Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/Pa.Jp)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

WARDHATUL JANNAH NIM : 1110044100009

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PERMOHONAN

SITA MARITAL

(MARITAL BESI.AqTERIIADAP

HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN

(Analisis Putusan Nomor 549/Pdt G t2007 tp A.Jp)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh:

Wardhatul Jannah NIM : I110044100009

KONSENTRASI

PERADILAN

AGAMA

PROGRAM STIIDI HUKTIM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN

HUKTJM

UNIVERSITAS

ISLAM

NEGERI

SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

t435Ht20t4M;

i


(3)

TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN (Analisis Putusan Nomor 549lPdt.Gl2007lPA.JP)" telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 MEI 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana strata Satu (Sl) pada Program Studi Ahwal al Syakhshiyah (peradilan Agama).

Jakarta,12Mei2014 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

,Ketua

Sekretaris

Pembimbing

Penguji I

Penguji II

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Drs. H.A. Basiq Dialil. SH. MA

NIP. I 9500306197603 1001

Dra.Hi.Rosdiana. MA NrP. 1 9690 6102003 12200r H.Kamarusdiana. S.Ag. MH

NIP. 1 9720224t99803t003

Sri Hidayati. M.Ae

NIP. 1 97 1 02t 51997 032002

Dr. H.M Nurul Irfan. M.Ae

NrP. 197308082003 121001


(4)

iii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 01 April 2014


(5)

iv

Wardhatul Jannah. NIM 1110044100009. Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. Ix + 75 halaman + 120 halaman lampiran.

Skripsi yang berjudul Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP) ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan ketentuan yang berhubungan dengan putusan hakim dalam mengabulkan gugatan harta bersama di luar gugatan perceraian. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Yuridis Empiris. Pendekatan yuridis karena penelitian ini bertitik tolak dengan menggunakan kaedah hukum dan peraturan yang terkait dengan harta bersama dan sita marital dalam gugatan harta bersama di luar gugatan perceraian. Empiris karena pendekatan bertujuan memperoleh data mengenai putusan hakim dalam mengabulkan gugatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang permohonan sita marital yang diajukan terhadap harta bersama di luar gugatan perceraian yang dikabulkan oleh Majelis Hakim melalui Putusan 549/Pdt.G/2007/PA.JP apakah sesuai dengan hukum yang berlaku serta bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini.

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa permohonan Sita Marital dapat diajukan di luar gugatan perceraian . Majelis hakim berpendapat untuk mengabulkan permohonan Sita Marital itu berdasarkan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu apabila salah satu pihak dapat melakukan perbuatan yang merugikan atau membahayakan harta bersama.

Kata Kunci : Permohonan Sita Marital,Di Luar Gugatan Perceraian, HartaBersama.

Pembimbing : H. Kamarusdiana, S.Ag., MH Daftar Pustaka : Tahun 1984 s.d Tahun 2010


(6)

v





Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Nizomudin dan Ibunda Ernawati yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. H. J.M Muslimin, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vi Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, MH., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studiAhwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

6. Ibu Dra. Hj. Rokhanah, S.H., M.H., selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Ibu Dra. Hj. Erni Zurnilah, MH., selaku Hakim yang memutus perkara yang telah penulis teliti dan telah senatiasa memberikan wejangan dan bimbingan pada penulis selama penulis melakukan wawancara.

8. Bapak Ruslan, S.H., selaku Panitera Muda Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang senantiasa membantu penulis selama mencari data dan membimbing penulis.


(8)

vii

10. Sahabat sahabat seperjuangan penulis : Nisa Oktafiani, Dede Umu Kulsum, Defi Uswatun Hasanah, Restia Gustiana, Nurul Hikmah.

11. Teman-teman kajian Peradilan Agama : Arini Zidna, Eka Dita Martiana, Erwin Hikmatiar, Irfan Zidni, Sopriyanto, M. Fauzan, Arif Rahman Hakim, dan Rusdi Rizki Lubis. Dan Teman-teman Kosan : Rizky Amalia, Intan Balqis Al Aydrus, Agnis Afryani, Riah Elsa Fitri, dan Trisni Asih.

12. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, 01 April 2014


(9)

viii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan & Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian... 11

E. Review Studi Terdahulu ... 15

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA A. Pengertian Harta Bersama ... 18

B. Pengaturan Harta Bersama dalam Perkawinan ... 25

C. Ruang Lingkup Harta Bersama ... 28


(10)

ix BERSAMA

A. Pengertian dan Tujuan Sita Marital ... 38

B. Ruang Lingkup Penerapan Sita Marital ... 44

C. Permohonan Sita Marital... 47

D. Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Sita Marital ... 50

E. Akibat Hukum Sita Marital terhadap Harta Bersama ... 51

BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 549/Pdt.G/2007/PA.JP TENTANG PERMOHONAN SITA MARITAL (Marital Beslag) TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN A. Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di Luar Gugatan Perceraian ... 53

B. Analisis Pertimbangan & Dasar Putusan Hakim ... 62

C. Analisis Penulis ... 66

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 70

B. Saran-saran ... 71


(11)

x

2. Surat Keterangan Permohonan Data/Wawancara 3. Surat Keterangan Telah Mengambil Data/Wawancara 4. Hasil Wawancara Skripsi


(12)

1

Perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan (suami-istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut dengan “ keluarga”.1

Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha Allah swt.2

Tujuan dari perkawinan menurut agama Islam sendiri ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin karna terpenuhinya kebutuhan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga.3

1

Abdul Manan, Aneka MasalahHukumPerdata Islam di Indonesia, (Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2006), h.1.

2

Ibid.

3

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010),h. 22.


(13)

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan, Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3. Di dalam Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan di dalam Pasal 3 disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.4

Pada saat perkawinan terjadi, maka suami isteripun terikat dalam sebuah keluarga. Seiring dengan hal tersebut maka munculah apa yang dinamakan dengan harta kekayaan dalam keluarga (harta bersama).5

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 35 menyatakan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan

4

Ibid., h. 10.

5


(14)

lain.Maka pada saat terjadinya perkawinan, berlakulah persatuan harta kekayaan dalam perkawinan antara suami istri. Tidak menutup kemungkinan harta kekayaan dalam perkawinan terdapat harta milik pribadi masing-masing suami istri.

Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 85 disebutkan, adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami dan istri. dan dalam Pasal 86 KHI disebutkan, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri. Harta istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri, begitu juga sebaliknya.6 Dalam Pasal 88 KHI disebutkan apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.7

Islam tidak mengenal adanya percampuran harta bersama suami istri akibat adanya perkawinan, tetapi mengenal adanya perkongsian antara suami istri dalam bentuk syirkah.8 Karena suami istri bekerjasama dalam memperoleh dan memanfaatkan harta kekayaan dalam perkawinan. Harta

6

Abdul Manan. Aneka MasalahHukumPerdata Islam di Indonesia, h. 100.

7

Ibid.

8

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2007, Cet. Kesebelas ), h. 2.


(15)

yang diperoleh sama suami istri dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama suami istri.

Harta bersama yang diperoleh pada saat perkawinan berlangsung jika perkawinan tersebut putus, maka harta bersama dibagi antara suami istri. Kecuali jika ada ketentuan lain pada perjanjian sebelum perkawinan terikat. dengan putusnya perkawinan, maka akan menimbulkan akibat hukum yang menjadi konsekuesi antara suami maupun istri. Akibat hukum yang ditimbulkan salah satunya adalah pembagian harta bersama (harta gono-gini) antara suami istri.9

Hukum harta bersama itu sendiri seringkali kurang mendapatkan perhatian yang seksama dari para ahli hukum, terutama praktisi hukum yang semestinya memperhatikan hal ini secara lebih serius, karena masalah harta bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri apabila ia telah bercerai. dan dalam kitab fiqh klasik dan kontemporerpun tidak ditemukan pembahasannya secara tegas masalah pembagian harta bersama ini, hal ini mungkin disebabkan karena munculnya harta bersama ini biasanya apabila sudah terjadi perceraian antara suami istri, atau pada saat proses perceraian sedang berlangsung di Pengadilan Agama,

9

Moch. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari


(16)

sehingga timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.10

Pada umumnya perselisihan harta bersama ini baru muncul ketika suami isteri akan memutuskan ikatan perkawinan (bercerai). dan dalam hal ini apabila suami atau isteri menginginkan agar semua masalah yang berkaitan dengan perceraian (salah satunya pembagian harta bersama) sekaligus tuntas. Maka Pengadilan Agama memperbolehkan suami atau isteri tersebut untuk menggabungkan tuntutan perceraian dengan tuntutan pembagian harta bersama tersebut dalam satu surat gugatan.

Ditinjau dari segi berperkara, tata cara seperti ini paling efisien dan tidak banyak membuang waktu, karena pada saat penggugat mengajukan gugatan, sekaligus mencakup gugatan pokok (gugatan perceraian) dengan gugatan pembagian harta bersama.

Di Pengadilan Agama sendiri penyelesaian perkara perceraian bersamaan dengan gugatan harta bersama, sudah diterapkan dengan cara gugat pembagian harta bersama sebagai gugat assesoir terhadap gugatan perceraian. Cara assesoir-nya dapat ditetapkan dalam suatu acuan jika gugat perceraian ditolak otomatis gugat pembagian harta bersamapun dinyatakan tidak dapat diterima. Begitupun sebaliknya jika gugatan perceraian dikabulkan sembari terbuka kemungkinan untuk mengabulkan pembagian

10


(17)

harta bersama sepanjang barang-barang yang ada dapat dibuktikan sebagai harta bersama.11

Adapun kebolehan menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama ini, berdasar pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yaitu : “Gugatan soal penguasaan anak , nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat mengajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Berdasarkan pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tersebut, pada pasal ini memberi pilihan bagi penggugat, apakah dia ingin menggabung gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama, atau akan menggugatnya tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam kebebasan memilih tata cara dimaksud, sudah barang tentu lebih bermanfaat menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama, karena sekaligus dapat diselesaikan kedua permasalahan tersebut dengan tidak menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Sehingga suami isteri dapat lebih cepat menikmati harta bersama tersebut.

Namun seiring dalam pelaksanaannya, terdapat sebuah perselisihan mengenai permasalahan harta bersama yakni adanya pengajuan permohonan

11

M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001, Cet. Pertama), h. 267.


(18)

dalam perkara sita marital yang diajukan oleh istri sebagai Pemohon kepada suaminya sebagai Termohon, yang masih dalam status perkawinan yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Permohonan ini diajukan oleh istri kepada suami yang telah mengajukan permohonan talak terhadap istrinya akan tetapi masih di proses dalam persidangan yang belum mencapai putusan. Tindakan pengajuan permohonan sita marital ini dilakukan sebagai upaya preventif terhadap keselamatan harta bersama karena Pemohon khawatir Termohon melakukan tindakan yang dapat merugikan harta bersama yakni pemborosan.

Di dalam HIR, R.Bg. dan Rv tidak ditemukan istilah sita marital terhadap harta bersama.12, tetapi dengan tujuan yang sama dengan sita jaminan disebutkan dalam Pasal 215 ayat (1) KUH Perdata yaitu tidak mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur dalam hukum perdata.

Sita marital (marital beslag) ialah sita yang diletakkan atas harta perkawinan. Sita marital ini diatur dalam Pasal 78 huruf c Undang-undang No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 24 PP No. 9 Tahun 1975 dan dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Sita marital ini mempunyai sumber hukum formil yaitu pada Pasal 215 KUH Perdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. HIR sendiri tidak

12

Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada


(19)

mengenal adanya sita marital, dan di dalam praktek peradilan sekarang ini sita marital tidak banyak dimanfaatkan.13

Dalam pengajuan permohonan sita marital di Peradilan Agama yakni berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 186 KUH Perdata, istri sebagaiPemohon dapat mengajukan permohonan sita marital kepada Pengadilan Agama terhadap harta bersama, sekalipun di luar adanya permohonan gugatan cerai. Gunanya adalah untuk melindungi harta bersama dari perbuatan salah satu pihak yang merugikan, seperti mabuk, judi, boros, dan sebagainya. Permohonan sita marital ini tetap diajukan tanpa memutus ikatan perkawinan, tapi harta bersama bisa dijamin pemeliharaannya.

Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah permohonan sita marital (sita harta bersama) ini dan merumuskannya dalam sebuah karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “PERMOHONAN SITA MARITAL (MARITAL BESLAG) TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN(Analisis PutusanNomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP)”.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari pembahasan latar belakang di atas, di dalam sengketa mengenai pembagian harta bersama terdapatpermasalahan sita marital

13

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2006), h. 92.


(20)

(sita harta bersama) yang diajukan oleh istri sebagai Pemohon kepada suami sebagai Termohon di luar gugatan perceraian.Terkait dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP menarik untuk diteliti,namun perlu adanya pembatasanmasalah dalam skripsi ini sehingga nantinya tidak meluas atau keluar dari pokok bahasan yakni Apakah dalam praktiknya sendiri permohonan sita marital dapat dilakukan dengan secara mandiri atau permohonan sita marital ini harus dilakukan secara bersamaan dengan gugatan cerai.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini menilai tentang pelaksanaan sita marital apakah sudah berjalan dengan peraturan perundang-undangan karena di dalam HIR, R.Bg. dan Rv tidak ditemukan istilah sita marital terhadap harta bersama akan tetapi permohonan sita marital ini terdapat dalam Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 186 KUH Perdata.

Di dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP sendiri menggambarkan tentang bagaimana proses berjalannya perkara permohonan sita marital yang diajukan tidak bersamaan dengan gugatan perceraian dan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sita marital terhadap harta bersama. dan untuk lebih jelasnya penulis merumuskannya sebagai berikut;


(21)

1. Apakah pelaksanaan sita marital terhadap harta bersama yang diajukan di luar perkara pokok (gugatan perceraian) sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia ?

2. Apakah yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam memutus perkara sita marital terhadap harta bersama dalam putusan nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP ?

C. TujuandanManfaatPenelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:

a. Mengetahui apakah pelaksanaan sita marital terhadap harta bersama dalam praktiknya sendiri sudah berjalan sesuai peraturan perundang-undangan.

b. Mengetahui pertimbangan hakim di Pengadilan Agama tersebut dalam memberikan putusan mengenai sita marital terhadap harta bersama. 2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi tambahan pengetahuan dan wawasan baru tentang problematika hukum Islam khususnya tetang sita marital terhadap harta bersama di luar gugatan


(22)

perceraian dan hasil penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan sita marital terhadap harta bersama terutama bagi para hakim di Pegadilan Agama dalam memecahkan masalah yang timbul akibat sita marital terhadap harta bersama.

b. Secara praktis problematika yang ada saat ini, agar dapat memikirkan bagaimana proses Pengadilan Agama dalam memutuskan sita marital terhadap harta bersama. Dan diharapkan skripsi ini dalam manfaat praktisnya dapat menjadi bahan rujukan bagi para hakim, mahasiswa dan masyarakat yang ingin mengetahui permasalahan yang terkait dengan sita marital terhadap harta bersama.

D. MetodePenelitian 1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris merupakan cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan menyangkut permohonan perkara sita marital terhadap harta bersama di luar gugatan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.


(23)

2. Jenis Penelitian

Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis yakni menggambarkan dan memaparkan secara sistematika tentang apa yang menjadi obyek penelitian dan kemudian dilakukan analisis. Metode deskriptif analisis yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif, yakni menggambarkan berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti.14

Cara tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam tentang “Permohonan Sita Marital (Marital Beslaag) Terhadap Harta Bersama di luar gugatan perceraian (Analisis Putusan Perkara Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP).”

3. Subjek dan Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Adapun yang menjadi bahan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP tentang sita marital terhadap harta bersama. Sehubungan dengan hal tersebut maka yang menjadi respondennya adalah Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut.

14

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 3.


(24)

4. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan sebagai referensi untuk menunjang keberhasilan penelitian yakni meliputi; Data Primer dan Data Sekunder.

Data primer adalah data- data yang

didapatlangsungdarilapanganyaknidengancaramencarifakta- fakta yang ada di lapangantersebut, melakukanobservasi, mengumpulkan data- data sertamelihatlangsungobjek yang akandijadikantopicskripsi.

Data sekunderadalah data yang diperolehdarilangsungdaribahan- bahanpustaka.15Data- data sekunderdalampenelitianiniberupa UU No. 1 Tahun 1974 tentangperkawinan, Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. serta artikel atau majalah-majalah yang ada kaitannya dengan masalah sita marital terhadap harta bersama dan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

b. Studi Lapangan

Adapun studi lapangan ini dilakukan dengan dua tekhnik berikut; 1. Studi dokumen dengan mempelajari berkas yang berbentuk putusan

Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP yang

15


(25)

telah berkekuatan hukum tetap tentang sita marital terhadap harta bersama.

2. Wawancara yang dilakukan kepada hakim yang menyelesaikan perkara tentang sita marital terhadap harta bersamadi Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Wawancara ini dilakukan dengan metode Wawancara tak terstruktur (open – ended) yaitu wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka dimana responden secara bebas menjawab pertanyaan tersebut.16 Wawancara ini digunakan untuk mengungkap perasaan- perasaan, dan pikiran dan alasan-alasan tingkah lakunya, atau disebut juga “ Informasi emic“17

5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan diolah berdasarkan analisis normatif kualitatif. Normatif karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif yang dimaksud yaitu analisis yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas dan informasi yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus (sehingga tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris) dari responden. Memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pertanyaan kepada sejumlah

16

Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya) h. 233.

17


(26)

responden baik secara lisan maupun secara tertulis selama dalam melakukan penelitian.18

E. Studi Review Terdahulu

Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan ini. Penulis menemukan ada beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan tentang harta bersama akan tetapi mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, adapun penelitian tersebut dintaranya:

1. Penyelesaian Gugatan Harta Bersama Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur (Analisis Putusan Nomor 991/Pdt.G/2005/PA.JT), Jam’an Nurchotib Mansur, NIM 204044103495 tahun 2008. Dalam skripsi ini hanya menganalisis putusan dan bagaimana proses pembagian harta bersama yang dikumulasi dengan adanya gugatan perceraian. Perbedaannya dengan skripsi ini adalah tentang permohonan sita marital terhadap harta bersama di luar gugatan perceraian yang mana tujuannya adalah untuk melindungi harta bersama tersebut yang tertuang dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

2. Kedudukan Perjanjian Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan Perkara Nomor 1540/Pdt.G/2010/PA.JT), Abdul Munir NIM

18


(27)

109044100051 tahun 2012. Dalam skripsi ini menganalisa kedudukan perjanjian pembagian harta bersama yang telah dilakukan sebelum adanya persidangan (di luar persidiangan) yang termuat dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Timur sedangkan perbedaannya dalam skripsi ini adalah adanya pengajuan permohonan mengenai sita marital terhadap harta bersama di dalam persidangan selanjutnya menganalisa putusan dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian skripsi ini berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

Bab Pertama,Terdiri dari pendahuluan yang meliputi dari Latar Belakang Masalah; Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah; Tujuan dan Manfaat Penelitian; Metode Penelitian; Review Studi Terdahulu; dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua, memuat tentang Tinjauan Umum Tentang Harta Bersama yang terdiri dari Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan, Ruang Lingkup Harta Bersama, Terbentuknya Harta Bersama dan Ketentuan tentang Pembagian Harta Bersama.

Bab Ketiga, Pada Bab ini Penulis akan menguraikan tentang Sita Marital (Marital Beslag) di Pengadilan Agama dan Kedudukan Sita Marital Terhadap


(28)

Harta Bersama yang terdiri dari Pengertian dan Tujuan Sita Marital,Ruang Lingkup Penerapan Sita Marital, Permohonan Sita Marital, Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaan Sita Marital, dan Akibat Hukum Sita Marital terhadap Harta Bersama.

Bab Keempat,Analisis Putusan Perkara Nomor 549/Pdt.G/2007/PA. Tentang Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian. Yang terdiri dari Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian, Analisis Pertimbangan & Dasar Putusan Hakim, serta Analisis Penulis.

Bab Kelima,Merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang menjawab permasalahan penelitian dan juga berisi saran-saran untuk pengembangan penelitian berikutnya.


(29)

18 A. Pengertian Harta Bersama

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat mengenai pengertian harta bersama yakni ialah harta yang diperoleh secara bersamaan di dalam Perkawinan.1 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama istri diikat dalam suatu perkawinan.2 yang mana akibat dari perkawinan tersebut ialah terjadinya penyatuan harta kekayaan suami dan istri .

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 1 Huruf f dirumuskan sebagai berikut : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.”

Menurut KUH Perdata Pasal 119 tentang harta bersama, harta bersama itu diperoleh sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pusataka, 1988), h. 299.

2

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2008, Cet. Kedua ), h. 113.


(30)

yang terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.

Dari rumusan di atas, dapat diketahui bahwa harta bersama yang dimaksud dalam KHI lebih memberikan kesempatan yang luas terhadap pengertian harta yang menjadi harta bersama dalam perkawinan, karena tidak harus harta itu dari hasil kerja suami atau hasil usaha bersama tetapi hasil usaha isteri juga melebur menjadi harta bersama asalkan selama perkawinan berlangsung.3

Harta bersama suami isteri atau yang biasa disebut dengan harta gono-gini juga mengandung pengertian ialah harta yang di dapat setelah terjadinya akad nikah. Dalam hukum Islam sendiri harta bersama suami isteri ini tidak dikenal karena dalam hukum Islam tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri akibat terjadinya perkawinan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi milik isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri, demikian juga dengan harta kekayaan suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami.4

3

Hilma Hadi Kusumo, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : Aditya Bakti,1999), h. 156.

4

A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1996 Cet. Kedelapan) h. 29-30.


(31)

Hal ini sejalan dengan firman Allah di dalam Q.S An Nisa’ (4) : 32                                                    

Artinya : ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Menurut Sayuti Thalib, harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah dan warisan. Dengan kata lain harta bersama itu ialah harta yang didapat atas usaha mereka (suami dan istri) selama masa ikatan perkawinan.5

Pengertian tersebut sejalan dengan Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing si penerima para pihak tidak menentukan lain.

5

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986 Cet. Kelima), h.89.


(32)

Di dalam harta bersama, suami ataupun istri dapat bertindak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan harta bersama tersebut, hal itu tentunya atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing.

Abdul Kadir Muhammad, di dalam bukunya Hukum Harta Kekayaan menyatakan bahwa: “Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.”6

Di dalam al-Qur’an dan hadits tidak diatur tentang harta bersama dalam perkawinan. harta kekayaan isteri tetap menjadi milik istri atau dikuasai sepenuhnya olehnya demikian pula sebaliknya, harta suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya, bahkan dalam kitab-kitab fiqh sekalipun tidak ada yang membicarakan seolah-olah masalah harta bersama kosong dalam pembahasan dalam hukum Islam.

6


(33)

Hal tersebut juga diakui oleh Bustanul Arifin, di dalam bukunya bahwa tidak diakui adanya harta bersama dalam pembahasan kitab-kitab fiqh yang lama hal tersebut sesuai dengan pemahaman syari’at (fiqih) waktu kitab -kitab fiqih tersebut ditulis dan sesuai dengan keadaan susunan masyarakat di waktu itu.7 namun di Indonesia sendiri harta bersama dikenal melalui hukum adatnya yang sampai sekarang ini masih hidup dan diterapkan, maka oleh karena itu hal ini tidak mungkin untuk disingkirkan dari pengamatan lembaga harta bersama karena lebih besar maslahatnya dari pada mudaratnya.

Ismuha berpendapat di dalam bukunya bahwa dapat diambil kesimpulan perkongsian pada umumnya bukan saja sekedar boleh, melainkan dari itu, disukai asalkan tidak ada unsur tipu daya.8

Pembahasan mengenai syirkah sebenarnya terdapat dalam kitab dagang bukan dalam kitab nikah. Akan tetapi karena asal dari persoalan syirkah adalah menangani pengaturan persyarikatan atau perkongsian dalam perdagangan dan pemberian jasa, atau dengan kata lain cara menyatukan atau penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta orang lain, maka kemudian diterapkan pula pada masalah harta bersama suami/isteri dalam membicarakan hukum perkawinan.

7

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan

Prosfeknya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 122.

8

Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-Undang

Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1986, Cetakan Pertama ), h.


(34)

Syirkah menurut bahasa adalah percampuran harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dengan yang lain.9 Sedangkan menurut istilah hukum Islam syirkah ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.

Dalam bab muamalah, dikenal dengan beberapa macam syirkah yang diambil dari pendapat ulama madzhab, adalah sebagai berikut:

a. Syirkah ‘Inan (Perkongsian terbatas), yaitu bentuk penggabungan harta dan usaha dengan pembagian keuntungan sesuatu dengan perjanjian. Para ulama 4 madzhab sepakat membolehkannya.

b. Syirkah Mufawadhah (Perkongsian tak terbatas), yaitu bentuk

penggabungan harta dan usaha dengan pembagian keuntungan disesuaikan banyaknya modal. Bentuk syirkah ini dibolehkan oleh madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, tetapi tidak dibolehkan oleh mazhab Syafi’i, karena dalam syirkah ini mengandung ghurur (ketidaktentuan, ketidaktahuan, dan penipuan).10

c. Syirkah Abdan (Perkongsian tenaga), yaitu syirkah dalam bidang pemberian jasa atau melakukan pekerjaan dengan keuntungan dibagi sesuai perjanjian. Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkannya tetapi Syafi’i

9

Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h. 46.

10


(35)

membatalkannya. Karena dalam syirkah ini tidak ada penggabungan harta dan adanya ghurur.11

d. Syirkah Wujuh (Perkongsian kepercayaan), yaitu syirkah antara dua orang atau lebih berdasarkan kepercayaan untuk membeli barang dengan cara kredit dan menjualkannya untuk mendapatkan keuntungan. Hukumnya boleh menurut para imam madzhab kecuali Syafi’i, alasan tidak boleh karena tidak ada modal dalam syirkah ini.

e. Syirkah Mudharabah (Perkongsian orang yang memiliki modal dan yang tidak), yaitu syirkah antara orang yang memiliki modal dengan yang tidak. Orang yang memiliki modal untuk berdagang. Madzhab Maliki da Hambali membolehkan syirkah ini, karena terdapat laba (keuntungan), tetapi mazhab Syafi’i dan Hanafi tidak boleh karena bentuk ini tidak termasuk syirkah.12

Dari beberapa macam syirkah tersebut di atas, terdapat perbedaan pendapat mengenai bentuk syirkah yang lebih mendekati kepada pengertian harta bersama. Menurut Ahmad Rofiq, dalam konteks konvensional, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai manajer yang mengatur ekonomi rumah tangga. Sehingga lebih tepat disebut syirkah abdan, karena modal dari suami, isteri mempunyai andil jasa dan tenaganya. Tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, isteri juga dapat

11

Ibid., h. 81.

12


(36)

melakukan pekerjaan yang mendatangkan kekayaan, sehingga masing-masing suami isteri mendatangkan modal dan dikelola bersama. Bentuk ini disebut

syirkah ‘inan.13

Menurut Ismail Muhammad Syah, pencaharian bersama suami isteri lebih dekat kepada pengertian syirkah abdan dan syirkah mufawadhah. Dikatakan syirkah abdan karena pada umumnya suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga. Hanya saja terkadang pekerjaan isteri lebih ringan dari pekerjaan suami. Adapaun dikatakan syirkah mufawadhah karena memang perkongsian suami isteri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama perkawinan termasuk harta bersama. Kecuali yang mereka terima sebagai warisan atau sebagai pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua.14

B. Pengaturan Harta Bersama

Masalah harta bersama merupakan masalah Ijtihadiyah karena belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran ulama mujtahid terdahulu, sedang pihak lain berpegang pada penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang

13

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke-4 ), h.201.

14


(37)

ada. Sehingga masalah harta bersama ini perlu dibahas dalam KHI agar umat Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi, dan juga perlu dibahas di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sehingga terjadi keseragaman dalam memutuskan perkara di Pengadilan.

Pengadilan Agama dalam menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta bersama mengutip langsung ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur’an karena tidak dikenal dalam referensi syafi’iyah. Lebih jauh lagi dalam menetapkan porsi harta bersama untuk suami isteri digunakan kebiasaan yang berlaku setempat, sehingga terdapat penetapan yang membagi dua harta bersama di samping terdapat pula penetapan yang membagi dengan perbandingan dua banding satu. Selain itu harta bersama seharusnya dibagi sesuai dengan fungsi harta itu untuk suami atau untuk isteri.

Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono gini). Konsep harta gono-gini awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian di dukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di negara kita. Sehingga, dapat dikatakan ada kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (alghele gemenschap van goerderen) dalam perkawinan mereka. Percampuran harta kekayaan (gono-gini) ini berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan.


(38)

Dasar hukum tentang harta gono gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang harta kekayaan antara lain dalam pasal:

1. Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa yang di maksud dengan harta gono gini (harta bersama) adalah “harta benda yang diperoleh selama perkawinan” artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut harta gono-gini.

2. Pasal 35 Ayat (2) menyebutkan harta bawaan dari masing-masing suami atau istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

3. Pasal 36 ayat (1) menyebutkan harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

4. Pasal 37 ayat (1) yaitu bilamana perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Pengaturan mengenai harta bersama juga terdapat di dalam KUH Perdata pasal 119, disebutkan bahwa “ Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal ini tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”


(39)

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat pengaturan tentang harta bersama ini, antara lain terdapat pada pasal :

1. Pasal 85 yang menyatakan harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. 2. Pasal 86 ayat (2), harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh

olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

3. Pasal 87 ayat (1), harta bawaan dari masing-masing suami dan istri yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawinnya.

4. Pasal 87 ayat (2), suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah sodakah atau lainnya.

C. Ruang Lingkup Harta Bersama

Menurut hukum Islam, ruang lingkup harta bersama (syirkah) sebatas pada penghasilan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Demikian juga dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta bersama. KHI juga menegaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung


(40)

dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Dapat disimpulkan bahwa secara garis besarnya ruang lingkup harta bersama terbatas pada penghasilan suami isteri selama masa perkawinan berlangsung. Ini yang dipahami kebanyakan orang. Akan tetapi menurut Yahya Harahap, dalam menentukan objek harta bersama dalam perkawinan tidaklah sesederhana itu. Menurutnya berdasarkan pengembangan yuridiksi harta bersama, maka harta perkawinan yang termasuk dalam harta bersama adalah sebagai berikut15 :

1. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung

Setiap barang yang dibeli dalam suatu ikatan perkawinan secara otomatis menurut hukum, harta tersebut menjadi objek harta bersama suami-isteri, tanpa mempersoalkan siapa yang membeli, atas nama siapa, terdaftar atas nama siapa dan harta tersebut kelak dimana.16 Hal tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/Sip/1970. Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa harta yang dibeli oleh

15

Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2008). h. 314.

16

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan no 1 Tahun 1974, (Yogyakarta : Liberti, 2004). h. 99.


(41)

suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat mereka adalah termasuk harta bersama suami isteri jika pembelian dilakukan selama perkawinan.17

Akan tetapi jika uang pembelian barang tersebut berasal dari harta pribadi suami/istri, maka barang tersebut tidak menjadi objek harta bersama melainkan menjadi milik pribadi. Hal ini dapat dilihat pada putusan MA yang tertuang dalam putusan No. 151 K/Sip/1974, tanggal 16 Desember 1975.18

2. Harta yang Dibeli dan Dibangun Pasca Perceraian yang dibiayai dari Harta Bersama

Dalam menentukan suatu barang termasuk objek harta bersama dapat ditentukan dengan mengetahui asal usul uang biaya dalam pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang tersebut dibeli dan dibangun sesudah terjadi perceraian. Praktek ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1970 No. 803 K/Sip/1970 yakni apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya berasal dari harta bersama maka dalam barang tersebut melekat harta bersama meskipun telah merubah wujudnya.19

17

M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undanga No. 7 Tahun 1989), (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997, Cet. Ke- 3, ) h. 303.

18

Ibid.

19

Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama. h. 316.


(42)

3. Harta yang Dapat Dibuktikan Diperoleh Selama dalam Ikatan Perkawinan

Apabila dalam sengketa mengenai harta bersama terdapat suatu perbedaan pendapat mengenai suatu harta tersebut, apakah termasuk dalam objek harta bersama ataupun bukan, maka dapat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.

Terkait dengan hal tersebut di atas, dalam sebuah Putusan Mahkamah Agung tertanggal 30 Juli 1974 No. 8088 K/Sip/1974 menentukan bahwa masalah atas nama siapa harta itu terdaftar , bukanlah faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta masuk yuridiksi harta bersama, sepanjang yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan pembiayaannya berasal dari harta bersama. Bahkan bukan hanya harta yang terdaftar atas nama isteri/suami yang menjadi yuridiksi harta bersama, melainkan suatu harta yang terdaftar atas nama adik suami/isteri pun, tetap menjadi yuridiksi harta bersama, asalkan hal tersebut dapat dibuktikan bahwa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung.20

20


(43)

4. Penghasilan Harta Bersama dan Harta Bawaan

Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yuridiksi harta bersama. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Tetapi bukan hanya barang yang berasal dari harta bersama saja yang menjadi yuridiksi harta bersama, melainkan juga penghasilan dari harta pribadi suami atau isteri. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi itu tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil dari barang tersebut menjadi yuridiksi harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami-isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.21

5. Segala Penghasilan Pribadi Suami Isteri

Segala hal yang menyangkut penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai, menjadi yuridiksi harta bersama suami isteri. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/Sip/1970. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum, sepanjang suami isteri tidak menentukan hal lainnya dalam perjanjian perkawinan.22

21

Ibid. h. 318.

22


(44)

D. Terbentuknya Harta Bersama

Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Artinya terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan tersebut bubar.23 Dengan demikian, harta apapun yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah sampai saat pernikahan bubar, baik karena salah satu pihak meninggal dunia atau karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Kecuali jika harta yang diperoleh berupa warisan atau hibah oleh salah satu pihak. Harta tersebut tidak termasuk di dalam harta bersama, tetapi termasuk dalam harta pribadi si penerima.

Menurut Sayuti Thalib, harta bersama terbentuk pada saat terjadinya syirkah. Adapun syirkah dapat terjadi melalui cara-cara sebagai berikut :

1. Adanya perjanjian syirkah secara tertulis atau lisan yang diucapkan sebelum atau sesudah terjadinya akad nikah.

2. Adanya peraturan yang telah ditentukan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan lain bahwa harta yang dimaksud adalah harta bersama suami isteri.

3. Syirkah yang diperoleh atas usaha selama masa perkawinan, dimana syirkah tersebut berjalan dengan sendirinya yang mana suami dan

23

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang No. 7 Tahun 1989), (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997, Cet. Ke- 3 ), h. 299.


(45)

isteri bersama-sama memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dalam mencari dan membiayai kebutuhan hidup mereka.

Berdasarkan hal tersebut, untuk mengantisipasi terjadinya segala persoalan yang akan menimpa rumah tangga pasangan suami isteri dikemudian hari, upaya preventif perlu dilakukan oleh pasangan yang hendak menikah untuk membuat perjanjian perkawinan secara tertulis mengenai harta bersama dalam perkawinannya. Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan akad nikah saja tidak cukup menjadi patokan terbentuknya harta bersama, maka lebih baik harta bersama itu terbentuk pada saat dilakukan perjanjian (syirkah) dalam perkawinan.

E. Pembagian Harta Bersama

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 35 menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri baik itu diperoleh dari hadiah atau warisan merupakan harta yang ada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak mennetukan lain.

Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan harta bersama suami isteri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik putusnya karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati),


(46)

maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.24

Adanya pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta pribadi dengan harta bersama, tanpa disertai kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan (atau sebelumnya) dapat menimbulkan banyak masalah di kemudian hari dalam segi asal usul harta atau harta-harta tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan baik karena perceraian maupun kematian. Adalah sangat menguntungkan , kalau dikemudian hari dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing suami isteri .

Persoalan mengenai pembagian harta bersama di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri terkait dengan pembagian harta bersama yang disebabkan oleh perceraian, poligami dan kematian oleh karena itu dalam penulisan ini hanya akan memberikan gambaran umum mengenai pembagian harta bersama dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Adapun ketentuan yang menyangkut pembagian harta bersama dalam sebagai berikut :

1. Pembagian dalam cerai hidup

Dalam ketentuan KHI pembagian harta bersama yang disebabkan oleh cerai hidup telah diatur dalam pasal 96 dan 97. Secara

24

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang No. 7 Tahun 1989), h. 188-189.


(47)

khusus, pasal 97 KHI mengatur tentang pembagian harta bersama dalam cerai hidup yang rumusnya sebagai berikut, baik itu janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

2. Pembagian dalam cerai mati

Dalam pasal 96 KHI dijelaskan apabila terjadi cerai mati, maka setengah dari harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Hal itu dikarenakan hak untuk mewarisi antara suami isteri tercipta bukanlah dari hubungan nasab melainkan hubungan yang tercipta karena akibat dari suatu perkawinan.25 Pertimbangan rumusan pasal ini sama dengan pembagian harta bersama dalam cerai hidup. Yakni akad nikah menyerupai perkongsian muamalat, sehingga selama hidup berumah tangga, antara suami isteri membangun perekonomian keluarga secara bersama-sama. Oleh karena itu, masing-masing suami maupun isteri berhak mendapat setengah bagian dalam pembagian harta bersama yang dihasilkan selama perkawinanannya tersebut.

3. Pembagian dalam perkawinan poligami

Dalam pasal 94 ayat (1) dan (2) KHI dirumuskan mengenai bentuk harta bersama dalam perkawinan poligami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisahkan dan berdiri sendiri dua

25

M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Isam, Cetakan Ke-2, Jakarta : Amzah, 2013. h. 18.


(48)

kepemilikan harta bersama dari perkawinan tersebut sebagaimana ayat (1) dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,ketiga atau keempat.

Dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam atau Qur’an tidak ada memerintahkan dan tidak pula melarang harta bersama itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi, dalam hal ini hukum Islam memberikan kesempatan kepada masyarakat manusia itu sendiri untuk mengaturnya. Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh masyarakat atau hanya sebagai perjanjian saja antara dua orang bakal suami isteri sebelum diadakan perkawinan. tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.26 Masalah harta bersama ini merupakan masalah ijtihaiyah karena belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran ulama mujtahid terdahulu , sedang pihak lain berpegang pada penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang ada sehingga masalah harta bersama ini perlu dibahas di dalam KHI agar umat Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi, dan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sehingga terjadi keseragaman dalam memutuskan perkara di Pengadilan.

26

Abdorraoef, Al- Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 113


(49)

38 BAB III

SITA MARITAL (MARITAL BESLAG) DI PENGADILAN AGAMA DAN KEDUDUKAN SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA A. Pengertian dan Tujuan Sita Marital (Marital Beslag)

1. Pengertian Sita Marital (Marital Beslag)

Sita Marital atau Marital Beslag merupakan salah satu bentuk dari sita jaminan (conservatoir beslaag) yang bersifat khusus, sita marital hanya dapat ditetapkan terhadap harta perkawinan, yakni harta bersama apabila diantara suami dan istri terjadi perceraian. Timbulnya hak mengajukan yaitu apabila terjadi perkara perceraian berlangsung, maka para pihak berhak mengajukan permohonan sita atas harta perkawinan dan sita yang demikian disebut dengan Sita Marital.1

Arti sita marital (marital beslag) ialah sita yang diletakkan atas harta bersama suami istri baik yang berada ditangan suami maupun yang berada ditangan istri apabila terjadi sengketa perceraian, sita marital tidak boleh dijalankan secara partia (sebagian-sebagian). Untuk menjaminnya keutuhan harta bersama selama perkara perceraian masih dalam pemeriksaan Pengadilan Agama, maka para pihak yang berperkara tersebut berhak untuk mengajukan Permohonan Sita atau dalam lingkungan Peradilan Agama.

1

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Permasalahan dan Penerapan Conservatoir


(50)

Adapun tujuan dari Sita Marital adalah untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.2

Penyitaan terhadap harta bersama, baik Penggugat atau Tergugat (suami-istri), dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.3 Dan dengan adanya penyitaan tersebut, apabila terjadi tindakan tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan atau mengoper barang-barang yang disita adalah tidak sah, dan merupakan suatu tindakan pidana.

Setiap sita mempunyai tujuan tertentu, dalam sita revindikasi bermaksud menuntut pengembalian barang yang bersangkutan kepada Penggugat sebagai pemilik, sedangkan sita jaminan (Conservatoir Beslag) bertujuan menjadikan barang yang disita sebagai pemenuhan pembayaran utang Tergugat.

Tujuan sita marital berbeda dengan yang disebutkan diatas bukan untuk menjamin tagihan pembayaran kepada Penggugat (suami atau istri); Juga bukan untuk menuntut penyerahan hak milik (revindikasi); Akan tetapi tujuan utamanya untuk membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara

2

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2006, Cet. Ke-4) h. 41.

3

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1999, Cet. Ke-2), h. 64.


(51)

perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik Penggugat atau Tergugat (suami istri), dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.4

Adanya pembekuan harta bersama dibawah penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab dari Tergugat. Sehubungan dengan itu titik berat penilaian yang harus dipertimbangkan pengadilan atas permintaan sita marital adalah pengamanan atau perlindungan atas keberadaan harta bersama. Penilaian ini jangan terlampau dititikberatkan pada faktor dugaan atau persangkaan akan adanya upaya Tergugat untuk menggelapkan barang tersebut, tetapi lebih diarahkan pada masalah pengamanan dan perlindungan harta bersama.

2. Pengaturan Sita Marital

Sita Marital tidak terdapat di dalam HIR atau RBg melainkan hanya dijumpai di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) dan Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering), akan tetapi Sita Marital ini berlaku di lingkungan Peradilan Umum sekarang ini.5

Pengaturan sita marital dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain yang terdapat dalam :

4

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, , h. 164.

5

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003, Cet. Ke 2), h. 208.


(52)

a. Pasal 190 KUH Perdata yang berbunyi : Sementara perkara berjalan dengan ijin Hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.6

Ketentuan tersebut dulunya berlaku bagi golongan Eropa dan Tionghoa. Tetapi sejak UU No.1 tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan segala ketentuan KUH Perdata mengenai Perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun demikian ketentuan Pasal 190 KUH Perdata tersebut, dapat dijadikan bahan orientasi sebagai kedudukan dalam hukum adat tertulis. b. Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 Menurut pasal ini “Selama

berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat mengijinkan dan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri“.

c. Pasal 78 huruf c UU No. 7 tahun 1989 jo. UU No 3 Tahun 2006. Bunyi dalam pasal ini persis sama dengan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 atau dapat juga dikatakan bahwa isi dan ketentuannya ditransfer dari pasal PP yang dimaksud.

6

R. Subekti, R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya Paramita, cet. 25), h. 60.


(53)

Berdasarkan Pasal 78 huruf c, lingkungan peradilan agama pun telah memiliki aturan positif lembaga sita marital. Bahkan sita marital tersebut dalam lingkungan peradilan agama, tidak hanya diatur dalam Pasal 78 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 , tetapi juga dalam Pasal 136 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang sama bunyinya dengan Pasal 24 Ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 78 huruf c UU No. 7 tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 . Dengan demikian, landasan penerapan sita marital dalam lingkungan peradilan agama telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.

d. Pasal 823 Rv yang berbunyi : Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan sehubungan dengan Pasal 190 KUH Perdata adalah penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilaian barang-barang, penyitaan jaminan atas barang bergerak bersama atau jaminan atas barang-barang tetap bersama.

Pasal ini merupakan salah satu diantara beberapa pasal lainnya yang mengatur tentang sita marital. Ketentuannya mulai dari Pasal 823-830 Rv. Maka dapat dilihat bahwa pengaturan sita marital dalam Rv sangat luas. Sebaliknya dalam UU No.1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun1975 hanya terdiri dalam satu (1) pasal. Sedangkan dalam HIR dan RBG sama sekali tidak diatur mengenai sita marital.


(54)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur hal yang berkaitan dengan sita marital, yaitu Pasal 95 Ayat (1) dan Ayat (2) yang menyatakan bahwa ;

1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 Ayat (2) Huruf (c), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 Ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk boros dan sebagainya. 2) Dalam Pasal 136 Ayat (2) Huruf (b) Kompilasi Hukum Islam juga

mengatur mengenai sita marital, bahwa : selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat dan tergugat Pengadilan Agama dapat “Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak istri”.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya sita marital adalah salah satu jenis sita jaminan (conservatoir beslag), oleh karena itu segala ketentuan yang berlaku pada sita jaminan, berlaku sepenuhnya pada sita marital. Mulai dari pengajuan permohonan, dan tata cara pelaksanaannya.7

7


(55)

Ketentuan yang terdapat di dalam HIR (Herziene Inlandsch

Reglement), RBg (Rechtreglement Voor De Buitengwesten), B.Rv

(Reglement Op De Burgerlijke Rechvordering), dan sumber hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khususnya oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dapat digunakan pada sita marital yang diajukan kepada Pengadilan Agama, sesuai Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa ; “Hukum acara yang berlaku dalam Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata pada Pengadilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.

B.Ruang Lingkup Penerapan Sita Marital 1. Pada Perkara Perceraian

Penerapan sita marital yang paling utama pada perkara perceraian. Apabila terjadi perkara perceraian antara suami istri, maka hukum akan memberi perlindungan kepada suami atau istri atas keselamatan keutuhan harta bersama. Dengan cara meletakkan sita di atas seluruh harta bersama untuk mencegah perpindahan harta bersama kepada pihak ketiga.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 190 maupun Pasal 125 KUH Perdata, hak untuk mengajukan sita marital hanya diberikan kepada istri. Hal itu sesuai dengan latar belakang yang digariskan Pasal 105 KUH Perdata yang memberi kedudukan matriale macht (kepala persekutuan) kepada suami,


(56)

dan sekaligus memberi hak dan wewenang kepada suami untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan bersama dan harta istri dalam perkawinan. Berarti dalam praktiknya, penguasaan harta bersama berada di tangan suami. Kalau begitu layak dan sejalan memberi hak kepada istri untuk meminta sita marital agar suami tidak leluasa menghabiskan harta bersama selama proses perkara masih berjalan.

2. Pada Perkara Pembagian Harta Bersama

Pada dasarnya persoalan sita harta bersama diperlukan apabila terjadi perkara antara suami dan istri. Secara hukum perkara yang mungkin timbul diantara suami istri yang erat kaitannya dengan harta bersama bukan hanya pada perkara perceraian tetapi juga pada perkara pembagian harta bersama. Seperti seorang suami yang mengajukan gugatan perceraian tanpa dibarengi tuntutan pembagian harta bersama. Terhadap gugatan itu, istri (selaku Tergugat) tidak mengajukan gugatan rekonvensi, menuntut pembagian harta bersama, selanjutnya gugatan perceraian dikabulkan. Dalam keadaan seperti itu apabila mantan suami atau istri ingin membagi harta bersama hanya dapat dilakukan melalui gugatan tentang pembagian harta bersama.

Dalam menjamin keutuhan dan keselamatan harta bersama selama proses perkara berlangsung, hanya dengan cara meletakkan proses sita marital diatasnya. Hal ini jika ditinjau dari segi penjaminan keberadaan harta bersama dalam pembagian harta bersama, sangat urgen meletakkan sita


(57)

marital selama proses pemeriksaan berlangsung. Oleh karena itu sangat relevan menerapkan sita marital dalam perkara pembagian harta bersama. 3. Pada Perbuatan yang Membahayakan Harta Bersama

Sita marital yang dimaksudkan diatas diterapkan dalam perkara pembagian harta bersama. Jadi penerapannya bertitik tolak dari adanya perkara antara suami istri. Seolah-olah jika tidak terjadi perkara atau pembagian harta bersama, sita marital tidak berfungsi dan tidak dapat diterapkan dalam penegakkan hukum diantara suami istri. Hal ini benar jika semata-mata merujuk kepada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975. Akan tetapi, jika berorientasi kepada ketentuan hukum yang ada maka : sita marital dapat diterapkan penegakkannya diluar proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama; oleh karena itu dimungkinkan menerapkannya di luar proses perkara, apabila terjadi tindakan yang membahayakan keberadaan harta bersama.

Penerapan yang demikian dapat berorientasi kepada ketentuan Pasal 186 KUH Perdata. Menurut Pasal 186 KUH Perdata tersebut : selama perkawinan berlangsung suami atau istri (aslinya hanya disebut istri), dapat mengajukan permintaan sita marital terhadap Hakim; namun permintaan itu harus berdasarkan alasan bahwa harta bersama berada dalam keadaan bahaya karena :


(58)

a. Adanya tindakan atau perbuatan dari suami atau istri yang nyata-nyata memboroskan harta bersama serta dapat menimbulkan akibat bahaya keruntuhan keluarga dan rumah tangga;

b. Tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta bersama yang dilakukan suami atau istri yang dapat membahayakan eksistensi dan keutuhan harta bersama sebagaimana mestinya.

C.Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) 1. Alasan Pengajuan Sita Marital

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sita marital itu merupakan salah satu jenis dari sita jaminan (conservatoir belslag) yang bersifat khusus, oleh karena itu segala ketentuan yang berlaku pada sita jaminan, berlaku sepenuhnya juga pada sita marital. Mulai dari pengajuan permohonan dalam surat gugatan maupun yang diajukan secara terpisah dari pokok perkaranya hingga dalam tata cara pelaksanaannya.8

Adapun yang dapat menjadi alasan untuk mengajukan sita marital pun adalah sama dengan alasan pengajuan sita jaminan (conservatoir beslag) yang mana hal tersebut diatur dala Pasal 227 Jo Pasal 197 HIR atau Pasal 261 Jo Pasal 206 Rbg. Alasan-alasan yang dimaksud adalah bahwa adanya

8


(59)

persangkaan yang beralasan bahwa Tergugat akan menggelapkan barang-barang sehingga hal itu akan merugikan Penggugat.9

Kemudian yang berwenang untuk menilai unsur persangkaan adalah hakim, bukan Penggugat dan batas minimal yang dianggap bernilai untuk mengesahkan alasan persangkaan adalah apabila ada fakta yang mendukung persangkaan atau sekurang-kurangnya ada petunjuk-petunjuk yang membenarkan persangkaan, dan fakta atau petunjuk tersebut dinilai harus masuk akal.10

2. Tata Cara Pengajuan Sita Marital

a. Permohonan diajukan dalam surat gugatan

Mengenai tata cara pengajuan permohonan sita marital, Penggugat mengajukan permohonan sita marital secara tertulis dalam surat gugatan, sekalipun bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok kepada Pengadilan Agama. Pengajuan permohonan sita marital dalam bentuk ini, tidak dipisahkan dengan dalil gugatan atau gugatan pokok, keduanya bersatu dalam surat gugatan sekaligus jika permohonan sita marital disatukan bersamaan dengan surat gugatan.11

9

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir

Beslag (Sita Jaminan), h. 36.

10

Ibid., h. 38.

11


(60)

Dalam perumusan dalil gugatan yang merupakan landasan dari hal tersebut dapat diketahui layak atau tidaknya pengajuan permohonan sita marital. Hal itu dikarenakan dari perumusan dalil gugat serta uraian fakta dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, maka permohonan sita marital serta alasan kepentingan akan lebih tepat dan lebih mudah dirumuskan permohonan sita serta alasan kepentingan penyitaan. di samping perumusan permohonan sita marital di akhir posita gugat, permohonan itu harus dipertegas lagi dalam petitum gugatan yang berisi permintaan kepada pengadlan, supaya sita marital yang diletakkan atas harta bersama dinyatakan sah dan berharga.12

b. Permohonan dapat diajukan secara terpisah dari pokok perkara

Adapun bentuk pengajuan sita marital yang kedua dilakukan dalam bentuk “Tersendiri”, terpisah dari gugatan pokok perkara. Di samping gugatan perkara, Penggugat mengajukan permohonan sita marital dalam bentuk surat yang lain. Bahkan dimungkinkan dan dibolehkan melakukan pengajuan permohonan sita marital tersendiri secara lisan, meskipun bentuk permohonan sita marital secara lisan sering terjadi dalam praktek, namun kelangkaan praktek itu bukan berarti melenyapkan hak Penggugat untuk mengajukan permohonan sita marital secara lisan.13

12

Ibid., h. 25.

13


(61)

D. Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Sita Marital

Menurut M. Yahya Harahap mengenai tata cara pelaksanaan pelaksanaan sita marital sama dengan tata cara pelaksanaan sita eksekusi (Eksekutorial Beslag) dengan demikian tata cara pelaksanaan Conservatoir Beslag dengan sita eksekusi diatur dalam Pasal 197 Ayat 2 sampai Ayat 6 HIR atau Pasal 209 RBg. 14 Yakni adalah sebagai berikut :

1. Pejabat yang berwenang untuk memerintahkan Conservatoir Beslag ialah Ketua Majelis atas nama Majelis Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan dengan cara permohonan conservatoir beslag diperiksa dalam persidangan insidentil dan diperiksa dan diputus mendahului pokok perkara.

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan insidentil dikeluarkan perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk melaksanakannya dan perintah tersebut dituangkan dalam bentuk “Surat Penetapan”.

3. Pelaksanaan Conservatoir Beslag dilakukan di tempat letak barang yang dilaksanakan oleh Juru Sita dan dibantu oleh dua orang saksi.

4. Juru Sita membuat “Berita Acara” Conservatoir Beslag yang mencantumkan secara rinci satu persatu barang yang diconsevatoir beslag, jenis & ukuran barang, kemudian membuat berita acara dihadapan tersita, apabila tersita tidak hadir maka berita acara diberitahukan kepadanya. Berita acara sita ditandatangani oleh juru sita

14


(1)

70 BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan skripsi penulis yang berjudul permohonan sita marital (marital beslag) di luar gugatan perceraian dengan menganalisis putusan perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP, Penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Permohonan sita marital terkait dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP secara tersendiri artian di luar dari gugatan perceraian telah sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia yakni berdasarkanPasal 215 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 95 serta 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) diperbolehkan. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 95, permohonan sita marital dapat diajukan secara terpisah dan berdiri sendiri di luar gugatan perceraian, sehingga hal ini memungkinkan pengajuan gugatan atau permohonan sita, baik dengan rekonpensi maupun pengajuan permohonan sita marital yang berdiri sendiri.

2. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP adalah alasan pengajuan Sita Marital terhadap harta bersama yang diajukan oleh Pemohon (Istri) kepada Termohon (suami) adanya indikasi bahwa harta bersama tersebut dapat hilang dan berpindah


(2)

kepada pihak lain yang akan merugikan Pemohon dan anak-anak Pemohon dikemudian hari, dan Majelis Hakim menerima alasan Sita Marital (Marital Beslag), sehingga Permohonan Sita Maritalnya (Marital Beslag) dapat dikabulkan. Selain itu permohonan sita marital terhadap harta bersama sesuai dengan tujuan maqashid syariah yakni dalam rangka menjaga dan memelihara harta (hifzulmaal) dan berkaitan juga dengan kaidah ushul fiqh yakni penetapan hokum melalui konsep saad adz dzari’ah, maka permohonan sita marital terhadap harta bersama dinilai sangat relevan karna untuk melindungi kepentingan istri sebagai pemohon dan anak-anak dari pemohon dan termohon dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan yakni jika tidak dilakukan sita marital terhadap harta bersama maka akan menyebabkan harta bersama tersebut berpindah tangan kepada pihak lain.

B.Saran-Saran

Adapun bagian akhir dari skripsi ini, penulis memberikan saran-saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait adalah sebagai berikut :

1. Kepada Pemerintah, Perlu adanya Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur secara tegas mengenai sita marital terhadap harta bersama. dan adanya ketentuan Hukum Acara Perdata yang mengatur secara khusus tentang masalah sita marital yang selama ini berpedoman pada Reglemen Acara Perdata/ RV (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 187 No. 52 Jo. 1849 No. 63) yang masih dipergunakan di dalam praktek.


(3)

72

2. Para hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan sita marital harus memperhatikan kepastian hukum, apakah dalam putusan sita marital yang dikabulkan yang dinyatakan sah dan berharga/tidak, sebab apabila dinyatakan sah dan berharga terhadap sita marital tersebut, maka akan ditingkatkan menjadi sita eksekutorial, sedangkan sita marital hanya bersifat untuk menyimpan atau membekukan harta bersama yang disengketakan.

3. Masyarakat, walaupun sita marital jarang dipergunakan dewasa ini bukan berarti upaya hukum tidak boleh dipergunakan. dan dalam pengajuan permohonan sita marital diterima atau tidaknya memang sangat tergantung pada pembuktian yang mana harus diperhatikan oleh semua pihak. Dan masyarakat hendaklah mengetahui tentang adanya sita marital dan regulasi sengketa harta bersama.


(4)

73

DAFTAR PUSTAKA

Abdorraoef. Al- Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan. Jakarta : Bulan Bintang, 1986.

Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prosfeknya. Jakarta : Gema Insani Press, 1996.

Arifin, Zainal. Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja RosdaKarya. Ash Shiddieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Cet. Kesebelas. Yogyakarta : UII Press. 2007.

Basyir, Azhar A, Hukum Perkawinan Islam. Cet. Kedelapan. Yogyakarta : Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pusataka, 1988.

Effendi M. Zein, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta : Prenada Media, 2004. Fauzan, M. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah

Syari’ah di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005.

Gemala, Dewi. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Cet. Kedua. Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006.

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.


(5)

74

Kusuma, Hilman Hadi. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : Aditya Bakti,1999. Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta

: Sinar Grafika, 2001.

... Hukum Acara Perdata : Permasalahan dan Penerapan Conservatoir Beslag (Sita Jaminan). , Cet. Pertama. Jakarta : Pustaka, 1987. Ismuha. Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-Undang

Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta : Bulan Bintang, 1986,.

Kadir, Abdul. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Atitya, 1994. Koentjaraningrat. Metode- Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: 1997.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.

Manaf, Abdul. Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama. Bandung : CV. Mandar Maju, 2008.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty, 2006.

Moleong, Lexy J.. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004.

M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media, 2005.

Nurul Irfan, M. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Cetakan Ke-2. Jakarta : Amzah, 2013.


(6)

Ramulyo, Moch Idris.Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Perkawinan Islam. Jakarta : IND-HIIILCO, 1985.

Rasyid, Chatib dan Syaifuddin. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press, 2009.

Rasyid, Roihan A.. Hukum Acara Peradilan Agama. Cet. Kedua. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cetakan Keempat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000.

R. Subekti, R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cetakan Ke-25. Bandung: Pradnya Paramita.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UIP, 1984.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan no 1 Tahun 1974. Yogyakarta : Liberti, 2004.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta : Kencana. 2006.

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : UI Press, 1986.

Wawancara dengan Hakim Anggota I Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP. Erni Zurnilah.. Tanggal 14 April 2014.