26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Organik dan Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian
dilakukan pada bulan Oktober 2014 – Januari 2015
3.2 Alat
Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat Spektrofotometer Serapan Atom SSA Hitachi Z-2000, oven Dynamica, tanur Bibby Stuart,
neraca analitik BOECO, Purelab UHQ ELGA, hot plate, alat-alat gelas, kurs porselin, botol kaca, alumunium foil, kertas saring Whatman No. 42, dan
spatula.
3.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas pro analisis keluaran E. Merck yaitu HNO
3
65 vv, H
3
PO
4
85 vv, larutan standar besi konsentrasi 1000 µgml, larutan standar tembaga konsentrasi
1000 µgml, dan akua demineralisata.
3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Sampel
Sampel yang digunakan adalah biji alpukat dan limbah cair sawit.
Universitas Sumatera Utara
27
3.4.1.1 Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel biji alpukat dilakukan secara purposif dari Takengon Kabupaten Aceh Tengah pada bulan September 2014.
Limbah cair sawit yang digunakan adalah limbah dari unit deoiling ponds yang diambil dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS Medan.
3.4.1.2 Identifikasi Sampel
Identifikasi sampel biji buah dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Bogor.
3.4.1.3 Penyiapan Sampel
Biji buah alpukat Persea americana Mill. yang sudah terkumpul, selanjutnya dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan air, kemudian
dipotong menjadi bagian yang lebih kecil ± 0,5 cm dan dikeringkan pada lemari pengering.
3.4.2 Pembuatan Karbon Aktif
Sebanyak 100 gram biji alpukat yang telah kering ditambahkan H
3
PO
4
85 sebanyak 50 ml, dan dikeringkan pada suhu 105˚C selama ±24 jam.
Kemudian dimasukkan ke tanur suhu 150-500 ˚C dengan kenaikan suhu
5˚Cmenit. Setelah dicapai suhu yang dikehendaki dipertahankan suhu 1-4 jam. Karbon aktif yang terbentuk di ambil dan didinginkan pada suhu ruang. Karbon
aktif yang dihasilkan dihaluskan hingga lolos mesh 80 Suhendra, 2010.
Universitas Sumatera Utara
28
3.4.3 Uji Penyerapan Logam pada Limbah Cair Sawit 3.4.3.1 Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Baku Logam Besi
Larutan baku besi 1000 µgml dipipet sebanyak 1 ml, di masukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan di cukupkan hingga garis tanda dengan akua
demineralisata konsentrasi larutan 10 µgml. Larutan untuk kalibrasi besi dibuat dengan memipet 2,5 ml; 5,0 ml; 7,5
ml; 10,0 ml; dan 12,5 ml dari larutan baku 10 µgml, masing-masing di masukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan dicukupkan hingga garis tanda
dengan akua demineralisata. Diperoleh larutan dengan konsentrasi 1 µgml; 2 µgml; 3 µgml; 4 µgml; dan 5 µ gml lalu di ukur pada panjang gelombang
248,3 nm.
3.4.3.2 Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Baku Logam Tembaga
Larutan baku tembaga 1000 µgml dipipet sebanyak 1 ml, di masukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan di cukupkan hingga garis tanda dengan akua
demineralisata konsentrasi larutan 10 µgml LIB I. Dari LIB I dipipet sebanyak 5 ml di masukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan
hingga garis tanda dengan akua demineralisata konsentrasi larutan 1 µ gml LIB II.
Larutan untuk kalibrasi tembaga di buat dengan memipet 0,5 ml; 1,0 ml; 1,5 ml; 2,0 ml; dan 2,5 ml dari LIB II, masing-masing dimasukkan kedalam
labu tentukur 50 ml dan di cukupkan hingga garis tanda dengan akua demineralisata. Diperoleh larutan dengan konsentrasi 10 ngml; 20 ngml; 30
ngml; 40 ngml; dan 50 ngml lalu di ukur pada panjang gelombang 324,7 nm.
Universitas Sumatera Utara
29
3.4.3.3 Proses Destruksi Basah
Limbah sawit dibagi menjadi 5 kelompok yang masing-masing 20 ml dan salah satunya tidak diberikan karbon aktif, sedangkan 4 kelompok lainnya
masing-masing ditambahkan karbon aktif sebanyak 100 mg, 200 mg, 300 mg, dan 400 mg. Campuran didiamkan selama 3 jam, kemudian campuran ini
disaring menggunakan kertas saring. Filtrat limbah dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu ditambahkan 5 ml
HNO3 65 dibiarkan selama ± 24 jam kemudian dipanaskan pada suhu 100˚C sampai larutan berubah menjadi jernih dan didinginkan. Larutan hasil destruksi
dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan ditambahkan akua demineralisata hingga garis tanda. Disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 dan 5 ml
filtrat pertama dibuang untuk menjenuhkan kertas saring kemudian larutan selanjutnya ditampung ke dalam botol Raimon, 1993.
3.4.3.4 Pengukuran Kadar Logam a. Pengukuran Logam Besi
Untuk pengukuran logam besi, larutan hasil destruksi di pipet 5 ml di masukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, kemudian dicukupkan dengan akua
demineralisata hingga garis tanda faktor pengenceran = 25ml5ml = 5 kali. Kemudian larutan ini di ukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer
serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm Gandjar dan Rohman, 2007.
b. Pengukuran Logam Tembaga
Untuk pengukuran logam tembaga digunakan larutan hasil destruksi faktor pengenceran = 1. Larutan ini di ukur absorbansinya menggunakan
Universitas Sumatera Utara
30 spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 324,7 nm Gandjar dan
Rohman, 2007.
3.4.3.5 Perhitungan Kadar Logam
Konsentrasi logam ditentukan berdasarkan persamaan garis regresi linier dari kurva kalibrasi y = ax + b. Kadar logam dalam sampel ditentukan
menggunakan rumus: Kadar logam µgml dalam sampel =
x V x F Vs
Keterangan : C = Konsentrasi larutan sampel µgml V = Volume larutan dalam sampel
Fp = Faktor pengenceran Vs = Volume sampel ml
3.4.4 Uji Statistik
Kadar besi dan tembaga yang diperoleh dari hasil pengukuran masing- masing larutan sampel dianalisis dengan metode standar deviasi. Menurut
Sudjana 2005 perhitungan standar deviasi dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
SD =
1 -
n X
- Xi
2
Keterangan : Xi
= Kadar sampel
X = Kadar rata-rata sampel
n = Jumlah perlakuan
Universitas Sumatera Utara
31 Untuk mengetahui diterima atau tidaknya data penelitian, maka data yang di
peroleh di analisis secara statistik dengan uji distribusi t. Untuk mencari t hitung digunakan rumus:
t
hitung
= n
SD X
Xi
dan untuk menentukan kadar logam di dalam sampel dengan interval kepercayaan 95,
α = 0.05, dk = n-1, dapat digunakan rumus: Kadar Logam: µ =
X
± tα2, dk x SD √n Keterangan:
X = Kadar rata-rata sampel
SD = Standar Deviasi dk = Derajat kebebasan dk = n-1
α = Interval kepercayaan
n = Jumlah perlakuan
3.4.5 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi.
Batas kuantitasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada
kondisi operasional metode yang digunakan Gandjar dan Rohman, 2007.
Menurut Harmita 2004, batas deteksi dan batas kuantitasi ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Simpangan Baku SYX =
2
2
n Yi
Y
Universitas Sumatera Utara
32 Batas deteksi LOD =
S sl e
Batas kuantitasi LOQ = S
sl e
3.4.6 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali Recovery
Menurut Harmita 2004, uji perolehan kembali recovery dilakukan dengan metode penambahan larutan standar standar additional method.
Larutan baku yang ditambahkan yaitu 10 mL larutan baku besi konsentrasi 10 µgmL dan 0,1 mL larutan baku tembaga konsentrasi 10 µ gmL.
Untuk uji perolehan kembali logam besi, sebanyak 20 mL limbah cair sawit dimasukan kedalam erlenmeyer 100 mL kemudian ditambahkan 10 mL
larutan baku besi konsentrasi 10 µgmL. Sedangkan untuk uji perolehan kembali logam tembaga, sebanyak 20 mL limbah cair sawit dimasukan kedalam
erlenmeyer 100 mL kemudian ditambahkan 0,1 mL larutan baku tembaga konsentrasi 10 µ gmL.
Kemudian dilanjutkan dengan prosedur destruksi basah seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Proses pengukuran uji perolehan kembali dilakukan
sama dengan prosedur perhitungan kadar logam. Kadar baku yang ditambahkan ke dalam sampel C
A
dapat dihitung dengan persamaan:
C ∗
A
= KLB x VLB
VS
Keterangan: C
A
= Kadar baku yang ditambahkan ke dalam sampel µgmL KLB
= Konsentrasi larutan baku µgmL VLB
= Volume larutan baku yang ditambahkan mL
Universitas Sumatera Utara
33 VS
= Volume sampel mL Menurut Harmita 2004, persen perolehan kembali dapat dihitung dengan
rumus dibawah ini: Persen perolehan kembali =
C
F
− C
A
C∗
A
x 100
Keterangan: C
F
= kadar analit dalam sampel setelah penambahan bahan baku µgmL C
A
= kadar analit dalam sampel sebelum penambahan bahan baku µgmL
C
A
= kadar analit yang ditambahkan kedalam sampel µgmL
3.4.7 Uji Presisi
Menurut Harmita 2004, keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi
merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang
homogen. Nilai simpangan baku relatif yang memenuhi persyaratan menunjukkan adanya keseksamaan metode yang dilakukan.
Menurut Harmita 2004, rumus untuk menghitung simpangan baku relatif sebagai berikut:
RSD =
100
X SD
Keterangan:
X = Kadar rata-rata sampel
SD = Standar Deviasi
RSD = Relative Standard Deviation
Universitas Sumatera Utara
34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Identifikasi Sampel
Hasil identifikasi biji alpukat telah dilakukan di Bidang Botani Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Bogor adalah alpukat Persea americana
Mill. dari famili Lauraceae. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 26, halaman 77.
4.2 Penentuan Linearitas Kurva Kalibrasi Besi Fe dan Tembaga Cu
Kurva kalibrasi logam Fe dan Cu diperoleh dengan cara mengukur absorbansi dari larutan standar Fe dan Cu pada panjang gelombang masing-
masing yaitu 248,3 nm dan 324,7 nm. Berdasarkan hasil pengukuran kurva kalibrasi untuk logam Fe diukur pada rentang konsentrasi 1 µ gml sampai 5
µgml diperoleh persamaan regresi yaitu Y = 0,01758X – 0,0013 dan untuk
logam Cu diukur pada rentang konsentrasi 10 ngml sampai 50 ngml diperoleh persamaan regresi Y = 0,00001022857X
+ 0,00000761908. Kurva kalibrasi larutan standar Fe dan Cu dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.
Gambar 4.1
Kurva Kalibrasi Fe Y = 0,01758X - 0,0013
R = 0.9998
-0.02 0.02
0.04 0.06
0.08 0.1
1 2
3 4
5 6
A b
so r
b a
n si
Konsentrasi µgmL
Universitas Sumatera Utara
35
Gambar 4 .2 Kurva Kalibrasi Tembaga
Berdasarkan kurva di atas diperoleh hubungan yang linear antara konsentrasi dengan absorbansi, dengan koefisien korelasi r besi sebesar 0,9998
dan tembaga sebesar 0,9993. Menurut Ermer dan McB.Miller 2005, apabila nilai r
≥ 0,97 dapat diterima dan memenuhi kriteria validasi. Data hasil pengukuran absorbansi larutan baku besi dan tembaga dan perhitungan
persamaan garis regresi dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 50 dan Lampiran 6, halaman 51.
4.3 Adsorpsi Besi Fe dan Tembaga Cu pada Limbah Cair Sawit