Gambaran Umum Lingkungan dan Kondisi Sosial Masyarakat

Indonesia. Pada organisasi inilah titik awal kiprah Mohammad Hatta dalam dunia politik.

A. Gambaran Umum Lingkungan dan Kondisi Sosial Masyarakat

Minangkabau Ketika revolusi kemerdekaan meletus, Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang paling tegar menghadapi agresi Belanda. 8 Mungkin latar belakang ini dapat menerangkan keterlibatan cendikiawan seperti KH. Agus Salim, Natsir, Sjahrir dan Hatta yang berasal dari Minangkabau dalam kepemimpinan nasional yang secara proporsional jauh melebihi perbandingan besar cendikiawan dari daerah lain. Minangkabau yang sebagian besar wilayahnya termasuk Propinsi Sumatera Barat, dari segi sosio-kultural dan agama mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia. Karena di daerah ini berlaku sistem sosial yang matrilineal, dimana garis keturunan seseorang ditarik dari pihak ibunya bukan ditarik dari keturunan laki-laki atau ayah patrilineal. Berbeda dengan daerah-daerah yang berada di Indonesia pada umumnya, dimana garis keturunan ditarik dari pihak bapak. Jadi, sistem dalam keluarga Minangkabau seorang anak laki-laki mempunyai tanggung jawab penuh terhadap kemenakannya, bukanlah ayah terhadap anaknya. Seperti halnya laki- laki dalam kelurga Minangkabau, Hatta mempunyai tanggung jawab terhadap kemenakannya. 8 Taufik Abdullah, Tidak Generasi Kerdil, Rikard Bagum ed dalam Bung Hatta, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, cet. ke-1, h.3 Begitu pula dalam pembagian harta warisan seperti sawah, ladang dan tempat kediaman, kaum wanita menduduki tempat yang dominan. Seperti dilukiskan dalam legenda Lindu Mato, wanita dalam hal ini bundo kanduang sebagai ratu adalah rajo usali raja sebenarnya, sementara putranya Dang Tuangku sebagai “Raja Alam” hanya berfungsi sebagai pelaksana pemerintah sehari-hari. Bundo kanduanglah yang menjadi sumber pengetahuan, kebijaksanaan dan adat-istiadat bagi Dang Tuangku. 9 Meskipun menganut sistem matrilineal, namun dalam hal sistem kekuasaan Minangkabau bukanlah penganut matriakhaat. Kekuasaan pada prakteknya dalam kehidupan sehari-hari dipegang oleh Mamak; saudara laki-laki ibu. Dengan demikian pemusatan kekuasaan tidak berada di tangan wanita seperti yang terdapat pada kekuasan matriakhaat. Laki-laki dan perempuan mempunyai peranan dan kedudukan sendiri-sendiri yang sama pentingnya. 10 Jika kedudukan laki-laki pada segi lain dipandang rendah dan tak berkuasa apa-apa dalam pepatah Minang disebut “bagai abu di atas tunggul”, adalah dalam kontek hubungan yang terjadi melalui perkawinan. Dalam hal ini suami orang Sumando, menurut adat Minangkabau, tidak berkuasa atas anak maupun harta dalam keluarga isterinya. Anak-anak berada dalam kekuasaan mamaknya. Sang suami hanya berkuasa dalam keluarga asalnya –sebagai mamak dari kemenak- kemenakannya- tidak dalam keluarga isterinya. Karena itu jika bercerai dengan 9 Azyumardi Azra, Surau di Tengah Krisis; Pesantren dalam Perspektif Minangkabau dalam M. Dawam Rahardjo ed, Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah, Jakarta: P3IM, 1985, cet. I, h. 150 10 Azyumardi Azra, Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah, h. 150 isterinya, maka sang suami tadi keluar dari rumah hanya dengan membawa pakaian yang melekat di tubuhnya. 11 Sistem adat Minangkabau yang unik itu semakin unik dan khas, bisa dilihat dalam hubungannya dengan Islam. Menurut falsafah hidup Minangkabau, tidak ada pertentangan antara adat dengan agama. Keduanya berjalan seiring tanpa harus terlibat konflik, karena adat sebagai institusi kebudayaan berlaku dalam masyarakat setelah mendapat legitimasi dari agama. Hubungan adat dan agama yang demikian itu dengan indah sekali diungkapkan dalam pepatah : adat bersandi syara, syara bersandi kitabullah adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah. 12 Hubungan adat dan agama lebih lanjut digambarkan dalam lambang kelengkapan sebuah nagari di Minangkabau, yaitu balai adat dan masjid. Tidaklah lengkap dan sempurna sebuah nagari, bila salah satu dari yang dua itu tidak ada. Balai adat adalah lembaga kebudayaan, sedangkan masjid merupakan lembaga agama. Kedudukan masjid, di samping sebagai balai adat juga pernyataan keharmonisan ninik mamak dan alim ulama dalam masyarakat Minangkabau. 13 Bagaimanapun juga hubungan antara adat dan agama demikian, jika ditelusuri dari sejarah Minangkabau sesungguhnya tercapai setelah melalui proses yang cukup panjang, dan berkaitan erat dengan konsepsi “Alam Minangkabau”. Pola hubungan antara agama dan adat itu tercapai setelah berlangsung proses islamisasi secara terus-menerus di dalam masyarakat Minangkabau, terutama dengan 11 Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963, h. 49 12 Taufik Abdullah, “Tidak Generasi Kerdil”, Rikard Bagum ed dalam Bung Hatta Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, cet. Ke-1, h. 15 13 Taufik Abdullah, Tidak Generasi Kerdil, h.17 pengenalan gagasan-gagasan baru dalam Islam yang dibawa oleh orang-orang Minangkabau yang kembali dari Mekkah, Madinah dan Mesir. Pembaharuan dalam penghayatan dan pengamalan Islam inilah yang menimbulkan dinamika sekaligus konflik dalam masyarakat Minangkabau. Hamka mencatat, gerakan pembaharuan di Minangkabau adalah gerakan paham Islam yang pertama kali berlangsung di Indonesia akibat proses pembaharuan di Minangkabau. Daerah ini kemudian memegang peranan penting dalam menyebarkan ide-ide pembaharuan Islam ke daerah-daerah lain sementara di Minangkabau telah muncul tanda-tanda pertama pembaharuan, ketika itu pula daerah-daerah lain kelihatan hampir tenggelam dalam kegiatan keagamaan praktik tradisional. 14 Gerakan pembaharuan pemahaman Islam tak pelak lagi menimbulkan krisis dalam masyarakat Minangkabau. Premis-premis kultural dan adat yang merupakan paradigma dominan selama ini mulai goyah. Keinginan sementara masyarakat Minangkabau untuk mempertahankan validitas nilai dan premis- premis kultural yang ada serta kebutuhan untuk menutupinya dengan elemen- elemen baru yang dibutuhkan menimbulkan konflik nilai dan sosial serta usaha yang tak kunjung berhenti guna merumuskan kembali konsepsi Alam Minangkabau yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Sekolah-sekolah Belanda sebagai sistem pendidikan modern di Sumatera secara tidak langsung menjadi ‘tandingan’ sistem pendidikan surau muncul sebagai hasil dari dihapusnya sistem belasting pajak dan diberlakukannya 14 Azyumardi Azra, Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah, h. 152 kewajiban bagi para penduduk untuk menjual hasil kopi monopoli kepada Kompeni Belanda. Pada kelanjutan kehidupan Hatta, ia lebih memilih jalur pendidikan ini. Untuk lebih lanjutnya dapat dilihat pada sub bab berikutnya. Pendirian sekolah-sekolah yang pada awalnya dikhususkan pada kalangan raja atau penghulu adat dan calon pegawai yang akan duduk di pemerintahan kemudian berangsur-angsur menjadi sekolah guru. Pada dasa warsa abad 20 suasana optimis menghadapi masa depan telah mulai bersemi di kota-kota Minangkabau. Pemulihan perekonomian rakyat setapak demi setapak menunjukkan kemajuan setelah mengalami peperangan selama hampir setengah abad. Melihat keadaan yang demikian dipahami oleh pemerintah kolonial merasa perlu untuk mengganti monopoli kopi dengan sistem ekonomi yang relatif bebas. Para kaum terpelajar, umumnya guru-guru yang berada di kota-kota Padang merasakan bahwa sistem belasting jauh lebih baik daripada sistem tanam paksa. Hal ini bertentangan dengan para penghulu adat dan para ulama yang mengatakan bahwa, dengan diberlakukannya sistem belasting kembali berarti merupakan pengkhianatan terhadap Plakat Panjang yang pernah disepakati. Konflik antara pihak kompeni dengan penghulu adat berakhir dengan pemberontakan yang terjadi pada pertengahan tahun 1908 diantaranya pemberontakan Kamang dan pemberontakan Mangopoh. Ketika terjadinya pemberontakan ini Hatta telah berumur 6 tahun. Menurut Taufik Abdullah mungkin Hatta tidak tahu apa yang terjadi di dekat kota kelahirannya itu, tetapi mitos Plakat Panjang yang dikhianati tidak pernah dilupakannya. 15 Pemberontakan ini dapat dipadamkan dalam waktu yang relatif sebentar yaitu antara dua sampai tiga bulan saja. Berakhirnya sistem tanam paksa monopoli dan diberlakukannya sistem belasting ternyata memberi kesempatan yang lebih luas bagi anak negeri untuk terlibat dalam ekonomi pasar. Terlebih-lebih ketika terbukanya pintu ke pantai timur ke Selat Malaka, maka kemajuan ekonomi rakyat semakin menaik juga. Penetrasi ekonomi pasar yang semakin jauh ini juga memberi dampak dalam tata perilaku sosial, bahkan juga mulai menggugah sistem status sosial. Dalam masa inilah terjadinya pertumbuhan sekolah-sekolah dan terjadinya peningkatan siswa- siswa yang belajar di sekolah. Pergolakan intelektual yang melanda Sumatera tidak hanya berdampak pada kaum laki-laki saja, tetapi juga berimbas pada kaum perempuan. Hal ini ditandai dengan diserukannya kewajiban pendidikan bagi perempuan oleh Datuk Sutan Maharaja. Ia juga mendirikan beberapa kursus tenun bagi perempuan dan menerbitkan surat kabar perempuan Soenting Melajoe. Tetapi bagaimanapun juga perkembangan intelektual di Sumatera tidak terlepas dari keinginan untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap dan terbukti baik konservatif. Hatta sebagai orang yang merasakan berada dalam situasi multikultural dan suasana hirarki sosial yang ditentukan oleh ras dan sebagai anak zamannya tidak terlepas dari pengaruh sosio kultural Minangkabau yang selalu dibayang-bayangi oleh mitos Plakat Panjang. 16 15 Taufik Abdullah, Tidak Generasi Kerdil, h. 23 16 Taufik Abdullah, Tidak Generasi Kerdil, h. 24

B. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan