Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA

10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Menurut Revani dan Sari 2010 dalam penelitiannya yang berjudul “Kebijakan Pencapaian Swasembada Daging Sapi Tahun 2014” menyatakan bahwa kegagalan swasembada dipengaruhi oleh faktor sumber daya manusia, modal, kebijakan pemerintah, dan faktor ‐faktor lainnya seperti masih lemahnya kapasitas peternak sebagai pelaku usaha dan penyuluh menyebabkan kekurang ‐mampuan SDM untuk mengolah dan meningkatkan produksi. dan keterbatasan akses peternak terhadap permodalan sehingga kesulitan dana dalam upaya mengembangkan usahanya. Berdasarkan penelitian Priyanto 2011 yang berjudul “Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong dalam Mendukung Program Swasembada Daging Sapi Dan Kerbau Tahun 2014 ” dapat diketahui bahwa terdapat 10 provinsi utama produsen daging, meskipun mengalami pergeseran dari tahun ke tahun . Pada tahun 2004, produsen daging utama adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Barat, Jakarta, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Namun, pada tahun 2008 Jawa Timur menjadi produsen terbesar, disusul Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jawa sebagai pusat konsumen daging sapi merupakan sentra pemotongan ternak terbesar. Menurut penelitian Winarso dkk 2005 yang berjudul “Tinjauan Ekonomi Ternak Sapi Potong di Jawa Ti mur” menyatakan bahwa Jawa Timur merupakan daerah penyangga ternak sapi potong terbesar nasional, sehingga Jawa Timur disamping mampu memenuhi sendiri kebutuhan konsumsi daging ternak, juga mampu mensuplai ternak hidup dan daging segar ke beberapa wilayah di Indonesia. Setidaknya Jawa Timur dapat mengirimkan ternaknya sebanyak 118.000 ekor ke berbagai daerah. Ternak sapi potong juga merupakan unggulan bagi Jawa Timur sehingga pada tahun 2002 mampu memberikan sumbangan terhadap PDRB sebesar 9,3. 10 11 Menurut M ayrowani 2003 dalam penelitiannya yang berjudul “Kinerja Agribisnis Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur: Dampak Krisis Moneter dan Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah ” menyatakan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah sentra produksi utama ternak sapi potong di Indonesia. Rata-rata populasi per tahun ternak sapi potong Jawa Timur selama periode 1990 - 1999 mencapai sekitar 3,2 juta ekor atau menyumbang sekitar 28,45 persen populasi ternak sapi potong Indonesia. Sumbangan Provinsi Jawa Timur dalam memasok ternak sapi potong ke luar daerah juga cukup besar, yaitu selama periode 1990-1999 rata-rata mencapai 207,3 ribu ekor pertahun atau sekitar 30,01 persen dari total ternak sapi potong yang diperdagangkan ke luar daerah oleh provinsi-provinsi produsen. Berdasarkan penelitian Talib dkk 2007 yang berjudul “Restrukturisasi Peternakan di Indonesia ” menunjukkan bahwa kelemahan pada usaha peternakan sapi potong antara lain adalah: a ketergantungan pada supply sapi bakalan dan daging dalam jumlah besar +600 ribu ekor per tahun dan selalu meningkat dari tahun ke tahun, b peternakan sapi potong untuk sumber bibitbakalan sapi impor jumlahnya masih sangat terbatas, sedangkan untuk sapi perah dan sapi lokal belum ada. Dampaknya, pengadaan bakalan sapi potong dari dalam negeri dalam jumlah besar menjadi tidak ekonomis karena harus berasal dari berbagai tempat yang membutuhkan biaya cukup besar. Dalam hal ini, pengadaan sapi impor menjadi lebih ekonomis, c akses modal melalui perbankan untuk pengembangan peternakan komersial penggemukan maupun perbibitan skala kecil 10 –50 ekor per periode 2 –4 bulan cukup sulit untuk diperoleh, d keterbatasan SDM yang dalam hal ini adalah tenaga kerja dalam keluarga sebagai pencari pakan hijauan yang membatasi jumlah pemilikan ternak. Akibatnya peternak sulit sekali untuk meningkatkan jumlah ternak yang dimiliki sehingga sapi-sapi betina usia produktif terpaksa harus menjadi ternak konsumsi. Berdasarkan penelitian Ilham 2009 yang berjudul “Kelangkaan Produksi Daging: Indikasi dan Implikasi Kebijakannya” diketahui bahwa kelangkaan ternak sapi dapat dilihat pada industri hulu dan hilir. Indikator yang dapat digunakan adalah struktur produksi nasional, pengiriman ternak dari sentra produksi ke 12 sentra konsumsi dan jumlah pemotongan sapi. Telah terjadi kelangkaan populasi ternak sapi lokal yang sangat mengkhawatirkan menuju kepunahan. Pada daerah konsumsi, peran sapi dan daging impor untuk memenuhi permintaan konsumen semakin meningkat. Selain itu, kenaikan harga daging sapi lokal telah mendorong percepatan pengurasan ternak sapi lokal. Penelitian Rusdin 2009 yang berjudul “Beberapa Faktor yang Berpengaruh Terhadap Respons Masyarakat Beternak Sapi Potong di Kabupaten Parigi Moutong ” menyatakan bahwa peternak sapi potong melakukan pola pemeliharaan ternaknya secara tradisional serta menganggap bahwa tujuan memelihara sapi potong bukan usaha utama, sedangkan berdasarkan besaran sumbangsih penghasilan dari kegiatan beternak sapi potong di Kabupaten Parigi menunjukkan bahwa kegiatan beternak yang dilakukan belum dikategorikan sebagai usaha utama. Menurut penelitian Hadidjah dkk 2008 yang berjudul “Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara ”, usaha ternak sapi secara tradisional dikelola petani-peternak dan anggota keluarganya dan menjadi tumpuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Pengembangan usaha ternak sapi sebagai usaha keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain pendidikan, penggunaan input, pemasaran, kredit, kebijakan, perencanaan, penyuluhan, dan penelitian, selain itu, pendidikan anggota rumah tangga petani peternak dapat mempengaruhi keputusan produksi. Penelitian Hartono 2011 yang berjudul “Analisis Ekonomi Rumah tangga Peternak Sapi Potong di Kecamatan Damsol, Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah” menunjukkan bahwa guna menganalisis kondisi rumah tangga peternak sapi potong yang merupakan keadaan dan ciri khas internal rumah tangga peternak tersebut. Kondisi yang diamati adalah umur, pendidikan formal, jumlah anggota rumah tangga, lama beternak, jumlah kepemilikan ternak serta asset yang dimiliki lainnya. 13

2.2 Dasar Teori