Perlindungan Anak yang menjadi pelaku tindak pidana dalam konteks hukum pidana formil

Perlindungan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana sebelum berlakunya UU No.3 tahun 1997 tetang pengadilan anak, hukum pidana Indonesia tidak mengatur dalam kitab undang-undang hukum pidana secara tersendiri, melainkan tersebar diberbagai peraturan yang berkaitan dengan hukum pidana yaitu KUHP Hukum Pidana Materil, KUHAP Hukurn Pidana Formil maupun Undang-undang pemasyarakatan Hukum Pelaksanaan pidana. Ketentuan yang berkaitan dengan anak dalam KUHP Hukum Pidana Materil, antara lain sebagai berikut a Pasal 40 yang merumuskan: Jika seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau menganggkut barang-barang dengan melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan, mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu, juga dalam hal yang bersalah diserahkan kembali kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun. Ketentuan dalam pasal ini merupakan perkembangan dalam ketentuan umum, bahwa hukuman tambahan itu biasanya dijatuhkan beserta hukuman pokok dan tidak pernah dijatuhkan sendiri. b Pasal 45, 46 dan47 telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU No.31997 c Pasal 78 ayat 2 yang merumuskan: Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga. Dalam beberapa pasal KUHP yang telah diuraikan diatas, bahwa jenis-jenis pidana pada pasal 10 KUHP yang tidak dapat dijatuhkan kepada anak adalah: a.Pidana Mati b.Pidara Tambahan berupa pencabutan-hak-hak tertentu, dan c. Pidana Tambahan berupa pengumuman putusan hakim.

2. Perlindungan Anak yang menjadi pelaku tindak pidana dalam konteks hukum pidana formil

Sebagaimana dipahami, seorang anak karena sifat dan keadaan yang melekat padanya, memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus, terutama terhadap perbuatan-perbuatan yang pada hakekatnya dapat merugikan perkembangan anak itu sendiri maupun masyarakat. Walaupun secara sekilas seorang dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikirannya, perasaan dan kehedaknya, namun karena kualitasnya sebagai anak maka pada umumnya keadaan yang menimpa pada dirinya akan besar pengaruhnya dalam menentukan sikap dan nilai pribadinya. Anak-anak yang melakukan kenakalantindak pidana memerlukan suatu penanganan tersendiri yang sangat berbeda dengan pelaku kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Penyelenggaraan proses peradilan anak sebagai suatu sistem, harus berorientasi pada kepentingan masa depan anak, karena anak nakal pada akhirnya harus diperbaiki kembali sifat,tingkah laku kondisi-kondisi jiwa, dan alam pikirannya. Untuk itu yang diperlukan dalam penanganan masalah tersebut adalah mengembalikan keseimbangan jiwa anak. Mengembalikan kesadaran dan ketaatan anak pada aturan hukum dan tata nilai yang berlaku berbeda dengan cara yang harus dilakukan terhadap orang dewasa. Oleh sebab itu wajarlah apabila diperlukan pendekatan khusus dalam menangani masalah hukum dalam proses peradilan anak, seperti yang sering terungkap di dalam berbagai pernyataan, antara lain: a. Anak yang melakukan kenakalan juvenile offender janganlah dipandang sebagai seorang penjahat criminal, tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, perhatian dan kasih sayang. b. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendidikan persuasif- edukatif dan pendekatan kejiwaan atau psikologis yang berarti sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat diseouragement serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan, dan kemandirian anak dalam arti wajar. Barda Nawawi Arief,1996:115.

D. Perlindungan Anak yang menjadi korban tindak pidana