statistika matematika 1

(1)

TUGAS KELOMPOK STATISTIKA MATEMATIKA 1

Dosen Pengampu: Drs. SUFRI, M.Si

Anggota Kelompok :

1. Dwi Ayu Saputry (RRA1C211

2. Zulaika Daningtyas (RRA1C211014)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI 2014


(2)

BAB III: PROBABILITAS a. Pengertian Probabilitas b. Perumusan Probabilitas

c. Probabilitas Bersyarat dan Teorema Bayes

d. Peristiwa Independen dan Ekslusif secara Bersama.

BAB IV: VARIABEL RANDOM DAN PROBABILITASNYA

a. Pengertian Variabel Random b. Variabel Random Diskrit c. Variabel Random Kontinu

d. Fungsi Distribusi dan Fungsi Padat Peluang Variabel Random Diskrit dan Kontinu.

e. Fungsi Distribusi dan Fungsi Padat Peluang Distribusi-distribus Khusus baik Variabel Random Diskrit dan Kontinu.

f. Contoh-contoh Soal.

BAB V: MOMEN

a. Harapan Matematis. b. Variansi

c. Ekspekstasi dan Variansi Distribusi-distribusi Khusus. d. Contoh-contoh Soal.

BAB VI: FUNGSI PEMBANGKIT MOMEN

a. Pengertian Fungsi Pembangkit Momen

b. Fungsi Pembangkit Momen dari Distribusi-distribusi Khusus. c. Sifat-sifat Fungsi Pembangkit Momen.

d. Contoh-contoh Soal.


(3)

PROBABILITAS

a. Pengertian Probabilitas

Peluang/Probabilitas/Kemungkinan

Misal dalam eksperimen pelemparan/lambungan sebuah dadu diperhatikan banyaknya mata dadu yang muncul. A adalah kejadian bahwa muncul (tampak) mata dadu genap. Maka S = {1, 2, 3, 4, 5, 6 } dan S = { 2, 4 , 6}

Tiap-tiap elemen S dianggap mempunyai kemungkinan untuk terjadi. Hal penting dalam masalah ini adalah perbandingan antara banyaknya elemen dalam A yaitu n(A) dan banyaknya elemen dalam S yaitu n(S); n(S) = S

n(A) n(S)=

Banyaknya elemen dalam A Banyaknya elemen dalam S=

3 6=

1 2

Angka perbandingan ini yaitu 12 dinamakan peluang /probabilitas/ kemungkinan terjadinya kejadian A.

Defenisi 1

Misalkan suatu ruang sampel S mempunyai elemen yang banyaknya berhingga yaitu n(S) = N dan tiap-tiap elemen dari S mempunyai kemungkinan sama untuk terjadi. Misalkan pula A adalah suatu kejadian (himpunan bagian dari S) yang mempunyai elemen sebanyak n(A). Maka Peluang/Probabilitas P bahwa kejadian A akn terjadi, didefenisikan sebagai:

P(A)

=

n(n(AS)) Contoh:

Sebuah kotak berisi 100 bola diantaranya terdapat sebanyak 20 buah bola putih dan sisanya yaitu 80 bola merupakan bola merah, semua bola dalam kotak dicampur. Kemudian dari dalam kotak tersebut diambil satu bola tanpa melihat terlebih dahulu. Misalkan kejadian A adalah kejadian bahwa bola yang terambil putih dan B adalah kejadian bahwa bola yang terambil merah.

Maka:


(4)

P(A) =

Banyakn ya boladalam kotak =

100

=

5 Peluang dari kejadian B yaitu P(B)

P(B) =

Banyaknya bolamerah dalam kotakBanyaknya bola dalam kotak = 80 100

=

4 5

Defenisi 2

Dua peristiwa A dan B yang tidak mempunyai elemen yang berserikat yaitu A B = ϕ dinamakan peristiwayang saling asing (atau “disjoint”).

Contoh

Jika dua buah dadu dilambungkan satu kali dan lihat pasangan mata dadu yang muncul/tampak.

A = Kejadian bahwa jumlah mata dadu yang muncul 8

B = Kejadian bahwa jumlah mata dadu yang muncul kurang dari 5 Maka: A = {(6,2), (5,3), (4,4), (3,5),(2,6)}

B = {(1,1), (1,2), (2,1), (3,1), (2,2) (1,3)} A B = ϕ

Jadi kejadian A dan B saling asing atau disjoint.

Defenisi 3

Misal S adalah ruang sampel dan A adalah sebarang kejadian dalam S. Maka P disebut fungsi probabilitas pada ruang sampel S apabila dipenuhi aksioma-aksioma berikut:

(A1) Untuk setiap kejadian A, O P(A) 1

(A2) P(S) =1

(A3) Jika A dan B dua kejadian yang saling asing maka:

(A4) Jia A1, A2, ..., merupakan deretan kejadian yang saling asing maka:

P(A1 ∪ A2 ∪ ...) = P(A1) + P(A2)+...

Contoh:

A = {(6,2), (5,3), (4,4), (3,5), (2,6)};n(A) = 5; P(A) = 365

B = {(1,1), (1,2), (2,1), (2,2), (1,3), (3,1)}};n(B) = 6; P = (B) = 366 Karena A dan B saling asing (A B = ϕ¿ , maka:

P (A B) = P(A) + P(B) = 365 + 6 36=

11 36


(5)

b. Perumusan Probabilitas

Berdasarkan aksioma-aksioma tersebut dapat dibuktikan teorema-teorema berikut:

Teorema 1 : P( ϕ ) = 0 Bukti:

Misalkan A sebarang kejadian (himpunan bagian S) Maka A ∪ ϕ = A

Dengan aksioma (A3), P(A) = P(A ∪ϕ ) = P(A) + P( ϕ )

Jadi P(A) = P(A) + P( ϕ )

Kedua ruas dikurangi dengan P(A) didapatkan P( ϕ ) = 0

Teorema 2 :

P(Ac) = 1- P(A)

Bukti:

S = A ∪ Ac; dimana A dan Ac saling asing

Dari (A2) : P(S) = 1

Karena S = A ∪ Ac, maka menurut aksioma (A 3)

1 = P(S) = P(A ∪ Ac) = P(A) + P(Ac) Atau

1 = P(A) + P(Ac)

Jadi P(Ac) = 1 - P(Ac)

Contoh :

Satu dadu yang setimbang dilambungkan satu kali, dilihat banyak mata dadu yang muncul A = kejadian bahwa muncul mta dadu prima.

Maka: A = {2, 3, 5}; P(Ac) = 3

6

=

1 2

Ac kejadian muncul mata dadu tidak prima. Maka Ac = {1, 4, 6} dan P(Ac) = 3

6

=

12

Teorema 3 :


(6)

Jika A ⊂ B maka B dapat dinyatakan kedalam 2 kejadian, yaitu: A dan B – A yang saling asing. Atau B = A ∪ (B – A)

Jadi P(B) = P(A) + P(B – A) Menurut aksioma (A1):

O P (B – A) 1 Maka berarti bahwa P(B) P(A); atau P(A) P(B)


(7)

Teorema 4 :

Jika A dan B dua kejadian, maka P(A – B) = P(A) – P(A B)

Ingat: A – B = A Bc atau himpunan

angota-anggota A yang bukan angota-anggota B Bukti:

A dapat dinyatakan kedalam kedua jadian yang saling asing yaitu dan A B

Atau A = (A – B) ∪ (A B) Dengan aksioma (A3) didapatkan:

P(A) = P(A_B) + P(A B) atau P(A – B) = P(A) – P(A B)

Teorema 5 :

Jika A dan B sebarang dua kejadian maka P(A ∪ B) = P(A) + P (B) – P(A B) Bukti:

A ∪ B dapat dinyatakan dengan dua kejadian yang saling asing yaitu A – B dan B atau A ∪ B = (A – B) ∪ B.

Dengan aksioma (A3) dan teorema 4 didapatkan:

P(A ∪ B) = P(A – B) + P(B) = P(A) – P(A B) + P(B) Karena P(A – B) = P(A) – P(A B)

Terbukti P(A B) = P(A) + P(B) - P(A B).

Contoh :

Satu dadu dilemparkan satu kali dan dilihat banyak mata dadu yang muncul. A = Kejadian muncul mata dadu prima; A = {2, 3, 5}; P(A) = 3

6 B= Kejadian yang muncul mata dadu ganjil; B = {1, 3, 5}; P(B) = 63 A B = kejadian yang muncul mata dadu prima dan ganjil = {3, 5} P(A B) = 62


(8)

P(A ∪ B) = P(A) – P(B) - P(A B) = 63

+

63 - 62

=

46

Teorema Akibat 6 :

Untuk sebarang tiga kejadian A, B dan C, P(A ∪ B ∪ C) = P(A) + P(B) + P(C) – P(A B) - P(A C) - P(B C) + P(A B C)

Defenisi 1 dari peluang hanya dapat digunakan untuk eksperimen dengan hasil yang banyak elemennya berhingga dan kemungkinan sama. Misalnya dalam melambungkan sebuah dadu. Maka peluang munculnya mata dadu genap P({2, 4, 6}) = 63 karena keenam sisi dad berkemungkinan sama untuk tampak/muncul. Dan dalam lambungan yang

berulang-ulang frekuensi relatif munculnya mata dadu genap haruslah dekat dengan 1 2

.

Tetapi untuk dadu yang tidak stimbang, yaitu dadu yang jika dilambungkan peluang munculnya tiap sisi tidak sama, maka muncullah mata dadu genap dapat berbeda cukup

jauh dari 12

.

Defenisi 4

Misalkan S merupakan ruang sampel S{a1, a2, ... an}; dan misalkan pula bahwa p1, p2,

... pn adalah bilangan-bilangan tidak negatif yang jumlahnya sama dengan 1 atau p1 + p2

+ ... pn = 1. Jika untuk kejadian A1 Peluangnya didefenisikan sebagai P(A) = jumlah semua

p1 yang erkaitan dengan hasil a1 dengan a1 didalam A.

Contoh:

Sebuah dadu yang dilemparkan yang tidak setimbang dilambungkan berulang-ulang dan didapatkan frekuensi relatif sebagai berikut:

Jumlah

Mata Dadu 1 2 3 4 5 6

Frekuensi

Relatif 0,13 0,18 0,18 0,16 0,15 0,20

Jika dadu itu dilambungkan satu kali dan diperhatikan banyaknya mata dadu yang muncul, maka ruang sampelnya:


(9)

S = {1, 2, 3, 4, 5, 6}

Jika A kejadian baha muncul bahwa muncul mata genap maka A{2, 4, 6} P(A) = P(2) + P(4) + P(6) = 0,18 + 0,16 + 0,20 = 0,54

Jika B kejadian baha muncul bahwa muncul mata prima maka A{2, 3, 5} P(B) = P(2) + P(3) + P(5) = 0,18 + 0,18 + 0,15 = 0,15

c. Probabilitas Bersyarat dan Teorema BayesProbabilitas Bersyarat

Suatu kejadian dapat bergantung pada terjadi atau tidaknya suatu kejadian lain. Untuk kejadian yang bergantung pada kejadian lain, nilai probabilitasnya dicari dengan menggunakan probabilitas bersyarat, sebgai berikut:

Defenisi:

Misalkan E sebarang kejadian dalam ruang sampel S, dengan P(E) > 0. Probabilitas bersyarat dari kejadian A dengan syarat E terjadi, ditulis P(A/E), didefenisikan sebagai berikut:

P(A/E) = P(A ∩ E) P(E)

Atau misalkan S ruang sampel yang berhingga dengan kejadian A dan E, maka: P(A/E) = banyaknya elemen dalam A ∩ B

banyaknya elemen dalam E

Contoh 1:

Misalkan sepasang dadu yang setimbang dilambungkan satu kali. Dilihat jumlah mata yang muncul E kejadian bahwa jumlah mata yang muncul pada kedua dadu sama dengan 6. A kejadian muncul mata 2 pada paling sedikit satu dadu.

Maka:

S = {(1,1), (1,2), (1,3), (1,4), (1,5), (1,6), ...., (5,6)}: n(S) = 36.

E = {(1,5), (2,4), (3,3), (3,3), (4,2), (5,1)}; n(E) = 5; P(E) = 5 36

A= {(2,1), (2,2), (2,3), (2,4), (2,5), (2,6), (1,2), (3,2), (4,2), (5,2), (6,2)}; n(A) = 11 A E = {(2,4), (4,2)}; P( A E) = 2


(10)

P(A/E) = P(A ∩ E) P(E) =

2 36

5 36

= 2 5

Atau banyaknya elemen dalam A E = n(A E) = 2 P(A/E) = P(A ∩ E)

P(E) = 2 5

Jadi proabibilitas terjadinya muncul mata dadu 2 pada paling sedikit satu adu jika diketahui bahwa jumlah mata dadu yang muncul pada kedua dadu sama dengan 2/5.

Contoh 2:

Andaikan S ruang sampel dari sekelompok orang dewasa yang telah menyelesaikan studinya. Orang tersebut dikelompokkan menurut jenis kelamin dan status kerja sebagai berikut:

Bekerja Tidak Bekerja Jumlah

Laki - laki 460 40 500

Perempuan 140 260 400

Jumlah 600 300 900

Seorang diantara orang tersebut dipilih secara acak untuk mewakili kelompo tersebut. Bila telah diketahui orang yang telah diketahui orang yang dipilih bekerja, berapakah probabilitasnya orang tersebut laki – laki?

Penyelesaiaan:

Misalkan Kejadian B: Kejadian terpilih seorang yang sudah bekerja. L: Kejadian terpilih seorang laki – laki.

Yang dinyatakan probabilitas L dengan syarat B atau P(L/B) P(L) = 500

900 ; P(B) = 600

900 ; P(L B) = 460 900 P(L/B) = P(L∩ B)

P(B)

= 460 600 600 900


(11)

Perlu diperhatikan bahwa rumus: P(A/E) = P(A ∩ E)

P(E)

Dapat dinyatakan dengan P(A E) = P(E).P(A/E)

Teorema:

Jika A, B dan C tiga kejadian diruang sampel S dengan P(A) 0, P(A B) 0, maka P(A B C) = P(A) P(B/A). P(C/A B)

Contoh :

Sebuah kotak berisi 40 butir telur dan diketahui 5 butir diantaranya rusak. Jika 3 butir telur diambil secara berturut – turut dengan acak tanpa pengambilan, berapakah probabilitas ketiga butir telur itu rusak?

Misalkan A peristiwa I rusak maka P(A) = 50 40 =

1 8 Misalkan A peristiwa II rusak maka P(B/A) = 4

39

Misalkan A peristiwa I rusak maka P(C/A B) = 383 Probabilitas ketiga telur itu rusak adalah:

P(A) P(B/A) P(C/A B) = 5040

.

394

.

383

= 1 988

Proses tokastik Berhingga Dan Theorema Bayes

Suatu deretan berhingga dari eksperimen – eksperimen dimana tiap eksperimen mempenyai sejumlah berhingga hasil yang mungkin dengan peluang yang tertentu disebut Proses Stokasti yang berhingga. Suatu cara yang baik sekali untk menjelaskan (menggambarkan) suatu proses dan perhitungan peluang (probabilitas) dari sebarabang kejadian adalah dengan suatu diagram pohon seperti gambar berikut:

Contoh :

Kita mempunyai 3 kotak sebagai berikut:

Kotak I berisi 10 bola lampu, 4 diantaranya mati. Kotak II berisi 6 bola lampu, 1 diantaranya mati. Kotak III berisi 8 bola lampu, 3 diantaranya mati.


(12)

sebuah bola lampu secara random. Berapakah peluangnya bahwa bola lampu tersebut mati?

1) Memilih satu dari 3 kotak.

2) Mengambil satu bola lampu yang mungkin mati (M) atau mungkin hidup. Diagram pohon berikut menggamarkan proses proses tersebut dan menunjukkan peluangya yang terdapat pada setiap cabang pohon.

Peluang mengambil satu kotak dari 3 kotak secara random adalah 13 jadi peluang yang terambil kotak I = peluang yang terambil kotak II = peluang terambil kotak III.

Dari kotak I yang terisi 10 bola lampu, 4 diantaranya mati. Peluang bahwa bola lampu

terambil itu mati = 104 dan peluang bahwa bola lampu yang termbil itu hidup =

1 - 104

=

106

Dari kotak II, yang berisi 6 bola lampu 1 diantaranya mati. Peluang bahwa bola lampu

yang terambil mati = 61 dan peluang bahwa bola lampu yang termbil itu hidup = 1

-3 8

=

5 8


(13)

Dari kotak III yang terisi 8 bola lampu, 3 diantaranya mati. Peluang bahwa bola lampu

terambil itu mati = 38 dan peluang bahwa bola lampu yang termbil itu hidup = 1 - 38

=

58 .

Peluang bahwa bola lampu lampu yang terambil dari kotak I adalah mati = ( 13 ) . (

4 10 ) =

4 30 =

2 15

Peluang bahwa bola lampu lampu yang terambil dari kotak II adalah mati = ( 1 3 ) .

( 1 6 ) =

1 8

Peluang bahwa bola lampu lampu yang terambil dari kotak III adalah mati = ( 13

) . ( 3 8 ) =

3 24

Jadi peluang bahwa bola lampu terampil mati = peluang bola lampu yang mati dari kotak I

+ peluang bola lampu yang terambil mati dari kotak III = ( 1

3 ) . ( 2

5 ) + ( 1 3 ) ( 3

6 ) + ( 1 3 ) (

3 8 ) =

2 15

+

1 8

+

3 24

=

113 360

.

Contoh :

Sebuah dadu yang tidak setimbang dilambungkan satu kali, dengan P(M) = 2

3 dan P(B)

= 13 . Jika sisi M muncul, maka suatu bilangan dipilih secra random dari bilangan 1 sampai 9. Jika sisi B muncul, maka suatu bilangan dipilih secra random dari bilangan 1 sampai 5. Cari peluang bahwa yang terpilih adalah bilangan genap.


(14)

terpilih bilangan genap = 4

9 dan peluang terpilih bilangan ganjil = 1 - 4 9 =

5 9 . Jika muncul sisi B bilangan 1 sampai dengan 5, yang genap ada 2, yaitu: 2, 4. Peluang

yang terpilih adalah bilangan genap = 2

5 dan peluang yang terpilih adalah bilangan

ganjil = 35 .

Jadi peluang yang terpilih adalah bilangan genap = 2 5 .

4 9 +

1 3 .

2 5 =

8 27 + 2

15 = 58 135 .

Contoh :

Sebuah mata uang yang tidak setimbang dilambungkan satu kali, dengan P(M) = 2 3 dan

P(B) = 13 . Jika sisi muncul maka suatu bilangan dipilih secara random dari bilangan 1 sampai 9. Jika sisi B muncul maka suatu bilangan dipilih secara random dari bilangan 1 sampai 5.


(15)

Jika muncul sisi M bilangan 1 sampai 9, yang genap ada 4, yaitu: 2, 4, 6, 8 terpilih

bilangan genap = 49 dan peluang terpilihnya bilangan ganjil = 1 - 49 = 59 . Jika muncul sisi B bilangan 1 samapai dengan 5, yang genap ada 2 yaitu: 2, 4. Peluang yang

terpilihnya adalah bilangan genap = 2

5 dan peluang terpilih adalah bilangan ganjil= 3

5 .

Jadi peluang yang terpilih adalah bilangan genap = 32 . 49 + 13 . 52 = 278 +

2 15 =

58 135

Teorema Bayes

Timbulnya suatu kejadian sering bergantung pada keadaan yang dapat mempengaruhi timbulnya kejadian tersebut.

Contoh 1:

Dua kotak masing – masing berisi 50 batang kapur. Dalam kotak pertama diantaranya 50 batang kapur trdapat 10 batang yang rusak sedang dalam kotak kedua diantara 50 batang terdapat 20 batang yang rusak. Jika seseorang mengambil sebuah kapur dan kebetulan rusak, berapakah probabilitas kapur itu terambil dari kotak kedua?

Misalkan:

H1 : Kejadian kapur itu terambil dari kotak I

H2 : Kejadian kapur yang terambil dari kotak II

A : Kejadian kapur yang terambil rusak. P(A) = P(A H1) + (A H2)

= P(H1) . P(A/H1) + P(H2) . P(A/H2)

= 1 2 .

1 5 +

1 2 .

2 5

=

103

P(H2/A) = P(A ∩ H2)

P(A) =

P(H2)P(A/H2) P(A)


(16)

= 2 .

5 3 10

= 2 3

Keadaan yang memoengaruhi munculnya suatu kejadian dapat lebih dari satu atau dua faktor. Andaikan terdapat k faktor atau keadaan yang dapat mempengaruhi munculnya suatu kejadian. Ruang sampel sampel percobaan kiata bagi k daerah bagian yang saling asing artinya tidak ada titik sampel persekutuan antar daerah itu dan kita misalkan faktor atau keadaan yang dapat mempengaruhi percobaan itu yang kita akan cari adalahprobabilitas kejadian A yang disebabkan oleh H1, H2, ...,Hk.

Keterangan:

H1, H2, ...,Hk adalah keadaan – keadaan dalam S yang mempengaruhi terjadinya A.

P(H) > 0 Untuk setiap i.

A = (H1 A) ∪ (H2 A) ... ∪ (Hk A)

Oleh karena A dapat muncul bersama – sama dengan salah satu dari kejadian Hi

maka A kan muncul jika dan hanya jika salah satu dari kejadian yang saling asing (H1

A) + (H2 A), ..., (Hk A) muncul atau P(A) = (H1 A) + (H2 A) +

... + P(Hk A).

P(Hi/A) = P(Hi∩ A) P(A)

= P(Hi)P(A/Hi)

P(H i∩ A)+P(H i∩ A)++P(Hi ∩ A)

P(Hi/A) =

P(Hi)P(A/Hi)

P(Hi). P( A Hi) Formula ini dikenal dengan Formula Bayes.

Contoh 2:

Tiga kotak yang masimg – masing memiliki dua laci. Didalam laci terdapat sebuah medali. Didalam kotak I terdpat medali emas, dalam kotak kedua medali perak dan dalam laci kotak ketiga masing – masing medali emas dan perak. Diambil sebuah kotak kemudian lacinya dibuka ternyata isinya medali emas. Berapakah probabilitasnya bahwa laci yang lain berisi medali perak?

Misalkan:


(17)

H2 : Kejadian terambil dari kotak II

A : Kejadian laci yang dibuka berisi medali emas

Kotak yang mememnuhi pertanyaan adalah kotak III sehingga yang akan kita cari adalah

P(H3/A) =

P(H3). P(A/H3)

P(H1). P(A/H1)+P(H2). P(A/H2)P(H3). P(A/H3)

=

1 3.

1 2 1

3.1+ 1 3.0+

1 3.

1 2

= 13

d. Peristiwa Independen dan Ekslusif secara Bersama.

Suatu kejadian B dikatakan independen (bebas) dari kejadian A jika probabilitas terjadinya B tidak terpengaruh oleh terjadi atau tidaknya kejadian A atau jika probabilitas dari B sama dengan probabilitas bersyarat dari B dengan syarat A yaitu P(B) = P(B/A). Dari rumus probabilitas bersyarat:

P(B/A) = P(B ∩ A)

P(A) dan P(B/A) = P(B) Maka:

P(B) = P(B ∩ A) P(A) Jadi:

P(A B) = P(A) . P(B).

Defenisi :

Misalkan suatu kejadian A dan B dikatakan bebas/indepanden, jika P(A B) = P(A).P(B).

Jika P(A B) P(A) . P(B), maka A dan B dikatakan dependen (saling bergantung).

Contoh :

Misalkan suatu mata uang yang setimbang dilambungkan 3 kali. Maka: S = {MMM, MMB, MBM, MBB, BBM, BMB, BBM, BBB}.

Perhatikan kejadian – kejadian berikut:

A = Kejadian bahwa pada lambungan I muncul sisi M B = Kejadian bahwa pada lambungan I muncul sisi M C = Kejadian bahwa tepat muncul 2 sisi M berturut-turut.


(18)

A = {MMM, MMB, MBM, MBB}; P(A) = 48 = 12

B = {MMM, MMB, BBM, BMB}; P(B) = 48 = 12

C = {MMB, BBM} ; P(C) = 2 8 =

1 4

a.

A B = (MMM, MMB}; P(A B) = 28 = 14

P(A) . P(B) = 12 . 12 = 14

=

P(A B)

Karena P(A B) = P(A) . P(B), maka A dan B merupakan dua kejadian yang independen yang bebas.

b.

A C = (MMB}; P(A C) = 18

P(A) . P(C) = 12 . 12 = 14

=

P(A C)

Karena P(A C) = P(A) . P(C), maka A dan C merupakan dua kejadian yang bebas.

c.

B C = (MMM, BBM}; P(B C) = 28 = 14

P(B) . P(C) = 1 2 .

1 4 =

1

8 P(B C)

Karena P(B C) = P(B) . P(C), maka B dan C merupakan dua kejadian yang dependen atau saling bergantungan.

Setelah kita menguraikan defenisi dan teorema tentang dua kejadian di S, maka hendaknya anda dapat mebedakan antara dua kejadian bebas dan dua kejadian yang saling asing. Secara verbal harfiah, dua kejadian dikatakan bebas jika terjadinya permata misalkan A tidak dipengaruhi oleh kejadian kedua, misalnya B. Secara probabilitas dinyatakan dengan P(A B) = P(A) . P(B) dua kejadian dikatakan saling asing jika dua kejadian itu , misalkannya A dan B tidak memiliki titik persekutuan atau A B ≠∅

dan secara probabilitas dengan P(A ∪ B) = P(A) + P(B).

Contoh :

Andaikan dua buah dadu dilemparkan satu kali. Kita meperhatikan jumlah mata dadu yang muncul. Andaikan A adalah suatu kejadian jumlah mata dadu genap dan B kejadian


(19)

“jumlah mata dadu lebih dari 10”. Periksalah apakah A dan B dua kejadian bebas atau dua kejadian saling asing atau kedua – duanya.

Misal A = Kejadian jumlah mata dadu genap; P(A) = 1836 = 12

B = Kejadian jumlah mata dadu lebih dari 10, P(B) = 6 = 3 12

P(A B) = 361

P

(A ∪ B) = P(A) + P(B) – P(A B) = 12 + 12 = 1 36 1

= 3620 Ternyata bahwa:

P(A B) P(A) . P(B). Jadi A dan B tidak bebas.

P

(A ∪ B) P(A) . P(B).Jadi A dan B juga tidak saling duga.

Teorema

Kejadian A1, A2, ..., Anadalah kejadian – kejadian bebas jika probabilitas interaksi dari tiap

2, 3, ...,..., n kejadian itu sama dengan hasil perkalian probabilitas tiap kejadian yang bersangkutan.

Untuk 3 kejadian misalnya A, B dan C dikatakan kejadian bebas jika dan hanya jika: i) P(A B) = P(A) . P(B)

P(A C) = P(A) . P(B) Yang pasti sepasang – sepasang bebas. P(B C) = P(A) . P(B)

Contoh :

Misalkan dua mata uang yang setimbang dilambungkan satu kali. S = {MM, MB, BM, BB}

Perhatikan kejadian – kejadian:

A = Kejadian bahwa sisi M muncul pada mata uang I B = Kejadian bahwa sisi M muncul pada mata uang II

C = Kejadian bahwa sisi M muncul hanya pada suatu mata uang Maka:

A = {MM, MB}; P(A) = 24

=

12

B = {MM, BM}; P(B) = 2 4

=

1 2


(20)

C = {MB, BM}; P(C) = 4

=

2

A B = {MM}; P(A B) = 2 4

=

1 2 .

1

2 = P(A) . P(B) Jadi A dan B bebas

A C = {MB}; P(A C) = 2 4

=

1 2 .

1

2 = P(A) . P(C) Jadi A dan C bebas

B C = {MM}; P(B C) = 24

=

12 . 12 = P(B) . P(C) Jadi A dan B bebas

Karena P(A B C) P(A) . P(B) . P(C) maka kejadian A, B, dan C tidak bebas, meskipun sepasang – sepasang kejadian tersebut bebas.


(21)

BAB IV

VARIABEL RANDOM DAN PROBABILITASNYA

a. Pengertian Variabel Random

Dalam pembicaraan mengenai kemungkinan suatu eksperimen, seringkali perhatian kita tertuju kepada aspek tertentu saja. Misalnya pada pelemparan dua mata uang logam, kita perhatikan banyak sisi muka (M) yang muncul, atau banyak sisi belakang (B) yang muncul. Pada pelemparan dua buah dadu kita perhatikan munculnya mata dadu berjumlah 8, munculnya mata dadu yang selisihnya 2, atau munculnya mata dadu sama.

Agar lebih jelasnya, perhatikan contoh-contoh berikut ini: Contoh 1.

Misalnya pada eksperimen pelemparan 2 mata uang. Ruang sampel S = {(M,M), (M,B),(B,M),(B,B)}. Kita perhatikan baiknya sisi muka (M) yang muncul. Peristiwa (M,M) yaitu kedua mata uang muncul mata uang sisi muka, menyatakan 2 sisi muka yang muncul ; peristiwa (M,B) dan (B,M) yaitu 1 sisi muka dan 1 sisi belakang, menyatakan 1 sisi muka yang muncul ; dan peristiwa (B,B) yaitu kedua mata uang muncul ; peristiwa (B,B) yaitu kedua mata uang muncul sisi belakang, menyatakan 0 sisi muka yang muncul.

Hal ini jika ditulis dengan menggunakan konsep pemetaaan adalah : (M,M) ---> 2

(M,B) ---> 1 (B,M) ---> 1 (B,B) ---> 0

Tanda “--->” diatas berarti “banyaknya sisi muka yang muncul”. Dengan menggunakan diagram panah dapat digambarkan seperti berikut :

S Rx

dengan S = menyatakan ruang sampel, dan

Rx = menyatakan daerah hasil dari pemetaan

Dari contoh-contoh di atas, variabel random dapat didefinisikan seperti berikut ini. (M,M)

(M,B) (B,M) (B,B)

2 1 0


(22)

Misalkan E suatu kejadian dan S adalah ruang sampelnya. Suatu fungsi X (ditulis dengan huruf kapital) yang memetakan setiap unsur x di S pada bilangan real, disebut suatu variabel random atau fungsi random.

Pada contoh 1 di atas, X(M,M) = 2, X(M,B) = X(B,M) = 1, dan X(B,B) = 0. Himpunan hasil atau nilai fungsi dari X dinyatakan dengan Rx. Pada contoh 2 bagian

pertama, X(M,M,M) = 3, X(M,M,B) = X(M,B,M) = 2, X(M,B,B) = X(B,M,B) = 1 dan X(B,B,B) = 0; Rx = {0,1,2,3} pada contoh pelambungan dua buah dadu, jika pemetaaannya

menyatakan jumlah mata kedua dadu yang muncul, maka diperoleh nilai fungsi random sebagai berikut ini.

X(1,1) = 2

X(1,2) = X(2,1) = 3

X(3,1) = X(1,3) = X(2,2) = 4

X(4,1) = X(1,4) = X(3,2) = X(2,3) = 5 X(6,6) = 12

Pada contoh (3) di muka, diagram panahnya menyatakan suatu fungsi, tetapi bukan fungsi random karena tidak setiap anggota ruang sampel di S dipetakan ke Rx.

b. Variabel Random Diskrit Definisi :

Jika nilai yang mungkin dari variabel random X, yaitu himpunan hasil pemetaan adalah Rx, terhingga atau tak hingga tetapi terbilang, maka X disebut suatu variabel

random diskrit. Pengertian himpunan terbilang (countable) adalah himpunan yang semua anggotanya dapat disebutkan satu per satu. Jadi X dapat mengambil nilai dari

x1, x2, x3, . . . , xn atau

x1, x2, x3, . . . , xn , xn+1 , . . . dengan x ∈ R

Pada contoh-contoh di atas, hasil pemetaannya terhingga dan dapat disebutkan satu per satu. Oleh karena itu variabel randomnya diskrit.

Jika Y menyatakan banyaknya kelahiran anak dalam satu hari maka Ry = {0,1,2,3,4,5,..}; sehingga Y juga menyatakan variabel random diskrit.


(23)

c. Variabel Random Kontinu

Dalam hal ruang hasil dari X merupakan semua nilai dalam suatu interval atau banyaknya hasil pemetaan tak terhingga dan tak terbilang, maka X disebut variabel random kontinu.

Misal, daerah hasil variabel random kontinu X adalah : Rx = {x|0 ≤ x < 1, x bilangan real}

Rx = {y|-~ < y < ~, y bilangan real}

Contoh dari variabel random kontinu, antara lain adalah variabel yang menyatakan tingginya temperatur udara, tebalnya suatu plat baja atau daya tahan suatu alat elektronika.

d. Fungsi Distribusi dan Fungsi Padat Peluang Variabel Random Diskrit dan Kontinu.Fungsi distribusi dan fungsi padat peluang variabel random diskrit

Himpunan pasangan terurut (x, f(x)) merupakan suatu fungsi probabilitas atau distribusi proabilitas dari variabel random diskrit, jika

1. f(x)≥0 2.

xf(x)=1 3. P(X=x)=f(x) Rata-rata dan varians dari variabel random diskrit X

μ

=

E

(

X

)=

x

xf

(

x

)

σ

2

=

E

[(

X

μ

)

2

]=

x

(

x

μ

)

2

f

(

x

)

Fungsi distribusi dan fungsi padat peluang variabel random kontinu

Fungsi f(x) adalah fungsi kepadatan (density) probabilitas untuk variabel kontinu X, jika 1. f(x)≥0

2.

−∞f(x)dx=1

3. P(a<X<b)=

abf(x)dx Rata-rata dan varians dari variabel random kontinu X

μ

=

E

(

X

)=

−∞

xf

(

x

)

dx


(24)

Variabel Random Diskrit dan Kontinu.Beberapa distribusi khusus diskrit

Pada uraian sebelumnya, kita sudah mempelajari fungsi peluang yang diperoleh berdasarkan eksperimen atau sifatnya. Fungsi peluang seperti itu bentuknya beraneka macam, sehingga bentuk tersebut tidak mempunyai nama. Selain fungsi peluang itu, terdapat fungsi peluang yang mempunyai bentuk tertentu dan nama tertentu pula. Distribusi yang mempunyai bentuk fungsi peluang dan nama tertentu itu disebut distribusi khusus diskrit.

1. DISRIBUSI BERNOULLI

Apabila sebuah eksperimen mempunyai dua hasil yang muncul, seperti “sukses” dan “gagal”, dengan masing-masing peluangnya p dan (1−p) , maka peristiwa yang diperhatikan, baik sukses maupuan gagal akan berdistribusi Bernouli.

DEFINISI 4.4.1: FUNSI PELUANG BERNOULI

Peubah acak X dikatakan berdistribusi bernouli, jika dan hanya jika fungsi peluang berbentuk:

p(x)=P(X=x)=px(1−p)1−x

; x=0,1

Penulisan notasi dari peubah acak yang berdistribusi Bernoulli adalah, B(x; 1, p), artinya peubah acak Xberdistribusi Bernoulli dengan peristiwa yang diperhatikan, baik sukses maupun gagal dinyatakan dengan x, banyak eksperimen yang dilakukan satu kali, dan peluang terjadinya peristiwa yang diperhatikan, baik sukses maupun gagal sebesar p.

Sebuah eksperimen dikatakan mengikuti distribusi Bernouli, jika eksperimen itu memenuhi sifat – sifat sebagai berikut,

1. Eksperimennya terdiri atas dua peristiwa, yaitu peristiwa yang diperhatikan (sering disebut peristiwa sukses) dan peristiwa yang tidak diperhatikan (sering disebut peristiwa gagal).

2. Eksperimennya hanya dilakukan sekali saja.


(25)

Pemahaman uraian tentang distribusi Bernoulli diperjelas melalui beberapa contoh berikut: Contoh 1.

Apakah artinya Y B(y ;1,1

4) ? Kemudian tuliskan bentuk fungsi peluangnya. Penyelesaian :

Y B(y ;1,1

4) artinya peubah acak Y mengikuti distribusi Bernoulli dengan peluang

peristiwa sukses sebesar 1

4 dan banyak peristiwa sukses ada y . Fungsi peluang dari Y adalah:

1 4 ¿ ¿ 1 4 ¿ ¿

p(y)=P(Y=y)=¿ Contoh 3.

Misalnya Y B(y ;1,1 4)

Tentukan fungsi ditribusi dari Y . Penyelesaian :


(26)

4 ¿ ¿ 3 4 ¿ ¿

p(y)=P(Y=y)=¿ Jadi, p(0)=3

4 p(0)=1

4

Distribusi peluang dari Y adalah:

y 0 1

p(y) 3

4

1 4 Fungsi distribusi dari Y adalah:

Untuk y<0 : F(y)=0 Untuk 0≤ y<1 :

F(y)=

t ≤ y

p(t)=

t ≤0

p(t)=p(0)

F(y)=3 4 Untuk y ≥1 :

F(y)=

t ≤ y

p(t)=

t ≤1

p(t) ¿p(0)+p(1)

¿3 4+

1 4 F(y)=1 Sehingga: F(y)=0; y<0

¿3

4;0≤ y<1 ¿1; y ≥1

2. DISTRIBUSI BINOMIAL

Misalnya kita melakukan suatu eksperimen yang hanya menghasilkan dua peristiwa, seperti peristiwa sukses (S) dan peristiwa gagal (G).


(27)

Peluang terjadinya peristiwa S, P(S), sebesar p dan peluang terjadinya peristiwa G, P(G), sebesar 1 – p.

Kemudian itu diulang sampai n kali secara bebas. Dari n kali pengulangan itu, peristiwa S terjadi sebanyak x kali dan sisanya (n – x) kali terjadi peristiwa G. Kita akan menghitung besar peluang bahwa banyak eksperimen itu sebanyak x kali.

Dalam hal ini, sdalah satu susunan dari pengulangan eksperimen sampai n kali itu adalah:

S S S. . . .S G G G. . . .G

x kali (n – x) kali

Karena setiap pengulangan bersifat bebas, P(S) = p dan P(G) = 1 – p berharga tetap untuk setiap pengulangan percobaan, maka besar peluang dari peristiwa susunan diatas adalah:

P(S S S. . .S G G G. . .G) = P(S) . P(S) . P(S). . .P(S) . P(G) . P(G) . P(G). . .P(G)

= (p) (p) (p). . .(p) (1 – p) (1 – p) (1 – p ). . .(1 – p)

= px(1−p)nx

Karena banyak keseluruhan peristiwa Sterjadi ada

(

n

x

)

cara, maka peluang bahwa peristiwa Sterjadi dalam xkali adalah:

P(X=x)=

(

n x

)

p

x

(1−p)nx

Berdasarkan uraian di atas, kita peroleh definisi distribusi binomial berikut.

DEFINISI 4.4.2: FUNGSI PELUANG BINOMIAL

Peubah acak X dikatakan berdistribusi binomial, jika dan hanya jika fungsi peluangnya berbentuk:

p(x)=P(X=x)=

(

n x

)

p

x(1−p

)nx; x=0, 1, 2,3,…..,n


(28)

artinya peubah acak X berdistribusi binomial dengan banyak pengulangan eksperimen n kali, peluang terjadi peristiwa sukses sebesar p, dan banyak peristiwa sukses terjadi ada x.

Sebuah eksperimen dikatakan mengikuti distribusi binomial, jika eksperimen itu memenuhi sifat-sifat sebagai berikut.

1. Eksperimennya terdiri atas dua peristiwa, seperti sukses dan gagal.

2. Eksperimennya diulang beberapa kali dan ditentukan banyak pengulangannya.

3. Peluang terjadinya peristiwa sukses dan gagal pada setiap pengulangan eksperimen bersifat tetap.

4. Setiap pengulangan eksperimen bersifat bebas.

Grafik dari fungsi peluang distribusi binomial bisa dilihat dalam Gambar berikut

Pemahaman uraian tentang distribusi binomial diperjelas melalui contoh-contoh berikut, Contoh 1:

Apakah artinya Y B(y ;6,1

4) ? Kemudian tuliskan bentuk fungsi peluangnya. Penyelesaiain:

Y B(y ;6,1

4) artinya peubah acak Y mengikuti distribusi binomial dengan banyak

pengukangan eksperimennya 6 kali, peluang terjadinya peristiwa sukses sebesar 1 4 dan banyak peristiwa sukses y.

Fungsi peluang dari Y adalah : p(y)=

(

6

y

)

(

1 4

)

y

(

3

4

)

6−y

; y=0,1, 2,3, 4,5, 6 Contoh 2:


(29)

Hitung peluang bahwa munculnya mata dadu 5 paling sedikit 6 kali. Penyelesaian:

Misalnya X menyatakan banyak mata dadu 5 yang muncul. Dalam hal ini, n=8 dan p=1

6 Fungsi peluang dari X adalah :

p(x)=

(

8 x

)

(

1 6

)

x

(

5

6

)

8−x

; x=0, 1,2, 3,…..,8

Jadi : P(X=6, 7, 8X ≥6)=P ¿

¿P(X=6)+P(X=7)+P(X=8) ¿

(

8

6

)

(

1 6

)

6

(

5 6

)

2

+

(

8 7

)

(

1 6

)

7

(

5

6

)

+

(

8 8

)

(

1 6

)

8

(

5 6

)

0 ¿ 700 1.679 .616+

40 1.679 .616+

1 1.679.616 P(X ≥6)= 741

1.679 .616=0,00044

DISTRIBUSI POISSON

Distribusi poisson ini diperoleh dari distribusi binomial, apabila dalam distribusi binomial berlaku syarat-syarat sebagai berikut,

a. Banyak pengulangan eksperimennya sangat besar (n → ∞) .

b. Peluang terjadinya peristiwa yang diperhatikan mendekati nol (p→0) . c. Perkalian n . p=λ , sehingga p=λ

n .

Berikut ini akan diberikan penurunan fungsi peluang distribusi Poisson berdasarkan fungsi peluang distribusi binomial dengan menggunakan persyaratan di atas.

p(x)=

(

n x

)

p

x

(1−p)nx

¿ n ! x !(n−x)!

(

λ n

)

x

(

1−λ

n

)

nx

¿n(n−1) (n−2)...[n−(x−1)]

x !

(

λ n

)

x

(

1−λ

n

)


(30)

¿

n. n

(

1−

n

)

. n

(

1−n

)

. . . n

(

1− n

)

x ! .

λx nx.

(

1−

λ n

)

n

(

1−λ

n

)

x

¿n. n

x−1

nx .

(

1−1

n

)

.

(

1− 2

n

)

. . . .

(

1− x−1

n

)

x ! . y

x.

(

1−λ

n

)

n

(

1−λ

n

)

x

lim p(x)=lim

n → ∞

n .nx−1

nx .

(

1−1

n

)

.

(

1− 2

n

)

. . . .

(

1− x−1

n

)

x ! . y

x.

(

1−λ

n

)

n

(

1−λ

n

)

x

¿ λ

x

x !n → ∞lim

[

(

1−

1 n

)

.

(

1−

2

n

)

.. . .

(

1− x−1

n

)(

1− λ n

)

n

(

1−λ

n

)

x

]

Kita akan menghitung harga limitnya satu persatu.  lim

n →∞

(

1−1 n

)

.

(

1−

2

n

)

. .. .

(

1− x−1

n

)

=1  lim

n →∞

(

1−

λ n

)

n

=e−λ

 lim

n →∞

(

1−

λ n

)

x

=1 Sehingga akan diperoleh

lim

n →∞ p

(x)=λ

x

x !. e

λ

=λ

x

eλ

x !

Jadi distribusi pendekatannya adalah : p(x)=P(X)=λ

x. eλ

x ! ; x=0, 1,2, 3,… … .

Dalam praktiknya, distribusi Poisson akan merupakan distribusi yang baik dari distribusi binomial, jika dalam distribusi binomial berlaku:

n ≥100 dan np ≤10

n ≥20 dan p≤0,05

Berdasarkan uraian diatas, kita peroleh definisi distribusi Poisson berikut.


(31)

Peubah acak X dinyatakan berdistribusi Poisson, jika dan hanya jika fungsi peluangnya berbentuk:

p(x)=P(X)=λx. eλ

x ! ; x=0, 1,2, 3,… … .

Peubah acak X yang berdistribusi Poisson dikatakan juga peubah acak Poisson. Penulisan notasi dari peubah acak X berdistribusi Poisson adalah P(x ; λ), artinya peubah acak X berdistribusi Poisson dengan parameter λ .

Pemahaman uraian tentang distribusi Poisson diperjelas melalui contoh berikut,

Contoh 1:

Apakah artinya Y P(y ;2) ? Kemudian tuliskan bentuk fungsi peluangnya. Penyelesaian:

Y P(y ;2) artiya peubah acak Y berdistribusi Poisson dengan parameter λ = 2. Fungsi peluang dari Y berbentuk:

p(y)=2

y

. e−2

y ! ; y=0, 1, 2,3,.. .. . Contoh 2:

Misalnya X adalah peubah acak berdistribusi Poisson dengan parameter λ. Jika

P(X=0)=0,2 , maka hitung P(X=2) . Penyelesaian:

Fungsi peluang dari distribusi Poisson adalah: p(x)=P(X=x)=λ

x

. eλ

x ! ; x=0, 1,2, 3,… … . P(X=0)=0,2

λ0. eλ

0! =0,2

eλ

=0,2

λ=1,6

Jadi:

P(X=2)=(1,6)

2. e−1,6


(32)

1. DISTRIBUSI SERAGAM

Peubah acak yang berdistribusi seragam ini mempunyai fungsi densitas berupa konstanta yang didefinisikan atas sebuah interval nilai peubah acaknya. Jadi fungsi densitas seragam ini mempunyai nilai yang sama sepanjang interval nilai yang diberikan.

DEFINISI 4.5.1: FUNGSI DISTRIBUSI SERAGAM

Peubah acak X dikatakan berdistribusi seragam, jika dan hanya jika fungsi densitasnya berbentuk:

f(x)= 1

β−α <x<β ¿0; x lainnya

Peubah acak X yang berdistribusi seragam dikatakan juga peubah acak seragam.

Penulisan notasi dari peubah acak yang berdistribusi seragam adalah S(x ;α , β) , artinya peubah acak X berdistribusi seragam dengan parameter α dan β .

Peubah acak X yang berdistribusi seragam dengan parameternya α dan β bisa juga ditulis sebagai:

X S(α , β)

Pemahaman uraian tentang distribusi seragam diperjelas melalui contoh berikut. Contoh 1:

Apakah artinya Y S(1,3) ? Kemudian tuliskan bentuk fungsi densitasnya. Penyelesaian:

Y S(1,3) artinya peubah acak Y berdistribusi seragam dengan parameter α=1 dan β=3 .

Fungsi densitas dari Y berbentuk:

f(y)=1

2;1<y<3 ¿0; y lainnya Contoh 2:


(33)

g(x)=1

4;0<x<4 ¿0; x lainnya. a. Hitung P(1<X<3) .

b. Hitung P(X>2) berdasarkan fungsi distribusinya. Penyelesaian:

a. Berdasarkan sifat dari fungsi densitasnya, maka: P(1<X<3)=

1 3

1 4dx ¿1

4

(

x¿x=1 3

)

P(1<X<3)=2

4= 1 2

b. Fungsi distribusi dari X adalah sebagai berikut. Untuk x<0

G(x)=0

Untuk P(0≤ X<4) G(x)=

x

g(t)dt ¿

0

g(t)dt+

0 x g(t)dt ¿

0

0dt+

0

x

1 4dt ¿0+1

4

(

t¿t=0

x

)

G(x)=1

4x Untuk x ≥4

G(x)=

x

g(t)dt ¿

0

g(t)dt+

0 4

g(t)dt+

4

g(t)dt ¿

0

0dt+

0 4

1 4dt+

4

0dt

¿0+1 4

(

t¿t=0

4


(34)

Jadi: G(x)=0;x<0

¿1

4 x ;0≤ x<4 ¿1; x ≥4

Maka: P(X>2)=1−P(X ≤2) ¿1−G(2)

¿1−(1 4)(2) P(X>2)=2

4= 1

2

2. DISTRIBUSI GAMMA

Distribusi gamma ini mempunyai fungsi densitas berbentuk: f(x)=k . xα−1

. e

x

β ; x>0,α>0,β>0

¿0; x lainnya.

Kita akan menentukan nilai konstanta k sedemikian hingga fungsi diatas memenuhi sebuah fungsi densitas.

 Sifat (i) dari fungsi densitas: f(x)0

k . xα−1. eβx0

Karena x>0 , α>0 , dan β>0 maka k>0

 Sifat (ii) dari fungsi densitas:

f(x)dx=1

0

f(x)dx+

0

f(x)dx=1

0

0dx+

0

k . xα−1

. e

x

β dx=1

0+k .

0

−1

. e

x

β dx=1

Integral diatas diselesaikan dengan menggunakan bantuan fungsi gamma, yaitu: Γ(α)=

0

−1

. ey

dy , untuk α>0


(35)

Misalnya: y=x

β , maka x=βy

dx=β dy

Batas-batas: Untuk x=0 , maka y=0 Untuk x=∞ , maka y=∞ k .

0

(βy)α−1. ey

. β dy=1 k . βα

0

−1

. ey

dy=1 k . βα. Γ)=1

k= 1

βα. Γ(α)

Dari uraian diatas, kita peroleh definisi distribusi gamma, yaitu sebagai berikut. DEFINISI 4.5.2: FUNGSI DENSITAS GAMMA

Peubah acak X dikatakan berdistribusi gamma, jika dan hanya jika fungsi densitasnya berbentuk:

f (x)= 1 βα. Γ(α)x

α−1. eβx; x>0,α>0,β>0

¿0; x lainnya .

Peubah acak X yang berdistribusi gamma disebut juga peubah acak gamma.

Penulisan notasi dari peubah acak X yang berdistribusi gamma adalah G(x ; α , β) , artinya peubah acak X berdistribusi gamma dengan parameter α dan β .

Peubah acak X yang berdistribusi gamma dengan parameternya α dan β bisa juga ditulis sebagai:

X G(α , β)

Contoh 1:

Apakah artinya X G(3,3) ? Kemudian tuliskan bentuk fungsi densitasnya. Penyelesaian:

X G(3,3) artinya peubah acak X berdistribusi gamma dengan parameter α=3 dan

β=3 .

Fungsi densitas dari X berbentuk: g(x)=

(

1

54

)

x

2

.e

x


(36)

lainnya

Contoh 2:

Misalnya peubah acak Y berdistribusi gamma dengan parameter α=2 dan β=3 . Hitung peluang bahwa Yberharga lebih dari 4.

Penyelesaian:

Fungsi densitas dari Y berbentuk: h(y)=

(

y

9

)

e

y

3 ; y>0

¿0; y lainnya. Jadi: P(Y>4)=

4

1 9y . e

y

3 dy

¿1

9b → ∞lim y . e

y

3 dy

Integral diatas diselesaikan dengan menggunakan integral parsial. Misalnya: u=y , maka du=dy

dv=e

y

3 dy , maka v=−3. e

y

3

P(Y>4)=1

9b → ∞lim

(

−3y . e

y

3 ¿

y=4

b

+3

4

b

e

y

3 dy

)

¿1

9b → ∞lim

(

−3y .e

y

3 ¿

y=4

b −9. e

y

3 ¿

y=4

b

)

¿1

9b → ∞lim

(

−3b . e

b

3 +12. e

−4

3 −9. e

b

3 +9.e

−4

3

)

¿1 9

[

b → ∞lim

(

−3b . e

b

3

)

+21. e

−4

3 lim

b → ∞

(

9.e

b

3

)

]

¿

(

1

9

)

(

0+21. e

−4

3−0

)

P(Y>4)=

(

21 9

)

. e

−4

3 =0,6151

3. DISTRIBUSI EKSPONENSIAL

Distribusi eksponensial ini diperoleh dari distribusi gamma dengan α=3 dan β=θ . Sehingga kita peroleh definisi distribusi eksponensial berikut.


(37)

DEFINISI 4.5.3: FUNGSI DENSITAS EKSPONENSIAL

Peubah acak X dikatakan berdistribusi eksponensial, jika dan hanya jika fungsi densitasnya berbentuk:

f(x)=

(

1 θ

)

. e

x

θ ; x>θ ,θ>0

¿0; x lainnya .

Peubah acak X yang berdistribusi eksponensial disebut juga peubah acak eksponensial.

Penulisan notasi dari peubah acak yang berdistribusi eksponensial adalah

exp(x ;θ) , artinya peubah acak X berdistribusi eksponensial dengan parameter θ . Peubah acak X yang berdistribusi eksponensial dengan parameter θ bisa juga ditulis sebagai:

X exp(θ)

Pemahaman uraian tentang distribusi eksponensial diperjelas melalui contoh berikut. Contoh 1:

Apakah artinya X exp(2) ? Kemudian tuliskan bentuk fungsi densitasnya. Penyelesaian:

X exp(2) artinya peubah acak X berdistribusi eksponensial dengan parameter θ=2 . Fungsi densitas dari berbentuk:

g(x)=1 2. e

x

2 ; x>0

¿0; x lainnya

Contoh 2:

Misalnya peubah acak Y berdistribusi eksponensial dengan parameter θ=3 . Hitung peluang bahwa Y bernilai lebih dari 2.

Penyelesaian:

Fungsi densitas dari Y adalah: h(y)=

(

1

3

)

.e

y

3 ; y

>0

¿0; y lainnya P(Y>2)=1−P(Y ≤2)


(38)

¿1−

0

1 3. e

3 dy

¿1−1 3

(

−3. e

y

3 ¿

y=0 2

)

¿1+

(

e

−2

3 1

)

P(Y>2)=e

−2

3 =0,5134

. DISTRIBUSI BETA

Misalnya fungsi dari peubah acak Y yang berdistribusi seragam berbentuk:

h(y)=1;0<y<1

¿0; y lainnya.

Apabila kita memperhatikan fungsi densitas di atas, maka sebenarnya fungsi densitas tersebut merupakan hal khusus dari distribusi lain, yang disebut distribusi beta.

DEFINISI 4.5.5: FUNGSI DENSITAS BETA

Peubah acak X dikatakan berdistribusi beta, jika dan hanya jika fungsi densitasnya berbentuk:

f(x)= Γ(α+β) Γ(α). Γ(β)x

α−1.(1−x

)β−1;0<x<1,α>0,β>0 ¿0; x lainnya .

peubah acak X yang berdistribusi beta juga disebut peubah acak beta.

Penulisan notasi dari peubah acak yang berdistribusi beta adalah B(x ;α , β) , artinya peubah acak X berdistribusi beta dengan parameter α dan β .

Peubah acak X yang berdistribusi beta dengan parameter α dan β bisa juga ditulis sebagai:

X B(α , β)

Pemahaman uraian tentang distribusi beta bisa dilihat dalam beberapa contoh berikut. Contoh 1:

Apakah artinya X B(2,3) ? Kemudian tuliskan bentuk fungsi densitasnya. Penyelesaian:


(39)

X B(2,3) artinya peubah acak X berdistribusi beta dengan parameter α=2 dan β=3 .

Fungsi densitas dari X berbentuk: h(x)=12x(1−x)2;0<x<1

¿0; x lainnya. Contoh 2:

Jika peubah acak X berdistribusi beta dengan parameter α=1 dan β=4 , maka hitung:

a. μ

b. Peluang bahwa X bernilai paling sedikit 14 Penyelesaian:

Fungsi densitas X berbentuk:

g(x)=4(1−x)3;0<x<1 ¿0; x lainnya. a. μ=E(X)=

x . f(x)dx ¿

0

x . f(x)dx+

0 1

x . f(x)dx+

1

x . f(x)dx ¿

0

x.0dx+

0 1

x.4(1−x)3dx+

1

x.0dx

¿0+4. B(2,4)+0

¿4. B(2,4) ¿4

(

Γ(2). Γ(4)

Γ(6)

)

¿4

(

1!3!

5!

)

μ=E(X)= 4

20= 1 5

b. P

(

X ≥14

)

=

1 4 0

4(1−x)3dx

Misalnya: y=1−x , maka x=1−y


(40)

Batas-batas: Untuk x=

4 , maka y=4 Untuk x=1 , maka y=0 P

(

X ≥1

4

)

=

3 4 0

4 y3(−dy

)

¿

0 3 4

4y3dy

¿y4¿y=0

3 4

P

(

X ≥1

4

)

=

(

3 4

)

4

=0,3164

6. DISTRIBUSI NORMAL UMUM

Distribusi normal umum ini merupakan distribusi dari peubah acak kontinu yang paling banyak sekali dipakai sebagai pendekatan yang baik dari distribusi lainnya dengan persyaratan tertentu. Sifat-sifat distribusi normal umum secara matematika dipelajari pertama kali oleh tiga orang ahli, yaitu:

1. Abraham de Moivre (1667 – 1745) 2. Pierre Laplace (1749 – 1827) 3. Karl Gauss (1777 – 1855)

Abraham de Moivre, seorang matematikawan dari inggris yang menemukan distribusi normal pada tahun 1733 sebagai hasil dari pendekatan distribusi binomial dan penggunaannya terhadap masalah dalam permainan yang bersifat untung-untungan. Kemudian Laplace pada tahun 1774 mengenal distribusi normal sebagai hasil dari beberapa kekeliruan dalam astronomi. Gauss kekeliruan pengukuran meliputi penghitungan orbit bintang dilangit. Sepanjang abad ke-18 dan ke-19, beberapa upaya dibuat untuk menetapkan model normal sebagai dasar hukum untuk semua peubah acak kontinu.

Berikut ini merupakan definisi distribusi normal umum. DEFINISI 4.5.6: FUNGSI DENSITAS NORMAL UMUM

Peubah acak X dikatakan berdistribusi normal umum, jika dan hanya jika fungsi densitasnya berbentuk:

f(x)= 1

2π . σ2exp

[

−1

2σ2(x−μ)

2


(41)

Peubah acak X yang berdistribusi normal umum disebut juga peubah acak normal umum. Penulisan notasi dari peubah acak yang berdistribusi normal umum adalah N(x ; μ , σ2) , artinya peubah acak X berdistribusi normal umum dengan rataan μ dan varians σ2 .

Peubah acak X yang berdistribusi normal dengan rataan μ dan varians σ2

bisa juga ditulis sebagai:

X N(μ , σ2

)

Beberapa sifat kurva fungsi densitas normal umum adalah sebagai berikut. 1. Kurvanya berbentuk lonceng dan simetrik di x=μ .

2. Rataan, median, dan modus dari distribusi berimpitan.

3. fungsi densitas mencapai nilai maksimum di x=μ sebesar 1

2π . σ2

4. Kurvanya berasimtot sumbu datar x.

5. kurvanya memppunyai titik infleksi (x , f(x)) , dengan:

x=μ ± σ

f(x)= 1

2π . σ2e

1 2

6. Luas daerah dibawah kurva sebagai berikut:  P

(

|X−μ|<σ

)

=0,6826

P

(

|X−μ|<2σ

)

=0,9544  P

(

|X−μ|<3σ

)

=0,9973

7. DISTRIBUSI NORMAL BAKU

Penghitungan luas daerah dibawah kurva distribusi normal umum agar lebih mudah, biasanya dilakukan dengan menggunakan bantuan Tabel Distribusi Normal Baku.

Berikut ini merupakan definisi distribusi normal baku. DEFINISI 4.5.7: FUNGSI DENSITAS NORMAL BAKU

Distribusi normal umum dengan rataan μ=0 dan varians σ2=1 dinamakan

distribusi normal baku dan fungsi densitasnya berbentuk:

1

2π exp

(

−1

2 x

2

)

;−∞<x<


(42)

N(x ;0,1) , artinya peubah acak X berdistribusi normal umum dengan rataan 0 dan varians 1.

Peubah acak X yang berdistribusi normal umum dengan rataan 0 dan varians 1 atau peubah acak X yang berdistribusi normal baku bisa juga ditulis sebagai:

X N(0,1)

BAB V

MOMEN

a. Harapan Matematis.

Secara Garis besar pengertian momen dari variabel random x adalah harapan matematis x. Pengertian secara formal didefinisikan sebagai berikut:

Definisi 1

Jika x merupakan variabel random, maka momen ke r dari x (dinotasikan dengan m’r)

didefinisikan :

m’r = E(xr) bila E(xr) ada

Andaikan kita melakukan suatu percobaan, yaitu melemparkan dua keping uang logam sebanyak 16 kali. Uang logam memiliki dua sisi yang kita sebut sisi muka (M) dan sisi belakang (B). Andaikan pula X menyatakan banyaknya sisi muka (M) yang muncul, pada setiap lemparan. Dalam percobaan ini X dapat memiliki nilai 0, 1, dan 2, artinya pada suatu lemparan dapat terjadi tidak ada sisi M yang muncul, ada 1 sisi M yang muncul atau 2 sisi M yang muncul. Misalkan pada percobaan kita tadi terdapat 4 lemparan yang tidak muncul sisi M, 7 lemparan dengan 1 sisi M dan 5 lemparan dengan dua sisi M. Rata-rata dari banyaknya sisi M yang muncul untuk setiap lemparan adalah :

(0) (4)+(1)(7)+(2)(5)

16 =

17

16 = 1,06

Nilai 1,06 adalah nilai rata-rata dan bukan harus merupakan hasil yang mungkin

diperoleh pada percobaan itu. Perhatikan bahwa 4 16 ,

7

16 , dan 10

16 tidak lain adalah frekuensi relatif dari banyaknya lemparan yang menghasilkan, berturut-turut, nol, satu, dan dua sisi M. Dari uraian pada contoh di muka akan kita bicarakan bagaimana


(43)

menentukan rata-rata dari banyaknya sisi M yang kita harapkan muncul pada setiap lemparan jika seandainya percobaan itu dilakukan berulang-ulang. Nilai rata-rata ini kita sebut sebagai nilai harapan atau ekspektasi matematika atau harapan matematis yang kita tulis dengan E(X) dimana X menyatakan banyaknya sisi M yang mungkin muncul pada setiap lemparan. Dalam percobaan diatas, X dapat bernilai 0, 1, dan 2.

Dari lemparan dua keping uang logam berulang-ulang telah diketahui bahwa

probabilitas dari kejadian muncul 0 sisi M, 1 sisi M dan 2 sisi M, berturut-turut 14 ,

1

2 , dan 1

4 . Dengan demikian akan kita peroleh: E(x) = (0) ( 1

4 ) + 1( 1

2 ) + 2( 1 4 ) = 0 + 1

2 + 1 2 = 1

Dengan hasil ini dapat kita katakan bahwa seandainya kita melemparkan 2 keping uang logam berulang kali, maka kita dapat mengharapkan muncul 1 (satu) sisi M pada setiap lemparan yang akan kita lakukan. Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata atau nilai harapan suatu variansi random kita peroleh dengan menjumlahkan semua hasil perkalian antara nilai variabel random tersebut dengan probabilitas yang bersesuaian dengan nilai itu.

Hal ini berlaku tentu hanya jika variabel randomnya diskrit. Jika variabel randomnya kontinu, definisi dari nilai harapan atau ekspektasi matematikanya pada prinsipnya juga merupakan suatu penjumlahan yang dinyatakan dengan suatu integral sebagaimana telah kita ketahui dalam kalkulus.

Definisi 2

Andaikan X adalah suatu variabel random dengan distribusi probabilitas f(x). Nilai harapan atau ekspektasi matematika atau harapan matematis dari X, ditulis dengan E(x), didefinisikan sebagai berikut:

E(X) =

x f(x) , jika X diskrit =


(44)

Variansi digunakan untuk mengukur variabilitas suatu distribusi kemungkinan. Variansi dari suatu variabel random X ditulis Var(X). Misalkan X variabel random dengan harapan matematis E(X), maka

Var(X) = E(X2) – (E(X))2

Teorema 1:

Jika c suatu konstanta, maka Var(c) = 0 Bukti :

Var(c) = E(c2) - (E(c))2

Ingat E(k) = k, k konstanta Maka, E(c2) = c2

E(c) = c

Var(c) = E(c2) – (E(c))2

= c2 – c2

= 0 Teorema 2:

Jika X suatu variabel random dan c suatu konstanta maka Var(X + c) = Var(X)

Bukti :

Var(X + c) = E(X + c)2 – (E(X + c))2

= E(X2 + 2cX + c2) – ((E(X) + c)2

= E(X2) + E(2cX) + E(c2) – (E(X))2 + 2cE(X) – c2

= E(X2) + 2cE(X) + c2 – (E(X))2 – 2cE(X) – c2

= E(X2) – (E(X))2

= Var(X) Teorema 3:

Jika X suatu variabel random dan c suatu konstanta, maka: Var(cX) = c2 Var(X)

Bukti :

Var(cX) = E(c2X2) – (E(cX))2

= c2 . E(X2) – (cE(X))2

= c2 . E(X2) – c2(E(X))2

= c2 . [E(X)2 – (E(X))2]


(45)

c. Ekspekstasi dan Variansi Distribusi-distribusi Khusus.

DALIL 4.4.6: PARAMETER DISTRIBUSI HIPERGEOMETRIK Rataan dan varians dari distribusi hipergeometrik adalah sebagai berikut. 1. μ=nk

N 2. σ2

=nk(N−k)(N−n) N2(N−1) Bukti:

1. berdasarkan definisi rataan diskrit, maka:

μ=E(X)=

x

x . p(x) ¿

x=0

n

x .

(

k x

)(

N−k n−x

)

(

N n

)

¿ 1

(

N n

)

x=1

n

k !

(x−1)!(k−x)!.

(

N−k n−x

)

¿ k

(

N

n

)

x=1

n

(k−1)! (x−1)!(k−x)!.

(

N−k n−x

)

¿ k

(

N

n

)

x=1

n

(

k−1

x−1

)(

Nk

n−x

)

Misalnya: y=x−1 dan m=n−1 Batas-batas: Untuk x = 1, maka y = 0 Untuk x = n, maka y=n−1=m

μ=E(X)= k

(

N

n

)

y=0

m

(

k−1

y

)(

N−k m−y

)

Berdasarkan sebuah dalil:

r=0

k

(

m

r

)(

n kr

)

=

(

m+n

k

)

, maka:

μ=E(X)= k

(

N

n

)

.

(

N−1 m

)

¿ k

(

N

n

)

.

(

N−1


(46)

¿ k

N !.(n−1)!(Nn)! n !(N−n)! μ=E(X)=nk

N (terbukti) 2. berdasarkan definisi varians, maka:

X ¿ E¿ σ2=Var

(X)=E

(

X2

)

−¿

X

¿

E¿

¿E

[

X(X−1)+X

]

−¿ X

¿ E¿

¿E

[

X(X−1)

]

+E(X)−¿

Berdasarkan nilai ekspektasi diskrit, maka: E

[

X(X−1)

]

=

x

x(x−1). p(x)

¿

x=0

n

x(x−1).

(

k x

)(

N−k n−x

)

(

N

n

)

¿k(k−1)

(

N

n

)

x=2

n (k−2)!

(x−2)!(k−x)!.

(

N−k

n−x

)

¿k(k−1)

(

N

n

)

x=2

n

(

k−2

x−2

)(

N−k

n−x

)

Misalnya: y = x – 2 dan m = n – 2. Batas-batas: Untuk x = 2, maka y = 0

Untuk x = n, maka y = n – 2 = m E

[

X(X−1)

]

=k(k−1)

(

N

n

)

y=0

m

(

k−2

y

)(

N−k m−y

)

Berdasarkan sebuah dalil:

r=0

k

(

m

r

)(

n k−r

)

=

(

m+n


(47)

E

[

X(X−1)

]

=k(k−1)

(

N

n

)

.

(

N−2 m

)

¿k(k−1)

(

N

n

)

.

(

N−2

n−2

)

,dengan mensubstitusikan kembali m=n−2 ¿

k(k−1) N ! .

(N−2)! (n−2)!(N−n)! n !(N−n)! E

[

X(X−1)

]

=(k) (k−1) (n) (n−1)

N(N−1) Maka:

σ2=Var(X)=(k) (k−1)(n)(n−1)

N(N−1) + nk

Nn2k2

N2 ¿(Nk) (k−1)(n)(n−1)+(N nk)(N−1)−

(

n

2k2

)

(N−1)

N2(N−1)

¿ nk

N2(N

−1)

[

(N)(k−1) (n−1)+(N)(N−1)−(nk)(N−1)

]

¿ nk

N2(N−1)

[

nkN−kN−nN+N+N

2

N−nkN+nk

]

¿ nk

N2(N

−1)

[

N

2

nNkN+nk

]

¿ nk

N2(N−1)

[

N(N−n)−k(N−n)

]

σ2=Var(X)=nk(N−k)(N−n)

N2

(N−1) (terbukti)

d. Contoh-contoh Soal.

Contoh 1 : Buktikan dari momen pertama dari variabel random x merupakan mean x Penyelesaian: Notasi dari momen pertama x adalah m1

Berdasarkan definisi, m1 = E(x) = µx

Jadi terbukti bahwa momen pertama dari x adalah mean x. Contoh 2 : Jika variabel random x mempunyai fungsi densitas


(48)

Tentukan momen kedua dari x Penyelesaian: m’2 = E(x2)

=

x 2 f(x) dx (karena distribusinya normal)

=

0 1

x 2 .2(1 – x) dx

= 2 ¿ ¿

0 1

¿ x

2 – x3)dx

= 2( 13 x 3 - 1

4x 4) = 2( 13 - 14 )

= 2( 1 12 ) = 1

6

Contoh 3 : Misalkan variabel random x mempunyai fungsi probabilitas f(x) = x

6 , x = 1, 2, 3 = 0 , x yang lain Tentukan momen keempat dari x Penyelesaian: m’4 = E(x4)

=

x=1 3

x 4.f(x) (karena distribusinya diskrit)

=

x=1 3

x 4. x

6

=

x=1 3

x5

6 = 61 + 2

5

6 + 3

5

6 = 61 + 326 + 2436


(49)

= 46

Contoh 4: Diketahui sekelompok ahli terdiri dari 4 orang ahli kimia dan 3 orang ahli biologi. Kita bentuk suatu komisi yang terdiri dari tiga orang dan kita sebut Komisi Tiga. Jika anggota komisi tiga diambil secara acak dari ketujuh orang ahli tersebut maka tentukan nilai harapan dari banyaknya ahli kimia yang dapat duduk dalam komisi tiga tersebut.

Penyelesaian:

Andaikan X menyatakan banyaknya ahli kimia dalam komisi tiga. Variabel random X dapat memiliki nilai 0, 1, 2, dan 3.

Distribusi probabilitas dari variabel X adalah :

f(x) = C4

x. C 3 3−x C7

3

; x = 0, 1, 2, 3

dengan menggunakan rumus kombinatorial kita peroleh : f(0) = 1

35 f(1) = 3512

f(2) = 1835 dan

f(3) = 4 35 selanjutnya kita peroleh

E(X) = 0( 1

35 ) + 1( 12

35 ) + 2( 18

35 ) + 3( 4 35 ) = 1,7

Dari hasil ini kita dapat menyimpulkan bahwa andaikata komisi tiga itu dibentuk berulang-ulang kali, maka kita mengharapkan banyaknya ahli kimia dalam setiap komisi yang terbentuk adalah 1,7 orang atau 2 orang (sebagai pendekatan)

Contoh 5 : Andainkan X suatu variabel random kontinu dengan fungsi densitas : f(x) = x

2


(50)

Tentukan harapan matematis dari X Penyelesaian :

Dengan menggunakan definisi untuk X variabel random kontinu diperoleh : E(X) =

−1

2

x . f(x) dx

=

−1

2

x . x3 3 dx

= 13

−1

2

x3

dx

= 121 [x4] 2

−1 = 1

12 (16 – 1) = 1512

= 1,25

Contoh 6 : Tentukan variansi dari variabel random kontinu X dengan fungsi densitas : f(x) = 2(x – 1) ; 1 < x < 2 , x bilangan real

= 0 ; untuk x yang lain Penyelesaian:

E(X) =

1 2

x . f(x) dx

= 2

1 2

x . (x – 1) dx

= [ 2

3 x3 – x2] = 5

3

E(X2) =

1 2

x2 . f(x) dx

= 2

1 2


(51)

= [ 24 x4 - 2

3 x3 ] = 17

6

Var(X) = E(X2) – (E(X))2

= 17 6 - (

5 3 )2 = 1

18

Contoh 7 : Andaikan X adalah variabel random diskrit dengan distribusi probabilitas sebagai berikut :

Tentukan Var(5X) Penyelesaian :

E(X) =

x=0 3

x . f(x)

= 0 . f(0) + 1 . f(1) + 2 . f(2) + 3 . f(3) = 0 . 1

5 + 1 . 1

5 + 2 . 2

5 + 3 . 1 5

= 8

5 E(X2)=

x=0 3

x2 . f(x)

= 0 . f(0) + 1 . f(1) + 4 . f(2) + 9 . f(3) = 0 . 15 + 1 . 15 + 4 . 52 + 9 . 15

= 185

Var(X) = E(X2) – (E(X))2

= 18 5 – (

8 5 )2 = 185 – 6425

x 0 1 2 3

f(x) 1 5

1 5

2 5

1 5


(52)

= 25

Var(5X) = 52 . (Var(X))

= 25 . 2625 = 26

Contoh 8: Tentukan Var(X + 3) dari variabel random kontinu X dengan fungsi densitas : f(x) = 1

4 x ; 1 < x < 3 , x bilangan real = 0 ; untuk x yang lain

Penyelesaian:

E(X) =

1 3

x . f(x) dx

=

1 3

x . 14 x dx

= 121 [x3]

= 136

E(X2)=

1 3

x2

. f(x) dx

=

1 3

x2 . 1

4 x dx = [ 1

16 x4] = 161 (81 – 0) = 5

Var(X) = E(X2) – (E(X))2

= 5 – ( 136 )2

= 5 – 16936

= 11 36


(1)

Penyelesaian: M(t) = E(etx)

=

x=1 4

etx. f

(x) =

x=1 4

etx. x

10 = 1

10e

t

+ 2 10e

2t

+ 3 10e

3t

+ 4 10e

4t

Contoh 2.

Misalkan f(x) = 1 2e

−x

2 untuk x > 0 dan f(x) = 0 untuk variabel x yang lain merupakan fungsi densitas dari variabel random x.

Tentukan fungsi pembangkit momen dari X. Penyelesaian:

M(t) =

−∼ ∼

etx. f

(x)dx

=

−∼ ∼

etx.1 2e

−x

2 dx

= 1

2

0

etx−

x

2dx

= 12

0 ∼

e−x(−t+ 1 2)dx

= 1

2

0

e−x( 1−2t

2 )dx

= 1

2

0

e−x( 1−2t

2 ) . - 2

1−2t d (-x (

1−2t 2 ) ) = - 2

1−2t

0

e−x( 1−2t

2 ) . d (-x ( 1−2t 2 ) ) = - 1 2

−2t limk−→e

−x(1−2t

t ) ] ; t < 1

2 = 2

1−2t ; t < 1 2 Contoh 3.


(2)

Misalkan variabel random diskrit X mempunyai distribusi probabilitas f(x) = 6

r2x2 , untuk x = 1,2,3,… = 0 , untuk x yang lain

Selidiki apakah fungsi pembangkit momennya ada atau tidak. Penyelesaian:

M(t) = E( etx ) =

x

etx. f(x) =

x=1 ∼

etx. 6

r2x2

= 6 r2 e

t + 6

4r2 e

2t + 6

9r2 e

3t + …

Ternyata untuk t > 0, fungsi pembangkit momennya membentuk suatu deret yang divergen (karena r > 1). Jadi variabel random X dengan distribusi probabilitas seperti itu tidak mempunyai fungsi pembangkit momen.

Contoh 4.

Jika variabel random X mempunyai distribusi f(x) = e

−λ

λx

x ! , untuk x = 0,1,2,... = 0 , untuk x yang lain

Dengan menggunakan fungsi pembangkit momen, tentukan mean X dan varians X Penyelesaian:

M(t) =

x

etxf(x)

=

x=0 ∼

etxe

−λ

. λx x !

= e−λ

x=0 ∼

(etx. λ

)x x ! = e−λ ,

eetx (karena ex =

k=0 ∼

yk

k ! ) = e(−λ+λ .et)

= eλ(et −1)

M’(t) = eλ(et−1) . λ et


(3)

= λ et. eλ(et −1)

M’’(t) = λ ( et .

(et

−1) + et .

(et

−1) . λ et

= λ et . (et

−1) +

λ2 . e2t . (et −1) M’(0) = λ . e0 . eλ(e0

−1) = λ . 1 . 1

= λ

M’’(0) = λ . e0 . (e0

−1) +

λ2 . e0 . (e0

−1) = λ + λ2

Jadi, mean X = E (X) = M’1

= M’(0) = λ Var (X) = E(X2) - (E(X)2)

= m’2 - (m’1))2 = M”(0) (M’(0))2 = λ + λ2 . λ2 = λ

Contoh 5.

Variabel random X mempunyai fungsi densitas f(x) = x . e−x , untuk 0< x <

= 0 , untuk x yang lain

Tentukan momen kelima (dengan menggunakan fungsi pembangkit momen) dari X Penyelesaian:

M(t) = E( etx )

=

−∼ ∼

etx. f(x) dx

=

−∼ ∼

etx. x e−x dx

=

0 ∼

x e−x(1−t) dx

= - 11

t x . e−x(1−t) -

0

1

1−t e


(4)

= - 1

1−t (x . e−x(1−t) -

0

e−x(1−t)

dx )

= - 1

1−t lim ( x . e−x(1−t) + 1

1−t e−x(1−t) ] )

= - 11

t ( 0 - 1

1−t ) ; t < 1

= - 1

1−t2 ; t < 1

= (1−t)−2 ; t < 1 M’(t) = -2 (1−t)−3 (-1)

= 2 (1−t)−3 M”(t) = 6 (1−t)−4 M”’(t) = 24 (1−t)−5 M(4)(t) = 120 (1t)−6 M(5)(t) = 720 (1t)−7 Jadi momen kelima = 720

(1−t)7 Contoh 6.

Diketahui X variabel random diskrit dengan M(t) = et

15 + 2 e2t

15 + 3 e3t

15 + 4 e4t

15 + 5 e5t

15 Tentukan distribusi probabilitasnya

Penyelesaian:

M(t) =

x

etx. f(x) et

15 + 2 e2t

15 + 3 e3t

15 + 4 e4t

15 + 5 e5t

15 = f(a) e

at + f(b)

ebt + f(c) ect + . . .

Karena kesamaan ini berlaku untuk semua nilai t, maka masing-masing suku di ruas kiri harus sama dengan masing-masing suku di ruas kanan. Sehingga

Untuk a = 1, maka f(a) = 1


(5)

b = 2, maka f(b) = 152 c = 3, maka f(c) = 3

15 d = 4, maka f(d) = 4

15 e = 5, maka f(e) = 5

15 Jadi, secara ringkas dapat ditulis:

f(x) = 15x , untuk x = 1,2,3,4,5 = 0 , untuk x yang lain.

Contoh 7:

Jika X B(x ;1,p) , maka tentukan μ dan μ2 berdasarkan hasil fungsi pembangkit momennya.

Penyelesaian :

Fungsi pembangkit momen dari X adalah:

Mx(t)=(1−p)+p . e t

;tR

μ=μ1'=Mx'(t)¿

¿p .et¿t=0 μ=μ1'=pμ2=μ2'−(μ)2

¿Mx' '(t)¿t=0−p2 ¿p .et¿t=0−p

2

¿pp2

μ2=p(1−p)

Contoh 8:

Misalnya fungsi pembangkit momen dari X berbentuk: 1

2+ 1 2. e

t

¿5;tR Mx(t)=¿


(6)

Hitung P(X=4)dan P(0≤ X ≤1) . Penyelesaian:

Fungsi pembangkit momen dari X merupakan fungsi pembangkit momen dari distribusi binomial dengan n=5 dan p=1

2 , sehingga fungsi peluangnya berbentuk: p(x)=

(

5

x

)

(

1 2

)

5

; x=0,1, 2,3, 4, 5 a. P(X=4)=

(

5

4

)

(

1 2

)

5 = 5

32 b. P(0≤ X ≤1)=

x=0 1

(

5 x

)

(

1 2

)

5

¿

(

1 2

)

5

(

5

0

)

+

(

5 1

)

¿

(

1

32

)

(1+5) P(0≤ X ≤1)= 6