau suatu sistem sosial yang terpancang (terbentuk) dalm sistem yang lebih besar. Ada dua macam keluarga, yaitu keluarga atau yang terdiri dari ayah , ibu dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin. Sedangkan keluarga luas adalah satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan satu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas dari pada ayah, ibu dan anak-anak.


(33)

22 

2.4.2 Fungsi Keluarga

Yusuf (2001:39) menyebutkan beberapa fungsi keluarga dari sudut pandang sosiologi, fungsi keluarga dapat di klasifikasikan kedalam fungsi-fungsi berikut :

1. Fungsi Biologis

Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas, kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi ; (a) Pangan, sandang, papan, (b) hubungan sexsual suami istri dan (c) reproduksi atau pengembangan keturunan.

2. Fungsi Ekonomis

Keluarga merupakn unit ekonomi dasar dalam sebagian besar masyarakat primitif. Para anggota keluarga bekerja sama sebagai tim untuk menghasilkan sesuatu.

3. Fungsi Pendidikan ( Edukatif )

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak. Keluarga berfungsi sebagai “transmitter budaya atau mediator” sosial budaya bagi anak. Fungsi keluarga dalm pendidikan adalah menyangkut penanaman, pembimbingan atau pembiasan nilai-nilai agama, budaya dan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak.


(34)

23 

4. Fungsi Sosialisasi

Lingkungan keluarga merupakan factor penentuan (determinant factor) yang sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang, Keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang harus dilaksanakan oleh para anggotanya. Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan kemampuan anak untuk menaati peraturan (disiplin), mau bekerjasama dengan orang lain, bersikap toleransi, menghargai pendapat gagasan orang lain, mau bertanggung jawab dan bersikap matang dalam kehidupan heterogen (etnis, ras, agama, budaya).

5. Fungsi Perlindungan (protektif)

Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari gangguan, ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (fisik psikologi) bagi para anggotanya.

6. Fungsi Rekreatif

Keluarga harus diciptakan sebagai lingkungan yang memberkan kenyamanan, keceriaan, kehangatan, dan penuh semangat bagi anggotanya. Maka dari itu, maka keluarga harus ditata sedemikian rupa, seperti menyangkut aspek dekorasi interior rumah, komunikasi yang tidak kaku, makan bersama, bercengkerama dengan penuh suasana humor dan sebagainya.


(35)

24 

7. Fungsi Agama (religious)

Keluarga berfungsi sebagai penanam nilai-nilai agama kepada anak agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar. Keluarga berkewajiban mengajar, membimbing atau membiasakan anggotanya untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Para anggota keluarga yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan yang memiliki mental yang sehat, yakni mereka akan terhindar dari beban-beban psikologis dan mampu menyesuaikan dirinya secara harmonis dengan orang lain, serta berpartisipasi aktif dalam memberikan kontribusi secara konstruktif terhadap kemajuan serta kesejahteraan masyarakat.

2.4.3 Macam-macam Pola Komunikasi

Menurut Yusuf (2001:51) terdapat tiga pola komunikasi hubungan orang tua dan anak yaitu :

a. Authoritarian (cenderung bersikap bermusuhan)

Dalam pola hubungan ini sikap acceptance (penerimaan) rendah, namun kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik, bersikap mengkomando mengharuskan atau meerintah anak untuk melakukan (sesuatu tanpa kompromi), bersikap kaku (keras), cenderung emosional dan bersikap menolak. Sedang dipihak anak mudah tersinggung, penakut, pemurung dan


(36)

25 

merasa tidak bahagia, mudah terpengaruh stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas serta tidak bersahabat.

b. Permissive (cenderung berperilaku bebas)

Dalam hal ini sikap acceptance (penerimaan) orang tua tinggi.Namun kontrolnya rendah, member kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya, Sedangkan anak bersikap impulsif serta agresif, kurang memiliki rasa percaya diri, suka mendominasi, tidak jelas arah hidupnya, prestasinya rendah.

c. Authoritative (cenderung terhindar dan kegelisahan dan kekacauan)

Dalam hal ini sikap acceptance (penerimaan) dan kontrolnya tinggi, bersikap responsive terhadap kebutuhan anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk. Sedangkan anak bersikap sahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri (self control) bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai tujuan atau arah hidup yang jelas, dan berorientasi terhadap prestasi.

Begitu pentingnya faktor komunikasi dalam keluarga, hal ini dikuatkan oleh pernyataan Wright (1991:93) yang mengatakan bahwa salah satu cara terpenting untuk membantu anak-anak menjadi orang dewasa adlah dengan mengajarkan berkomunikasi kepada mereka secara positif. Pertumbuhan dan perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh urutan kelahiran dan keluarga, struktur syaraf dan lain sebagainya, tetapi komunikasi dan hubungan dengan orang tua dan anggota


(37)

26 

keluarga menjadi peran penting dalam pembentukan kepribadian dan tingkah laku anak.

Pendapat ini dibenarkan oleh Ahmadi (1999:248), mengatakan bahwa suasan rumah yang hangat dan adanya perhatian, pengakuan, pengertian, penghargaan, kasih saying dan saling percaya, akan melahirkan anak-anak yang kelak hidup dengan nilai-nilai yang positif pula.

Suatu proses komunikasi dapat berjalan dengan baik jika antara komunikator dan komunikan adarasa percaya, terbuka sportif untuk saling menerima satu sama lain. (Rakhmat, 2002:129). Adapun sikap yang dapat mendukung kelancaran komunikasi orang tua dengan anak-anak adalah :

1. Mau mendengarkan sehingga anak-anak lebih berani membagi perasaan sesering mungkin sampai pada perasaan dan permasalhan yang mendalam dan mendasar.

2. Menggunakan empati untuk pandangan-pandangan yang berbeda dengan menunjukan perhatian melalui isyarat-isyarat verbal dan nonverbal saat komunikasi berlangsung.

3. Memberikan kebebasan dan dorongan sepenuhnya pada anak untuk mengutarakan pikiran atau perasaannya dan kebebasan untuk menunjukkan reaksi atau tingkah laku tertentu sehingga anak dapat menanggapi dengan positif tanpa adanya unsur keterpaksaan.


(38)

27 

Menurut Hastuti (dalm Kartono, 1994 : 154), pola komunikasi orang tua dengan anak yang berjalan secara harmonis dapat mengakibatkan :

1. Pikiran anak akan berkembang karena dapat mengungkapkan isi hatinya atau pikirannya dan dapat memberikan usul-usul serta berpendapat berdasarkan penalaran.

2. Orang tua anggota keluarga lainnya akan mengetahui dan mengikuti perkembangan jaln pikiran anak dan perasaan anak selanjutnya.

2.4.4 Pengertian Orangtua

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia orangtua adalah ayah dan ibu kandung. Sedangkan menurut Wright (1991 : 12), Orangtua dibagi menjadi tiga macam yaitu :

1. Orang tua kandung

Oarng tua kandung adalah Ayah dan Ibu yang mempunyai hubungan darah secara biologis (yang melahirkan).

2. Orangtua Angkat

Pria dan wanita yang bukan kandung tapi dianggap sebagai orangtua sendiri berdasarkan ketentuan hokum tau adat yang berlaku.


(39)

28 

3. Orangtua asuh

Orang yang membiayai hidup seseorang yang bukan anak kandungnya atas dasar kemanusiaan.

Dari pengertian diatas maka orangtua adalah pria dan wanita yang mempunyai hubungan ikatan baik itu secara biologis maupun sosial dan mampu mendidik, merawat, membiayai serta membimbing hidup orang lain yang dianggap anak secara berkesinambungan.

2.4.5 Pengertian anak

Anak adlah fase tumbuh kembang secara fisik maupun emosi setiap manusia, menurut Hurlock (dalam Yusuf, 2001 : 21) bahwa usia yang disebut sebagai anak yaitu diantara usia 11 tahun sampai usia 24 tahun. Periode anak ini dipandang sebagai masa “stom and strees”, frustasi, konflik dan penyesuaiandiri, mimpi dan melamunkan cinta, dan perasaan terisolasi atau tersisihkan dari kehidupan sosial budaya kerap muncul pada diri seorang anak.

Anak usia 11 tahun sampai 24 tahun di Indonesia diistilahkan sebagai remaja. Menurut Sarlito (2007:2), Remaja adalah periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun dimana seseorang menunjukan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya.

Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, remaja dibagi dalam tiga tahap perkembangan yaitu :


(40)

29 

1. Remaja Awal (Early Adolescence)

Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para remaja awal adalh remaja dengan usia 11 tahun sampai 24 tahun.

2. Remaja Madya (Middle adolescence)

Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu mencintai diri dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu harus memilih yang mana : perkataan tidak peduli, ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, ideal atau materialistis.

Remaja madya adalah remaja dengan batasan usia 15 tahun hingga 19 tahun.

3. Remaja Akhir (Late Adolescence)

Remaja akhir adalah remaja dengan usia 20 tahun sampai 24 tahun. Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini.


(41)

30 

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dalam pengalaman-penglaman baru.

c. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan dari diri sendiri dengan orang lain.

e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public)

Sedangkan kamus besar Indonesia menyatakan bahwa pengertian anak dibagi menjadi empat macam yaitu :

1. Anak Kandung

Anak kandung adalah pria dan wanita yang mempunyai hubungan darah secara biologis (lahir) dalam sebuah keluarga.

2. Anak Angkat

Pria dan Wanita yang bukan kandung tapi dianggap sebagai orangtua sendiri berdasarkan ketentuan hokum tau adat yang berlaku.

3. Anak Asuh

Anak yang mencari biaya hidup dengan meminta bantuan pada orangtua yang bukan orangtua kandungnya atas dasar kemanusiaan.


(42)

31 

4. Anak Tiri

Anak hasil hubungan dari istri suami yang telah bercerai namun di anggap sebagai anak sendiri oleh keluarga istri ataupun suami yang telah menikah lagi. Hubungan ikatan yang baik itu secara biologis maupun sosial yang berkesinambungan pada pria dan wanita yang dianggap anak.

2.5 Tunagrahita

Berdasarkan Association of Mental Retardation (AAMR) dari Luckasson (1992). Definisi anak Tunagrahita sebagai berikut

Mental retardation “refers to substantial limitations in present functioning. It is characterized by significantly subverage intellectual functioning, existing concurrently with related limitations in two or more of the following applicable adaptive skills areas: communication, self care, home living, social skill, community use, self direction, healt and safety, functional academic, leidure and work. Mental retardation manifests before age 18” (Delphie, 2009 : 67).

(Keterbelakangan memtal “mengacu pada keterbatasan di masa kini subsantantial berfungsi. Hal ini dicirikan oleh fungsi intelektual rata-rata secara signifikan, yang ada bersamaan dengan keterbatasan terkait dalam dua atau lebih hal berikut ketrampilan adaptif yang berlaku bidang: komunikasi, perawatan diri, rumah tinggal, ketrampilan sosial, masyarakat menggunakan, pengarahan diri,


(43)

32 

kesehatan dan keselamatan, fungsional akademis, waktu luang dan bekerja. Mental mewujud sebelum usia `18 tahun) (Delphie, 2009 : 67).

Ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata normal. Bersamaan dengan itu pula, tunagrahita mengalami kekurangan dalam tingkah laku dan penyesuaian. Semua itu berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya. Dengan demikian, seorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki tiga factor, yaitu:

(1) Keterhambataan fungsi kecerdasan secara umum atau dibawah rata-rata,

(2) Ketidakmampuan dalam perilaku adaptif, dan

(3) Terjadi selama perkembangan sampai usia 18 tahun (Anynomous, 2004:17)

2.5.1 Ciri Fisik dan Penampilan Anak Tunagrahita

1. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar.

2. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia.

3. Perkembangan bicara/bahasa terlambat.

4. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong).


(44)

33 

6. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut atau ngiler (Anynomous, 2004: 19).

2.5.2 Kebutuhan Pembelajaran Anak Tunagrahita

Dalam belajar ketrampilan membaca, ketrampilan motorik, ketrampilan lainnya adalah sama seperti anak normal pada umumnya.

a. Perbedaan Tunagrahita dalam mempelajari ketrampilan terletak pada karakteristik belajarnya.

b. Perbedaan karakteristik belajar anak tunagrahita terdapat pada tiga daerah yaitu:

1. Tingkat kemahirannya dalam keterampilan tersebut.

2. Generalisasi dan transfer ketrampilan yang baru diperoleh.

3. Perhatiannya terhadap tugas yang diembannya. (Anynomous, 2004:19

2.6 Karakteristik Tunagrahita

Berdasarkan bidang perilaku adaptif, maka karakteristik anak hendaya perkembengan fungsional (Tunagrahita), meliputi hal-hal sebagai berikut :

a.Mempunyai dasar secara fisiologi, sosial, dan emosional sama seperti anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita.


(45)

34 

b.Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan kesalahan (expectancy for failure).

c. Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan (outerdirectedness)

d.Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri.

e.Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial

(sociobehavioral).

f. Mempunyai masalah berkaitan dengan karaktristik belajar.

g.Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan.

h.Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik.

i. Kurang mampu untuk berkomunikasi.

j. Mempinyai kelainan pada sensoris dan gerak.

k.Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatri dan gejala-gejala deskriptif menurut hasil penelitian dari Meins tahun 1995 (Delphie, 2009 : 66-67) .

2.6.1 Pendekatan anak Tunagrahita

Pendekatan yang dipergunakan pada anak dengan hendaya perkembangan fungsional dalam pembelajaran yang mengaplikasikan gerak irama dapat


(46)

35 

dilakukan secara psikososial, intervensi fisik, dan pemberian tugas-tugas kegiatan yang tidak menyimpang dengan ketrampilan-ketrampilan fungsional yang ada dalam kurikulum (Delphie, 2009 : 290).

Dalam setting pendidikan, fungsi psikososial mengacu pada kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1. Latihan-latihan kecakapan hidup (life skills), misalnya berkaitan dengan masalah kecakapan hidup yang mendasar tentang bagaimana mengatur kesehatan diri dan mengatur rumah, mampu berpergian dalam kota, mengikuti sebuah aturan permainan, mengatur penggunaan uang sesuai dengan konsep-konsep diri yang telah mereka punyai. Kunci sukses dalam kegiatan ini adalah pemberian motivasi terhadap siswa.

2. Latihan-latihan yang mengarah pada ketrampilan sosial yang dapat menyiapkan siswa untuk mampu hidup di masyarakat. Oleh karena itu, ketrampilan sosial ini tidak terlepas dengan isi kurikulum. Adanya defisit pada ketrampilan sosial dapat mengakibatkan munculnya perilaku-perilaku yang tidak diharapkan. Siswa dengan hendaya perkembangan fungsional kadangkala mempunyai perilaku yang menunjukan ketidakdewasaan atau perilaku yang tidak pada tempatnya. Keterampilan sosial ini perlu dipersiapkan dalam suatu pelatihan dengan berbagai kesempatan yang menyertakan aturan-aturan belajar dan norma-norma yang bersifat sosial atau bermasyarakat. Dalam pembelajarannya perlu dilibatkan tentang cara mengatasi permasalahan sendiri, mengembangkan permasalahan yang


(47)

36 

sudah dapat di atasi, dan pihak yang dapat membantu saat permasalahan muncul.

3. Latihan-latihan dengan kawan sebaya. Kegiatan ini biasanya dapat dipakai siswa lain sebagai fasilitator. Kawan sebaya dapat berupa siswa dengan hendaya perkembangan fungsional ataupun siswa normal dalam pendidikan insklusif (Smith, et. Al., 2002 : 2 dan 16-219).

4. Latihan dengan kawan sebaya dapat diterapkan dengan berbagai cara. Latihan ini dapat digunakan untuk segala tujuan sesuai dengan keperluannya. Program latihan dengan kawan sebaya terdiri atas dua tipe, yaitu sebagai berikut :

a. Siswa normal mempelajari tentang kebutuhan dan tantangan-tantangan dari siswa yang mempunyai kebutuhan khusus.

b. Kawan sebaya melatih fasilitas sosial yang diperlukan bagi kepentingan pembelajaran. Dalam hal ini kawan sebaya menjadi sebuah fasilitator untuk dapat menjembatani persahabatan antara siswa berkebutuhan khusus

dengan siswa-siswa lainnya yang ada di sekolah tersebut (Delphie, 2009 : 290-291).

Tujuan utama setiap program, yaitu mempersiapkan anak Tunagrahita untuk dapat hidup secara mandiri serta dapat menghidupi diri sendiri dan keluarganya secara sukses setelah anak Tunagrahita keluar dari panti. Oleh karena itu, setiap program melibatkan kurikulum yang lebih menekankan pada perubahan fungsi


(48)

37 

pembelajaran dan kebutuhan setiap individu. Pembelajaran tersebut dikenal sebagai model pembelajaran secara alami diharapkan dapat meningkatkan kompetensi siswa beberapa segi, meliputi kemampuan bekerja atau dapat mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, mampu menata rumah tangga, mampu memanfaatkan waktu luang, keterlibatan anggota keluarga, kesehatan fisik dan mental, tanggung jawab pribadi, serta hubungan pribadi dengan pribadi lain.

2.7 Kerangka Berfikir

Angka Gepeng di Indonesia semakin banyak, termasuk peningkatan anak tunagrahita. Hubungan keluarga di dalam Ponsos Kalijudan dapat terganggu karena kehadiran Anak tunagrahita yang mulanya hanya membina mahasiswa berprestasi, hal ini dikarenakan kehadiran anak tunagrahita tidak dapat menyesuaikan diri atau tidak sempurna secara fisik ataupun mental.

Awal kehadiran anak tuna grahita di dalam pondok sosial, tidak banyak orang tua asuh yang dapat berinteraksi serta mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan anak asuhnya. Sehingga, orang tua asuh tidak bisa menyampaikan pesan kepda anak asuhnya dengan maksimal.

Tanpa pola komunikasi, dukungan, dan latihan-latihan yang baik oleh keluarga Ponsos Kalijudan dalam membina anak tunagrahita, maka anak tunagrahita tidak akan berkembang dengan baik sesuai yang diharapkan orangtua asuh selain itu hidup mereka akan tergantung dengan orang-orang di dekatnya.


(49)

38 

Oleh karena itu pola komunikasi sangat dibutuhkan untuk menggali kelebihan serta bakat dan mengarahkan perilaku yang ada pada si anak dengan orang lain, termasuk dengan teman-temanya atau orang-orang yang ada di dalam ponsos.

Dalam Pondok Sosial Kalijudan, orang tua asuh yang membina anak tunagrahita bertanggung jawab memberikan pendidikan dan terapi kepada anak-anak asuhnya tentang bagaimana anak-anak dapat mengurangi perilaku yang lazim, agar anak dapat bersikap dan berperilaku yang seperti anak normal lainnya.

Dengan demikian Orangtua Asuh lebih intens dalam menerapkan komunikasi interpersonal dalam membimbing anak tunagrahita dengan baik dan maksimal agar anak tersebut dapat berkembang dengan baik sehingga anak tidak tergantung kepada orang lain dan anak bisa diterima dalam masyarakat luar untuk bersosialisasi dan menghadapi lingkungan disekitarnya demi masa depan ank tersebut.

Komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi interpersonal yang efektif. Komunikasi yang efektif dapat menimbulkan pengertian, kesenangan dan pengaruh pada sikap, hubungan dan tindakan makin baik (Effendy, 2002:8).

Komunikasi yang efektif juga akan menimbulkan hubungan yang makin baik diantara kedua belah pihak. Dan hubungan yang harmonis dan penuh kasih saying akan mempengaruhi perkembangan perilaku anak yang baik pula (Rahmat, 2002:13).

Peneliti tertarik untuk mengangkat dalam sebuah kajian tentang Pola Komunikasi antara Orangtua Asuh dengan Anak Tunagrahita, Orangtua Asuh


(50)

39 

yang dimaksud adalah Pegawai Dinas sosial di Unit Pelaksana Teknis Dinas Kalijudan dimana pegawai tersebut yang menghabiskan waktu paling banyak dengan anak-anak tunagrahita, disini peneliti ingin mengetahui bagaimana komunikasi atau binaan yang diberikan orangtua asuh kepada kliennya.

Didalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Peneliti menggunakan teknik in-depth interview sebagai teknik pengumpulan data, karena teknik tersebut memungkinkan untuk menggali bagaimana pola komunikasi keluarga, aksi, dan interaksi berlangsung diantara subyek penelitian.


(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Pada penelitian ini penulis tidak membicarakan hubungan antara variable sehingga tidak ada pengukuran variable x dan y. Penelitian ini difokuskan pada pola komunikasi antara Orangtua asuh dengan anak Tunagrahita di Pondok sosial Kalijudan, yang beralamat di Villa Kalijudan Indah Kav XV nomer 2-4 Surabaya. Sehingga tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif dan menggunakan analisis kualitatif. Tipe penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejernih mungkin tanpa adanya perlakuan terhadap objek yang diteliti (Kountur, 2003 : 53).

Tipe penelitian deskriptif bertujuan membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Priset sudah mempunyai konsep (biasanya satu konsep) dan kerangka konseptual. Melalui kerangka konseptual (landasan teori), priset melakukan operasionalisasi konsep yang akan menghasilkan variable beserta indikatornya. Riset ini untuk menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan antar variabel. (Rachmat 2007 : 69)

Menurut Rachmat dalam bukunya riset komunikasi, secara umum riset yang menggunakan metodologi kualitatif mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :


(52)

41

1. Intensif, partisipasi periset dalam waktu lama pada seeting lapangan, periset adalah instrument pokok riset.

2. Perekam yang sangat hati-hati terhadap apa yang terjadi dengan catatan-catatan di lapangan dan tipe-tipe lain dari bukti-bukti documenter.

3. Analisis data lapangan

4. Melaporkan hasil termasuk diskripsi detail, quotes (kutipan-kutipan) dan komentar.

5. Tidak ada realitas yang tunggal, setiap peneliti mengkreasi realitas sebagai bagian dari proses penelitiannya. Realitas dipandang sebagai dinamis dan produk konstruksi sosial.

6. Subjektif dan berada hanya dalam referensi peneliti. Periset sebagai sarana sebagai penggalian interprestasi data.

7. Realitas adalah holistik dan tidak dapat dipilah-pilah.

8. Periset memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi dan individu-individu.

9. Lebih pada kedalaman (depth) daripada keluasan (breadth). 10.Prosedur riset : empiris-rasional dan tidak berstruktur.

11.Hubungan antara teori, konsep dan data : data memunculkan atau membentuk teori baru.

Pendekatan kualitatif dipilih dengan pertimbangan lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dan informan, lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi,

   


(53)

42

meskipun mempunyai bahaya bias peneliti. Metode kuallitatif yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis, artinya peristiwa dan kaitan-kaitannya orang-oarng biasa dalam situasi-situasi tertentu dengan menekankan pada aspek subyektif dari perilaku orang, dan pendekatan interaksi simbolik, yang berasunsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran, dimana menjadi paradigma konseptual melebihi dorongan dari dalam, sifat-sifat pribadi, motivasi yang tidak disadari, kebetulan, status sosial ekonomi, kewajiban peranan, resep budaya, mekanisme pengawasan masyarakat tau lingkungan fisik lainnya.

Untuk meneliti pola komunikasi dan perubahan gejala sosial yang ada peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis, dimana peneliti berusaha “Mengungkap” proses interprestasi dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang orang yang diteliti. Peneliti berusaha mendalami aspek “subjek” dari perilaku manusia dengan cara masuk ke dunia konseptua orang-orang yang diteliti sehingga dapat dimengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan pada peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini bukan berarti peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang di teliti (Moleong,1996 : 4-13).

Dalam penelitian ini kedudukan peneliti sebagai instrumen penelitian dan sebagai instrumen harus mencakup segi responsif, dapat menyesuaikan diri, menekankan kebutuhan, mendasarkan diri atas pengetahuan, memproses data secepatnya dan memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan dan mengikhtisarkan serta memanfaatkan kesempatan mencari respon yang tidak lazim atau idionsinkratik (Moleong,2002 :121).

   


(54)

43

Penelitian kulitatif mempunyai karakteristik pokok yakni mementingkan makna dan konteks, dimana proses penelitiannya lebih bersifat siklus dari pada linier. Dengan demikian pengumpulan data dan analisa data berlangsung secara simultan, lebih mementingkan ke dalam dibanding keluasan penelitian, sementara peneliti sendiri merupakan instrumen kunci. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan pengamatan berperan serta (participant observation) yang didefinisikan mengadakan pengamatan dan mendengarkan secara secermat mungkin sampai pada yang sekecil-kecilnya sekalipun dengan wawancara mendalam (indepth interview) (Bondan dalam moleong,2002 : 117).

Pendekatan kualitatif sifatnya fenomenologis untuk memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu, realitas sosial, memberikan tekanan tebuka tentang kehidupan sosial. Dalam konteks ini studi deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi pola komunikasi keluarga pada anak anuitas di Surabaya (Moleong,2002 : 9).

3.2 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada pola komunikasi keluarga Pola komunikasi keluarga Pondok sosial Kalijudan yaitu antara Orangtua asuh (Pegawai Dinas Soaial Kalijudan) dengan anak tunagrahita di Unit Pelaksana Teknis Dinas Kalijudan Surabaya. Proses komunikasi pada anak tunagrahita menentukan konsep hubungan antara keduanya dan membawa dampak di dalam perubahan perilaku dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hal ini dapat diamati bentuk-bentuk pola komunikasi keluarga khususnya orangtua asuh yang dapat memberikan pendidikan

   


(55)

44

dan terapi kepada anak-anak asuhnya tentang bagaimana anak tersebut dapat menghilangkan keterbelakangan mentalnya, agar anak dapat bersikap dan berperilaku yang seperti anak normal lainnya, untuk bersosialisasi dan menghadapi lingkungan disekitarnya demi masa depan anak dan anak tidak tergantung lagi dengan orang lainnya.

3.3 Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok Sosial Kalijudan yang beralamat di Villa Kalijudan Indah Kav XV nomer 2-4 Surabaya. Sebagai lokasi dimana penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pondok sosial tersebut memiliki binaan khusus untuk Anak dengan Hendaya Perkembangan Fungsional yaitu mengalami hambatan belajar, lambat belajar, gangguan emosi, gangguan interaksi sosial, dan tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai dengan umurnya atau biasa disebut Tunagrahita.

Didalam Pondok sosial tersebut memiliki binaan sejumlah anak-anak Tunagrahita yang dapat dinilai berat dalam memahi segala hal.

3.4 Unit Analisis Penelitian

Dalam penelitian kualitatif peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual, jadi maksud sampling dalam hal ini ialah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (construction) dengan tujuan bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan kedalam generalisasi, maksud yang kedua dari sampling

   


(56)

45

adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (Purposive Sampling). Di dalam teknik purposive ini ditandai dengan ciri-ciri antara lain :

1. Rancangan sampel yang muncul; sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu.

2. Pemilihan sampel secara berurutan; tujuan memperoleh variasi sebanyak-sebanyaknya hanya dapat dicapai apabila pemilihan satuan sampel dilakukan jika satuan sebelumnya sudah dijaring dan dianalisis. Setiap satuan berikutnya dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperoleh terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan atau disisih adanya kesenjangan informasi yang ditemui. Dari mana atau dari siapa ia memulai tidak menjadi persoalan, tetapi bila hal sudah berjalan, maka pemilihan berikutnya bergantung pada apa keperluan peneliti.

Unit analisis data dalam penelitian ini adalah informasi yang berupa narasi-narasi kualitatif yang dihasilkan dalam wawancara mendalam (in-depth interview) yang berkaitan dengan pola komunikasi antara Orangtua Asuh dengan Anak Tunagrahita di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok sosial Kalijudan Surabaya (Moleong,2002:165-166)

   


(57)

46

3.5 Subyek Informal Penelitian 1. Subyek penelitian

Subyek penelitian ini adalah informan yang merupakan orang tua asuh dengan kliennya yaitu anak tunagrahita. Baik dalam membimbing atau

berkomunikasi terhadap kliennya yang tuna grahita. Yang menghasilkan narasi-narasi kualitatif dalam wawancara mendalam (in-depth interview).

2. Informan Penelitian

Informan penelitian ini tidak ditentukan berapa jumlahnya, tetapi dipilih

beberapa informan yang dianggap mengetahui, memahami permasalahan yang terjadi sesuai substansi penelitian ini. Hal ini disebabkan karena dalam penelitian kualitatif tidak mempersoalkan berapa besar juumlah informan, melainkanyang terpenting adalah seberapa jauh penjelasan informan yang diperoleh dalam menjawab permasalahan (Suryabrata, 1998 : 89).

Namun demikian peneliti akan berusaha menjaring sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan tujuan penelitian dari berbagai sumber. Peneliti akan mencari variasi informasi sebanyak-banyaknya dari informan dengan menggunakan tehnik sampling in-depth interview (wawancara mendalam), yaitu orang-orang yang dianggap mengetahui, memahami permasalahan yang terjadi sesuai substansi penelitian sehingga dapat mengahasilkan data berupa kata-kata dan tindakan, dan memungkinkan narasumber untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkunganny dengan menggunakan istilah-istilah mereka sendiri.

Berikut ini merupakan syarat untuk menjadi seorang informan dalam penelitian ini, antara lain 3 (tiga) orangtua asuh ataupun guru-guru pembimbing yang

   


(58)

47

menghabiskan waktu paling banyak dengan anak-anak tunagrahita dan 3 (tiga) anak tunagrahita yang menurut pimpinan Dinsos Kalijudan anak tunagrahita tersebut masih bisa diajak komunikasi.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan sumber data utama adalah wawancara mendalam (in-depth interview) yang menghasilkan data berupa kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

Teknik ini dinilai paling sesuai, karena hal tersebut memungkinkan pihak yang di wawancarai untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, untuk menggunakan istilah-istilah mereka sendiri mengenai fenomena yang diteliti, tidak sekedar menjawab pertanyaan (Mulyana, 2002:183).

Dengan teknik ini diharapkan informan dapat lebih terbuka dan berani dalam memberikan jawaban dan respon terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti.

Kelebihan lain adalah, peneliti secara personal dapat bertanya langsung dan mengamati respon terutama non verbal mereka dengan lebih detail.

Sesuai dengan sifat-sifatnya tersebut diatas, teknik in-depth interview dipandang sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Sebagai penelitian kualitatif, peneliti harus dapat menampilkan kekayaan dan kerincian data. Sifatnya yang one-on-one juga akan mendukung keberhasilan wawancara karena topik dalam penelitian ini sifatnya cukup pribadi dan sensitif, sehingga memungkinkan informan mengungkapkan opininya secara lebih bebas dan jujur.

   


(59)

48

Namun demikian seperti juga teknik-teknik penelitian lain, in-depth interview juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan utamanya adalah kekayaan data yang diperoleh. In-depth interview mampu menghasilkan respon yang lebih akurat dalam penelitian yang membahas topik-topik sensitive. Hubungan yang dekat antara informan dan peneliti mempermudah untuk menggali topik-topik tertentu yang mungkin masih tabu dalam pendekatan lain (Wimmer & Dominick, 2002:122).

Sedangkan, kelemahan in-depth interview adalah adanya kecenderungan untuk menggeneralisasi. in-depth interview biasanya dilakukan dengan sampel yang kecil dan tidak acak. Karena interview biasanya dilakukan tanpa menggunakan standar-standar tertentu, masing-masing informan dapat memberikan berbagai versi jawaban dari sebuah pertanyaan. Bahkan sangat mungkin bila seorang informan memberikan jawaban atas pertanyaan yang tidak ditanyakan pada informan lain. Kelemahan lain adalah adanya bias dari peneliti. Dalam beberapa interview mungkin saja sikap dan penderian peneliti tanpa sengaja terkomunikasikan, misalnya melalui perilaku nonverbal atau tekanan suara. Hal ini dapat mempengaruhi validitas dari jawaban informan.

Studi literature, teknik pengumpulan data dengan mencari data pengunjung dengan mengolah buku-buku dan sumber bacaan lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik tersebut adalah ingin mengidentifikasi pola komunikasi antara Orangtua asuh dengan Anak Tunagrahita di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok sosial

   


(60)

   

49

Kalijudan Surabaya. Dan mencari solusi atas permasalahan penelitian. Setelah seluruh data diperoleh dari in-depth interview dan observasi maka peneliti akan menggunakan teknik analisis data bersifat deskriptif yang ingin menggambarkan data tersebut berdasarkan pola komunikasi yang ada untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi orang tua asuh didalam ponsos pada anak tunagrahita di Unit Pelaksana Teknis Daerah Ponsos Kalijudan Surabaya. Jenis wawancara yang dilakukan peneliti untuk mewawancarai anak tunagrahita berbeda dengan pegawai dinas sosial. Peneliti menggunakan kata-kata yang standart agar lebih mudah dimengerti.

     


(61)

 

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian

Komunikasi interpersonal merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Pentingnya situsi komunikasi interpersonal ialah karena prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi interpersonal dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap,kepercayaan, opini dan perilaku komunikan.

Sasaran obyek peneliti adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pondok Sosial Kalijudan Surabaya. Riwayat dari pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) tersebut sebelum adanya Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok Sosial Kalijudan pada awalnya adalah Yayasan Bibit Unggul, yang dibangun dan disahkan oleh Soenarto Sumoprawiro untuk membina anak-anak berprestasi pada tahun 1994 dengan nama yayasan Tunas Pratama Bakti (Anak Asuh Bibit Unggul). Pada tahun 2002 yayasan tersebut mengalami kekurangan atau kesulitan dana sehingga diambil alih Pemerintah Kota Surabaya, berdasarkan peraturan walikota (perwali) Surabaya no 85 Tahun 2008 Tanggal 17 Desember 2008. Dengan tugas yang mengatur pelaksanaan atau kegiatan Unit Pelaksana Teknis Dinas, Pondok Sosial Kalijudan yang menangani Penyandang Masalah

50   


(62)

 

Kesejahteraan Sosial (PMKS) yaitu anak-anak atau mahasiswa berprestasi khususnya dari keluarga tidak mampu, dan pada tahun 2009 Unit Pelaksana Teknis Dinas memulai menambah program untuk penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial terhadap anak-anak tunagrahita yang mendapatkan fasilitas-fasilitas selayaknya melalui Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD).

Dalam penelitian ini peneliti focus pada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya tunagrahita, hal tersebut karena peneliti prihatin dengan kondisi kecacatan atau keterbelakangan mental yang disandang oleh anak tunagrahita, selain itu peneliti ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi antara orangtua asuh kepada anak tunagrahita. Penelitian pola komunikasi pada anak tunagrahita tersebut, khususnya anak tunagrahita yang masih bisa diajak komunikasi dengan orang lain, atau tunagrahita yang memiliki IQ sedang yakni sekitar 55-40. Mengambil 6 Orang informan yaitu 3 orangtua asuh dan 3 anak tunagrahita yang mampu menjadi informan atau responden serta mampu memberikan semua data yang dibutuhkan. Mereka memiliki orangtua asuh yang memiliki berbagai cara pola asuh tersendiri kepada anak tunagrahita.

Bila diperhatikan, persamaan dari semua informan adalah rata-rata waktu yang dihabiskan bersama anak asuhnya yang menyandang hendaya perkembangan atau sering disebut anak tunagrahita hampir 24 jam perhari untuk mendampingi dan melatih serta mengasuh anak asuhnya. Secara keseluruhan wawancara berlangsung lancar, dimana sebagian besar informan sangat terbuka dalam memberikan informasi dan juga mengungkapkan secara mendalam berbagai

51   


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa terdapat 3 jenis pola komunikasi, yaitu pola komunikasi authoritarian (otoriter), pola komunikassi permissive (membebaskan), dan pola komunikasi authoritative (demokratis). Namun secara garis beras hasil penelitian ini yaitu kebanyakan orangtua asuh yang membina anak-anak tunagrahita yang tinggal didalam Pondok Sosial Kalijudan Surabaya menganut pola komunikasi authoritative (demokratis), dari 3 orangtua asuh yang mendampingi anak-anak tunagrahita tersebut selama 24 jam ada dua orang yang menganut pola komunikasi authoritative (demokratis) dan hanya satu orangtua asuh yang menganut pola komunikasi authoritarian (otoriter).

1. Pola Komunikasi Authoritative (Demokratis)

Dua informan dalam penelitian ini menganut Pola komunikasi yang demokratis, dimana orangtua asuh memahami kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh anak tunagrahita, selain itu pola komunikasi ini arah atau arus hubungan komunikasi bersifat sirkuler sehingga arus komunikasi antara komunikator dengan komunikan yang terjadi adalah dua arah dan kedudukannya seimbang artinya orangtua asuh dan anak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi komunikator dan komunikan. Biasanya pola komunikasi ini diterapkan oleh orangtua asuh yang benar-benar bisa memahami keadaan yang dimiliki anak


(2)

tunagrahita. Orangtua memposisikan dirinya sebagai pemberi pesan namun tidak pula merasa keberatan bila harus diposisikan sebagai penerima pesan. Jika dilihat serata secara konseptual komunikasi interpersonal, pola komunikasi semacam ini adalah cara yang baik untuk menjaga keharmonisan antara orangtua asuh dengan anak-anak tunagrahita tersebut, sehingga dapat mengacu perkembangan untuk berkomunikasi bagi anak tunagrahita yang memiliki kekurangan mental agar dapat berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain.

2. Permissive (membebaskan)

Dalam pola komunikasi permissive, ketiga orangtua asuh memiliki sifat permissive yaitu orangtua asuh memberikan kebebasan kepada anak asuh untuk berinteraksi dengan siapapun dan melakukan apapun yang dinginkan sang anak , namun pola komunikasi tersebut digunakan orangtua asuh pada saat-saat tertentu tetapi masih dalam pengawasan orangtua asuh, misalnya pada saat waktu kosong dan waktu istirahat sekolah, hal ini dilakukan oleh orangtua asuh karena jika pola komunikasi permissive ini digunakan tidak pada waktu khusus sehingga anak tunagrahita akan semakin liar dan yang terjadi adalah anak tersebut cenderung akan merusak barang-barang (fasilitas) yang ada selain itu mereka akan menyakiti diri sendiri dan teman-temannya maka lebih baik pola komunikasi permissive tersebut digunakan pada waktu tertentu agar tidak merugikan anak tunagrahita sendiri ataupun orang lain.


(3)

3. Pola Komunikasi Authotarian (Otoriter)

Pola komunikasi yang paling sedikit terjadi didalam Pondok Sosial Kalijudan Surabaya antara orangtua asuh dengan anak tunagrahita adalah pola komunikasi authoritarian (otoriter). Pola komunikasi otoriter memiliki arus hubungan komunikasi satu arah yang posisinya tidak seimbang. Yaitu anak selalu menjadi komunikan tanpa diberi kesempatan untuk menjadi komunikator. Orangtua selalu bertindak semena-mena dalam memerintah serta mempunyai keinginan yang absolute (mutlak) yang harus dilakukan oleh anak tanpa diberi penjelasan dan pertimbangan alasan agar dapat diterima dengan baik oleh anak, dan orangtua tidak memberikan kepercayaan terhadap anak dan Orangtua kurang bisa berkomunikasi yang efektif dengan anak-anak asuhnya karena sifat orangtua yang dominan membuat anak merasa tertekan dalam kehidupan didalam panti.

Orangtua asuh kurang percaya untuk melepas anak asuhnya bermain sendiri dan melakukan hal-hal yang dianggap berdampak buruk yaitu merusak barang-barang yang ada ataupun menyakiti temannya selain itu keinginan orangtua agar anak tunagrahita tersebut dapat cepat mandiri. Seperti yang diketahui bahwa anak-anak adalah masa-masa untuk bermain, dan rasa ingin tahunya yang sangat besar hal ini memerlukan perhatian yang cukup besar juga, apalagi dengan anak yang keterbelakangan mental seperti anak tunagrahita lebiih memerlukan perhatian yang lebih khusus dari orangtua asuhnya. Orangtua yang melihat perilaku atau kesalahan anak asuhnya, orangtua asuh tersebut cenderung menggunakan hukuman fisik dan tidak ada rasa percaya yang diberikan orangtua pada anaknya. Hal itu membuat anak tertekan, penakut, mudah stress, serta tidak mempunyai


(4)

arah tujuan yang jelas dan cenderung ungun keluar atau kabur dari pondok sosial (panti) tersebut. Dalam posisi seperti ini bahwa anak merasa dia tidak punya kehidupan dan bagaikan robot karena orangtua berperan penuh dalam kebebasan anak untuk melakukan apa yang dia mau, bagi orangtua yang berperilaku seperti ini karena orangtua merasa membina atau mendampingi anak secara seutuhnya, sehingga orangtua merasa berhak menentukan apapun yang akan dipilih dan dilakukan oleh anak asuhnya.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diberikan saran sebagai berikut :

Pola komunikasi yang seharusnya digunakan oleh orangtua asuh dalam membina atau mendampingi anak tunagrahita adalah pola komunikasi authoritative (demokratis), karena dengan menerapkan pola komunikasi authoritative ini maka hubungan interpersonall antara orangtua dan anak dapat berkembang dengan baik, hal ini menjadikan komunikassi yang efektif bagi orangtua dan anak, dan juga akan menimbulkan hubungan yang harmonis didalam panti, selain itu akan menjadi perkembangan mental yang baik bagi anak tunagrahita ini karena dia diberi kesempatan untuk menjadi komunikator atau dapat menyampaikan apapun yang dinginkan dan dilakukan. Dengan pola komunikasi yang demokratis dimana dalam hal ini sikap penerimaan (acceptance) serta control dari orangtua tinggi, bersikap responsive terhadap kebutuhan anak,


(5)

mendorong anak dan menyatakan pendapat atau sekedar pertanyaan dan memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk. Hal ini menyebabkan anak bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, memiliki rassa ingin tahu yang tinggi, maka seharusnya orangtua menghindari pola komunikassi authoritarian (otoriter) yaitu memaksakan keinginan orangtua asuh untuk menuruti yang orangtua mmau dan memaksakan anak untuk mandiri, sehingga orangtua asuh membatasi apa yang akan dilakukan anak dalam hal ini seharusnya orangtua asuh lebih pengertian, dan penuh kasih sayng kepada anak tunagrahita yang mempunyai kekurangan atau keterbelekangan mental saperti itu Karena hal ini akan membuat anak tidak berani mengungkapan pendapat dan apa yang dinginkan karena takut salah dan dimarahi orangtua, dalam hal ini akan membuat perkembangan anak akan semakin terlambat dan mereka akan berniatan kabur dari pondok sosial kalijudan Surabaya ini.

Seharusnya ada klasifikasi khusus bagi anak tunagrahita tersebut baik saat kegiatan sekolah ataupun kegiatan didalam panti, pengelompokan tersebut seharusnya sesuai dengan IQ yang dimiliki oleh anak-anak tunagrahita, hal ini dilakukan agar bagi anak tunagrahita sedang yang biasanya memiliki IQ 55-40, tidak terpengaruh atau lebih parah seperti anak tunagrahita yang cukup berat biasanya memiliki IQ kurang dari 30.


(6)

Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus.

Anynomous. 2006, “Standart Pelayanan Publik (SPP) Panti Rehabilitasi Sosial Bina Karya”, Surabaya.

Delphie, Bandi, 2009. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Setting Pendidikan Inklusi, Sleman : PT. Intan Sejati Klaten.

Devito, JA. 1989, “The International Communication Book”, Harper and Row, New York.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2004 “Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga: Sebuah Perspektif Pendidikan Islam”, Rineka Cipta, Jakarta. Effendy, Onong Uchjana, 2002 “Pengatar Ilmu Komunikasi (Teori Dan

Praktek)”, Jakarta, PT. Rosdakarya.

Kountur, Ronny, 2003, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta PPM.

Moeleong, J.L, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Moss, Sylivia dan Tubbs, Steiwart L., 2000, Human Communication: Prinsip-prinsip Dasar, Bandung, Penerbit PT. Rosdakarya.

Mulyana, Deddy, 2001. Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar). Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaludin. 2007 “Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Yusuf, Syamsu, L.N, 2001, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung, Penerbitan Remaja Rosdakarya.

Non Buku:

(http://google/ayayawae.wordress.com/2009/09/12)


Dokumen yang terkait

Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU)

6 100 113

Pola Asuh Keluarga yag Memiliki Anak Tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

7 95 103

Perbedaan Tingkat Pola Asuh Orangtua dari Anak Autisme Berdasarkan Usia, Pendidikan, dan Pekerjaan

2 58 76

Gambaran Kemandirian Remaja Dengan Pola Asuh Permisif

0 45 79

Pola Komunikasi orangtua Tunggal Dengan Anak Remaja pada Suku Batak Di Desa Gempolan Kecamatan Sei Bamban

6 98 125

Pengaruh Pola Asuh Anak Terhadap Terjadinya Balita Malnutrisi Di Wilayah Kerja Puskesmas Montasik Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar Tahun 2006

0 33 97

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI KELUARGA DAN PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH DEMOKRATIS ORANGTUA DENGAN Hubungan Antara Komunikasi Keluarga Dan Persepsi Terhadap Pola Asuh Demokratis Orangtua Dengan Kepercayaan Diri Pada Remaja.

0 3 17

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI KELUARGA DAN PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH DEMOKRATIS ORANGTUA DENGAN Hubungan Antara Komunikasi Keluarga Dan Persepsi Terhadap Pola Asuh Demokratis Orangtua Dengan Kepercayaan Diri Pada Remaja.

0 2 20

PEMBERDAYAAN TUNAGRAHITA DALAM PERSPEKTIF PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR PADA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PONDOK SOSIAL KALIJUDAN (UPTD PONSOS KALIJUDAN) DINAS SOSIAL KOTA SURABAYA

0 0 10

POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA ASUH DENGAN ANAK TUNAGRAHITA (Studi Kualitatif Tentang Pola Komunikasi Orang Tua Asuh Dengan Anak Tunagrahita Di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pondok Sosial Kalijudan Surabaya) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagai persyar

0 0 24