Funsi al-Tahwil dalam sahih Muslim

(1)

Oleh :

Zulkarnain

NIM : 104034001188

Jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta


(2)

i

Diajukan kepada fakultas Ushuluddin sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ushuluddin (S.ud)

Oleh :

Zulkarnain

NIM : 104034001188

Di bawah Bimbingan

Dr. Bustamin, M.Si

NIP. 19630701 199803 1 003

Jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta


(3)

ii

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 23 Juni 2011

Sidang Munaqasah

Ketua merangkap anggota sekretaris merangkap anggota

Dr. Bustamin, M.Si Dr. Lili Ummi Kalsum, MA

NIP: 19630701 199803 1 003 NIP:19711003199903 2 001 Anggota

Rifkqi Muhammad Fathi, MA Maulana, MA

NIP: 19770120 200312 1 003 NIP: 19650207 199903 1 001

Pembimbing

Dr. Bustamin, M.Si NIP: 19630701 199803 1 003


(4)

iii

pujian, "tempat" untuk mengadu dan "tempat" untuk meminta pertolongan, karena telah menganugerahkan nikmat yang tak terhingga, sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan skripsi ini. Salawat dan salam semoga tertuju kepada utusan pemegang cahaya dan pembawa rahmat yakni, Nabi Muhammad Saw. Beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Amîn

Penulis menyadari, bahwa dalam proses penulisan dan perampungan skripsi, ada berbagai pihak yang berperan dan telah banyak membantu, karenanya dengan segala hormat penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Bustamin, M.Si., selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk mengoreksi karya sederhana dari penulis pemula.

2. Seluruh dosen di Jurusan Tafsir Hadis, terima kasih karena telah mau berbagi ilmu dan ide kepada penulis, semoga semuanya tetap tersimpan di dada penulis dan bermanfaat. Amîn

3. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pak Imam Prasojo, ibu Gita, ibu Fuji dan Yayasan Nurani Dunia, yang telah menyumbangkan banyak materi, sehingga penulis dapat menjenjang pendidikan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah dan di Ma`had Dârussunnah al-`Âli li `Ulûm al-Hadîts

4. Guruku syeikh Ali Mustafa Yakub, selaku Mudîr Ma`had Dârussunnah yang telah banyak memberikan pencerahan untuk penulis dalam hal


(5)

iv

al-Taqwa Tasikmalaya dan Ibu Ajengan beserta staf pengajar yang telah menjadi pintu gerbang ilmu bagi penulis.

6. Abangku Zaki Wali yang telah memberikan kebebasan kepada penulis untuk berangkat ke tanah Jawa.

7. Teman-teman di DarSun, Taufik Masyriqan, Zaimul Ihsan, Nasruddin Ramli, Syamsul Bahri, Yazid Saghof (maaf kalau gelar kiyainya tidak penulis tulis) Arrozi Hasyim, Lia Rosmala, Faiqatul Mala, Azizah Ghafur, Husnul Huluq, Izzah Shalihah, Siti Mardhiyah, Rikza Ahmad, Kamal Fuad, Syarif Hidayatullah. Juga tak lupa Ade Purnama, enchun alias

Asmi, Asep Komar, serta temanku yang terjauh yang suka ngomel-ngomel

Nanik Susiani dan teman-temanku yang lain, mohon maaf karena tidak disebutkan namanya satu-persatu.


(6)

v

dengan bertanya langsung kepada orang yang menerimanya. Tujuannya adalah agar kevalidan data benar-benar akurat dan dapat dijadikan referensi dalam permasalahan agama. Penelusuran serta pencarian jalur periwayatan pun berlanjut, walau mereka harus keluar dari kampung halaman, lalu berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat yang lain, yang di sana terdapat orang atau kelompok yang mereka bisa mendengar dan menyaksikan langsung hadis-hadis dibacakan dan dicatat.

Pencatatan tentu dilakukan oleh mereka dalam bentuk tulisan dan kekuatan hafalan, agar ratusan periwayat yang telah ikut andil dalam penyebaran hadis tidak bercampur dalam rantai periwayatan. Dalam pengumpulan rantai periwayatan hadis, tidak jarang dari mereka mendapati adanya titik temu dari siapa suatu hadis yang sudah tersebar itu bermuara, sebelum sampai kapada Nabi sebagai pemilik hadis. Di antara mereka yang paling jeli dalam melihat titik temu itu adalah imam Muslim. Ia kemudian berinisiatif untuk menggabungkannya. Hal ini terlihat jelas dari karyanya al-Musnad al-Sahîh atau Sahih Muslim. Di dalamnya banyak hadis-hadis yang dirangkum jalur periwayatannya agar tidak terjadi pengulangan penyebutan matan hadis, seperti dilakukan sering oleh amîr al-mukminîn fi al-hadîts yang lain.

Demi menjaga agar tidak terjadi “percampuran” periwayatan hadis, maka imam muslim menggunakan simbol “h” yang telah populer dikalangan ahli hadis, sebagai pengganti dari kata al-tahwîl, sekaligus sebuah bukti bahwa di dalam jalur periwayatan tersebut terdapat perpindahan dari periwayatan satu ke periwayatan yang lain atau dari sanad satu ke sanad yang lain. Berangkat dari al-tahwîl inilah, rasa keingintahuan penulis muncul, bukan yang erat kaitannya dengan arti letiral dan devinitif baku kata al-tahwîl, melainkan fungsi apa yang berada di baliknya, sehingga lahirlah tulisan sederhana ini.


(7)

vi

ﺙ Ts Te dan es

ﺝ J Je

ﺡ H H dengan garis dibawah

ﺥ Kh Ka dan ha

ﺩ D De

ﺫ Dz Ka dan ha

ﺭ R Er

ﺯ Z Zet

ﺱ S Es

ﺵ Sy Es dan ye

ﺹ S Es dengan garis di bawah

ﺽ D De dengan garis di bawah

ﻁ T Te dengan garis di bawah

ﻅ Z Zet dengan garis di bawah

ﻉ ‘ Koma terbalik di atas hadapan kanan

ﻍ Gh Ge dan ha

ﻑ F Ef

ﻕ Q Ki

ﻙ K Ka

ل L El

ﻡ M Em

ﻥ N En

ﻭ W We

ﻩ H Ha

ﺀ ` Apostrof

ﻱ Y Ye

B. Huruf Vokal

1. vokal tunggal

Tanda vocal Arab Tanda vocal latin Keterangan

ـَـ A Fathah

ـِـ I Kasrah

ـُـ U Dammah

2. Vokal Rangkap

Tanda vocal arab Tanda vocal latin Keterangan

ﻱ ـَـ Ai A dan i

ﻭ ـَـ Au Ada dan u

3. Vokal Panjang

Tanda vocal arab Tanda vocal latin Keterangan

ﺎـَـ Â A dengan topi di atas

ﻲِـ Î I dengan topi di atas


(8)

vii

KATA PENGANTAR………...…..iii

ABSTRAK……….v

PEDOMAN TRANSLITERASI……….vi

DAFTAR ISI ..………...vii

BAB I PENDAHULUAN... ...1

A. Latar Belakang Masalah... ...1

B. Batasan Masalah dan Rumusan ... ...4

C. Tinjauan Pustaka... ...5

D. Tujuan Penelitian... ...6

E. Metode Penelitian ………...6

F. Sistematika Penulisan ... ...7

BAB II IMAM MUSLIM DAN SAHIHNYA………10

A. Biografi imam Muslim………...10

B. Riwayat Pendidikan Imam Muslim...13

C. komentar para Ulama Terhadap Imam Muslim...20

BAB III MENGENAL KITAB SAHIH MUSLIM...23

A. Metodologi Penyusunan Hadis………...23

B. Pandangan para ulama Mengenai Hadis-Hadis yang Terdapat dalam Kitab Sahih Muslim...38

BAB IV METODE PENYUSUNAN SANAD DALAM SAHIH MUSLIM..44

A. at-Tahwîl dan fungsinya...44

B. Variasi Jumlah At-tahwîl dalam SahîhMuslim……….49

C. Mutâbi‘dan fungsinya...53

D. Perbedaan dan kesamaan antara At-tahwîl dan Mutâbi‘……...56

BAB V PENUTUP...64


(9)

viii B. Lampiran 2

C. Lampiran 3 D. Lampiran 4 E. Lampiran 5 F. Lampiran 6 G. Lampiran 7 H. Lampiran 8 I. Lampiran 9


(10)

1

Kata hadis1 dalam perkembangan maknanya lebih cenderung kepada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw apapun itu, baik berupa ucapan, perbuatan dan lain-lain2 yang di mata umat Islam mendapat porsi istimewa dalam daftar urutan referensi utama sumber kedua hukum Islam setelah al-Qur`an. Dan secara umum hadis tersusun atas dua unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yaitu sanad3 dan matan.4

Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa hadis-hadis yang sampai kepada kita tidak semata-mata datang dengan sendirinya atau dengan kata lain, adanya hadis hanya berdasarkan ucapan orang-orang sekarang, bahwa nabi telah melakukan ini dan itu. Akan tetapi, hadis yang dibaca oleh umat Islam sekarang ini telah melewati proses panjang dari waktu ke waktu dengan melalui beberapa generasi

1 Hadis juga dapat bermakna; yang baru, ucapan atau perkataan, khabar,cerita dan wawancara atau interview. (Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus kontemporer

Arab-Indonesia, (Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta,) cet 8, h. 747)

2 Muhammad `Ajâj al-Khatib, Usûl al-Hadîts, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), cet 3, h. 2

3 Sanad secara bahasa dapat berarti penopang , penyangga, wewenang dan sumber yang dapat diandalkan (Atabik Ali Ahmad Zhuhdi Muhdlar Kamus kontemporer Arab-Indonesia, , h. 1093), sedangkan secara istilah adalah al-ikhbâr `an torîqil matan, artinya: berita-berita yang berasal dari matan (al-Suyûtî Tadrîb al-Râwi editor; abd al-wahab Abd al-latif, (Qâhirah: maktabah dâr al-turats,2005 ) cet. 5 h.36. Mengenai pengertian sanad, penjelasan yang sangat baik menurut penulis, adalah sebagaimana apa yang dikatakan oleh syeikh utsamin yaitu al-rijâlu

alladzîna ja` al matn min torîqihim, artinya: orang-orang yang mendatangkan (ja`) matan melalui

jalur mereka. lihat Muhammad Salih al-Utsaimin, syarh nuzhatun nazar fi taudihi nukhbatil fikr, (Qâhirah, maktabah sunnah, 2002), cet 1, h. 39

4 Adapun matan secara bahasa artinya teks atau yang tertulis lihat Kamus kontemporer

Arab-Indonesia, Atabik Ali Ahmad Zhuhdi Muhdlar, h. 1617. Sedangkan menurut istilah yaitu;

huwa ma yantahî ilahi ghâyatu al-sanad minal kalam artinya: ucapan yang disandarkan kepada orang kepada sanad yang terakhir, oleh lihat al-Suyûtî tadrîb al-rawi. H 36. Atau sebagaimana yang dikatakakan oleh al-`Utsimin " al-fazul hadîts allatî tataqawwamu bihâ al-ma‘ânî", artinya: lafaz-lafaz hadis yang dengannya menjadi kuatlah makna-makna, lihat Muhammad Salih al-`Utsaimin, syarh nuzhatun nazar fi taudihi nukhbatil fikr, h. 36


(11)

terdahulu dengan cara disampaikan dari seorang guru kepada murid-muridnya atau sebaliknya5, lalu oleh mereka juga disampaikan kepada kemurid-muridnya lagi, kemudian murid selanjutnya dan seterusnya. Rantai perjalanan hadis ini dikenal dengan sebutan jalur periwayatan atau yang lebih dikenal dengan istilah sanad.

Dalam Islam sistem sanad sangatlah dibutuhkan, karena dengannya dapat diketahui bahwa hadis yang disampaikan orang adalah berasal dari Nabi saw benar-benar terbukti, sehingga nilai-nilai ajaran agama Islam dapat terjaga kemurniannya.

Pentingnya sanad dalam menjaga kemurnian ajaran agama Islam, sejak awal pernah disinggung oleh Ibn Mubarak. Ia mengatakan. “Isnad bagian dari agama tanpa Isnad maka orang akan mengatakan apa yang dia kehendaki”6

Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya “embrio” untuk meneliti kebenaran sebuah informasi dari si pembawa berita dalam hal ini adalah seorang periwayat sudah ada semenjak pada masa Nabi7, begitu juga pernah terjadi pada masa Abu Bakar r.a8 dan puncaknya terjadi setelah adanya fitnah atau peristiwa

5 Yang penulis maksudkan adalah, bahwa seorang guru terkadang menerima hadis bukan dari gurunya lagi sebagaimana lumrahnya, melainkan sebaliknya dari muridnya sendiri. Ibn al-Salâh Dalam kitabnya Muqaddimah Ibn al-Salâh fî'ulûm al-hadîts menulis sebuah judul ma`rifatu

akâbir al-rruwah min al-asâghir. Pada bab itu ia mencontohkan; Ibnu al-qâsim `Ubaidillah ibnu

Ahmad Azhary dalam beberapa riwayatnya menerima hadis dari muridnya yaitu Khatîb al-Baghdady. lihat Ibn al-Salâh, Muqaddimah Ibn al-Salâh fî'ulûm al-hadîts ( Bairut: Dâr kutub al-`lmiyyah, 2006), cet 2, h. 312

6 Redaksi selangkapnya sebagai berikut,

(

ﺀﺎﺷ ﺎﻣ َﺀﺎﺷ ﻦﻣ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻟ ﺩﺎﻨﺳِﻹﺍ

َ

ﹶﻻ

ﻮﹶﻟ ،ِﻦﻳِﺪﻟﺍ ﻦِﻣ ﺩﺎﻨﺳِﻹﺍ

:

ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﻧﹶﺃ ِﻙﺭﺎﺒﹸﳌﺍ ِﻦﺑ ِﷲﺍ ِﺪﺒﻋ ﻦ

ﻋ

)

lihat Ibn al-Salâh, Muqaddimah Ibn al-Salâh fî'ulûm al-hadîts, h. 271

7 kritik akan kebenaran sebuah berita dengan menanyakan langsung kepada sumber berita pernah dilakukan oleh Umar r.a ketika ia mendengar kabar tentang Rasulullah yang telah menceraikan istri-istri beliau dari tetangganya sendiri, Umayyah ibn Zaid. Lihat Muslim, sahîh Muslim, (Darul Fikr, 2002), cet 1, h. 692


(12)

terbunuhnya Usman r.a, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibn Sirin “pada mulanya kaum muslimin tidak menanyakan sanad namun setelah terjadinya fitnah, apabila mendengar hadis mereka selalu menanyakan dari siapa hadis itu diperoleh. Apabila diperoleh dari ahl al-sunnah hadis itu diterima sebagai dalil dalam agama, dan apabila diperoleh dari orang-orang penyebar bid`ah, hadis itu ditolak”9

Sangat urgent-nya sistem sanad dalam menyebarkan hadis, “mengharuskan” para Amîr al-Mukminîn fi al-Hadîts10, seperti; Imam Malik, Ahmad ibn Hanbal, Bukhari, Muslim, Sâhib al-Sunan dan lain-lain, ketika meriwayatkan sebuah hadis mereka menyebutkan jalur-jalur sanadnya, hal ini dengan jelas dapat dilihat dari karya-karya mereka.

Adanya sebuah sanad memberikan indikasi, bahwa apa yang diberitakan tentang semua tindak-tanduk Nabi saw adalah benar adanya. Akan tetapi, sanad-sanad yang bersambung sampai kepada Nabi saw masing-masing memiliki tingkat kualitas yang berbeda-beda, dari tingkat yang paling sahîh11 yang dalam 'ulûm

9Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis,. H. 2, mengutip dari buku, karya Nur al-Din Itr.

Manhaj al-Naqd fi ulum al-Hadîts, (Damascus: Darul Fikr 1981), h. 55 dan Mustafâ Mu’min.,

Qasamat al-‘Alam al-Islami al-Muashir, (Darul Fath, 1974), h. 12-13

10 Julukan ini diberikan kepada orang yang menjadi tokoh pada masanya dalam bidang hafalan dan dirayah hadis, sehingga menjadi tokoh dan imam pada masanya. Lihat: Muhammad 'Ajâj al-Khatib, Usul al-Hadîts, h. 411

11Hadis sahih sebagaimana yang dikatakan oleh al-Baiqûnî adalah:

)

ﹾﻞﺼﺗﺍ ﺎﻣ ﻮﻫﻭ ﺢﻴِﺤﺼﻟﺍ ﺎﻬُـﻟﻭﹶﺃ

...

ﹾﻞﻌﻳ ﻭﹶﺃ ﹾﺬﺸﻳ ﻢﹶﻟﻭ ﻩﺩﺎﻨﺳِﺇ

(

)

ِﻪـِﻠﹾﺜِﻣ ﻦﻋ ﹲﻂِﺑﺎﺿ ﹲﻝﺪﻋ ِﻪﻳِﻭﺮﻳ

...

ِﻪِﻠﹾﻘﻧﻭ ِﻪِﻄﺒﺿ ﻲِﻓ ﺪﻤﺘﻌﻣ

(

Artinya:

Urutan hadis yang pertama yaitu hadis sahih, yang dimaksud dengan hadis sahih adalah, hadis yang bersambung sanadnya, yang tidak ada syaz ataupun 'illat, serta semua sanadnya bersifat `âdil dan dâbit (terjaga hafalannya,). Lihat 'Umar ibn Mahammad ibn Fatûh al-Baiqûnî, manzumah al-Baiqûnî, (markaz al-khidmât wa al-Abhâts al-tsaqâfiyyah, 1987) h. 1


(13)

hadîts dikenal dengan sebutan silsilah al-dzahab12 sampai ke tingkat yang paling lemah (daîf) yaitu maudû' atau hadis palsu13, sehingga dengan demikian, setiap hadis yang memiliki jalur sanad belum tentu benar-benar berasal dari Nabi saw.

Ketika meriwayatkan dan menampilkan jalur sanad dari sebuah hadis, secara umum tidak ada perbedaan signifikan di antara para mukharrij14, khususnya yang kitab mereka dikategorikan kedalam kelompok kutub al-sittah15. Akan tetapi, imam Muslim dengan kitab Sahîh-nya menunjukkan ciri khas tersendiri dalam menampilkan jalur periwayatan dari hadis-hadis yang beliau terima. Di sana akan banyak dijumpai percabangan jalur sanad dari hadis-hadis yang diriwayatkannya, sedangkan di kitab Sahîh al-Bukhâry maupun Kutub al-Sunan lainnya sangat jarang dijumpai.

Percabangan jalur sanad tersebut lebih dikenal dalam ilmu hadis dengan istilah al-tahwîl. dan insya Allah pembahasan mengenai al-tahwîl inilah yang akan penulis jadikan sebagai tema utama dalam penyusunan skripsi ini

12 Artinya rantai emas maksudnya adalah, bahwa sebuah sanad yang memiliki jalur sanad yang tersahih atau terkuat. Lihat, Ahmad ‘Umar Hasyim, qawâid usûl al-hadîts, (Beirut: Ilmu al-Kutub, 1997), cet 2, h. 38

13 Yang dimaksud dengan hadis maudhu` adalah

ﻭﹾﻟﺍ

ﹶﻜ

ِﺬ

ﺏ

ﹸﳌﺍ

ﺨ

ﺘﱠﻠ

ﻖ

ﹶﳌﺍ

ﺼ

ﻨﻮ

ﻉ

ﹶﻟﺍ

ﻨﻤ

ﺼ

ﻮ

ﺏ

ِﺇ ﹶﻟ

ﺭ ﻰ

ﺳ

ﻮ

ِﻝ

ِﷲﺍ

ﺻ

ﱠﻠ

ُﷲﺍ ﻰ

ﻋ

ﹶﻠﻴِﻪ

ﻭ

ﺳ

ﱠﻠﻢ

Artinya:

Yaitu, sebuah hadis palsu yang dibuat-buat (oleh seseorang, lalu kemudian) disandarkan kepada Rasul saw. Lihat Mahmûd Tahhân, Taisîr Mustalah al-Hadîts (Beirut: Dâr al-fikr, tth) h. 75

14 Maksudnya: orang yang mengeluarkan (meriwayatkan) Hadits-hadits. A.Qadir Hassan,

Ilmu Mushthalah Hadits (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2002), cet, VII, h. 430

15 Secara etimologi kutub al-sittah artinya enam kitab, dalam ulum hadis istilah kutub

al-sittah selalu dialamatkan kepada enam imam dengan karya-karya mereka yaitu imam al-Bukhari

dengan Sahîh al-Bukhâry, imam Muslim dengan Sahîh Muslim, Abû Dâud dengan sunan Abî Dâud, Abû 'Isâ al-Tirmidzî dengan Sunan al-Tirmidzi, imam al-Nasâ’i dengan Sunan Al-Nasâ’i dan imam Ibn Mâjah dengan sunan Ibn Mâjah. pada awalnya hanya ada 5 kitab hadis (kutub al-Khamsah) yang menjadi rujukkan utama oleh para ulama selain sunan Ibn Majah, kemudian datang Abû Fadal ibn Tâhir dan memasukkan Sunan Ibnu Majah kedalam referensi utama hadis, sehingga berjumlah menjadi enam. lihat: Muhammad 'Ali Baidun,, Syurût al-A`immah al-sittah, (dar al-kutub al-'ilmiyah, 2000), cet 1, h. 13


(14)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari beberapa literatur buku ‘ulûm al-hadîts yang penulis ketahui, di sana ketika mambahas tema yang bernama sanad, sangat jarang dijumpai pengarang menyinggung masalah al-tahwîl. Apabila dibahas atau disinggung juga, itu hanya sebatas pengertiannya saja atau rumus yang digunakan sebagai tanda adanya percabangan dan siapa yang pertama kali menggunakan kata al-tahwîl. Serta

perbedaan para ulama dalam penggunaan rumus " h (

)16 apakah rumus tersebut adalah sebagai simbol dari kata al-tahwîl ataukah dari kata al-hadîts (

ﺚﻳﺪﳊﺍ

).17 Dan mereka manaruh pembahasan tersebut pada bab tertentu dengan bertemakan

al- rumz atau simbol-simbol dalam hadis.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis akan membatasi permasalahan hanya pada fungsi al-tahwîl yang terdapat pada sanad sebuah hadis. Sebagaimana diketahui bahwa hadis-hadis al-tahwîl bukan hanya terdapat dalam satu kitab ata dua kitab hadis saja melainkan tersebar di banyak kitab, oleh karenanya agar lebih terfokus pada pembahasan fungsi al-tahwîl ini, maka perlu kiranya penulis membarikan perumusan masalah yaitu, bagaimana fungsi al-Tahwîl dalam Sahîh Muslim?

C. Tinjauan Pustaka

Sekedar untuk menguatkan judul skripsi yang penulis angkat, penulis berusaha mencari data-data dari skripsi yang pernah ditulis oleh para mahasiswa

16 Ibn Katsîr, al-Bâ‘its al-Hatsîts syarh Ikhtisar Ulûm al-Hadîts, Editor: Ahmad Muhammad Syâkir, (Beirut: Darul Fikr, 2005), cet 1, h. 98


(15)

Ushuluddin khususnya jurusan tafsir hadis dalam kolektif judul skripsi pada Perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat dan juga Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah atau pun tesis dan disertasi dengan membaca katalog daftar sikripsi sampai melacaknya melalaui data komputer yang ada di tiap-tiap perpustakaan, tetap penulis belum menemukan judul skripsi, tesis dan disertasi yang mengangkat tema serupa seperti yang diajukan oleh penulis. Terkecuali pembahasan al-tahwîl yang pernah ditulis oleh ulama-ulama terdahulu seperti Ibn al-Salâh Al-Nawawî dan al-Syakhawî yang penulis temukan dalam kitab-kitab mereka. Dengan demikian judul dan tema yang penulis angkat adalah judul dan tema baru yang belum ditulis oleh mahasiswa jurusan tafsir hadis sebelumnya yang berkaitan dengan fungsi al-tahwîl.

D. Tujuan Penilitian

Guna melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program S1 Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah dalam meraih gelar S.Ud (Sarjana Ushuluddin).

Untuk mengetahui fungsi dari percabangan atau al-tahwîl dari sebuah sanad yang tentunya dapat mempengaruhi kwalitas hadis melalui sanad tersebut, bukan hanya hadis-hadis yang terdapat dalam Sahîh Muslim, tetapi juga pada kitab-kitab hadis yang lain.


(16)

Karena pembahasan al-tahwîl sangat jarang dalam kitab-kitab 'ulûm al-hadîts, maka penulis ingin mengangkatnya yang mudah-mudahan dapat menjadi subangsih tersendiri terutama bagi penulis dan orang lain yang membacanya.

E. Metode Penilitian

Dalam proses penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis melakukannya dengan metode sebagai berikut:

1. pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan langkah awal yang penulis lakukan, yaitu dengan menggunakan metode kajian kepustakaan (Library Research). Untuk mendapatkan data yang valid sesuai dengan tuntutan akademis, maka penulis menyandarkan dalam penulisan skripsi ini pada referensi-referensi primer diantaranya yaitu: kitab sahih Muslim sendiri, karena ia merupakan objek kajian penulis. secara keseluruhan skripsi yang penulis angkat berbicara mengenai salah satu cabang dari ‘ulûm al-hadîts dengan demikian, untuk membahasnya juga, tentunya penulis menggunakan referensi primer ‘ulûm al-hadîts, dalam hal ini buku-buku yang penulis gunakan adalah, seperti: Muqaddimah Ibnu al-Salah,

Tadrîb al-Râwi dan lain-lain. Untuk mendapatkan informsi yang lebih akurat, penulis juga tidak melupakan referensi sekunder sebagai tambahan data, seperti:

Qawa‘id Usul Hadîts, Ilmu Mushthalah Hadits dan lain-lain

2. Setelah pengumpulan data dari referensi primer dan sekunder, maka penulis akan meneliti dan menganalisis data-data tersebut, kemudian mengambil kesimpulannya. proses yang penulis ambil lebih dikenal dengan istilah metode deskriptif analisis.


(17)

3. Agar tidak terjadi penjilplakan judul oleh penulis, maka penulis mencoba mencari-cari skripsi, tesis atau disertasi yang sekiranya memiliki objek penelitian yang sama sesui dengan judul skripsi yang penulis angkat di Perpustakaan Ushuluddin dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah. Setelah dicari, ternyata belum ada yang menulis tema yang sama, sesuai dengan judul skripsi penulis yang penulis angkat.

4. Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan Skripsi, Tesis, Desertasi yang diterbitkan oleh UIN Jakarta press cetakan pada tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Adapun untuk menjaga sistematika penulisan, sehingga terfokus pada kajian yang dimaksud dan selanjutnya dapat memberikan gambaran dari pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan membaginya kedalam lima bab, yaitu:

Bab pertama, berupa pendahuluan. Pada bab ini, penulis mencoba menguraikan latar belakang masalah yang merupakan alasan penulis memilih judul skripsi ini, kemudian batasan dan rumusan masalah, lalu tinjauan pustaka yang di dalamnya penulis mencoba mencari karya-karya berupa skripsi, tesis dan disertasi yang di dalamnya membahas tentang al-tahwîl, tujuan penelitian, kemudian metodologi penelitian serta sistematika penulisan.

Karena fokus pembahasan penulis berhubungan dengan imam Muslim sebagai seorang penulis, maka pada bab kedua ini, penulis membicarakan biografi imam muslim yang berisikan di mana ia dilahirkan serta pada tahun berapa ia


(18)

dilahirkan. Selain itu juga penulis membicarakan pada dinasti siapa hidup dan di mana ia dimakamkan. Pada bab ini juga, penulis mencoba melacak kapan imam Muslim menerima hadis pertama, siapa guru-gurunya yang pernah ia terima hadis dari mereka, serta murid-muridnya dan juga karya-karya.

Pada bab ketiga, penulis mencoba memperkenalkan lebih jauh tentang kitab sahih muslim yang di dalamnya membahas metode penyusunan hadis-hadisnya, agar dapat diketahui dalam kelompok mana klasifikasi kitab tersebut, selain itu juga penulis mengutip pandangan para ulama berkaitan dengan hadis-hadis serta bagaimana komentar para ulama terhadap hadis-hadis-hadis-hadis tersebut dan klasifikasi sanad yang dipaparkan olehnya dalam mukadimahnya.

Selanjutnya bab keempat, di dalamnya penulis membahas mengenai pengertian al-tahwîl dari sisi bahasa dan istilah, beserta contoh dan fungsi-fungsinya. Sebagai bahan perbandingan, penulis juga membahas tentang mutâbi’

beserta contoh dan fungsinya.


(19)

10

Setidaknya ada tiga point dasar pada judul skripsi yang penulis angkat, yang menjadi objek kajian penulis. Pertama, imam Muslim sebagai seorang tokoh pakar hadis sekaligus pengarang kitab Sahih Muslim. kedua, kitab SahîhMuslim -nya sendiri dan ketiga adalah Al-tahwîl. Oleh karena imam Muslim adalah seorang tokoh, ada baiknya penulis memaparkan lebih dulu biografinya, sebelum mengupas salah satu karya terbesarnya.

Sebagaimana yang telah banyak dibicarakan orang, bahwa cara untuk mengetahui kekredibilitasan1 seseorang dalam bidang tertentu, yaitu diantaranya dengan mengetahui sosiokultur di mana tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, kemudian mengetahui latar belakang pendidikan orang tersebut. Hal itu perlu diketahui, karena dari pendidikanlah, pola pemikiran seseorang mulai terbangun. Dan dikarenakan yang dibahas pada kesempatan ini adalah hadis, maka selain dari pendidikan untuk mengetahuinya juga, dapat dilihat dari bagaimana penilaian orang-orang terkemuka pada masa itu terhadapnya, tentunya yang sebidang dengan tokoh tersebut. Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah dengan melakukan penelitian Terhadap pemikiran-pemikiran orang tersebut, yang

1 Ada lima syarat yang harus dimiliki sebuah hadis, dan itu juga sudah menjadi sebuah ketentuan baku yang dibuat oleh para ulama untuk menentukan kualitas hadis tersebut, yaitu: bersambungnya sanad, `adil,dôbit, tidak memiliki syaz dan tidak memiliki `illat. `Abd al-Majîd Mahmûd Matlûb, Mabâhîts fî 'Ulûm al-Qur`ân wa al-Hadîts, (Qâhirah: Muassasah al-Mukhtâr: 2004), cet 1. h. 283

Dari kelima syarat di atas yang berkaitan khusus dengan sanad hanya ada tiga, yaitu: bersambungannya sanad, 'âdil dan dôbit. Seseorang dapat disebut kredibel jika dia memiliki dua kriteria utama yaitu 'âdil dan dâbit.


(20)

tersebar didalam karya-karyanya. Singkat kata, "pohon" sejarah orang tersebut harus diketahui secara utuh dan menyeluruh.

Apa yang penulis katakan di atas, tentu sangat berlaku juga terdahap imam Muslim yang memiliki nama lengkap, Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî al-Naisabûrî. Dia adalah seorang pakar hadis yang diakui oleh para ulama pada masanya, bahkan mayoritas umat Islam pada abad ke 3 H dan sampai sekarang pun masih tetap diakui. Ia lahir pada tahun 204 H atau pada tahun 206 H menurut persi yang lain. Di salah satu kabilah di Arab yang lebih dikenal dengan Naisabur.2

Naisabur adalah sebuah kota diantara beberapa kota terpenting yang ada di Iran3. Orang-orang di luar kota tersebut menyebutnya Nasyâwûr4. al-Hamawî pernah berkata "Naisabur adalah kota yang sangat besar, tanahnya memiliki potensi mengandung hasil bumi yang sangat berharga dan ia adalah kota dimana banyak dilahirkan para ulama yang belum pernah pernah saya melihatnya sebelum saya berkeliling kota Madinah yang serupa dengannya ."5

Di awal abad ketiga Hijriyah, Naisabur merupakan salah satu daerah yang masih di bawah kekuasaan bani Abbasiyah, yang pada tahun kelahiran imam Muslim masih dipimpin oleh khalifah al-Ma`mun (198-218 H)6. Ia adalah salah

2 Muslim ibn al-hajjâj, Sahîh Muslim, Editor: Muhammad Fuad Abd al-Bâqi, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts t.t.h), juz 1 h.أ

3 Syauqi, Atlas Hadits, (Jakarta: al-Muhira, t.t.h) h. 156

4 Abû ‘Abdullâh Yâqût ibn ‘Abdillah al-Hamawî al-Rûmî al-Baghdâdî, Mu‘jam

al-Buldân, (Beirut: Dâr Sâdir, tth) jld 5, h 331

5 Abû ‘Abdullâh Yâqût ibn ‘Abdillah al-Hamawî al-Rûmî al-Baghdâdî, Mu‘jam

al-Buldân, h. 331

6 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam3, (Jakarta: al-Husna Zikra, 2000), cet 3, h. 129


(21)

seorang putra Hârûn al-Rasyîd yang pernah membawa kekhalifahan Abbasiah berada pada masa keemasan.

Apabila sejarah kekuasaan dinasti Abbasiyah digambarkan seperti bentuk pyramid, maka al-Ma`mun-lah adalah orang yang berada pada puncak pyramid tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Hitti dalam bukunya History af The Arabs "diktum yang dikutip oleh seorang penulis antologi, al-Tsa`labî, (w1038 M) bahwa dari para khalifah Abbasiyah "sang pembuka" adalah al-Manshur "sang penengah" adalah al-Ma`mûn dan "sang penutup" adalah al-Mu`tadid memang mendekati kebenaran".7

Al-Ma`mun dalam sejarah dicatat, sebagai seorang khalifah yang suka akan intelektual dan ilmu, ini merupakan sebuah karakter yang berbanding terbalik dengan saudaranya al-Amin yang suka akan hiburan. Oleh kerena kecintaanya kepada ilmu ia lalu membangun sebuah gedung yang dinamakan Bait al-Hikmah, disana ia mengumpulkan buku-buku yang ditulis oleh penulis luar kemudian memerintahkan untuk diterjemahkan. Dari sini ilmu pengetahuan berkembang pesat dan melahirkan al-Kindi sebagai tokoh filosof muslim.8

Sebelum melihat akan kemunduran kekuasaan bani Abbasiyah pada 20 tahun kemudian yang ditandai dengan naiknya al-Mu`tadid sebagai khalifah, imam Muslim lebih dulu wafat, pada bulan Rajab tahun 261 hijriyyah di usianya yang ke 57 tahun dan dimakamkan di kota kelahirannya9

7 Philip K.Hitti, History af The Arabs. Penerjemah : R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2006) cet 1. h. 369-370

8 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam3 , h. 137


(22)

B. Riwayat Pendidikan Imam Muslim

Dari beberapa buku târikh yang penulis sempat buka, seperti kitab Siyar A‘lam al-Nubalâ , Tahzîb al-Kamâl, Tahzîb al-Tahzîb dan lain-lain, penulis belum menemukan pada usia berapa imam Muslim mulai mengenal dunia pendidikan di masa kanak-kanaknya. penulis hanya menemukan dari catatan imam Al-Dzahabî yang menurutnya, imam Muslim pada tahun 218 H (pada usia 14 tahun) beliau sudah menerima (simâ)10 hadis dan guru pertama yang ia terima hadis darinya adalah Yahyâ ibn Yahyâ al-Tamîmî11.

Masih adanya ketidakjelasan mengenai kapan imam Muslim mulai mendapatkan pendidikan, tidak menunjukkan bahwa ia tidak menerima pendidikan di usia dini sama sekali, sebagaimana ulama-ulama terdahulu, sebelum atau yang semasa dengannya. Sedangkan apa yang dikatakan oleh al-Dzahabî di atas, menurut asumsi penulis adalah bahwa, bisa jadi pada usia itu ia baru

10Al-Samâ‘ yang berarti mendengar, dalam istilah hadis dikenal sebagai kegiatan seorang guru yang membaca hadis baik dari hafalan atau kitabnya sedangkan hadirin mendengarnya baik majelis itu imla' atau untuk yang lain. Lihat . Muhammad `Ajâj al-Khatib, Usûl al-Hadîts, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), cet 3, h. 204

Berkaitan dengan usia ideal untuk mempelajari hadis, M.M Azami di dalam bukunya

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, mencoba menjelaskannya secara gamblang dengan

mengutip perkataan ulama terdahulu yang ia catat dari berbagai sumber. Seperti perkataan al-Tsauriy “Umumnya orang-orang beribadah dahulu dua puluh tahun, kemudian baru belajar dan menulis hadis”. Ia juga mengutip perkataan al-Zubairi “Saya lebih senang apabila umur sebelum dua puluh tahun itu dipakai untuk menghafal al-Qur`an dan ilmu-ilmu wajib yang lain”. Selain perkataan kedua tokoh dia atas, Azami juga mencatat ucapan al-Zuhri ketika berbicara dengan Ibnu ‘Uyaiynah yang pada waktu itu berusia lima belas tahun-,”Saya tidak pernah melihat anak yang belajar hadis yang lebih muda dari pada kamu”. Sebelum memberikan komentar, Azami menyisipkan dalam catatannya perkataan Musa ibn Harun, menurutnya, orang-orang Basrah belajar dan menulis hadis ketika berumur sepuluh tahun, orang-orang Kufah belajar dan menulis hadis ketika berumur dua puluh tahun, sedangkan orang-orang Syam belajar dan menulis hadis ketika berumur tiga puluh tahun.

Melihat ucapan-ucapan ulama di atas, Azami memberikan komentar “Tampaknya ketentuan di atas tidak merupakan patokan umum, hanya saja kecenderungan yang lazim pada saat itu adalah murid mulai belajar hadis pada umur dua puluh tahun”. Lihat Muhammad Mustafâ Azami, Hadis Nabawi dan SejarahKodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), cet 4, h. 505-506


(23)

mendapat kesempatan untuk men-sima' hadis secara langsung yang dapat beliau riwayatkan atau sampaikan juga kepada orang lain.12

Apa yang penulis katakan di atas, mengenai pendidikan imam Muslim dapat dibuktikan dengan sejarah Abbasiyah, dimana pada masa itu kecintaan akan ilmu sangat digalakkan oleh pemerintah, khususnya pada masa pemerintahan al-Ma`mun dari tahun 198 sampai dengan tahun 218 H, tepatnya di akhir kekuasaan pada periode pertama. Pernyataan penulis tersebut, bersandar pada apa yang dikatakan oleh A.Syalabi dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam 3, ketika ia membagi masa pemerintahan Abbasiyah menjadi tiga periode, yaitu: periode pertama (132-232H), periode kedua (232-590H) dan periode ketiga (590-656H).13 Untuk mengetahui gambaran umum pemerintahan Abbasiyah pada periode pertama, sekaligus menggambarkan bagaimana atmosfir pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa kelahiran imam Muslim, penulis akan mengutip apa yang dikatakan oleh A.Syalabi, menurutnya:

"pada periode ini kekuasaan berada di tangan para khalifah di seluruh kerajaan Islam kecuali di Andalusia. Para khalifah di zaman tersebut merupakan para pahlawan-pahlwan yang memimpin angkatan tentara dan mengarungi peperangan. Kebanyakan mereka adalah ulama-ulama yang mengluarkan fatwa dan berijtihad, cinta akan ilmu pengetahuan, merapatkan hubungan

12 Kegiatan menerima dan mendengar hadis, dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah

tahammul al-hadîts, sedangkan kegiatan meriwayatkan atau menyampaikan hadis diistilahkan

dengan kata " ada` " . Mengenai tahammul al-hadîts mayoritas para ulama cenderung memperbolehkan anak kecil untuk ikut dalam kegiatan mendengar hadis dan ada pula sebagian ulama yang tidak memperbolehkan, sedangkan mengenai ada` sendiri, ulama ahli hadis, usul dan fikih sependapat bahwa, orang yang riwayatnya dapat dijadikan hujjah, adalah apabila ia beragama Islam, bâligh bersifat `âdil dan dâbit. Lihat Muhammad `Ajaj al-Khatib, Usûl l al-Hadîts, h.200-203


(24)

dengan kaum keluarga dan menyampaikan pidato yang berapi-api."14

Sudah menjadi sebuah tradisi para ulama terdahulu, yaitu mereka tidak hanya menimba ilmu dari seorang guru saja atau beberapa orang guru yang ada di daerah, di mana tempat mereka lahir dan dibesarkan, akan tetapi mereka juga sering melakukan rihlah ilmiah ke berbagai daerah untuk menambah ilmu pengetahuan agama, khususnya yang berkaitan dengan hadis, sehingga terkadang mereka harus melewati beberapa negeri hanya untuk mendapatkan sebuah hadis yang benar-benar valid dan autentik, yaitu dengan mendengar langsung dari sang guru.15

14A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3 , h. 3 15 Dimukadimah sahihnya, imam Muslim mengatakan:

"

ﹸﻝﺎﺳﺭِﻹﺍ

ﻦِﻣ

ِﺮﻴﹶﻏ

ٍﻉﺎﻤِﺳ

ﹸﻞﺳﺮﹸﳌﺍﻭ

ﻦِﻣ

ِﺕﺎﻳﺍﻭِﺮﻟﺍ

ﻲِﻓ

ِﻞﺻﹶﺃ

ﺎﻨِﻟﻮﹶﻗ

ِﻝﻮﹶﻗﻭ

ِﻞﻫﹶﺃ

ِﻢﹾﻠِﻌﹾﻟﺍ

ِﺭﺎﺒﺧَﻷﺎِﺑ

ﺲﻴـﹶﻟ

ٍﺔﺠﺤِﺑ

"

Artinnya: ke-irsala-lan (dengan adanya data yang valid bahwa sesorang) tidak mendengar hadis secara langsung (dari gurunya) atau yang dinamakan dengan hadis mursal, menurut pendapat kami dan pendapat para pakar dalam bidang hadis adalah sesuatu yang tidak dapat dijadikan hujjah(tidak dapat dijadikan sebagai dalil). Lihat Muslim ibn al-Hajjâj, Sahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), h. 21

Dari pernyataan imam Muslim di atas dengan jelas diketahui bahwa, ia sangat berhati-hati dalam menerima dan menyeleksi hadis, ia tidak akan menerima hadis kecuali hadis tersebut benar-benar ittisal atau bersabung. tetapi sebelumnya, masih di dalam muqaddimah sahihnya, secara jelas ia tidak serta-merta menolak hadis mursal atau hadis " 'an 'anah " (hadis yang sanadnya menggunakan ” 'an " yang berindikasi akan adanya ketidakbersambungan sanad), karena menurutnya, masih ada kemungkinan hadis tersebut sanadnya bersambung, dengan alasan apabila ada dua orang yang hidup pada satu masa, maka mereka memiliki kemungkinan untuk bertemu. Sebagaimana perkataannya di bawah ini:

ﹶﺃﱠﻥ

ﱠﻞﹸﻛ

ٍﻞﺟﺭ

ٍﺔﹰﻘِﺛ

ﻯﻭﺭ

ﻦﻋ

ِﻪِﻠﹾﺜِﻣ

ﺎﹰﺜﻳِﺪﺣ

ﺰِﺋﺎﺟﻭ

ﻦِﻜﻤﻣ

ﻪﹶﻟ

ﻩﺅﺎﹶﻘِﻟ

ﻉﺎﻤﺴﻟﺍﻭ

ﻪﻨِﻣ

ﺎـﻤِﻬِﻧﻮﹶﻜِﻟ

ﺎـﻌﻴِﻤﺟ

ﺎﻧﺎﹶﻛ

ﻲِﻓ

ٍﺮﺼﻋ

ٍﺪِﺣﺍﻭ

ﹾﻥِﺇﻭ

ﻢﹶﻟ

ِﺕﹾﺄﻳ

ﻲِﻓ

ٍﺮﺒﺧ

ﹾﻂﹶﻗ

ﺎﻤﻬﻧﹶﺃ

ﺎﻌﻤﺘﺟِﺍ

ﹶﻻﻭ

ﺗ

ﺎﻬﹶﻓﺎﺸ

ﹶﻼﹶﻜِﺑ

ٍﻡ

ﹸﺔﻳﺍﻭﺮﻟﺎﹶﻓ

ﹲﺔﺘِﺑﺎﹶﺛ

ﹸﺔﺠﺤﹾﻟﺍﻭ

ﺎﻬِﺑ

ﹶﻻ

ﹲﺔﻣِﺯ

ﱠﻻِﺇ

ﹾﻥﹶﺃ

ﹶﻥﻮﹸﻜﻳ

ﻙﺎﻨﻫ

ِﺩ

ﹶﻻ

ﹲﺔﹶﻟ

ﹲﺔﻨﻴﺑ

ﱠﻥﹶﺃ

ﺍﹶﺬﻫ

ﻱِﻭﺍﺮﻟﺍ

ﻢﹶﻟ

ِﻖﹾﻠﻳ

ﻦﻣ

ﻯﻭﺭ

ﻪﻨﻋ

ﻭﹶﺃ

ﻢﹶﻟ

ﻊﻤﺴﻳ

ﻪﻨِﻣ

ﺎﹰﺌﻴﺷ

Artinya: sesungguhnya setiap para perawi yang tsiqah dan dia meriwayatkan sebuah hadis yang ia terima dari seorang perawi yang tsiqah juga dan adanya kemunkinan perawi tersebut bertemu dan mendengar darinya dikarenakan keduanya berada dalam satu masa, walaupun tidak ada berita yang pasti bahwa keduanya pernah bertemu dan tidak pula mereka berbicara secara langsung, maka riwayat tersebut adalah benar dan menjadikan ia sebagai dalil merupakan sebuah keharusan, kecuali terdapat sebuah keterangan yang jelas bahwa perawi tersebut tidak pernah


(25)

Hal serupa pula dilakukan oleh imam Muslim dengan semangat muda sebagai seorang pemuda yang haus akan ilmu, terutama ilmu hadis, membuat ia tidak hanya belajar dan mencari hadis dari para guru yang ada di daerahnya saja, akan tetapi ia juga sering berpergian ke daerah-daerah lain yang di sana terdapat para ulama hadis dan adapun tempat-tempat yang yang pernah ia singgahi adalah Hijâz, Misr, syâm dan dan irâq dan lain-lain.16

1. Guru-Guru Imam Muslim

Pengembaraannya ke berbagai daerah dengan tujuan utama untuk mencari hadis, seperti yang telah di sebutkan di atas, secara tidak langsung mempertemukan beliau dengan beberapa orang guru di suatu tempat dengan latar belakang penguasaan ilmu yang berbeda-beda pula, sehingga dengan demikian ia tidak hanya memiliki satu guru saja. Baik guru dalam bidang ilmu tafsir, hadis, fikih atau ilmu-ilmu agama yang lain.

Di kota Mekah imam Muslim berguru kepada al-Qa`nabî, ia merupakan guru besar baginya, sedangkan di kufah dia berguru kepada Ahmad ibn Yûnus dan yang lainnya. Menurut catatan al-Mizzî ada sekitar 218 orang yang pernah menjadi guru imam muslim, di antaranya adalah Ibrâhîm ibn khâlid al-Yasykurî, Ibrâhîm ibn Dinâr Tamâr, Ibrâhîm ibn Ziyâd sabalâni, Ibrâhîm ibn Sa‘îd al-Jauharî, Ahmad ibn Ja‘far al-Ma‘qarî, Ahmad ibn Janâb al-Missîsî, Ahmad ibn

bertemu dan tidak pernah mendengar satu hadis pun dari orang yang ia sandarkan hadisnya. Muslim ibn al-hajjâj, Sahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), h. 21

Ia mencontohkan

"Contohnya hadis yang diriwayatkan kepada kami yang disandarkan kepada Hisyam ibn `Urwah dari bapaknya(`Urwah) dari 'Âisyah dan sudah menjadi sebuah kepastiaan sebagaimana yang kami tahu bahwa Hisyâm terbukti mendengar dari bapaknya dan bapaknya terbukti juga mendengar dari 'Âisyah dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa 'Âisyah sudah pasti terbukti mendengar dari Nabi saw., Maka dengan demikian Hisyâm boleh tidak menyebutkan dalam riwayat tersebut kalau ia menerima dari bapaknya." Muslim ibn al-hajjâj, Sahîh Muslim, h. 22


(26)

Jawwâs al-Hanafî Qutaibah ibn sa‘id, al-Qa‘naî, Ahmad ibn Hanbal, Isma‘îl ibn Abi Uwais, Yahya ibn Yahya, Abû Bakar, ‘Usman ibn Abû Syaibah, ‘Abdullah ibn Asma’dan lain-lain17

2. Murid-Murid Imam Muslim

Bukan hanya memiliki banyak guru, sebagai seorang yang telah memiliki nama di papan teratas dari deretan para pakar hadis, ia juga memiliki banyak murid dan di antaranya adalah Abu Isa al-Tirmidzî, Ibrâhîm ibn Ishâq al-sairafî, Ibrâhîm ibn Abu talib, Ibrâhîm ibn Muhammad ibn hamzah, Ibrâhîm ibn Muhammad ibn Sufyân, al-faqîh18,dan lain-lain

Sejarah telah mencatat bahwa imam Muslim adalah seorang tokoh yang sangat selektif dalam memilih hadis sekaligus tokoh yang dijadikan referensi untuk penilaian jarh dan ta‘dil para ulama ahli hadis pada masanya dan ulama terdahulu. Masih dalam catatan sejarah, diketahui bahwa imam al-Tirmîdzî adalah salah seorang tokoh yang kekredibilitasannya sudah tidak diragukan lagi, pemilik al-jâmi‘ sekaligus murid langsung dari imam Muslim.

Walaupun al-Tirmîdzî adalah muridnya langsung sebagaimana yang telah masyhur di kalangan ahli hadis, bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim sudah tidak diragukan lagi akan kesahihannya. Bisa dibayangkan bagaimana rantai emas sanad dari kedua tokoh tersebut akan terjalin antara guru dan murid. Harapan dari bayangan terjalinnya rantai tersebut, hanya sebatas logika positif yang tergambar, karena masih dalam catatan sejarah pula, imam al-Tirmîdzî ternayta diketahui tidak pernah meriwayatkan hadis dari gurunya

17al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fi asma` al-Rijâl, Muhaqqiq: Syaikh Ahmad ‘Ali ‘Abir dan Husain Ahmad Agha, (Beirut: Dar al-Fikr) juz 18 h.70-72


(27)

tersebut, kecuali hanya satu hadis. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh al-Dzahabî, menurutnya ”imam al-Tirmidzî tidak pernah meriwayatkan sebuah hadis pun yang beliau terima dari imam Muslim kecuali satu hadis saja”.19

Dari penuturan al-Dzahabî di atas, penulis mencoba melacak hadis yang dimaksud olehnya dalam sunan al-Tirmîdzî dan penulis menemukan sebuah hadis yang sanadnya berasal dari imam Muslim, hadis tersebut insya Allah adalah sebagai berikut :

ﺣ

ﻢِﻠﺴﻣ ﺎﻨﹶﺛﺪ

ٍﺝﺎﺠﺣ ﻦﺑ

ﺣ

ﺎﻨﹶﺛﺪ

ﻦﺑ ﻰﻴﺤﻳ

ﻰﻴﺤﻳ

ﺣ

ﺎﻨﹶﺛﺪ

ٍﺪﻤﺤﻣ ﻦﻋ ﹶﺔﻳِﻭﺎﻌﻣ ﻮﺑﹶﺃ

ﹶﻝﺎﹶﻗ،ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ ﻭﺮﻤﻋ ِﻦﺑ

:

ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ُﷲﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﷲﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﹶﻥﺎﻀﻣﺮِﻟ ﹶﻥﺎﺒﻌﺷ ﹶﻝﺎﹶﻠِﻫ ﺍﻮﺼﺣﹶﺃ

20

Artinya:

Telah bercerita kepada kami Muslim ibn Hajjâj (ia berkata) telah bercerita kepada kami Yahyâ ibn Yahyâ (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami Abû Mu‘âwiyah dari Muhammad ibn ‘Amr dari Abû Salamah dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda "sempurnakan bulan Sya‘ban (menjadi 30 hari, dengan begitu awal) bulan Ramadhan dapat ditentukan "

3. Karya-karya Imam Muslim

Perjalanan imam Muslim dengan menempuh jarak yang sangat panjang dari satu negeri ke negeri yang lain dengan menggunakan kendaraan seadanya pada waktu itu, entah itu menggunakan kuda, onta atau lainnya, tentunya dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Walaupun demikian perjalanannya bukanlah merupakan suatu hal yang sia-sia dimata imam Muslim,

19 al-Dzahabî, Siyar A`lâm al-Nubala, juz 8, h. 300

20 Muhammad ibn 'Isâ Abû 'Isâ al-Tirmizi, al-Jâmi` al-Sahîh al-Tirmizi, editor, Ahmad Muhammad Syâkir dkk, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-`Arabi, tth) juz, 3, h. 71


(28)

karena dari hasil perjalanannya, ia dapat menulis di lembaran-lembaran sejarah tentang dirinnya sendiri dengan menciptakan sebuah karya yang berjuta-juta orang membacanya yakni al-Musnad atau al-musnad al-Sahîh atau pun yang lebih dikenal dengan sahih Muslim.

Menurut Subhi al-Sâlih, "imam Muslim sangat bangga akan kitab Sahîh-nya, mengingat jerih-payah yang ia curahkan ketika mengumpulkannya". Hal tersebut sangatlah wajar dan dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk imam Muslim. Di salah satu kesempatan ia perberkata "seandainya para ahli hadis mereka menulis hadis selama 200 tahun, maka poros mereka adalah Musnad ini"21

Kitab Sahîh Muslim adalah salah satu kitab hadis tersahih setelah bukhari. Di dalamnya terdapat 3033 hadis, jumlah tersebut adalah hasil seleksi selama kurang lebih 15 tahun22, dari tiga ratus ribu hadis yang ia kumpulkan dengan cara mendengar langsung. Keunggulan Sahîh Muslim dari beberapa sisi jika dibandingkan dengan kitab-kitab hadis yang lain membuat banyak para ulama melirik terhadap kitab tersebut untuk mereka syarahi.

Sebuah kitab hadis yang belum ada yang dapat menyainginya dari sisi kesistematisan penetapan hadis-hadis, hingga tidak terjadi pengulangan di sana sini dan dari sisi memudahkan para pembaca hadis dalam melihat jalur periwayatan sebuah hadis dengan cara merangkum jalur-jalur sanad yang banyak menjadi satu. Dan akan penulis bicarakan lebih jauh tetang kitab tersebut pada bab selanjutnya insya Allah.

21 al-Dzahabî, Siyar A`lâm al-Nubala`, juz 8, h. 306 22 Muhammad `Ajaj al-Khatib, Usûl al-Hadîts, h. 283


(29)

Selain karya menomental tersebut, dia juga mengarang beberapa karya yang tak kalah pentingnya dalam kajian ilmu hadis di antaranya yaitu: Al-Musnad al-Kabîr Ala al-Rijâl, Kitâb al-Jâmi al-Kabîr Ala al-Abwâb, Kitâb al-Asâmî` wa al-Kunyâ, Kitâb al-Musnad al-Sahîh, Kitâb al-Tamyîz, Kitâb al-Ilal, Kitâb al-Wuhdân, Kitâb al-Afrâd, Kitâbal-Aqrân, dan lain-lain.23 Secara pribadi, penulis belum melihat kitab-kitab beliau tersebut di atas selain kitab sahihnya.

C. Komentar Para Ulama Terhadap Imam Muslim

Subjudul yang penulis angkat di atas, adalah sebuah judul yang menurut penulis sendiri merupakan pemborosan kertas dan waktu untuk menulisnya. Alasanya sederhana, karena menurut penulis apalah artinya menulis ulang komentar para ulama terdahulu untuk menggambarkan kualitas seorang tokoh sekaliber imam Muslim yang dengan hanya melihat sebuah karyanya saja semua orang mungkin akan secara apriori mengakui kapasitasnya sebagai seorang

muhaddits.

Walaupun demikian, penulis merasa hal tersebut perlu dilakukan sebagai kelengkapan biografi beliau dan sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu mata rantai yang dapat melengkapi rantai sejarah imam Muslim.

Penulis mulai dengan mengutip apa yang pernah dikatakan oleh para ulama yang hidup semasa dengannya, sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdzîb al-Tahdzîb. menurutnya Abu Amar al-Mustamli pernah berkata "pada tahun 251 hijriyyah Ishâq ibn Mansûr meng-imla`-kan hadis kepada kami dan pada waktu itu imam Muslim juga hadir, dia sangat mengagumi Ishâq ibn


(30)

Mansûr. dan ketika saya masih meminta agar saya dapat meng-imla`-kan hadis, Ishâq ibn Mansûr kemudian melihat kepada Muslim lalu berkata " Allah tidak akan menghilangkan kebaikan kepada Umat Islam selama Dia tetap mengkekalkanmu.24

Dari ucapan Ishaq ibn Amar di atas, penulis menangkap bahwa dia jauh-jauh hari sudah memprediksikan imam Muslim bakal menjadi orang yang sangat mulia dengan menciptakan karya-karya yang sangat dibutuhkan orang dan ucapan itu sudah terbukti dimana kitab sahih Muslim adalah salah satu kitab yang banyak dicari orang untuk dijadikan referensi utama dalam berbagai tulisan mereka.

Kapasitas imam Muslim sebagai seorang pakar dalam bidang hadis baik dari segi sanad maupun matan menjadikan ia selalu ditanyai orang seputar hadis. Seperti dalam soal menjarah dan menta`dil para periwayat, ia pernah didatangi oleh orang-orang sekelas Abu Zur`ah dan Abu hatim yang dikenal sebagai kritikus hadis untuk menanyakan kwalitas para periwayat hadis yang hidup sezaman dengan imam Muslim.25

Dan orang-orang hidup pada zaman sekarang dapat melakukan hal yang serupa dengan membuka hasil dari karya imam Muslim, dimana kajian-kajian keislaman yang mengharuskan dicantumkannya hadis-hadis Nabi saw pada catatan-catatan tertentu. Dan catatan-catatan berupa hadis-hadis tersebut hampir semua termuat dalam kitab sahih Muslim26. Oleh karena itu adalah wajar jika ada

24 al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fi asmai al-Rijâl, juz 18 h. 150 25 al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fi asmai al-Rijâl, juz 18 h. 72

26 al-hafiz Abû Quraisy pernah berkata, suatu ketika kami sedang berada di samping Abû Zur'ah al-Râzi, kemudian datanglah Muslim ibn al-Hajjaj dan Abu zur`ah langsung mengucapkan salam kepadanya, setelah Muslim duduk sebentar dan melakukan diskusi kecil dengan Abû Zur'ah lalu ia pergi dan saya bertanya kepada Abû Zur'ah apakah orang itu telah mengumpulkan empat


(31)

yang beranggapan bahwa, imam Muslim merupakan salah satu dari empat orang yang menjaga Dunia selain Abu zur‘ah di Rai, Abdullah Darimi di al-Samarqandi dan Muhammad ibn Ismail di Bukhari.27

Al-Dzahabî dalam kitab Siyar-nya membarikan gelar kepada imam Muslim dengan berbagai macam gelar. Dia mengatakan “Muslim adalah seorang al-Imâm al-Kabîr , al-Hâfiz, al-Mujawwid, al-Hujjah dan al-Sâdiq28”. Sedangkan Ibnu Hajar mengatakan dia adalah imamnya para penulis (dalam bidang hadis).29

puluh ribu hadis dalam sahihnya? Abû Zur'ah menjawab ; dan dia hampir tidak menyisahkan sedikitpun, inilah yang saya tidak habis pikir. Lihat al-Dzahabî, Siyar A`lam al-Nubalâ h. 302

27 al-Dzahabî, Siyar A`lam al-Nubalâ, juz 8, h. 300 28 al-Dzahabî, Siyar A`lâm al-Nubala, juz 8, h. 296

29 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Illmyah: 1995), cet , 2. Juz 2, h.178


(32)

23

Di kalimat terakhir pada bab kedua di atas, penulis telah menyingung apa yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hajardalam kitabnya Taqrîb al-Tahdzîb, yaitu ia memberi gelar kepada imam Muslim, sebagai imamnya para penulis. Pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan, karena bukti dari perkataan Ibnu Hajar dapat dilihat pada salah satu karya terbesarnya, seperti kitab Sahîh-nya sendiri. Sebuah karya yang dapat dijadikan inspirasi bagi para penulis setelahnya dalam segi metodologi penulisan hadis.

Muhammad Fuad ‘Abd al-Bâqi sebagai salah seorang peniliti yang memberikan tahqîq-kan kepada kitab sahihnya mengatakan ”kitab sahih Muslim adalah sebuah kitab (Hadis) yang belum ada yang menyainginya dari sisi sistimetika, merangkum jalur hadis tanpa menambah ataupun menguranginya dan menjaga perpindahan sanad yang dapat disatukan tanpa ada penambahan sedikitpun dan beliau selalu berhati-hati dalam menjaga kesalahan lafaz dalam periwayatan hadis baik dari segi matan maupun sanad walaupun hanya sehuruf ”1

Membuka dan membaca awal kitab al-Sahîh, ternyata memiliki daya tarik tersendiri bagi para pembacanya dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain, karena sebelum memulai menulis hadis-hadis yang tersusun sesuai dengan judul bab per-bab, imam Muslim terlebih dahulu menulis abstraksi tentang apa yang

1 Komentar Muhammad Fuad di atas, dapat dilihat pada kata sambutan beliau dalam

kitab sahih Muslim yang beliau tahqîq lihat Muslim ibn al-hajjâj, Sahih Muslim, Editor: Muhammad Fuad Abd al-Bâqi, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, t.t.h), juz 1 h. د


(33)

akan ia tulis. Isi dari abstraksi sebagaimana yang terlihat di awal kitab pada

muqaddimah, bukanlah suatu hal yang akan menggambarkan secara umum isi kitab tersebut, akan tetapi ia memaparkan mengenai pengklasifikasian para periwayat dari jalur sanad yang ia riwayatkan hadisnya.2

Pemaparan mengenai tingkatan para periwayat oleh imam Muslim, memiliki relefansi jika dilihat dalam konteks sejarah pada masanya. Perang ideologi di interent umat muslim masih hangat-hangatnya, hingga tidak mengherankan jika banyak tersebarnya hadis-hadis palsu yang berisikan tentang keutamaan suatu kelompok tertentu.3

a. Penamaan Kitab Sahih Muslim

Dalam muqaddimah kitab tersebut, sesuai dengan apa yang penulis ketahui, bahwa imam Muslim tidak berikan nama terhadap kitab sahihnya itu. Akan tetapi, di beberapa tempat dari buku sejarah, beliau menyebutkan nama kitab tersebut, terkadang dengan nama al-Musnad dan terkadang pula dengan nama yang lengkap yaitu al-Musnad al-Sahih sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Mizzî dalam Tahzîb al-Kamal.

2 Contohnya seperti dalam muqaddimahnya, ia mengatakan:

Setelah hadis-hadis dari kelompok pertama, maka kami akan mengikutkan hadis-hadis yang di dalam sanadnya terdapat beberapa (perawi) yang tidak memiliki sifat al-hifz dan al-itqân

..., seperti; ‘Ata` ibn al-Sâib, Yâzid ibn Abû Ziyâd dll. Lihat Muslim ibn al-Hajjâj, Sahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), h. 4

3 Perang antar aliran atau mazhab tertentu,sehingga membuat para pengikutnya menjadi

fanatic terhadap kelompok masing adalah salah satu faktor penyebab timbulnya hadis-hadis palsu. Hal itu dikarenakan, mereka ingin menyampaikan bahwa kelompok merekalah yang paling baik dan menyerukan agar orang lain masuk kedalam kelompok mereka, untuk mewujudkan hal tersebut, mereka lalu membuat hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Nabi saw, berkaitan keutamaan kelompok mereka. Selain karena fanatanik kelompok, ada factor-faktor lain penyebab timbulnya hadis palsu, yaitu: membuat hadis-hadis fadâil a'mâl agar umat mau bertaqarrub kepada Allah, karena kebencian terhadap Islam, ingin mendapat perhatian pemerintah, mencari kekayaan dan ingin tenar. Lihat Mahmûd Tahan, Taisîr Mustalah al-Hadîts (Beirut: Dâr al-fikr, t.t.h), h. 76-77


(1)

ﰊﺃ

ﻦﺑﺍ

ﺐﻌﻛ

ﺪﻳﻮﺳ

ﻦﺑﺍ

ﹶﺔﹶﻠﹶﻔﹶﻏ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ

ِﻦﺑ

ٍﻞﻴﻬﹸﻛ

ﺩﺎﻤﺣ

ﻦﺑ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ

ﺰﻬﺑ

ﺒﻋ

ِﻦﻤﺣﺮﻟﺍﺪ

ﻦﺑ

ِﺮﺸِﺑ

ِﺪﻳﺯ

ِﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﺴﻴﻧﹶﺃ

ِﷲﺍﺪﻴﺒﻋ

)

ﻲِﻨﻌﻳ

ﻦﺑﺍ

ﻭٍﺮﻤﻋ

(

ِﷲﺍﺪﺒﻋ

ﻦﺑ

ٍﺮﹶﻔﻌﺟ

ﻲﱢﻗﺮﻟﺍ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ٍﻢِﺗﺎﺣ

ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

(

ٍﺮﻴﻤﻧ

)

ﻲِﺑﹶﺃ

ﻦﺑﺍ

ٍﺮﻴﻤﻧ

ﻊﻴِﻛﻭ

ﻮﺑﹶﺃ

ٍﺮﹾﻜﺑ

ﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﺒﻴﺷ

ﺮﻳِﺮﺟ

ِﻦﻋ

ِﺶﻤﻋﹶﺄﹾﻟﺍ

ﹸﺔﺒﻴﺘﹸﻗ

ﻦﺑ

ٍﺪﻴِﻌﺳ

ﻝﻮﺳﺭ

ﷲﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

ﻢﻠﺴﻣ

ﹶﺛﺪﺣ

ﺎﻨ

ﹸﺔﺒﻴﺘﹸﻗ

ﻦﺑ

ﺪﻴِﻌﺳ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺮﻳِﺮﺟ

ﻦﻋ

َﻷﺍ

ِﺶﻤﻋ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ

ﻮﺑﹶﺃ

ﺮﹾﻜﺑ

ﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﺒﻴﺷ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻊﻴِﻛﻭ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ

ﻦﺑﺍ

ﺮﻴﻤﻧ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﺎﻌﻴِﻤﺟ

ﻦﻋ

ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ﻢِﺗﺎﺣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ِﷲﺍﺪﺒﻋ

ﻦﺑ

ﺮﹶﻔﻌﺟ

ِﻗﺮﻟﺍ

ﻲ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ِﷲﺍﺪﻴﺒﻋ

)

ﻲِﻨﻌﻳ

ﻦﺑﺍ

ﻭﺮﻤﻋ

(

ﻦﻋ

ﺪﻳﺯ

ِﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﺴﻴﻧﹶﺃ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ

ِﻦﻤﺣﺮﻟﺍﺪﺒﻋ

ﻦﺑ

ﺮﺸِﺑ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺰﻬﺑ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺩﺎﻤﺣ

ﻦﺑ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ

ﱡﻞﹸﻛ

ِﺀﹶﻻﺆﻫ

ﻦﻋ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ

ِﻦﺑ

ٍﻞﻴﻬﹸﻛ

ﺍﹶﺬﻬِﺑ

ﺍِﻹ

ﻨﺳ

ِﺩﺎ

ﻮﺤﻧ

ِﺚﻳِﺪﺣ

ﹶﺔﺒﻌﺷ

ﻲِﻓﻭ

ﻢِﻬِﺜﻳِﺪﺣ

ﺎﻌﻴِﻤﺟ

ﹶﻼﹶﺛ

ﹶﺔﹶﺛ

ٍﻝﺍﻮﺣﹶﺃ

ﱠﻻِﺇ

ﺩﺎﻤﺣ

ﻦﺑ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ

ﱠﻥِﺈﹶﻓ

ﻲِﻓ

ِﻪِﺜﻳِﺪﺣ

ِﻦﻴﻣﺎﻋ

ﻭﹶﺃ

ﹶﻼﹶﺛ

ﹰﺔﹶﺛ

ﻲِﻓﻭ

ِﺚﻳِﺪﺣ

ﹶﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ِﺪﻳﺯﻭ

ِﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﺴﻴﻧﹸﺃ

ِﺩﺎﻤﺣﻭ

ِﻦﺑ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ

)

ﹾﻥِﺈﹶﻓ

َﺀﺎﺟ

ﺪﺣﹶﺃ

ﻙﺮِﺒﺨﻳ

ﺎﻫِﺩﺪﻌِﺑ

ﺎﻬِﺋﺎﻋِﻭﻭ

ﺎﻬِﺋﺎﹶﻛِﻭﻭ

ﺎﻬِﻄﻋﹶﺄﹶﻓ

ﻩﺎﻳِﺇ

(

ﺩﺍﺯﻭ

ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﻲِﻓ

ِﺔﻳﺍﻭِﺭ

ٍﻊﻴِﻛﻭ

)

ﱠﻻِﺇﻭ

ﻲِﻬﹶﻓ

ِﻞﻴِﺒِﺴﹶﻛ

ﻚِﻟﺎﻣ

(

ﻲِﻓﻭ

ِﺔﻳﺍﻭِﺭ

ِﻦﺑﺍ

ٍﺮﻴﻤﻧ

)

ﱠﻻِﺇﻭ

ﻊِﺘﻤﺘﺳﺎﹶﻓ

ﺎﻬِﺑ


(2)

ﻨﻟﺍ

ﱯ

ﻰﱠﻠﺻ

ُﷲﺍ

ِﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ِﻪﻴِﺑﹶﺃ

)

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﹾﻜﺑ

(

ِﻦﻤﺣﺮﻟﺍِﺪﺒﻋ

ِﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﹾﻜﺑ

ِﻚِﻠﻤﹾﻟﺍِﺪﺒﻋ

ِﻦﺑ

ِﺮﻴِﻤﻋ

ﹶﺓﺪِﺋﺍﺯ

ﻦﻴﺴﺣ

ﻦﺑ

ﻲِﻠﻋ

ﻮﺑﹶﺃ

ٍﺐﻳﺮﹸﻛ

ﹶﺔﺒﻌﺷ

(

ٍﺫﺎﻌﻣ

)

ﻲِﺑﹶﺃ

ِﷲﺍﺪﻴﺒﻋ

ﻦﺑ

ٍﺫﺎﻌﻣ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ٍﺮﹶﻔﻌﺟ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ﻰﻨﹶﺜﻤﹾﻟﺍ

ﹶﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﻊﻴِﻛﻭ

ﻮﺑﹶﺃ

ِﺮﹾﻜﺑ

ﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﺒﻴﺷ

ﺩﺎﻤﺣ

ﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ

ﹸﻥﺎﺒﻴﺷ

ﻦﺑ

ﺥﻭﺮﹶﻓ

ﻢﻴﺸﻫ

ﻰﻴﺤﻳ

ﻦﺑ

ﻰﻴﺤﻳ

ﻢﻠﺴﻣ

ﻩﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻰﻴﺤﻳ

ﻦﺑ

ﻰﻴﺤﻳ

ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ

ﻢﻴﺸﻫ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ

ﹸﻥﺎﺒﻴﺷ

ﻦﺑ

ﺥﻭﺮﹶﻓ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺩﺎﻤﺣ

ﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﻠﺳ

ﹶﺔﻤ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ

ﻮﺑﹶﺃ

ِﺮﹾﻜﺑ

ﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﺒﻴﺷ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻊﻴِﻛﻭ

ﻦﻋ

ﹶﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ﻰﻨﹶﺜﻤﹾﻟﺍ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ٍﺮﹶﻔﻌﺟ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ

ِﷲﺍﺪﻴﺒﻋ

ﻦﺑ

ٍﺫﺎﻌﻣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﻼِﻛ

ﺎﻤﻫ

ﻦﻋ

ﹶﺔﺒﻌﺷ

ﺪﺣﻭ

ﺎﻨﹶﺛ

ﻮﺑﹶﺃ

ٍﺐﻳﺮﹸﻛ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻦﻴﺴﺣ

ﻦﺑ

ﻲِﻠﻋ

ﻦﻋ

ﹶﺓﺪِﺋﺍﺯ

ﱡﻞﹸﻛ

ﺀﹶﻻﺆﻫ

ﻦﻋ

ﻚِﻠﻤﹾﻟﺍِﺪﺒﻋ

ِﻦﺑ

ﺮﻴِﻤﻋ

ﻦﻋ

ﻦﻤﺣﺮﻟﺍِﺪﺒﻋ

ِﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﺓﺮﹾﻜﺑ

ﻦﻋ

ِﻪﻴِﺑﹶﺃ

ﻦﻋ

ﱯﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ُﷲﺍ

ِﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ِﻞﹾﺜِﻤِﺑ

ِﺚﻳِﺪﺣ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﻧﺍﻮﻋ


(3)

ِﻦﻋ

ﻨﻟﺍ

ﱯ

ﻰﱠﻠﺻ

ُﷲﺍ

ِﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ِﻦﺑﺍ

ﺮﻤﻋ

ٍﻊِﻓﺎﻧ

ﻰﺳﻮﻣ

ﻦﺑﺍ

ٍﺞﻳﺮﺟ

ِﺮﻤﻌﻣ

ِﻕﺍﺯﺮﻟﺍﺪﺒﻋ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ٍﻊِﻓﺍﺭ

ﹶﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ

ِﻦﺑ

ﹶﺔﻴﻣﹸﺃ

ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﻦﺑﺍ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﺮﻤﻋ

ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﹸﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ

)

ﻲِﻨﻌﻳ

ﻦﺑﺍ

ﹶﺔﻴﹶﻠﻋ

(

ﻴﻫﺯ

ﺮ

ﻦﺑ

ٍﺏﺮﺣ

ﺩﺎﻤﺣ

ﻮﺑﹶﺃﻭ

ٍﻞِﻣﺎﹶﻛ

ِﷲﺍِﺪﻴﺒﻋ

ٍﺮﻴﻤﻧ

)

ﻲِﺑﹶﺃ

(

ﻦﺑﺍ

ٍﺮﻴﻤﻧ

ﻲِﻠﻋ

ﻦﺑ

ٍﺮِﻬﺴﻣ

ﻮﺑﹶﺃ

ِﺮﹾﻜﺑ

ﻦﺑ

ﹶﺃ

ﻲِﺑ

ﹶﺔﺒﻴﺷ

ِﺚﻴﱠﻠﻟﺍ

ِﻦﺑ

ٍﺪﻌﺳ

ﹸﺔﺒﻴﺘﹸﻗ

ﻦﺑ

ٍﺪﻴِﻌﺳ

ﻢﻠﺴﻣ

ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﻩﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹸﺔﺒﻴﺘﹸﻗ ﻦﺑ ﺪﻴِﻌﺳ ﺪﻤﺤﻣﻭ ﻦﺑ ﺢﻣﺭ ﺎﻌﻴِﻤﺟ ﻋ ِﻦ ِﺚﻴﱠﻠﻟﺍ ِﻦﺑ ﺪﻌﺳ

ﻭ ﻩﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻮﺑﹶﺃ ﺮﹾﻜﺑ ﻦﺑ ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﺒﻴﺷ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻲِﻠﻋ ﻦﺑ ﺮِﻬﺴﻣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻦﺑﺍ ﺮﻴﻤﻧ ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣ ﻲِﺑﹶﺃ ﹶﻼِﻛ ﺎﻤﻫ ﻦﻋ ﷲﺍِﺪﻴﺒﻋ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻮﺑﹶﺃ ِﻊﻴِﺑﺮﻟﺍ ﻮﺑﹶﺃﻭ

ﻞِﻣﺎﹶﻛ ﹶﻻﺎﹶﻗ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺩﺎﻤﺣ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﺮﻴﻫﺯ ﻦﺑ ﺏﺮﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹸﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ

)

ﻲِﻨﻌﻳ ﻦﺑﺍ ﹶﺔﻴﹶﻠﻋ

(

ﺎﻌﻴِﻤﺟ ﻦﻋ ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻦﺑﺍ ﻲِﺑﹶﺃ ﺮﻤﻋ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﻦﻋ ﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ ِﻦﺑ ﹶﺔﻴﻣﹸﺃ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻊِﻓﺍﺭ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺮﻟﺍﺪﺒﻋ ﻕﺍﺯ ﻦﻋ

ﺮﻤﻌﻣ ﻦﻋ ﺏﻮﻳﹶﺃ ﻦﺑﺍﻭ ﺞﻳﺮﺟ ﻦﻋ ﻰﺳﻮﻣ ﱡﻞﹸﻛ ﹶﻻﺆﻫ ِﺀ ﻦﻋ ﻊِﻓﺎﻧ ﻦﻋ ِﻦﺑﺍ ﺮﻤﻋ ﻦﻋ ﱯﻨﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ُﷲﺍ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻮﺤﻧ

ِﺚﻳِﺪﺣ ﻚِﻟﺎﻣ ﺮﻴﹶﻏ ﱠﻥﹶﺃ ﻲِﻓ ﻢِﻬِﺜﻳِﺪﺣ ﻌﻴِﻤﺟ ﺎ

)

ﹶﻞﹶﺜـﺘـﻨﻴﹶﻓ

(

ِﺇﱠﻻ ﹶﺚﻴﹶﻠﻟﺍ ﻦﺑ ٍﺪﻌﺳ ﱠﻥِﺈﹶﻓ ﻲِﻓ ِﻪِﺜﻳﺪﺣ

)

ﹶﻞﹶﻘﺘـﻨـﻴﹶﻓ

ﻪﻣﺎﻌﹶﻃ

(

ِﺔﻳﺍﻭِﺮﹶﻛ ٍﻚِﻟﺎﻣ

ﻮﺑﹶﺃ


(4)

ﻨﻟﺍ

ﱯ

ﻰﱠﻠﺻ

ُﷲﺍ

ِﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ِﻦﺑﺍ

ﺮﻤﻋ

ٍﻊِﻓﺎﻧ

ﹸﺔﻣﺎﺳﹸﺃ

ﻦﺑﺍ

ٍﺐﻫﻭ

ﹸﻥﻭﺭﺎﻫ

ﺑﻦ

ٍﺪﻴﻌﺳ

ﻲِﻠﻳَﻷﺍ

ﻙﺎﺤﻀﻟﺍ

)

ﻲِﻨﻌﻳ

ﻦﺑﺍ

ﹶﻥﺎﻤﹾﺜﻋ

(

ﻦﺑﺍ

ﻲِﺑﹶﺃ

ٍﻚﻳﺪﹸﻓ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ٍﻊِﻓﺍﺭ

ﹸﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ

ﺎﻌﻴِﻤﺟ

ﻦﻋ

ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﹸﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ

ﺮﻴﻫﺯ

ﻦﺑ

ٍﺏﺮﺣ

ﺩﺎﻤﺣ

ﻦﺑ

ٍﺪﻳﺯ

ﹶﺃ

ﻮﺑ

ِﻊﻴِﺑﺮﻟﺍ

ﻮﺑﹶﺃﻭ

ٍﻞِﻣﺎﹶﻛ

ِﷲﺍِﺪﻴﺒﻋ

ِﻦﺑﺍ

ﺮﻤﻋ

ﻰﻴﺤﻳ

)

ِﲏﻌﻳ

ﹸﻥﺎﱠﻄﹶﻘﻟﺍ

(

ِﷲﺍﺪﻴﺒﻋ

ﻦﺑ

ٍﺪﻴِﻌﺳ

ﺪِﻟﺎﺧ

)

ﻲِﻨﻌﻳ

ﻦﺑﺍ

ِﺙِﺭﺎﹶﳊﺍ

(

ﻦﺑﺍ

ﻰﻨﹶﺜﹸﳌﹾﺍ

ﻲِﺑﹶﺃ

ٍﺮﻴﻤﻧ

ﻦﺑﺍ

ٍﺮﻴﻤﻧ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ٍﺮﺸِﺑ

ﻮﺑﹶﺃ

ِﺮﹾﻜﺑ

ﻦﺑ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﹶﺔﺒﻴﺷ

ﻢﻠﺴﻣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻮﺑﹶﺃ ِﺮﹾﻜﺑ ﻦﺑ ﻲِﺑﹶﺃ ﹶﺔﺒﻴﺷ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﺮﺸِﺑ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻦﺑﺍ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣٍﺮﻴﻤﻧ ﻲِﺑﹶﺃ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻦﺑﺍ ﻰﻨﹶﺜﹸﳌﹾﺍ ﻨﹶﺛﺪﺣ ﺎ

ﺪِﻟﺎﺧ

)

ﻲِﻨﻌﻳ ﻦﺑﺍ ﺙِﺭﺎﹶﳊﺍ

(

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ِﷲﺍﺪﻴﺒﻋ ﻦﺑ ﺪﻴِﻌﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻰﻴﺤﻳ

)

ِﲏﻌﻳ ﹸﻥﺎﱠﻄﹶﻘﻟﺍ

(

ﻢﻬﱡﻠﹸﻛ ﻦﻋ ﷲﺍِﺪﻴﺒﻋ ِﻦﺑﺍ ﺮﻤﻋ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻮﺑﹶﺃ ِﻊﻴِﺑﺮﻟﺍ ﻮﺑﹶﺃﻭ ٍﻞِﻣﺎﹶﻛ ﹶﻻﺎﹶﻗ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺩﺎﻤﺣ ﻦﺑ ٍﺪﻳﺯ

ﺣﻭ ﻲِﻨﹶﺛﺪ ﺮﻴﻫﺯ ﻦﺑ ٍﺏﺮﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﹸﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ ﺎﻌﻴِﻤﺟ ﻦﻋ ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻊِﻓﺍﺭ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻦﺑﺍ ﻲِﺑﹶﺃ ٍﻚﻳﺪﹸﻓ ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﻙﺎﺤﻀﻟﺍ

)

ﻲِﻨﻌﻳ ﻦﺑﺍ ﹶﻥﺎﻤﹾﺜﻋ

(

ﻭ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻥﻭﺭﺎﻫ ﻦﺑ ِﻌﺳ ﺪﻴ ﻲِﻠﻳَﻷﺍ

ﹶﺛﺪﺣ ﺎﻨ ﻦﺑﺍ ٍﺐﻫﻭ ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣ ﹸﺔﻣﺎﺳﹸﺃ ﱡﻞﹸﻛ ﺆﻫ ﹶﻻ ِﺀ ﻦﻋ ﻊِﻓﺎﻧ ﻦﻋ ِﻦﺑﺍ ﺮﻤﻋ ﹸﻞﹾﺜِﻣ ِﺚﻳِﺪﺣ ِﺚﻴﱠﻠﻟﺍ ﻦﻋ ﻊِﻓﺎﻧ


(5)

ﻲِﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ُﷲﺍ

ِﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ِﻦﺑﺍ

ﺮﻤﻋ

ٍﻊِﻓﺎﻧ

ﹸﺔﻣﺎﺳﹸﺃ

)

ﻲِﻨﻌﻳ

ﻦﺑﺍ

ٍﺪﻳﺯ

(

ﻦﺑﺍ

ٍﺐﻫﻭ

ﹸﻥﻭﺭﺎﻫ

ﻦﺑ

ٍﺪﻴِﻌﺳ

َﻷﺍ

ﻲِﻠﻳ

ﻰﺳﻮﻣ

ﻦﺑ

ﹶﺔﺒﹾﻘﻋ

ﻦﺑﺍ

ٍﺢﻳﺮﺟ

ِﻕﺍﺯﺮﻟﺍﺪﺒﻋ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ٍﻊِﻓﺍﺭ

ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﻦﻋ

ﹶﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ

ِﻦﺑ

ﹶﺔﻴﻣﹸﺃ

ﻲِﻠﻋ ﻦﺑ ﻲِﺑﹶﺃ ٍﺮﺠﺣ

ِﷲﺍِﺪﻴﺒﻋ

ﻰﻴﺤﻳ

)

ﻮﻫﻭ ﹸﻥﺎﱠﻄﹶﻘﻟﺍ

( ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ

ﻮﺑﹶﺃ

ﺔﻣﺎﺳﹸﺃ

ﻮﺑﹶﺃ ِﺮﹾﻜﺑ ﻦﺑﺍ ﻲِﺑﹶﺃ ﹶﺔﺒﻴﺷ

ﻲِﺑﹶﺃ

)

ﺮﻴﻤﻧ

(

ﻦﺑﺍ

ٍﺮﻴﻤﻧ

ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﹸﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ

ﺮﻴﻫﺯ ﻦﺑ ٍﺏﺮﺣ

ﺩﺎﻤﺣ ) ﻮﻫﻭ ﻦﺑﺍ ٍﺪﻳﺯ

(

ﻒﹾﻠﺧ ﻦﺑ ٍﻡﺎﺸِﻫ

ِﺚﻴﱠﻠﻟﺍ

ِﻦﺑ

ٍﺪﻌﺳ

ﻰﻴﺤﻳ ﻦﺑ

ﻰﻴﺤﻳ

ﻢﻠﺴﻣ

ﹸﺔﺒﻴﺘﹸﻗ ﻦﺑ ٍﺪﻴِﻌﺳ ﻦﺑﺍ

ﻲِﺑﹶﺃ ﺮﻤﻋ

ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ٍﺢﻣﺭ ﺪﻤﺣﹶﺃ

ﻦﺑ

ِﷲﺍﺪﻴﺒﻋ ﻦﺑ ﺪﻴِﻌﺳ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻰﻴﺤﻳ ﻦﺑ ﻰﻴﺤﻳ ﺪﻤﺤﻣﻭ ﻦﺑ ﺢﻣﺭ ﻭ ﹸﺔﺒﻴﺘﹸﻗ ﻦﺑ ٍﺪﻴِﻌﺳ ِﻦﻋ ِﺚﻴﱠﻠﻟﺍ ِﻦﺑ ٍﺪﻌﺳ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻒﹾﻠﺧ ﻦﺑ ﻡﺎﺸِﻫ ﻮﺑﹶﺃﻭ ِﻊﻴِﺑﺮﻟﺍ ﻮﺑﹶﺃﻭ ٍﻞِﻣﺎﹶﻛ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺩﺎﻤﺣ ) ﻮﻫﻭ ﻦﺑﺍ ﺪﻳﺯ ( ﻦﻋ ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﺮﻴﻫﺯ ﻦﺑ ﺏﺮﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ ﻦﻋ ﻳﹶﺃ ﺏﻮ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻦﺑﺍ ﺮﻴﻤﻧ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻲِﺑﹶﺃ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻮﺑﹶﺃ ِﺮﹾﻜﺑ

ﻦﺑﺍ ﻲِﺑﹶﺃ ﹶﺔﺒﻴﺷ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻮﺑﹶﺃ ﺔﻣﺎﺳﹸﺃ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻰﻨﹶﺜﻤـﹾﻟﺍ ِﷲﺍﺪﻴﺒﻋﻭ ﻦﺑ ﺪﻴِﻌﺳ ﹶﻻﺎﹶﻗ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻰﻴﺤﻳ ) ﻮﻫﻭ ﹸﻥﺎﱠﻄﹶﻘﻟﺍ ( ﻴِﻤﺟ ﺎﻌ ﻦﻋ ﷲﺍِﺪﻴﺒﻋ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ

ﻲِﻠﻋ ﻦﺑ ﻲِﺑﹶﺃ ﺮﺠﺣ ﺪﻤﺣﹶﺃﻭ ﻦﺑ ﺓﺪﺒﻋ ﻦﺑﺍﻭ ﻲِﺑﹶﺃ ﺮﻤﻋ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﻦﻋ ﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ ِﻦﺑ ﹶﺔﻴﻣﹸﺃ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻊِﻓﺍﺭ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻕﺍﺯﺮﻟﺍﺪﺒﻋ ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﻦﺑﺍ

ﻳﺮﺟ ﺢ ﻲِﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﻰﺳﻮﻣ ﻦﺑ ﺔﺒﹾﻘﻋ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﹸﻥﻭﺭﺎﻫ ﻦﺑ ٍﺪﻴِﻌﺳ َﻷﺍ ﻲِﻠﻳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻦﺑﺍ ٍﺐﻫﻭ ﻲِﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﹸﺔﻣﺎﺳﹸﺃ ) ﻲِﻨﻌﻳ ﻦﺑﺍ ﺪﻳﺯ ( ﱡﻞﹸﻛ ﺆﻫ ﹶﻻ ِﺀ ﻦﻋ ٍﻊِﻓﺎﻧ ﻦﻋ ِﻦﺑﺍ ﺮﻤﻋ

ﻰﻨﻌﻤِﺑ ِﺚﻳِﺪﺣ ٍﻚِﻟﺎﻣ ﻦﻋ ٍﻊِﻓﺎﻧ ﺩﺍﺯﻭ ﻲِﻓ ﺚﻳِﺪﺣ ﺏﻮﻳﹶﺃ ﻦِﻣ ِﺔﻳﺍﻭِﺭ ﺩﺎﻤﺣ ِﻦﺑﺍﻭ ﹶﺔّﹶﻠﻋ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪِﻠﻟﺍﺪﺒﻋ ﺖﹾﺌِﺠﹶﻓ ﺎﹰﻘِﺑﺎﺳ ﻒﱠﻔﹶﻄﹶﻓ ﻲِﺑ ﺱﺮﹶﻔﻟﺍ ﺪِﺠﺴﻤـﻟﺍ

ﻮﺑﹶﺃ ِﻊﻴِﺑﺮﻟﺍ ﻮﺑﹶﺃ


(6)

ﻲِﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ُﷲﺍ

ِﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ِﻦﺑﺍ

ﺮﻤﻋ

ٍﻊِﻓﺎﻧ

ﻦﺑﺍ ٍﺐﻫﻭ

ﻮﺑﹶﺃ ﺮِﻫﺎﱠﻄﻟﺍ

ﹶﺔﹶﻠﹶﻈﻨﺣ ِﻦﺑ ﻲِﺑﹶﺃ ﹶﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﻲِﺤﻤﺠﹾﻟﺍ

ﹸﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ ﻦﺑ ﹶﺔﻴﻣﹸﺃ

ﻦﺑﺍ ٍﺞﻳﺮﺟ

ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﻮﺑﹶﺃ ٍﻢﻴﻌﻧ

ِﷲﺍﺪﺒﻋ ﻦﺑ ِﻦﻤﺣﺮﻟﺍﺪﺒﻋ ﻲِﻣِﺭﺍﺪﻟﺍ

ﺏﻮﻳﹶﺃ ﺴﻟﺍ ﻲِﻧﺎﻴﺘﺨ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ

ﻋ ﺮﻟﺍﺪﺒ ﺍﺯﻗ

ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ٍﻊِﻓﺍﺭ

ﻮﺑﹶﺃ ِﻊﻴِﺑﺮﻟﺍ

ﺎﻤﺳِﺇ ﻞﻴِﻋ ) ﻲِﻨﻌﻳ ﻦﺑﺍ ﹶﺔﻴﹶﻠﻋ

( ﺮﻴﻫﺯ ﻦﺑ ٍﺏﺮﺣ

ﻋ ﺪﻴﺒ ِﷲﺍ

ﻲِﻠﻋ ﻦﺑ ٍﺮﻬﺴﻣ

ﻮﺑﹶﺃ ِﺮﹾﻜﺑ ﻦﺑ ﻲِﺑﹶﺃ ﺔﺒﻴﺷ

ﻲِﺑﹶﺃ ) ﺮﻴﻤﻧ (

ﻦﺑﺍ ٍﺮﻴﻤﻧ

ﻰﻴﺤﻳ ) ﻮﻫﻭ ﹸﻥﺎﱠﻄﹶﻘﻟﺍ (

ﺮﻴﻫﺯ ﻦﺑ ٍﺏﺮﺣ

ِﺚﻴﱠﻠﻟﺍ ِﻦﺑ ٍﺪﻌﺳ

ﹸﺔﺒﻴﺘﹸﻗ ﻦﺑ ٍﺪﻴِﻌﺳ

ﻢﻠﺴﻣ

ﺩﺎﻤﺣ ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﻦﺑ ﻰﺳﻮﻣ ﻰﺳﻮﻣ

ﻦﺑ ﹶﺔﺒﹾﻘﻋ

ﹶﺔﻣﺎﺳﹸﺃ ﻦﺑ ٍﺪﻳﺯ

ٍﻚِﻟﺎﻣ ِﻦﺑ ٍﺲﻧﹶﺃ

ِﷲﺍِﺪﻴﺒﻋ ِﻦﺑﺍ ﺮﻤﻋ

ِﷲﺍﺪﻴﺒﻋ

ﻦﺑﺍ ﻰﻨﹶﺜﻤـﻟﺍ

ﻦﺑﺍ ٍﺢﻣﺭ ﻮﺑﹶﺃ

ﻞِﻣﺎﹶﻛ

ﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪ ﹸﺔﺒﻴﺘﹸﻗ ﻦﺑ ﺪﻴِﻌﺳ ﻦﺑﺍﻭ ﺢﻣﺭ ﻦﻋ ِﺚﻴﱠﻠﻟﺍ ِﻦﺑ ﺪﻌﺳ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﺮﻴﻫﺯ ﻦﺑ ٍﺏﺮﺣ ﻦﺑﺍﻭ ﻰﻨﹶﺜﻤـﻟﺍ ﹶﻻﺎﹶﻗ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻰﻴﺤﻳ ) ﻮﻫﻭ ﹸﻥﺎﱠﻄﹶﻘﻟﺍ (

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻦﺑﺍ

ﺮﻴﻤﻧ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻲِﺑﹶﺃ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻮﺑﹶﺃ ﺮﹾﻜﺑ ﻦﺑ ﻲِﺑﹶﺃ ﹶﺔﺒﻴﺷ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻲِﻠﻋ ﻦﺑ ﺮﻬﺴﻣ ﻢﻬﱡﻠﹸﻛ ﻦﻋ ﷲﺍِﺪﻴﺒﻋ

ﻲﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﺮﻴﻫﺯ ﻦﺑ ﺮﺣ ﺏ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ ) ﻲِﻨﻌﻳ ﻦﺑﺍ ﹶﺔﻴﹶﻠﻋ (

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻮﺑﹶﺃ ﻊﻴِﺑﺮﻟﺍ ﻮﺑﹶﺃﻭ ﻞِﻣﺎﹶﻛ ﹶﻻﺎﹶﻗ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺩﺎّﻤﺣ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻊِﻓﺍﺭ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺮﻟﺍﺪﺒﻋ ﻕﺍﺯ ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﻦﻋ ﺏﻮﻳﹶﺃ ﺴﻟﺍ ﻲِﻧﺎﻴﺘﺨ ِﺏﻮﻳﹶﺃﻭ ِﻦﺑ ﻰﺳﻮﻣ ﹶﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇﻭ

ِﻦﺑ ﹶﺔﻴﻣﹸﺃ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ِﷲﺍﺪﺒﻋ ﻦﺑ ِﺪﺒﻋ ِﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ﻲِﻣِﺭﺍﺪﻟﺍ ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﻮﺑﹶﺃ ﻢﻴﻌﻧ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹸﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﻦﻋ ﺏﻮﻳﹶﺃ ﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇﻭ ﻦﺑﺍ ﹶﺔﻴﻣﹸﺃ ِﺪﻴﺒﻋﻭ ﷲﺍ ﻰﺳﻮﻣﻭ ﻦﺑ ﹶﺔﺒﹾﻘﻋ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻣ ﺪﻤﺤ

ﻦﺑ ﻊِﻓﺍﺭ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ِﻕﺍﺯﺮﻟﺍﺪﺒﻋ ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﻦﺑﺍ ﺞﻳﺮﺟ ﻲِﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﻞﻴِﻋﺎﻤﺳِﺇ ﻦﺑ ﹶﺔﻴﻣﹸﺃ

ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣﻭ ﻮﺑﹶﺃ ﺮِﻫﺎﱠﻄﻟﺍ ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ ﻦﺑﺍ ﺐﻫﻭ ﻦﻋ ﹶﺔﹶﻠﹶﻈﻨﺣ ِﻦﺑ ﻲِﺑﹶﺃ ﹶﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﻲِﺤﻤﺠﹾﻟﺍ ﷲﺍِﺪﻴﺒﻋﻭ

ِﻦﺑﺍ ﺮﻤﻋ ِﻟﺎﻣﻭ ﻚ ِﻦﺑ ﺲﻧﹶﺃ ﹶﺔﻣﺎﺳﹸﺃﻭ ﻦﺑ ﺪﻳﺯ ﻲِﺜﻴﱠﻠﻟﺍ ﻢﻬﱡﻠﹸﻛ ﻦﻋ ٍﻊِﻓﺎﻧ ﻦﻋ ِﻦﺑﺍ ﺮﻤﻋ ﻦﻋ ﻲِﺒﻨﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ُﷲﺍ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻞﹾﺜِﻤِﺑ ِﺚﻳِﺪﺣ ﻰﻴﺤﻳ ﻦﻋ ﻚِﻟﺎﻣ ﺮﻴﹶﻏ ﱠﻥﹶﺃ ﻢﻬﻀﻌﺑ ﹶﻝﹶﺎﻗ

ﻪﺘﻤﻴِﻗ ﻀﻌﺑﻭ ﻢﻬ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﻨﻤﹶﺛ ﹸﺔﹶﺛﺎﹶﻠﹶﺛ ﺭﺩ ﻢِﻫﺍ