Riwayat Pendidikan Imam Muslim

B. Riwayat Pendidikan Imam Muslim

Dari beberapa buku târikh yang penulis sempat buka, seperti kitab Siyar A‘lam al-Nubalâ , Tahzîb al-Kamâl, Tahzîb al-Tahzîb dan lain-lain, penulis belum menemukan pada usia berapa imam Muslim mulai mengenal dunia pendidikan di masa kanak-kanaknya. penulis hanya menemukan dari catatan imam Al-Dzahabî yang menurutnya, imam Muslim pada tahun 218 H pada usia 14 tahun beliau sudah menerima simâ 10 hadis dan guru pertama yang ia terima hadis darinya adalah Yahyâ ibn Yahyâ al-Tamîmî 11 . Masih adanya ketidakjelasan mengenai kapan imam Muslim mulai mendapatkan pendidikan, tidak menunjukkan bahwa ia tidak menerima pendidikan di usia dini sama sekali, sebagaimana ulama-ulama terdahulu, sebelum atau yang semasa dengannya. Sedangkan apa yang dikatakan oleh al-Dzahabî di atas, menurut asumsi penulis adalah bahwa, bisa jadi pada usia itu ia baru 10 Al-Samâ‘ yang berarti mendengar, dalam istilah hadis dikenal sebagai kegiatan seorang guru yang membaca hadis baik dari hafalan atau kitabnya sedangkan hadirin mendengarnya baik majelis itu imla atau untuk yang lain. Lihat . Muhammad `Ajâj al-Khatib, Usûl al-Hadîts, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003, cet 3, h. 204 Berkaitan dengan usia ideal untuk mempelajari hadis, M.M Azami di dalam bukunya Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya , mencoba menjelaskannya secara gamblang dengan mengutip perkataan ulama terdahulu yang ia catat dari berbagai sumber. Seperti perkataan al- Tsauriy “Umumnya orang-orang beribadah dahulu dua puluh tahun, kemudian baru belajar dan menulis hadis”. Ia juga mengutip perkataan al-Zubairi “Saya lebih senang apabila umur sebelum dua puluh tahun itu dipakai untuk menghafal al-Qur`an dan ilmu-ilmu wajib yang lain”. Selain perkataan kedua tokoh dia atas, Azami juga mencatat ucapan al-Zuhri ketika berbicara dengan Ibnu ‘Uyaiynah yang pada waktu itu berusia lima belas tahun-,”Saya tidak pernah melihat anak yang belajar hadis yang lebih muda dari pada kamu”. Sebelum memberikan komentar, Azami menyisipkan dalam catatannya perkataan Musa ibn Harun, menurutnya, orang-orang Basrah belajar dan menulis hadis ketika berumur sepuluh tahun, orang-orang Kufah belajar dan menulis hadis ketika berumur dua puluh tahun, sedangkan orang-orang Syam belajar dan menulis hadis ketika berumur tiga puluh tahun. Melihat ucapan-ucapan ulama di atas, Azami memberikan komentar “Tampaknya ketentuan di atas tidak merupakan patokan umum, hanya saja kecenderungan yang lazim pada saat itu adalah murid mulai belajar hadis pada umur dua puluh tahun”. Lihat Muhammad Mustafâ Azami, Hadis Nabawi dan SejarahKodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009, cet 4, h. 505- 506 11 al-Dzahabî, Siyar A`lâm al-Nubala, juz 8, h. 269 mendapat kesempatan untuk men-sima hadis secara langsung yang dapat beliau riwayatkan atau sampaikan juga kepada orang lain. 12 Apa yang penulis katakan di atas, mengenai pendidikan imam Muslim dapat dibuktikan dengan sejarah Abbasiyah, dimana pada masa itu kecintaan akan ilmu sangat digalakkan oleh pemerintah, khususnya pada masa pemerintahan al- Ma`mun dari tahun 198 sampai dengan tahun 218 H, tepatnya di akhir kekuasaan pada periode pertama. Pernyataan penulis tersebut, bersandar pada apa yang dikatakan oleh A.Syalabi dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam 3, ketika ia membagi masa pemerintahan Abbasiyah menjadi tiga periode, yaitu: periode pertama 132-232H, periode kedua 232-590H dan periode ketiga 590-656H. 13 Untuk mengetahui gambaran umum pemerintahan Abbasiyah pada periode pertama, sekaligus menggambarkan bagaimana atmosfir pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa kelahiran imam Muslim, penulis akan mengutip apa yang dikatakan oleh A.Syalabi, menurutnya: pada periode ini kekuasaan berada di tangan para khalifah di seluruh kerajaan Islam kecuali di Andalusia. Para khalifah di zaman tersebut merupakan para pahlawan-pahlwan yang memimpin angkatan tentara dan mengarungi peperangan. Kebanyakan mereka adalah ulama-ulama yang mengluarkan fatwa dan berijtihad, cinta akan ilmu pengetahuan, merapatkan hubungan 12 Kegiatan menerima dan mendengar hadis, dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah tahammul al-hadîts , sedangkan kegiatan meriwayatkan atau menyampaikan hadis diistilahkan dengan kata ada` . Mengenai tahammul al-hadîts mayoritas para ulama cenderung memperbolehkan anak kecil untuk ikut dalam kegiatan mendengar hadis dan ada pula sebagian ulama yang tidak memperbolehkan, sedangkan mengenai ada` sendiri, ulama ahli hadis, usul dan fikih sependapat bahwa, orang yang riwayatnya dapat dijadikan hujjah, adalah apabila ia beragama Islam, bâligh bersifat `âdil dan dâbit. Lihat Muhammad `Ajaj al-Khatib, Usûl l al-Hadîts, h.200- 203 13 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3 , h. 3 dengan kaum keluarga dan menyampaikan pidato yang berapi- api. 14 Sudah menjadi sebuah tradisi para ulama terdahulu, yaitu mereka tidak hanya menimba ilmu dari seorang guru saja atau beberapa orang guru yang ada di daerah, di mana tempat mereka lahir dan dibesarkan, akan tetapi mereka juga sering melakukan rihlah ilmiah ke berbagai daerah untuk menambah ilmu pengetahuan agama, khususnya yang berkaitan dengan hadis, sehingga terkadang mereka harus melewati beberapa negeri hanya untuk mendapatkan sebuah hadis yang benar-benar valid dan autentik, yaitu dengan mendengar langsung dari sang guru. 15 14 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3 , h. 3 15 Dimukadimah sahihnya, imam Muslim mengatakan: ﹸﻝﺎﺳﺭِﻹﺍ ﻦِﻣ ِﺮﻴﹶﻏ ٍﻉﺎﻤِﺳ ﹸﻞﺳﺮﹸﳌﺍﻭ ﻦِﻣ ِﺕﺎﻳﺍﻭِﺮﻟﺍ ﻲِﻓ ِﻞﺻﹶﺃ ﺎﻨِﻟﻮﹶﻗ ِﻝﻮﹶﻗﻭ ِﻞﻫﹶﺃ ِﻢﹾﻠِﻌﹾﻟﺍ ِﺭﺎﺒﺧَﻷﺎِﺑ ﺲﻴـﹶﻟ ٍﺔﺠﺤِﺑ Artinnya: ke-irsala-lan dengan adanya data yang valid bahwa sesorang tidak mendengar hadis secara langsung dari gurunya atau yang dinamakan dengan hadis mursal, menurut pendapat kami dan pendapat para pakar dalam bidang hadis adalah sesuatu yang tidak dapat dijadikan hujjahtidak dapat dijadikan sebagai dalil. Lihat Muslim ibn al-Hajjâj, Sahîh Muslim, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992, h. 21 Dari pernyataan imam Muslim di atas dengan jelas diketahui bahwa, ia sangat berhati-hati dalam menerima dan menyeleksi hadis, ia tidak akan menerima hadis kecuali hadis tersebut benar- benar ittisal atau bersabung. tetapi sebelumnya, masih di dalam muqaddimah sahihnya, secara jelas ia tidak serta-merta menolak hadis mursal atau hadis an anah hadis yang sanadnya menggunakan ” an yang berindikasi akan adanya ketidakbersambungan sanad, karena menurutnya, masih ada kemungkinan hadis tersebut sanadnya bersambung, dengan alasan apabila ada dua orang yang hidup pada satu masa, maka mereka memiliki kemungkinan untuk bertemu. Sebagaimana perkataannya di bawah ini: ﹶﺃﱠﻥ ﱠﻞﹸﻛ ٍﻞﺟﺭ ٍﺔﹰﻘِﺛ ﻯﻭﺭ ﻦﻋ ِﻪِﻠﹾﺜِﻣ ﺎﹰﺜﻳِﺪﺣ ﺰِﺋﺎﺟﻭ ﻦِﻜﻤﻣ ﻪﹶﻟ ﻩﺅﺎﹶﻘِﻟ ﻉﺎﻤﺴﻟﺍﻭ ﻪﻨِﻣ ﺎـﻤِﻬِﻧﻮﹶﻜِﻟ ﺎـﻌﻴِﻤﺟ ﺎﻧﺎﹶﻛ ﻲِﻓ ٍﺮﺼﻋ ٍﺪِﺣﺍﻭ ﹾﻥِﺇﻭ ﻢﹶﻟ ِﺕﹾﺄﻳ ﻲِﻓ ٍﺮﺒﺧ ﹾﻂﹶﻗ ﺎﻤﻬﻧﹶﺃ ﺎﻌﻤﺘﺟِﺍ ﹶﻻﻭ ﺗ ﺎﻬﹶﻓﺎﺸ ﹶﻼﹶﻜِﺑ ٍﻡ ﹸﺔﻳﺍﻭﺮﻟﺎﹶﻓ ﹲﺔﺘِﺑﺎﹶﺛ ﹸﺔﺠﺤﹾﻟﺍﻭ ﺎﻬِﺑ ﹶﻻ ﹲﺔﻣِﺯ ﱠﻻِﺇ ﹾﻥﹶﺃ ﹶﻥﻮﹸﻜﻳ ﻙﺎﻨﻫ ِﺩ ﹶﻻ ﹲﺔﹶﻟ ﹲﺔﻨﻴﺑ ﱠﻥﹶﺃ ﺍﹶﺬﻫ ﻱِﻭﺍﺮﻟﺍ ﻢﹶﻟ ِﻖﹾﻠﻳ ﻦﻣ ﻯﻭﺭ ﻪﻨﻋ ﻭﹶﺃ ﻢﹶﻟ ﻊﻤﺴﻳ ﻪﻨِﻣ ﺎﹰﺌﻴﺷ Artinya: sesungguhnya setiap para perawi yang tsiqah dan dia meriwayatkan sebuah hadis yang ia terima dari seorang perawi yang tsiqah juga dan adanya kemunkinan perawi tersebut bertemu dan mendengar darinya dikarenakan keduanya berada dalam satu masa, walaupun tidak ada berita yang pasti bahwa keduanya pernah bertemu dan tidak pula mereka berbicara secara langsung, maka riwayat tersebut adalah benar dan menjadikan ia sebagai dalil merupakan sebuah keharusan, kecuali terdapat sebuah keterangan yang jelas bahwa perawi tersebut tidak pernah Hal serupa pula dilakukan oleh imam Muslim dengan semangat muda sebagai seorang pemuda yang haus akan ilmu, terutama ilmu hadis, membuat ia tidak hanya belajar dan mencari hadis dari para guru yang ada di daerahnya saja, akan tetapi ia juga sering berpergian ke daerah-daerah lain yang di sana terdapat para ulama hadis dan adapun tempat-tempat yang yang pernah ia singgahi adalah Hijâz, Misr, syâm dan dan irâq dan lain-lain. 16 1. Guru-Guru Imam Muslim Pengembaraannya ke berbagai daerah dengan tujuan utama untuk mencari hadis, seperti yang telah di sebutkan di atas, secara tidak langsung mempertemukan beliau dengan beberapa orang guru di suatu tempat dengan latar belakang penguasaan ilmu yang berbeda-beda pula, sehingga dengan demikian ia tidak hanya memiliki satu guru saja. Baik guru dalam bidang ilmu tafsir, hadis, fikih atau ilmu-ilmu agama yang lain. Di kota Mekah imam Muslim berguru kepada al-Qa`nabî, ia merupakan guru besar baginya, sedangkan di kufah dia berguru kepada Ahmad ibn Yûnus dan yang lainnya. Menurut catatan al-Mizzî ada sekitar 218 orang yang pernah menjadi guru imam muslim, di antaranya adalah Ibrâhîm ibn khâlid al-Yasykurî, Ibrâhîm ibn Dinâr al-Tamâr, Ibrâhîm ibn Ziyâd sabalâni, Ibrâhîm ibn Sa‘îd al- Jauharî, Ahmad ibn Ja‘far al-Ma‘qarî, Ahmad ibn Janâb al-Missîsî, Ahmad ibn bertemu dan tidak pernah mendengar satu hadis pun dari orang yang ia sandarkan hadisnya. Muslim ibn al-hajjâj, Sahîh Muslim, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992, h. 21 Ia mencontohkan Contohnya hadis yang diriwayatkan kepada kami yang disandarkan kepada Hisyam ibn `Urwah dari bapaknya`Urwah dari Âisyah dan sudah menjadi sebuah kepastiaan sebagaimana yang kami tahu bahwa Hisyâm terbukti mendengar dari bapaknya dan bapaknya terbukti juga mendengar dari Âisyah dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa Âisyah sudah pasti terbukti mendengar dari Nabi saw., Maka dengan demikian Hisyâm boleh tidak menyebutkan dalam riwayat tersebut kalau ia menerima dari bapaknya. Muslim ibn al-hajjâj, Sahîh Muslim, h. 22 16 Tsauqî Abû Khalîl, Atlas al-Hadîts al-Nabawî, Beirut: Dar al-fikr, 2006, cet 3, h. 12 Jawwâs al-Hanafî Qutaibah ibn sa‘id, al-Qa‘naî, Ahmad ibn Hanbal, Isma‘îl ibn Abi Uwais, Yahya ibn Yahya, Abû Bakar, ‘Usman ibn Abû Syaibah, ‘Abdullah ibn Asma’dan lain-lain 17 2. Murid-Murid Imam Muslim Bukan hanya memiliki banyak guru, sebagai seorang yang telah memiliki nama di papan teratas dari deretan para pakar hadis, ia juga memiliki banyak murid dan di antaranya adalah Abu Isa al-Tirmidzî, Ibrâhîm ibn Ishâq al-sairafî, Ibrâhîm ibn Abu talib, Ibrâhîm ibn Muhammad ibn hamzah, Ibrâhîm ibn Muhammad ibn Sufyân, al-faqîh 18 ,dan lain-lain Sejarah telah mencatat bahwa imam Muslim adalah seorang tokoh yang sangat selektif dalam memilih hadis sekaligus tokoh yang dijadikan referensi untuk penilaian jarh dan ta‘dil para ulama ahli hadis pada masanya dan ulama terdahulu. Masih dalam catatan sejarah, diketahui bahwa imam al-Tirmîdzî adalah salah seorang tokoh yang kekredibilitasannya sudah tidak diragukan lagi, pemilik al-jâmi‘ sekaligus murid langsung dari imam Muslim. Walaupun al-Tirmîdzî adalah muridnya langsung sebagaimana yang telah masyhur di kalangan ahli hadis, bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim sudah tidak diragukan lagi akan kesahihannya. Bisa dibayangkan bagaimana rantai emas sanad dari kedua tokoh tersebut akan terjalin antara guru dan murid. Harapan dari bayangan terjalinnya rantai tersebut, hanya sebatas logika positif yang tergambar, karena masih dalam catatan sejarah pula, imam al- Tirmîdzî ternayta diketahui tidak pernah meriwayatkan hadis dari gurunya 17 al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fi asma` al-Rijâl, Muhaqqiq: Syaikh Ahmad ‘Ali ‘Abir dan Husain Ahmad Agha, Beirut: Dar al-Fikr juz 18 h.70-72 18 al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fi asma` al-Rijâl, juz 18 h. 72 tersebut, kecuali hanya satu hadis. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh al-Dzahabî, menurutnya ”imam al-Tirmidzî tidak pernah meriwayatkan sebuah hadis pun yang beliau terima dari imam Muslim kecuali satu hadis saja”. 19 Dari penuturan al-Dzahabî di atas, penulis mencoba melacak hadis yang dimaksud olehnya dalam sunan al-Tirmîdzî dan penulis menemukan sebuah hadis yang sanadnya berasal dari imam Muslim, hadis tersebut insya Allah adalah sebagai berikut : ﺣ ﻢِﻠﺴﻣ ﺎﻨﹶﺛﺪ ٍﺝﺎﺠﺣ ﻦﺑ ﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪ ﻦﺑ ﻰﻴﺤﻳ ﻰﻴﺤﻳ ﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪ ٍﺪﻤﺤﻣ ﻦﻋ ﹶﺔﻳِﻭﺎﻌﻣ ﻮﺑﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ،ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ ﻭﺮﻤﻋ ِﻦﺑ : ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ُﷲﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﷲﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﻥﺎﻀﻣﺮِﻟ ﹶﻥﺎﺒﻌﺷ ﹶﻝﺎﹶﻠِﻫ ﺍﻮﺼﺣﹶﺃ 20 Artinya: Telah bercerita kepada kami Muslim ibn Hajj â j ia berkata telah bercerita kepada kami Yahyâ ibn Yahyâ ia mengatakan telah bercerita kepada kami Abû Mu‘ â wiyah dari Muhammad ibn ‘Amr dari Abû Salamah dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda sempurnakan bulan Sya‘ban menjadi 30 hari, dengan begitu awal bulan Ramadhan dapat ditentukan 3. Karya-karya Imam Muslim Perjalanan imam Muslim dengan menempuh jarak yang sangat panjang dari satu negeri ke negeri yang lain dengan menggunakan kendaraan seadanya pada waktu itu, entah itu menggunakan kuda, onta atau lainnya, tentunya dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Walaupun demikian perjalanannya bukanlah merupakan suatu hal yang sia-sia dimata imam Muslim, 19 al-Dzahabî, Siyar A`lâm al-Nubala, juz 8, h. 300 20 Muhammad ibn Isâ Abû Isâ al-Tirmizi, al-Jâmi` al-Sahîh al-Tirmizi, editor, Ahmad Muhammad Syâkir dkk, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-`Arabi, tth juz, 3, h. 71 karena dari hasil perjalanannya, ia dapat menulis di lembaran-lembaran sejarah tentang dirinnya sendiri dengan menciptakan sebuah karya yang berjuta-juta orang membacanya yakni al-Musnad atau al-musnad al-Sahîh atau pun yang lebih dikenal dengan sahih Muslim. Menurut Subhi al-Sâlih, imam Muslim sangat bangga akan kitab Sahîh- nya, mengingat jerih-payah yang ia curahkan ketika mengumpulkannya. Hal tersebut sangatlah wajar dan dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk imam Muslim. Di salah satu kesempatan ia perberkata seandainya para ahli hadis mereka menulis hadis selama 200 tahun, maka poros mereka adalah Musnad ini 21 Kitab Sahîh Muslim adalah salah satu kitab hadis tersahih setelah bukhari. Di dalamnya terdapat 3033 hadis, jumlah tersebut adalah hasil seleksi selama kurang lebih 15 tahun 22 , dari tiga ratus ribu hadis yang ia kumpulkan dengan cara mendengar langsung. Keunggulan Sahîh Muslim dari beberapa sisi jika dibandingkan dengan kitab-kitab hadis yang lain membuat banyak para ulama melirik terhadap kitab tersebut untuk mereka syarahi. Sebuah kitab hadis yang belum ada yang dapat menyainginya dari sisi kesistematisan penetapan hadis-hadis, hingga tidak terjadi pengulangan di sana sini dan dari sisi memudahkan para pembaca hadis dalam melihat jalur periwayatan sebuah hadis dengan cara merangkum jalur-jalur sanad yang banyak menjadi satu. Dan akan penulis bicarakan lebih jauh tetang kitab tersebut pada bab selanjutnya insya Allah. 21 al-Dzahabî, Siyar A`lâm al-Nubala`, juz 8, h. 306 22 Muhammad `Ajaj al-Khatib, Usûl al-Hadîts, h. 283 Selain karya menomental tersebut, dia juga mengarang beberapa karya yang tak kalah pentingnya dalam kajian ilmu hadis di antaranya yaitu: Al-Musnad al- Kabîr ‘Ala al-Rijâl, Kitâb al-Jâmi‘ al-Kabîr ‘Ala al-Abwâb, Kitâb al-Asâmî` wa al-Kunyâ, Kitâb al-Musnad al-Sahîh, Kitâb al-Tamyîz, Kitâb al- ‘Ilal, Kitâb al- Wuhdân, Kitâb al-Afrâd, Kitâbal-Aqrân, dan lain-lain. 23 Secara pribadi, penulis belum melihat kitab-kitab beliau tersebut di atas selain kitab sahihnya.

C. Komentar Para Ulama Terhadap Imam Muslim