Pertimbangan Hakim Gambaran Umum Putusan Nomor 126Pdt.G2013PTJK 1. Kasus Posisi

4. Amar Putusan

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta mengadili perkara Nomor 126Pdt.G2013PTA.JK yang isinya sebagai berikut : a. Menerima permohonan banding dari Pembanding. Pembanding memenuhi syarat legal standing sebagai orang yang berhak berperkara dalam perkara Nomor 126Pdt.G2013PTA.JK. Tidak obscur liebel dan sudah sesuai dengan kewenangan relatif Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. b. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menguatkan sebagian putusan dan melakukan perbaikan sebagian putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 1213Pdt.G2013PA.JB. c. Menetapkan sebidang tanah seluas 729 M 2 yang terletak di Jakarta Barat dengan batas-batas sebagai berikut : 1 Sebelah Utara : berbatasan dengan jalan; 2 Sebelah Selatan : berbatasan dengan Gang; 3 Sebelah Barat : berbatasan dengan rumah; 4 Sebelah Timur : berbatasan dengan kebun kosong; Adalah harta bersama Pembanding dan Terbanding. d. Menetapkan 23 bagian dari harta bersama untuk Pembanding dan 13 untuk Terbanding. e. Menghukum Pembanding untuk membagi harta bersama tersebut dan menyerahkan 13 bagian kepada Terbanding, jika tidak dapat dibagi secara riil harta bersama tesebut dijual secara lelang di depan umum dan hasilnya 13 bagian diserahkan kepada Terbanding.

B. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor 126Pdt.G2013PTA.JK

Dalam menegakkan hukum harus ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum rechtsicherheit, kemanfaatan zweckmassigkeit, dan keadilan gerechttigkeit. Demikian, jika hakim hendak memutuskan perkara, maka pijakannya harus pada tiga unsur tersebut. 1 Sengketa harta bersama oleh orang yang beragama Islam harus diselesaikan di Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan absolut yang tertuang di dalam pasal 49 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah beberapa kali diamandemen. Sengketa harta bersama merupakan masalah yang cukup rumit karena berkaitan dengan harta benda suami istri yang meminta bagian masing-masing tatkala bercerai. Maka di sinilah hakim harus menggunakan tiga unsur di atas. Seperti dalam perkara Nomor 126Pdt.G2013PTA.JK yang akan penulis bahas pada bab IV ini. Dalam Bab VII pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tentang harta benda dalam perkawinan, diatur sebagai berikut : 1 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, h.2. “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” Pasal 35 ayat 1 “Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan” Jelaslah bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, menjadi harta bersama. Pasal 35 ayat 1 UUP dan pasal 119 BW Burgerlijk Wetboek menjadi landasan hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, yang kemudian dikuatkan lagi oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta untuk menetapkan sebidang tanah seluas 729 M 2 yang terletak di Jakarta Barat sebagai harta bersama, karena dibeli pada saat Pembanding dan Terbanding masih terikat perkawinan. Namun putusan belum inkracht, pihak Pembanding yang dulu sebagai tergugat tidak puas dengan putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang tertuang dalam putusan Nomor 1213Pdt.G2012PA.JB , lalu mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Pembanding mengklaim bahwa tanah tersebut dibeli dengan jerih payahnya pada tanggal 27 Februari 2009 SHM Nomor 694Palmerah Jakarta Barat, namun dikarenakan dibelinya tanah tersebut pada saat perkawinan, maka tanah tersebut merupakan harta bersama. Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri harta bersama. Kompilasi Hukum Islam pasal 86 ayat 1, menegaskan bahwa “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta istri dan suami karena perkawinan”. Pada ayat 2 disebutkan bahwa “Pada dasarnya harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”. Konsideransi dari pasal ini adalah untuk melindungi hak masing- hak masing dan menghargai hasil jerih payah satu pihak dengan pihak lain. Oleh karena itu perjanjian perkawinan sangatlah penting jika di kemudian hari terpaksa harus membagi harta bersama karena perceraian. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Walaupun kata “gono-gini” berasal dari konsep adat jawa, namun ternyata di daerah lain juga dikenal dengan konsep yang sama dengan istilah-istilah yang berbeda, seperti “hareuta sirakeat” dari Aceh, “harta suarang” dari bahasa Minagkabau, “guna kaya” dari bahasa Sunda, dan “duwe gabro” dari Bali. 2 Konsep ini kemudian didukung oleh hukum positif di negara kita di dalam undang-undang dan aturan hukum lainnya. Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 pasal 85 disebutkan bahwa : “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri”. Pasal ini telah menyebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata lain, Kompilasi Hukum Islam mendukung adanya harta bersama dalam 2 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta : Transmedia Pustaka, 2008, h.10.