Cacing Tanah Lumbricus rubellus
lendir pun dapat digunakan untuk mempertahankan diri. Oleh karena tubuhnya licin, cacing tanah sangat sukar ditangkap musuh-musuhnya.
Pada tubuhnya, terdapat organ yang disebut seta. Seta yang terdapat pada setiap segmen ini berupa rambut yang relatif keras dan
berukuran pendek. Daya lekat organ ini sangat kuat sehingga cacing dapat melekat erat pada permukaan benda. Daya lekat ini akan melemah
saat cacing akan bergerak maju. Seta ini pun dapat membantu cacing tanah saat melakukan perkawinan Palungkun, 2010: 8
Cacing tanah tidak memiliki mata, tetapi di tubuhnya terdapat prostomium. Prostomium ini merupakan organ syaraf perasa dan
berbentuk seperti bibir. Organ ini terbentuk dari tonjolan daging yang dapat menutupi lubang mulut. Prostomium terdapat pada bagian depan
tubuhnya. Adanya prostomium ini membuat cacing tanah peka terhadap benda-benda di sekelilingnya. Itulah sebabnya cacing tanah dapat
menemukan bahan organik yang menjadi makanannya walaupun tidak memiliki mata.
Di bagian akhir tubuhnya terdapat anus. Anus digunakan untuk mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya. Kotoran
yang keluar dari anus tersebut sangat berguna bagi tanaman karena sangat kaya dengan unsur hara. Kotoran tersebut dikenal dengan istilah
kascing. Untuk dapat bernapas, cacing tanah hanya mengandalkan kulitnya
karena tidak memiliki alat pernapasan. Oksigen yang digunakan untuk
proses metabolisme tubuh diambil dari udara dengan bantuan pembuluh darah yang terdapat di bagian bawah kutikula. Pembuluh darah itu pun
dapat berfungsi melepaskan karbondioksida CO
2
sebagai sisa hasil metabolisme. Namun, agar proses bernapas pada cacing tanah dapat
berlangsung dengan baik, kelembaban lingkungannya harus cukup tinggi. Cacing tanah dewasa memiliki klitelum yang merupakan alat yang
dapat membantu perkembangbiakan. Organ ini merupakan bagian dari tubuh yang menebal dan warnanya lebih terang dari warna tubuhnya.
Pada cacing yang masih muda, organ ini belum tampak karena hanya terbentuk saat cacing mencapai dewasa kelamin, sekitar 2-3 bulan
Palungkun, 2010: 8-9 Berikut ini merupakan struktur tubuh cacing tanah :
Gambar 1. Struktur Tubuh Cacing Tanah Rukmana, 1999: 17
Ada berbagai jenis cacing tanah. Pada genus Lumbricus pun terdapat spesies lain yang salah satunya adalah Lumbricus terrestris.
Melihat kedua cacing ini berasal dari genus yang sama, maka ciri-ciri
antara keduanya tidak jauh berbeda. Pada Lumbricus rubellus, ciri khusus yang ditunjukkan adalah warna tubuh biasanya berwarna merah
kecoklatan, bentuk tubuh pipih dengan bentuk ekor tumpul serta kekuningan, panjang tubuh berkisar antara 7,5 sampai 9 cm. Untuk
Lumbricus terrestris , ciri khususnya adalah bentuk tubuhnya panjang dan
silindris, belum memiliki rongga tubuh, dan 23 bagian posteriornya memipih secara dorsoventral. Berikut adalah kenampakan dari kedua
cacing tanah dari genus Lumbricus ini:
Gambar 2. Perbedaan Cacing Lumbricus rubellus kiri dan Lumbricus terrestris
kanan cacingpantura.blogspot.id dan hardianimalscience.wordpress.com
2. Habitat
Di habitat alaminya, cacing tanah hidup dan berkembangbiak di dalam tanah yang lembab dengan suhu sekitar 15-25
o
C. Cacing tanah merupakan hewan nokturnal yakni aktivitas hidupnya lebih banyak pada
malam hari sedangkan pada siang harinya istirahat. Cacing tanah juga hewan fototaksis negatif artinya cacing tanah selalu menghindar setiap
ada cahaya, dan segera menutup lubang sarang. Cacing tanah tidak dapat tinggal di tempat yang terlalu banyak air
karena ketersediaan oksigen di dalamnya sangat sedikit anaerob.
Karena itulah, di saat curah hujan sedang tinggi, cacing tanah akan banyak berada di lapisan tanah paling atas Sugiantoro, 2012: 15-16
3. Sistem Pencernaan, Makanan, dan Sistem Ekskresi
Gambar 3. Sistem Pencernaan Cacing Tanah Rukmana, 1999: 19
Makanan masuk ke mulut dan faring melalui prostomium yang kemudian dihisap dan masuk ke esofagus. Di dalam esofagus makanan
tercampur dengan cairan hasil sekresi kelenjar kapur yang terdapat pada dinding esofagus. Dari esofagus makanan terus masuk ke dalam
tembolok untuk disimpan sementara waktu. Selanjutnya makanan masuk ke dalam lambung untuk dicerna menjadi partikel-partikel yang lebih
kecil dan dapat diabsorpsi. Dinding usus mengandung kelenjar-kelenjar yang menghasilkan enzim-enzim untuk mencernakan partikel-partikel
makanan menjadi karbohidrat, lemak, dan protein. Senyawa-senyawa tersebut masuk ke sistem sirkulasi darah untuk diangkut ke seluruh
tubuh. Sisa-sisa makanan akan dikeluarkan melalui anus dan diletakkan
di atas permukaan tanah di dekat lubang dari liang tempat cacing itu berada Rukmana, 1999:18
Makanan cacing tanah adalah bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pembusukan. Setiap cacing tanah bisa menghabiskan
bahan-bahan organik seberat hingga dua kali berat tubuhnya dalam tempo 24 jam. Sistem ekskresi cacing tanah adalah nephridia yang berada
pada segmen-segmen tubuhnya. Untuk sisa-sisa makanan yang tidak tercerna dikeluarkan melalui anus yang terdapat di belakang tubuhnya
yang kemudian dikenal sebagai kascing bekas cacing Sugiantoro, 2012: 18
4. Perkembangbiakan
Binatang ini bersifat hermafrodit atau biseksual. Artinya, pada tubuhnya terdapat dua alat kelamin, yaitu jantan dan betina. Namun,
untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah. Dari perkawinan tersebut,
masing-masing cacing tanah dapat menghasilkan satu kokon yang di dalamnya terdapat beberapa butir telur.
Alat kelamin jantan dan betina biasanya terletak pada bagian tubuh antara segmen ke-9 sampai segmen ke-15. Ciri cacing tanah dewasa atau
yang siap melakukan perkawina n adalah terbentuknya “klitelum” cincin,
gelang. Klitelum ini biasanya muncul pada cacing tanah yang telah berumur lebih dari 2,5 bulan. Pada Lumbricus rubellus pembentukan
klitelum terjadi setelah berumur 2,5-3 bulan.
Gambar 4. Sepasang Cacing pada Posisi Kawin Rukmana, 1999: 20
Proses perkawinan cacing tanah berlangsung unik dan spesifik. Kedua cacing tanah yang berpasangan saling melekatkan bagian
depannya anterior dengan posisi saling berlawanan yang diperkuat oleh seta. Dalam posisi perkawinan kopulasi, copulating, klitelum masing-
masing cacing tanah akan mengeluarkan lendir yang berfungsi melindungi sel-sel sperma yang dikeluarkan oleh lubang alat kelamin
jantan masing-masing. Perkawinan silang cross fertilization dilakukan dengan cara
saling bertukar spermatozoid. Sel-sel sperma yang keluar dari masing- masing cacing tanah akan bergerak ke arah belakang posterior, lalu
masuk ke dalam lubang penerima sperma masing-masing. Setelah beberapa jam berkopulasi kawin dan masing-masing kantung ovarium
yang berisi sel-sel telur menerima sel-sel sperma maka masing-masing kantung ovarium saling berpisah. Tahap selanjutnya terjadi pembentukan
selubung kokon mucous band.
Proses pembentukan selubung kokon terjadi pada klitelum. Masing-masing sel telur yang telah menerima sel-sel sperma bergerak ke
arah mulut dan bertemu dengan lubang saluran sel-sel telur, lalu masuk ke dalam selubung kokon. Dari selubung kokon, sel-sel telur yang telah
dibuahi sel-sel sperma tadi akan bergerak ke arah mulut, sehingga terjadi pelepasan kokon cocoon dari masing-masing cacing tanah bersama-
sama dengan selubung kokonnya. Proses pembentukan dan pelepasan selubung kokon disajikan pada gambar berikut
Gambar 5. Proses Pembentukan dan Pelepasan Selubung Kokon Rukmana, 1999: 21
Keterangan: A = proses pembentukan selubung kokon
B = selubung kokon yang berisi kokon bergerak ke depan menuju arah
mulut C = selubung kokon bersama dengan kokonnya terlepas
D = kokon dan kapsul Selubung kokon yang berisi beberapa telur capsule akan
dilepaskan dalam liang tanah. Setiap butir telur kokon berisi bakal anak-anak cacing, bahkan dapat menetas lebih dari 10 ekor anak-anak
cacing. Meski demikian, dari setiap kokon umumnya menetas 3-5 ekor cacing. Ukuran kokon tergantung pada jenis cacing tanah. Misalnya,
Lumbricus rubellus menghasilkan kokon berukuran panjang 3,10 mm
dan tebalnya 2,76 mm. Kokon berbentuk bulat sampai agak lonjong, mula-mula berwarna kuning kehijau-hijauan, kemudian berubah menjadi
kemerah-merahan. Kokon menetas setelah 14-21 hari. Produktivitas kokon dari seekor cacing tanah dapat dihasilkan lebih dari dua kokon
setiap 5-10 hari atau tergantung spesies cacing Rukmana, 1999: 22 Cacing tanah yang produktif berkembang biak dan menghasilkan
kokon relatif banyak adalah Lumbricus rubellus. Cacing tanah jenis ini amat cocok dibudidayakan secara intensif, dengan kemampuan
menghasilkan kokon antara 79-106 buahekortahun atau lebih dari 2 kokon dalam 7-10 hari. Selain itu, cacing ini mampu memusnahkan
bahan organik seberat badannya selama 24 jam. Cacing tanah dapat berumur antara 1-5 tahun. Siklus daur hidup
dari cacing dewasa kawin dan menghasilkan cacing dewasa kembali berlangsung selama 2,5-3 bulan. Masa produktif aktif cacing tanah
dewasa terjadi pada umur 4-11 bulan. Setiap siklus daur hidup cacing tanah melalui tahap-tahap sebagai
berikut: a.
Cacing tanah dewasa kawin kopulasi b.
Sekitar 6-10 hari setelah kawin, kokon dilepaskan ke dalam liang tanah.
c. Kokon akan menetas 2-3 minggu kemudian, sehingga akan
dihasilkan anak-anak cacing.
d. Sekitar 2,5-3 bulan kemudian, anak-anak cacing tumbuh menjadi
cacing tanah dewasa Rukmana, 1999: 22-23 Kalau keadaan tanah lembab, cadangan makanan mencukupi, dan
faktor lingkungan lain sangat mendukung maka cacing tanah akan menghasilkan kokon sepanjang tahun. Namun, jumlah kokon yang
dihasilkan tergantung pada perubahan suhu. Bila suhu rendah atau sekitar 3
o
C, kokon yang dihasilkan sangat sedikit. Sebaliknya kalau suhunya dinaikkan maka cacing tanah akan menghasilkan kokon lebih banyak.
Kokon biasanya dihasilkan pada kondisi iklim yang sesuai. Di negara beriklim dingin dengan empat musim, umumnya cacing tanah
menghasilkan kokon pada pertengahan Maret hingga awal Juli dan pada awal Oktober hingga November. Di negara subtropis seperti India, cacing
tanah dapat menghasilkan kokon sepanjang tahun. 5.
Siklus Hidup Siklus hidup cacing tanah mulai dari kokon, cacing muda
jouvenil, cacing produktif, dan cacing tua. Lama siklus hidup ini tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan
jenis cacing tanah. Dari berbagai penelitian diperoleh lama siklus hidup cacing tanah L. rubellus hingga mati mencapai 1-5 tahun.
Kokon yang dihasilkan dari cacing tanah akan menetas setelah berumur 14-21 hari. Setelah menetas, cacing tanah muda ini akan hidup
dan dapat mencapai dewasa kelamin dalam waktu 2,5-3 bulan. Saat
dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinannya yang berlangsung 6-10 hari.
Masa produktif aktif cacing tanah akan berlangsung selama 4-10 bulan dan akan menurun hingga cacing mengalami kematian. Namun,
siklus hidup cacing tanah ini masih perlu diteliti karena banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kondisi lingkungan hidupnya. Cacing
yang sudah tidak produktif atau cacing tua biasanya bagian ekornya agak pipih dan warna kuning pada ekornya sudah mencapai punggung. Bila
cacing masih produktif, warna kuning tersebut masih berada di ujung ekor.
6. Sarana Budidaya
Sebenarnya dalam pelaksanaannya, kegiatan yang terpenting hanyalah menciptakan suasana atau kondisi lingkungan yang sesuai
dengan habitatnya di alam. Hal ini dimaksudkan agar cacing tanah dapat beradaptasi dan berkembang dengan baik.
Cacing tanah menghendaki suasana lingkungan yang teduh, lembab dan terhindar dari sinar matahari langsung. Untuk itulah lokasi
pembudidayaannya harus mendukung. Adapun sarana pembudidayaan yang dapat menciptakan lingkungan yang teduh, lembab, dan terhindar
dari sinar matahari langsung adalah bangunan pelindung, wadah pemeliharaan, serta sarang atau media hidupnya.
7. Syarat Lingkungan Pertumbuhan
Setiap makhluk hidup mempunyai habitatlingkungan yang cocok untuk pertumbuhan yang optimum. Demikian pula cacing tanah juga
membutuhkan lingkungan yang ideal untuk tempat tumbuh. Pertumbuhan cacing tanah akan optimum jika lingkungan tumbuh cacing budidaya
mendekati habitat aslinya. Beberapa parameter lingkungan yang perlu diperhatikan untuk pertumbuhan cacing tanah agar sesuai dengan habitat
aslinya yaitu : a.
Kelembaban RH Cacing tanah membutuhkan kelembaban lingkungan yang
biasanya disebut RH relative humudity, baik kelembaban media tempat tumbuh maupun kelembaban udara. Kelembaban media
tumbuh yang optimum bagi pertumbuhan cacing adalah 42-60 . Kelembaban udara yang optimum bagi pertumbuhan cacing tanah
yaitu sekitar 65 . Kelembaban media yang terlalu tinggi menyebabkan cacing berwarna pucat, bahkan mati. Sebaliknya
jika terlalu kering cacing akan masuk ke dalam media yang masih basah. Bila media sudah terlalu kering cacing tanah akan pergi
dari media mencari tempat yang lebih basah. b.
Suhu Walaupun cacing tanah hidup di dalam media, suhu udara di luar
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi media tumbuh dan cacing tanah yang berada di dalamnya. Suhu
udara yang optimum bagi pertumbuhan cacing tanah adalah 15- 25
o
C. Apabila suhu udara berada di luar ambang tersebut pertumbuhan cacing akan terganggu. Suhu udara yang terlalu
panas menyebabkan kelembaban udara akan rendah, sehingga kelembaban media tumbuh cacing cepat kering. Maka tidak heran
pada saat musim kemarau yang panas, frekuensi penyiraman media lebih sering dilakukan.
c. Tingkat keasaman media
Parameter lain yang biasa dipakai untuk menetukan keadaan lingkungan tempat tumbuh, yaitu derajat keasaman. Seperti tanah
untuk tempat tumbuh tanaman, air untuk tumbuh ikan, media tumbuh cacing tanah juga memerlukan derajat keasaman yang
optimum. Derajattingkat keasaman media ditentukan dengan nilai pH. Cara mengetahui pH media yaitu menggunakan pH
meter atau alat lain yang bisa digunakan untuk mengukur pH, misalnya kertas lakmus. Media tumbuh cacing dikatakan asam
bila nilai pH 7 dan basa jika pH 7. Sedangkan pH : 7 dikatakan netral. Derajat keasamanpH media tumbuh cacing yang optimum
adalah 6-7,2. d.
Ketersedian bahan organik Cacing tanah membutuhkan bahan organik sebagai makanan atau
sumber nutrisi. Ketersediaan bahan organik sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing
tanah .
Bahan organik yang mengandung karbohidrat, protein, mineral dan vitamin dibutuhkan oleh cacing tanah untuk
mendukung pertumbuhan Saptono, 2011: 49-52 8.
Media Pemeliharaan Media hidup atau media pemeliharaan yang juga sekaligus sarang
cacing tanah sebenarnya adalah sekumpulan bahan-bahan organik yang sudah terfermentasi sempurna sehingga bisa memberikan tempat bagi
cacing tanah untuk hidup dan bereproduksi secara optimal. Media hidup tersebut nantinya sekaligus menjadi sumber makanan bagi cacing tanah
yang dibudidayakan. a.
Jenis bahan organik untuk dijadikan media pemeliharaan Bahan organik yang bisa digunakan untuk dijadikan media
hidup atau media pemeliharaan antara lain adalah kotoran hewan ternak ayam, kelinci, kambing, dll, ampas tahu, ampas
singkong, ampas sagu, kompos, jerami padi, sekam padi, kulit pisang, bubur kertas, bubur kayu, enceng gondok, rumput, serbuk
gergaji, rumen kotoran yang masih berada di perut hewan ternak ruminansia seperti sapi ketika dipotong, dan sebagainya.
b. Syarat media pemeliharaan
Untuk mengoptimalkan produktifitas cacing tanah yang dibudidayakan, maka media pemeliharaan untuk cacing tanah
tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai atau kurang lebih sama dengan habitat maupun lingkungan tempat tumbuhnya
di alam bebas. Untuk mendukung hal tersebut, media pemeliharaan setidaknya harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut: 1
Media pemeliharaan harus menggunakan bahan organik berserat yang sudah terfermentasi sempurna atau telah
mengalami proses pelapukan minimal 60, serta tidak mengeluarkan gas yang merupakan hasil dari proses
pembusukan yang jelas tidak disukai cacing tanah. Waktu yang dibutuhkan untuk proses fermentasi memang bervariasi
bergantung pada jenis bahannya, biasanya antara 7-35 hari. 2
Kaya bahan organik dan unsur hara Media hidup cacing tanah harus kaya bahan-bahan organik
dan unsur hara lantaran bahan organik tersebutlah yang menjadi makanan pokok dari cacing tanah.
3 Gembur, lunak, tidak panas, dan tidak mudah menjadi padat
Cacing tanah sangat membutuhkan media hidup sekaligus makanan yang lunak, gembur, dan tidak panas supaya lebih
mudah dicerna atau terurai oleh alat cerna di tubuhnya. Media hidup yang gembur juga bisa menjaga porositas sarang,
menjaga ketersediaan oksigen, dan menjaga sirkulasi udara di dalamnya.
4 Mempunyai daya serap air yang tinggi
Media hidup yang digunakan sebaik mungkin mempunyai daya serap yang tinggi terhadap air sehingga tidak mudah
menjadi kering dan juga kehilangan tingkat kelembaban. 5
Steril dari zat-zat yang mengganggu pencernaan cacing tanah Media pemeliharaan harus bebas atau steril dari zat atau
bahan-bahan yang bisa mengganggu pencernaan cacing tanah. Antara lain adalah sabun dan bahan kimia.
6 Media harus mudah terdekomposisi atau terurai oleh cacing
tanah. 7
Media tersebut harus mampu menahan kestabilan kelembaban c.
Penebaran bibit Setelah media pemeliharaan dianggap sudah layak untuk
dipergunakan, maka bibit cacing tanah sudah bisa segera ditebarkan. Langkah-langkah penebaran bibit cacing tanah adalah
sebagai berikut. 1
Bibit cacing tanah yang telah dipersiapkan ditebarkan sedikit demi sedikit ke atas permukaan wadah pemeliharaan secara
merata. 2
Amati dengan seksama apakah bibit yang ditebarkan tersebut mau masuk ke dalam media pemeliharaan ataukah hanya
berkeliaran di bagian permukaan saja.
d. Perawatan
Dimaksud dengan perawatan di sini adalah perawatan media. Perawatan media bertujuan agar kondisi media selalu
sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah. Kegiatan perawatan media ini meliputi pengadukan, penyiraman,
pengukuran suhu dan pH serta penggantian media. 9.
Pemberian Pakan Cacing pada dasarnya adalah hewan pengurai. Di dalam perut
cacing terdapat zat pengurai bahan organik sehingga pakan yang diberikan pada cacing mudah dicerna. Cacing sangat mudah ditemukan
pada tanah lembab atau tumpukan kotoran hewan karena cacing akan memakan kotoran hewan atau bahan-bahan organik yang terdapat dalam
tanah. Sebuah bahan organik tentu bisa menjadi pakan bergizi bagi
cacing. Pemberian makan pada cacing cukup dilakukan satu kali dalam satu hari. Biasanya diberikan pada sore hari. Perbandingan pakan yang
diberikan adalah untuk 1 kg bibit cacing diberikan pakan sekitar 1 kg, dengan perbandingan 1 : 1.
Pemberian pakan merupakan perhatian utama yang harus diutamakan. Pemberian pakan pada cacing tidak berlebih dan tidak boleh
kurang. Karena kalau pemberian pakan secara berlebihan akan berakibat pada pembusukan. Media juga menjadi lebih basah. Jika media terlalu
basah akhirnya media tidak beroksigen “anaerob”.
Kondisi sisa pakan yang berlebih dan tidak dimakan akan memicu timbulnya bakteri pengurai nitrogen anaerobic microbia, hal ini
berakibat terjadinya fermentasi pada media tumbuh cacing karena sisa pakan yang tidak termakan. Bau busuk yang muncul karena sisa pakan
adalah ammonia yang dikeluarkan hasil penguraian nitrit. Bau ini akan memanggil lalat, padahal lalat merupakan hama yang harus dihindari
oleh peternak cacing Saptono, 2011: 77-78 10.
Pengendalian Hama Hama yang sering ditemukan menyerang cacing tanah terdiri atas
hama pemangsa dan pesaing dalam konsumsi pakan. Hama-hama pemangsa cacing tanah yang juga sering menyerbu medium atau kandang
pemeliharaan cacing tanah adalah sebagai berikut. a.
Tikus Rattus rattus sp. Tikus umumnya menyerang pada malam hari. Sasarannya adalah
merusak medium
sarang dan
memangsa ccaing
tanah. Pengendalian tikus dapat dilakukan dengan cara: memasang umpan
beracun, menutup lubang-lubang yang menuju ke kandang cacing, menjaga kebersihan lingkungan kandang, dan gerakan gropyokan
serta menutup kandang dengan ram kawat. b.
Kaki seribu Chilopoda Kaki seribu merupakan pemakan hewan kecil, termasuk cacing
tanah. Mangsanya dilumpuhkan dulu dengan racun yang dikeluarkan kaki racunnya sebelum disantap. Pengendalian kaki seribu dilakukan
dengan cara membersihkan dan mengambil binatang tersebut dari bahan-bahan medium sarang cacing tanah.
c. Orong-orong Gryllotalpa africana
Hama ini biasanya merusak atau membuat lubang-lubang pada medium cacing tanah, tetapi kadang-kadang memangsa cacing tanah.
Pengendalian orong-orong dilakukan dengan cara menangkap dan membunuhnya.
d. Hama-hama lainnya
Hama-hama lain yang sering menyerang cacing tanah adalah katak darat, kelabang, kecoa, semut, itik, ayam, burung, ular, dan kadal.
Cara terbaik dan tepat untuk mengendalikan hama-hama tersebut adalah dengan membuat kondisi lingkungan pemeliharaannya yang
rapi dan melakukan kontrol secara kontinu agar unit perkandangan tidak menjadi sarang hama.
Cacing tanah jarang terserang oleh penyakit, bahkan tidak pernah terserang oleh organisme penyakit. Meskipun demikian, kekurangan
pakan dan kekeringan dapat menyebabkan cacing tanah mengalami kematian. Untuk mengantisipasi kekurangan pakan dan kekeringan, maka
kita dapat memberi pakan yang cukup dan menjaga kondisi medium tetap lembab Rukmana, 1999: 54-55
11. Pemanenan
Panen cacing tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang paling sederhana yaitu dengan membuat media menjadi bedeng-
bedeng. Diantara bedeng tersebut diberi pakan, sedangkan bedengan media tidak diberi pakan. Dalam waktu tiga hari cacing sudah berkumpul
di antara bedengan karena terkumpul di tempat yang ada pakan. Saat cacing tanah sudah berkumpul diangkat dan dipilah dari media.
Cara panen yang kedua yaitu dengan membalik media tempat cacing tanah bersarang. Pada bagian media di sebelah bawah adalah
tempat cacing tanah berkumpul. Apabila media tempat sarang dibalik, maka cacing lebih mudah dipilahkan dari medianya.
Panen bisa juga dilakukan dengan bantuan alat penerangan seperti lampu petromaks, lampu neon atau lampu bolam. Cacing tanah sangat
sensitif terhadap cahaya. Apabila terdapat cahaya terang cacing tanah akan berkumpul di bagian atas media. Namun kegiatan ini dilakukan
pada malam hari. Sinar lampu akan lebih terlihat karena tidak ada sinar matahari Saptono, 2011: 57
12. Kandungan dan Manfaat Cacing Tanah
Cacing tanah sangat potensial untuk dikembangkan. Ini disebabkan kandungan gizinya cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya yang
mencapai 64-76. Kandungan protein cacing tanah ini ternyata lebih tinggi dari sumber protein lainnya. Itulah sebabnya cacing tanah sangat
potensial dijadikan bahan pakan ternak, terutama unggas. Selain protein, kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam tubuh
cacing tanah antara lain lemak 7-10, kalsium 0,55, fosfor 1, dan
serat kasar 1,08. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan zat perangsang tumbuh untuk tanaman.
Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah terdiri dari setidaknya sembilan macam asam amino esensial dan empat macam
asam amino non-esensial. Asam amino esensial antara lain arginin, histidin, leusin, isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin.
Sementara asam amino non-esensial ialah sistin, glisin, serin, dan tirosin. Ke-13
asam amino
ini sangat
dibutuhkan unggas
dalam perkembangannya.
Banyaknya asam amino yang terkandung dalam tubuh cacing tanah dapat memberikan indikasi bahwa tubuhnya pun mengandung berbagai
jenis enzim yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. dari berbagai penelitian diperoleh cacing tanah mengandung enzim lumbrokinase,
peroksidase, katalase, dan selulosa. Enzim-enzim ini sangat berkhasiat untuk pengobatan. Selain itu, cacing tanah pun mengandung asam
arhidonat yang dikenal dapat menurunkan panas tubuh yang disebabkan infeksi.
Menurut Simanjuntak dan Waluyo 1982, berbagai penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah mempunyai manfaat yang dapat
digunakan sebagai bahan pakan ternak, bahkan di beberapa negara telah dijadikan makanan manusia.
Dalam dunia pengobatan tradisional, cacing tanah telah digunakan sebagai bahan ramuan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Bahkan di negara-negara maju juga digunakan industri kosmetik dan minyak cacing hasil ekstraksi dapat digunakan sebagai pelembab kulit.
Menurut Palungkun dan Budiarti 1990 dalam Haryono 2003: 69, tepung cacing tanah mempunyai kandungan protein cukup tinggi
64-76 lebih tinggi dari protein pada daging dan tepung ikan, selain itu cacing mengandung asam amino paling lengkap, lemaknya rendah,
mudah dicerna dan tidak mengandung racun. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa cacing tanah
merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang sehat, baik bagi biota tanah lainnya
maupun bagi hewan dan manusia. Aristoteles mengemukakan pentingnya cacing tana
h dalam mereklamasi tanah dan menyebutnya sebagai “usus bumi” intesfines of the earth. Demikian pula Charles Darwin 1881
yang telah meneliti peran cacing tanah selama 40 tahun dalam: 1 menghancurkan bahan-bahan dari sisa tetanaman dan binatang mati yang
terdapat di dalam tanah maupun serasah hutan, dan 2 mempertahankan struktur, aerasi, dan kesuburan tanah, yang dituliskannya dalam buku
“The Formation of Vegetable Mould throught the Action Worms”. Peneliti yang selaras dengan Darwin ini antara lain Hensen 1877,
Muller 1887, dan Urguhart 1887 yang berkeyakinan bahwa cacing tanah merupakan bagian penting dalam proses pembentukan tanah soil
formation , bahkan dalam beberapa kasus perannya esensial dalam
menentukan status kesuburan tanah.
Secara umum peran cacing tanah telah terbukti baik sebagai bioamelioran jasad hayati penyubur dan penyehat tanah terutama
melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral,
struktur, aerasi, formasi agregat drainase, dan lain-lain sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah Kemas, 2010: 119-120