Penelitian dengan metode yuridis normatif ini diambil dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini dipandang cukup layak untuk diterapkan, karena dengan
metode penelitian ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari hukum primer, sekunder maupun tertier. Data atau
informasi yang didapatkan akan diambil perbandingannya dengan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengaturan dan penggunaan tanah di kawasan
pantai.
3. Sumber Data
Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder, data sekunder dimaksudkan antara lain meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Untuk memperdalam data sekunder tersebut dilakukan wawancara terhadap
responden yang ditentukan, yaitu pejabat pada Kantor Pertanahan Kota Medan, Camat Medan Labuhan, Lurah di Kecamatan Medan Belawan dan penduduk
setempat. Teknik wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan secara mendalam depth intervieu.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka teknik pengumpulan data
dimulai dengan menginventarisari peraturan perundang-undangan di bidang
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
pertanahan khususnya yang berkaitan dengan penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan pantai.
Setelah itu dibuat intisarinya, lalu peraturan perundangan tersebut dicocokkan dengan pelaksanaan dan kenyataannya di lapangan dengan
mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, selanjutnya data yang diperoleh tersebut dilengkapi dengan wawancara dengan
narasumber yang ditentukan antara lain sehingga diperoleh data yang komprehenship.
5. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dalam penelitian ini maka dipakailah alat pengumpulan data sebagai berikut :
a. Studi dokumen, dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang relevan
dengan masalah yang ditelti b.
Wawancara, dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara, sehingga diperoleh data yang dalam dan
lengkap sehingga dapat digunakan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan.
6. Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif kualitatif. Maka setelah diperoleh data sekunder, dilakukanlah pengelompokan data yang sama sesuai
dengan kategori yang ditentukan.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Penelusuran data dalam penelitian ini mulai dari aspek penguasaan atas tanah, aspek penggunaan atas tanah dan juga aturan mengenai kawasan pantai
termasuk mengenai data lapangan yang merupakan kenyataan dan pelaksanaannya yang ditemui di lapangan, kemudian diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang ada
serta peraturan perundangan yang berlaku. Setelah itu dengan menggunakan metode deduktif, ditarik suatu kesimpulan
dari data yang teah selesai dianalisis dimaksud yang merupakan hasil penelitian.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
BAB II PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH PADA KAWASAN PANTAI
DI KECAMATAN BELAWAN A. Gambaran Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Medan Belawan
sendiri terdiri dari 6 enam kelurahan, maka yang dijadikan obyek penelitian adalah pada 3 tiga kelurahan dengan karekteristik yang berbeda-beda, yakni Kelurahan
Belawan-I, Kelurahan Bahagia dan Kelurahan Bagan Deli. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
Kecamatan Medan Belawan ditemukan kawasan pantai yang dikuasai oleh berbagai pihak baik pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara
BUMN, Perusahaan Swasta dan masyarakatpenduduk setempat. Demikian juga dari segi penggunaannya, kawasan pantai digunakan untuk
berbagai kepentingan, seperti untuk pertahanan keamanan pangkalan angkalan laut, markas satuan polisi perairan, pelabuhan laut, pelabuhan perikanan, usaha budidaya
perikanantambak, penjemuran ikanudang, pemukiman penduduk nelayan dan lain- lain.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Dari segi sejarahnya, menurut keterangan Abdul Chalik, Sekrataris Kecamatan Medan Belawan
46
, wilayah Kecamatan Medan Belawan pada mulanya merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Medan Deli Kabupaten Deli Serdang,
ketika itu terdiri dari 19 Desa, yaitu : 1. Desa Belawan I
2. Desa Belawan-II 3. Desa Belawan-III
4. Desa Bagan Deli 5. Desa Titi Papan
6. Desa
Mabar 7. Desa Kota Bangun
8. Desa Tanjung Mulia 9. Desa Tanah Enam Ratus
10. Desa Besar 11. Desa Sei Mati
12. Desa Labuhan Deli 13. Desa Pekan Labuhan
14. Desa Rengas Pulau
46
Wawancara dilakukan pada tanggal 2 Juli 2008 di Kantor Camat Medan Belawan
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
15. Desa Terjun 16. Desa Telaga Tujuh
17. Desa Karang Gading 18. Desa P. Johar
19. Desa Helvetia Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1973,
Kecamatan Medan Labuhan Deli dibentuk menjadi 3 tiga wilayah Kecamatan yang berada di wilayah Kota Medan, yaitu :
1. Kecamatan Medan Kota Belawan
a. Desa Belawan-I b. Desa Belawan-II
c. Desa Belawan-III d. Desa Bagan Deli
2. Kecamatan Medan Labuhan
a. Desa Besar b. Desa Sei Mati
c. Desa Labuhan Deli d. Desa pekan Labuhan
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
e. Desa Rengas Pulau f. Desa Terjun
3. Kecamatan Medan Deli
a. Desa Titi Papan b. Desa Tanah Enam Ratus
c. Desa Kota Bangun d. Desa Mabar
e. Desa Tanjung Mulia Kemudian dengan terbitnya Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintah DesaKelurahan, maka desa-desa yang berada di ibukota Provinsi diganti dengan kelurahan.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat-I Sumatera Utara Nomor 1404078K1978 tentang Pemekaran kelurahan dari 116 kelurahan
menjadi 144 kelurahan, serta perubahan nama kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, maka salah satu Kecamatan yang mengalami pemekaran adalah
Kecamatan Kota Belawan yang semula terdiri dari 4 empat kelurahan sekarang menjadi 6 enam kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Belawan Bahari
2. Kelurahan Belawan Sicanang
3. Kelurahan Belawan Bahagia
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
4. Kelurahan Belawan-I
5. Kelurahan Belawan-II
6. Kelurahan Bagan Deli
Dari segi letak dan geografis, Kecamatan Medan Belawan yang luas wilayahnya mencapai 21,82 Km2 dengan letak di atas permukaan laut sekitar 0-3
meter, terletak di antara 03° - 48° Lintang Utara dan 98° - 42° Bujur Timur dan berjarak 23 km dari kantor Walikota Medan Km 0, berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara : Selat Malaka
b. Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Labuhan
c. Sebelah Barat : Kecamatan Hamparan Perak
d. Sebelah Timur : Kecamatan Percut Sei Tuan.
Bahwa berdasarkan pengamatan Peneliti di lapangan, Kecamatan Medan Belawan yang daerahnya terdapat kawasan pantai adalah Kelurahan Belawan-I, Kelurahan
Belawan Bahagia dan Kelurahan Bagan Deli, dengan uraian singkat sebagai berikut : 1.
Kelurahan Belawan-I, yang merupakan daerah pelabuhan, dengan luas wilayah 11 km2, mempunyai penduduk sebanyak 25.902 jiwa, dengan mata
pencaharian utama adalah buruhswasta 5.234 orang, pedagang 5.232 orang, pengusaha 1.988 orang, nelayan 1.314 orang dan lain-lain.
2. Kelurahan Belawan Bahagia, yang merupakan pemukiman nelayan, dengan
luas wilayah 0,580 km2, mempunyai penduduk sebanyak 15.792 jiwa, dengan
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
mata pencaharian utama adalah nelayan 2.179 orang, buruhswasta 1.418 orang, pedagang 211 orang dan lain-lain.
3. Kelurahan Bagan Deli, yang merupakan pelabuhan perikanan, perumahan
nelayan dan pertambakan, dengan luas wilayah 4,6 km2, mempunyai penduduk sebanyak 13.657 jiwa, dengan mata pencaharian utama adalah
nelayan 2.050 orang, buruhswasta 857 orang pedagang 42 orang dan lain-lain.
Oleh karena hanya 3 tiga kelurahan dari 6 enam kelurahan yang terdapat daerah pantainya di Kecamatan Medan Belawan, maka ditentukan ketiga Kelurahan tersebut
sebagai lokasi penelitian, untuk melihat aspek pengaturan penguasaan tanah di kawasan sempadan pantai tersebut.
B. Pengaturan Penguasaan Tanah
Pengertian penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per- orang, kelompok orang atau badan hukum tertentu dengan tanah tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
47
Hubungan hukum tersebut ditunjukkan dengan adanya alat-alat bukti yang ditentukan oleh ketentuan hukum yang ada dan berlaku, baik secara tertulis,
pengakuan dan kesaksian pihak lain maupun secara faktual yang ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda pada obyek tanahnya, seperti tanda batas bidang tanah berupa
47
Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
patok, parit, pagar atau tanda batas alam seperti jalan, sungai, lembah, bukit, pepohonan dan lain-lain, maupun bentuk penguasaan atau pengusahaan secara fisik di
lapangan. Apabila hubungan hukum tersebut diformalkan atau dilegalisasi oleh
Negara, sehingga Negara memberikan dan menentukan kewenangan, kewajiban danatau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang
dihakinya, maka penguasaan tanah tersebut dapat menjadi hak penguasaan atas tanah.
48
Hak penguasaan atas tanah dapat diartikan sebagai lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu, juga hak penguasaan atas
tanah dapat merupakan hubungan yang konkrit subjektief recht jika dihubungkan dengan tanah tertentu dan subyek tertentu sebagai pemegang haknya.
49
Menurut Boedi Harsono, hak-hak penguasaan atas tanah yang dikenal dalam UUPA, dapat disusun dalam jenjang tata susunan atau hirarkhi sebagai berikut :
1. Hak Bangsa Indonesia pasal 1
2. Hak Menguasai dari Negara pasal 20
3. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada pasal 3 4.
Hak-hak perorangan : a. Hak-hak atas tanah pasal 4 :
48
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Penerbit Djambatan, 1994, hal. 203
49
Ibid
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
1. Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh Negara, Hak Pakai, yang
diberikan oleh Negara dan Hak Pengelolaan pasal 16
2. Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak
Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya pasal 37, 41 dan 53
b. Wakaf pasal 49 c. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Undang-undang Nomor
161985 tentang Rumah Susun d. Hak jaminan atas tanah :
- Hak Tanggungan pasal 23, 33, 39 dan 51 - Fidusia Undang-undang Nomor 161985.
50
Berdasarkan catatan sejarah, sejak dahulu penguasaan atas tanah menjadi faktor penting diberikan atau dilegalisasikannya hak atas tanah oleh penguasa kepada
seseorang yang secara faktualfisik telah menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik.
Sebagaimana diketahui bahwa menurut Hukum Adat, pada awalnya status tanah-tanah di Indonesia berasal dari hak ulayat, yakni hak desa menurut adat dan
kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain orang asing dengan
membayar ganti kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut
50
Ibid., hal. 204-205
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara- perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan.
51
Atau dapat juga disebutkan bahwa Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang secara tradisional menurut hukum adat setempat merupakan tanah milik masyarakat
secara bersama dalam kerajaan-kerajaan kecil yang ada di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
52
Secara formal pengertian hak ulayat disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ditentukan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum
adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun
temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat dengan wilayah yang bersangkutan.
Selanjutnya ditentukan bahwa bagian-bagian dari hak ulayat ini dapat dikerjakan dan dikuasai oleh anggota masyarakat desamasyarakat hukum adat yang
kemudian menjadi hak perseoranganindividu. Pada umumnya hak perseorangan ini
51
Dirman, Perundang-undangan Agraria di Seluruh Indonesia, Jakarta : JB. Volters, 1958, hal. 36
52
A. Bazar Harahap Dkk, Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional, Jakarta : Sandipeda, 2005, hal. 4
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
terbatas dan tidak begitu luas, yaitu hanya diakui selama hak itu dipergunakan untuk penghidupan sendiri dan keluarganya. Apabila tanah itu tidak dikerjakan atau tidak
dikuasai lagi, misalnya karena meninggalkan desa tersebut, maka tanah itu kembali menjadi tanah hak ulayat. Jadi ada hubungan timbal balik antara hak-hak bersama
dengan hak-hak individu, apabila hak-hak individu menguat maka hak-hak bersama akan melemah, demikian sebaliknya.
53
Dengan demikian, menurut Hukum Adat, penguasaan atas tanah secara fisik yang ditandai dengan mengerjakan tanah tersebut secara aktif dan terus-menerus
dapat menjadi faktor pendukung dilegalkannya hak perorangan tersebut oleh penguasa adat.
Demikian juga pada zaman penjajahan Hindia Belanda, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 7 ayat 1 Reglemen Agraria untuk Sumatera Barat, ditentukan
bahwa penguasaan atas suatu bidang tanah dilihat sebagai telah adanya hak atas tanah, artinya tanah yang telah dipakai untuk diduduki atau dikerjakan dengan kekal,
dapat menjadi milik atau kepunyaan orang yang membuka atau yang memakai tanah itu.
54
Bahkan menurut domeinbeginsel Stb. 1870 Nomor 118 ditentukan bahwa sekalipun status tanah tersebut masih merupakan pinjaman, misalnya raja
meminjamkan tanah kepada pembesar-pembesarnya selanjutnya pembesar-pembesar
53
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta : Lembaga Perberdayaan Hukum Indonesia, 2005, hal. 121
54
Dirman, 1958, op.cit.,, hal. 54
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
itu meminjamkan bagiannya lagi kepada warga desa, maka warga desa yang meminjam dan menguasai serta mengerjakan tanah tersebut diakui sebagai pemilik
tanah.
55
Setelah Indonesia merdeka dan disusun peraturan perundang-undangan tentang keagrariaan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 1960 atau lebih
dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria UUPA, ternyata faktor penguasaan tanah juga merupakan hal mutlak dalam pemilikan tanah, terutama tanah pertanian.
Pasal 10 UUPA mengatur bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Demikian juga dengan tidak menguasai tanah tersebut atau dengan kata lain
telah menelantarkan tanahnya dengan sengaja, maka pada dasarnya telah bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, yakni dapat menjadi salah satu
penyebab dihapuskannya hak atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 27, 34 dan 40 UUPA.
Penguasaan tanah oleh masyarakat setempat atas rumah tempat tinggal yang telah dibangun sejak lama sebenarnya dapat dijadikan alasan formal untuk diberikan
haknya, sekalipun penguasaan tanah tersebut tidak didukung oleh surat-surat tanahnya data yuridis. Hal tersebut dikuatkan oleh ketentuan Pasal 24 ayat 2
55
Bushar Muhammad, Asas-asar Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta : Pradnya Paramita, 1984, hal. 69
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur sebagai berikut :
“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik
bidang tanah yang bersangkutan selama 20 dua puluh tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya,
dengan syarat:
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;
b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desakelurahan yang bersangkutan ataupun
pihak lainnya.”
Dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa ketentuan ini memberi jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan atas
tanahnya, baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti
kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh pemohon dan pendahulunya.
Faktor penguasaan atas tanah merupakan hal penting dalam memformalkan melegalisasi kepemillikan seseorang, sebab pengertian dari penguasaan adalah
seseorang yang mempunyai hubungan nyata dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Oleh karena itu sulit bagi seseorang untuk dapat membayangkan
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
adanya suratu sistem hukum apabila di situ tidak dijumpai adanya pengakuan dan pengaturan tentang penguasaan.
56
Pengakuan terhadap penguasaan yang boleh dilakukan oleh seseorang atas suatu barang merupakan modal yang utama agar seseorang tersebut dapat
mempertahankan kehidupannya, sebab pada saat itu, ia tidak memerlukan pengakuan atau legitimasi lain kecuali pengakuan penguasaan barang yang ada dalam
kekuasaannya tersebut. Masalah penguasaan seharusnya tidak dapat diabaikan sama sekali oleh
hukum, walaupun soal penguasaan tersebut bersifat faktual atau fisik. Namun hukum dituntut untuk memberikan kepastian mengenai penguasaan tersebut. Jika hukum
sudah mulai masuk, maka ia harus memutuskan apakah seseorang akan mendapat perlindungan pengakuan dan perlindungan terhadap penguasaan atau tidak.
Jika hukum memutuskan akan mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap penguasaan seseorang atas suatu barang, maka hukum akan melindungi
orang tersebut dari gangguan orang lain, karena di sini hukum berhadapan dengan persoalan yang bersifat faktual, sehingga ukuran untuk memberikan keputusan
tersebut bersifat faktual juga.
57
. Berdasarkan argumentasi tersebut sebenarnya penguasaan atas suatu bidang
tanah sudah menjadi faktor yang menentukan pemilikan tanah tersebut atau dengan kata lain penguasaan tersebut dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada
56
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hal. 30.
57
Ibid, hal. 31
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
yang menyebut penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu ”hak”. Kata ”penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang
mempunyainya.
58
Dengan demikian, faktor penguasaan atas tanah secara fisik merupakan hal penting dalam memberikan hak atas tanah kepada seseorang, bahkan sesuai dengan
ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, sebidang tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh seseorang selama 20 tahun
berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti-bukti tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut. Dengan demikian tidak cukup hanya dengan
menguasai secara yuridis yaitu dengan memegang surat-surat tanahnya saja, tetapi harus ada penguasaan secara fisik atas tanah
C. Pelaksanaan Pengaturan Penguasaan Tanah
Berdasarkan aspek penguasaan tanahnya, Kecamatan Medan Belawan terutama pada lokasi penelitian, dapat dilihat bahwa terdapat daerah-daerah khusus
untuk kepentingan tertentu, misalnya daerah Kelurahan Belawan-I yang merupakan kawasan pelabuhan, yakni kawasan untuk tempat berlabuh kapal motor penumpang
dan kapal barang yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara PT. Persero Pelabuhan-Indonesia-I Belawan yang dipimpin oleh Administratur Pelabunan.
58
Badan Pertanahan Nasional, 2002, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Jakarta, hal. 18
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Kawasan pelabuhan tersebut, dikuasai oleh pihak pengelola pelabuhan yakni Perum pelabuhan Belawan-I sekarang PT. Persero Pelabuhan Indonesia-I atau
Administratur Pelabunan Adpel belawan. Di daerah pelabuhan tersebut juga terdapat Pangkalan Utama TNI-Angkatan Laut, Batalyon Marinir Pertahanan
Pangkalan dan Satuan Polisi Perairan Satpol Air, Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan KP3 Belawan, Kantor Bea Cukai dan lain-lain yang penguasaan
tanahnya tentu berada pada Pemerintah Pusat. Di samping itu, terlihat juga perumahan penduduk nelayan yang letaknya
sporadis yang berada pada kawasan pantai. Perumahan penduduk nelayan tersebut umumnya dengan konstruksi rumah panggung dengan ketinggian lantai dari
permukaan air laut pada saat surut sekitar 1-2 meter. Letak rumah panggung tersebut banyak yang masih berada di kawasan pelabuhan Belawan atau dalam daerah Hak
Pengelolaan, namun demikian, pihak pelabuhan Belawan membiarkan penduduk setempat membangun rumah di kawasan tersebut.
Menurut penjelasan Abdul Chalik, pihak Administratur Pelabuhan Belawan telah berkali-kali melakukan pelarangan atas penguasaan tanah dengan membangun
rumah panggung di kawasan pelabuhan, namun diakuinya sulit ditertibkan, bahkan melalui kerjasama dengan pihak Pemerintah Daerah, sudah beberapa kali diupayakan
pindah ke Desa Nelayan Kecamatan Labuhan Deli, tetapi masyarakat nelayan tetap tidak bersedia, karena secara kultur dan ekonomi, masyarakat nelayan tersebut tidak
bisa lepas dari kehidupan air, mencari nafkah dari laut merupakan satu kesatuan
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
dengan kehidupannya. Oleh karena itu penduduk nelayan tetap bertahan dengan kondisi ekonomi seadanya.
Hingga saat ini, penguasaan tanah oleh masyarakat nelayan yang membangun rumah tempat tinggal dengan kontruksi panggung di kawasan pantai
tersebut tidak ada ditemukan bukti-bukti penguasaan secara tertulis, kalaupun ada hanya dalam bentuk surat segel atau sudah di bawah tangan yang dibuat oleh
penduduk itu sendiri, tidak pernah ada surat-surat penduduk yang menerangkan penguasaan atas tanah di kawasan pantai tersebut yang dilegalisasi oleh aparat
pemerintah, baik dalam surat keterangan maupun surat keterangan tanah yang diterbitkan oleh Lurah atau Camat setempat.
Menurut penuturan Aidil Yusra
59
, Kepala Kelurahan Belawan-I, masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan mencari ikan di laut dan untuk
mendekatkan diri dengan lautan, terpaksa membangun rumah di kawasan pantai. Penguasaan atas tanah di kawasan pantai tersebut diakuinya tidak didasarkan pada
surat-surat tanah yang sah, tetapi rumah yang dikuasai oleh penduduk setempat telah berlangsung sejak lama dan turun temurun dari nenek moyangnya.
Namun karena kehidupan nelayan yang serba seadanya, banyak bangunan yang berbentuk asli dengan konstruksi panggung. Hal itu ditempuh untuk mencegah
masuknya air laut ke bangunan rumah baik karena pasang maupun karena ancaman tsunami. Kalaupun ada bangunan rumah penduduk yang sudah berbentuk permanen
59
Wawancara dilakukan pada tanggal 3 Juli 2008.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
atau semi permanen, letaknya pasti di seberang jalan arteri. Masyarakat mengetahui bahwa bangunan rumahnya termasuk dalam kawasan pantai dan daerah pelabuhan,
tetapi tidak mengetahui secara jelas status tanahnya yang merupakan Hak Pengelolaan.
Oleh karena masuk dalam kawasan pelabuhan, maka ada juga masyarakat yang berusaha memperoleh surat-surat tanah sebagai bukti penguasaan atas tanahnya
di kantor kelurahan dan kantor kecamatan, namun sampai saat itu, pihak Kantor Camat tidak berani menerbitkan surat-surat penguasaanpemilikan tanahnya berupa
Surat Keterangan Tanah SKT, sepanjang tanahnya terletak di pinggiran pantai. Ketika diteliti pada kantor Camat Medan Belawan, yakni dalam buku
register SKT, ternyata telah diterbitkan sebanyak 157 buah pada tahun 2007 di seluruh Kecamatan Medan Belawan, di antaranya sebanyak 23 SKT diterbitkan untuk
warga masyarakat di Kelurahan Belawan-I. Demikian juga pada tahun 2008 sampai dengan bulan Juni dari 71 SKT yang diterbitkan dan sebanyak 12 buah di Kelurahan
Belawan-I, tidak ada yang letak tanahnya di kawasan pantai, tetapi jauh di daratan atau di inti kota Belawan.
Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kota Medan, status tanah di Kecamatan Belawan adalah Hak Pengelolaan yang terdaftar
atas nama Pelindo dengan luas keseluruhan adalah 423,15 Ha terdiri dari 5 lima
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
lokasi sesuai dengan Gambar Situasi Khusus Nomor 4201IV1992 Tanggal 24 Nopember 1992.
60
Hak Pengelolaan yang berada di Kelurahan Belaawan-I adalah Hak Pengelolaan Nomor 1Belawan seluas 278,15 Ha, letaknya memanjang dari Jalan Peti
Kemas sampai ke Jalan Bersama yang dimiliki oleh Perum pelabuhan Belawan-I sekarang PT. Persero Pelabuhan Indonesia-I atau Administratur Pelabunan
Adpel Belawan . Dengan demikian, hampir seluruh kawasan pantai di Kecamatan Medan
Belawan, khususnya yang berada di Kelurahan Belawan-I merupakan bagian dari Hak Pengelolaan, termasuk yang dikuasai oleh pihak lain, seperti Pangkalan Utama
TNI-Angkatan Laut Lantamal, Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan Yonmarhanlan dan Satuan Polisi Perairan Satpol Air, Kesatuan Pelaksana
Pengamanan Pelabuhan KP3 Belawan, Kantor Bea Cukai dan lain-lain yang seharusnya kepada instansi pemerintah tersebut diberikan hak Pakai di atas hak
Pengelolaan. Terdapat juga tanah yang dikuasai oleh masyarakat baik yang sudah
merupakan perkampunganpemukiman maupun rumah-rumah penduduk yang didirikan secara sporadis di beberapa tempat, terutama yang berbentuk panggung
letaknya persis di bibir pantai atau di sepanjang kawasaan sempadan pantai..
60
Peta Situasi tersebut tidak dapat diperoleh rekaman fotokopi nya dan tersimpan di Kantor Pertanahan Kota Medan sebagai peta blad
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Oleh karena itu dapat dimengerti ketika warga masyarakat Belawan yang berdiam di sekitar pantai yang menguasai bidang tanah tertentu dengan mendirikan
rumah panggung untuk tempat tinggal yang sudah dikuasai atau dibangun sejak lama, aparat pemerintah Kelurahan dan Kecamatan tidak memberikan pengakuan atas
penguasaan atas tanahrumahnya yang ditandai dengan ditolaknya permohonan untuk mendapatkan surat-surat tanah, sungguhpun sebenarnya faktor penguasaan secara
faktual atas bidang tanah tertentu menjadi hal penting tersebut untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum, atau dengan perkataan lain sekalipun
sebenarnya hukum mengakui penguasaan atas tanah tersebut, tetapi aparat pemerintah tidak mengakui penguasaan dimaksud.
Hal tersebut sesungguhnya dapat diterima apabila dapat dibuktikan bahwa di atas tanah yang dikuasai tersebut ada titel hak atas tanah yang terlebih dahulu ada
sebelum penguasaan oleh seseorang tersebut, sebab penguasaan penuh atas suatu barang bisa saja tidak diterima dan oleh karena itu tidak memperoleh pengakuan dan
perlindungan hukum. Kondisi obyektif yang demikianlah yang menjadi alasan bagi aparat pemerintahan kelurahan dan kecamatan di Belawan yang tidak bersedia
menerbitkan surat-surat tanah karena di atas tanah yang dikuasai tersebut sudah diterbitkan Hak Pengelolaan atas nama Pelindo.
Kemudian di daerah Kelurahan Belawan Bahagia yang merupakan kawasan pemukiman nelayan. Menurut penjelasan Abdul Chalik, Kawasan ini semula
merupakan teluk, tetapi pada tahun 1950 Pemerintah melakukan upaya reklamasi
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
dengan cara menyemprot tanah ke bagian teluk tersebut sehingga menjadi daratan yang layak untuk dikuasai dan digunakan. Pada awalnya upaya penyemprotan
tersebut dilakukan untuk perluasan pelabuhan dan umumnya tanah di kawasan tersebut merupakan tanah jawatan pelabuhan, tetapi begitu teluk tersebut disemprot
dan sangat cocok untuk pemukiman, maka ramai-ramai masyarakat mendudukinya dan membangun perkampungan.
Oleh karena tidak bisa dicegah dan diatasi lagi, maka melalui kesepakatan bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan, maka daerah
tersebut akhirnya diberikan kepada penduduk untuk tempat pemukiman nelayan. Oleh karena sudah merupakan perkampungan yang kompak dan antara
penduduk sudah ada transaksi atas penguasaan tanah di daerah tersebut, baik dengan surat yang dibuat secara di bawah tangan maupun dengan akta otentik oleh Notaris,
maka Kantor Camat juga saat ini sudah ada menerbitkan SKT di daerah tersebut. Data yang diperoleh dari Buku Register Surat Keterangan Tanah SKT yang
ada pada kantor Camat Medan Belawan, ditemukan bahwa dari sebanyak 157 buah SKT yang diterbitkan pada tahun 2007 di seluruh Kecamatan Medan Belawan,
sebanyak 10 SKT diterbitkan untuk warga masyarakat di Kelurahan Bahagia. Demikian juga pada tahun 2008 sampai dengan bulan Juni dari 71 SKT yang
diterbitkan dan sebanyak 2 buah di Kelurahan Bahagia, ternyata letak tanahnya ada yang berada di kawasan pantai yang sudah merupakan perkampungan nelayan
tersebut.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kota Medan, di Kelurahan Bahagia ini terdapat Hak Pengelolaan Nomor 1Bahagia seluas
0,49 Ha yang diperuntukkan bagi PLTU. Kemudian di daerah Kelurahan Bagan Deli yang merupakan kawasan
pelabuhan perikanan, yakni kawasan untuk tempat berlabuh kapal-kapal nelayan penangkap ikan.
Pada kawasan pelabuhan perikanan tersebut, tanahnya dikuasai oleh masyarakat nelayan yang letaknya terkonsentrasi di suatu tempat perkampungan dan
juga berada pada kawasan pantai . Perumahan penduduk nelayan tersebut umumnya dengan konstruksi rumah panggung dengan ketinggian lantai dari permukaan air laut
pada saat surut sekitar 1-2 meter. Menurut penjelasan Abdul Chalik, hingga saat ini, penguasaan tanah oleh
masyarakat melayan di Kelurahan Bagan Deli hampir sama alasannya dengan masyarakat nelayan yang berada di Kelurahan Belawan-I, yakni mereka membangun
rumah dengan kontruksi panggung di kawasan pantai tersebut tidak bukti-bukti penguasaan secara tertulis, kalaupun ada hanya dalam bentuk surat segel atau sudah
di bawah tangan yang dibuat oleh penduduk itu sendiri.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Kantor Lurah dan Kantor Camat tidak diperbolehkan untuk menerbitkan SKT atas penguasaan tanah di kawasan sepanjang pantai. Kalaupun ada SKT yang
terbit di Kelurahan Bagan Deli, hal itu dapat dipastikan letak tanahnya berada di daratan atau pemukiman penduduk yang relatif jauh dari pantai.
Menurut penuturan Suhaimi
61
, penduduk di Kelurahan Bagan Deli, masyarakat telah lama menguasai tanah di kawasan pantai, bahkan dapat dikatakan
penguasaan tanah tersebut telah berlangsung sejak lama sekali dan turun temurun dari nenek moyangnya dan dapat dikatakan sebagai perkampungan pelabuhan perikanan
tradisional nelayan. Masyarakat ada saja yang hendak mengajukan legalisasi atas penguasaan
tanahnya ke kantor Lurah dan Kantor Camat setempat, tetapi begitu dikatakan letaknya berada di kawasan pantai, maka biasanya akan mendapat penolakan untuk
diterbitkan SKT-nya, kalaupun ada hanya surat-surat pajak bumi dan bangunan saja. Berdasarkan data dalam Buku Register SKT pada kantor Camat Medan
Belawan, yakni dalam buku register Surat Keterangan Tanah SKT, ternyata diperoleh hasil bahwa pada tahun 2007 di seluruh Kecamatan Medan Belawan, dari
sebanyak 157 SKT yang ada di Kecamatan Belawan, sebanyak 24 SKT diterbitkan untuk warga masyarakat di Kelurahan Bagan Deli. Demikian juga pada tahun 2008
sampai dengan bulan Juni dari 71 SKT yang diterbitkan dan sebanyak 8 buah di
61
Wawancara dilakukan pada tanggal 3 Juli 2008.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Kelurahan Bagan Deli, tidak ada yang letak tanahnya di kawasan pantai, tetapi letaknya di daerah perkampungan yang sudah berupa daratan.
Penerbitan SKT pada tiga kelurahan oleh Camat Medan Belawan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1: Data Penerbitan SKT di Kecamatan Belawan
Jumlah SKT No
Kelurahan 2007
2008 Keterangan
1 Belawan-I 23
12 2
Belawan Bahagia 10
2 3 Bagan
Deli 24
71 Sumber : Data dari Kantor Camat Medan Belawan yang Diolah, 2008
Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kota Medan, status tanah di Kelurahan Bagan Deli sebagian besar adalah Hak Pengelolaan
Nomor 1Bagan Deli seluas 188,70 Ha yang terdaftar atas nama Pelindo, lokasinya langsung ke laut dan termasuk daerah-daerah paluh. Hak Pengelolaan ini dikelola
oleh Perum Perikanan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa secara yuridis formal,
penguasaan pihak lain atas tanah yang masuk dalam lokasi Hak Pengelolaan, sepanjang tidak memperoleh ijin dari pemegang haknya Pelindo, merupakan
tindakan ilegal, sebab pihak lain tersebut menguasai tanah di atas tanah yang bukan miliknya tanpa izin yang berhak. Hal ini tentunya melanggar ketentuan Undang-
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Undang Nomor 51Prp. 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
Dalam ketentuan tersebut yang dimaksud dengan memakai tanah adalah menduduki, mengerjakan danatau menguasai sebidang tanah atau mempunyai
tanaman atau bangunan di atasnya dengan tidak mempersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.
Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 diatur bahwa dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, kemudian Pasal 3
mengatur penguasa daerah BupatiWalikota dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan
tanpa izin yang berhak dan kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masing-masing pada suatu waktu.
Pasal 4 menentukan bahwa dalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 3, maka penguasa daerah dapat memerintahkan
kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala barang dan orang yang menerima hak daripadanya dan jika setelah berlakunya
tenggang waktu yang ditentukan di dalam perintah pengosongan tersebut pada ayat 1 pasal ini perintah itu belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka penguasa daerah
atau pejabat yang diberi perintah olehnya melaksanakan pengosongan itu atas biaya pemakai tanah itu sendiri.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Bila dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 15 UUPA bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakan adalah
kewajiban tiap-tiap orang atau badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu.
Oleh karena itu, pemegang hak wajib menguasai dan mengusahakan tanah tersebut sesuai dengan tujuan diberikannya hak itu, dalam hal ini tentunya termasuk
melarang siapapun yang mendudukimenggarap tanah tersebut tanpa izin. Kewajiban untuk menguasai dan mengusahakan tanah yang dimiliki oleh seseorang atau badan
hukum atau instansi juga dicantumkan dalam keputusan penetapanpemberian haknya.
Dengan demikian, tindakan aparat pemerintah yang tidak menerbitkan surat- surat tanah di atas tanah Hak Pengelolaan di Kecamatan Belawan dapat dibenarkan,
demikian juga dengan tindakan pihak Pelindo yang melarang masyarakat untuk menguasai tanah di dalam lokasi Hak Pengelolaan, sudah merupakan hal yang
semestinya atau menjadi kewajibannya selaku pemegang hak. Bahkan apabila pemegang hak yang bersangkutan tidak sanggup
melaksanakan kewajibannya menguasai tanahnya dan melarang pihak lain mendudukimenggarap tanah tersebut dan juga telah dilakukan tindakan yang bersifat
administratif, seperti palarangan atau perintah pengosongan oleh Bupatiwalikota, maka pemegang hak dapat juga menempuh penyelesaian melalui jalur hukum, yakni
pemegang hak atas tanah tersebut dapat mengajukan gugatan ke lembaga peradilan
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
dan menurut ketentuan Pasal 6, hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada pihak yang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 tiga bulan danatau denda sebanyak- banyaknya Rp. 5.000,- lima ribu rupiah.
Pertanyaan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tersebut, yakni bagaimana apabila pihak lain misalnya masyarakat yang menguasai tanah di dalam
lokasi Hak Pengelolaan sudah terlebih dahulu menguasai tanahnya daripada pemberian hak kepada pemegang Hak Pengelolaan.
Hal ini tentunya pemegang Hak Pengelolaan sebelum mendapatkan haknya harus terlebih dahulu menyelesaikan masalah penguasaan oleh pihak lain tersebut
sebelum diajukan permohonan Hak Pengelolaannya, yakni melakukan pengosongan tanah yang dimohonkan dengan memberikan ganti kerugian kepada pihak lain yang
masih mendudukimenggara tanahnya. Bila hal itu tidak dilakukan, maka ada alasan pembenaran bagi pihak
masyarakat yang menguasai dan mendirikan rumah di lokasi tanah tersebut, sekalipun itu termasuk dalam lokasi Hak Pengeleolaan, bahkan apabila penguasaan masyarakat
atas tanah tersebut telah dilakukan secara terus-menerus selama 20 dua puluh tahun lebih, telah ada alasan untuk diberikan hak kepada masyarakat yang menguasai tanah
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Upaya yang dapat ditempuh oleh masyarakat, dapat saja melakukan gugatan kepada lembaga peradilan dan apabila hakim memutuskan bahwa masyarakat yang
menguasai tanah secara sah tersebut merupakan pihak yang lebih berhak atas tanahnya, maka dapat saja diperintahkan instansi yang berwenang untuk menerbitkan
hak kepada masyarakat tersebut dan mengeluarkan tanah tersebut dari lokasi Hak Pengelolaan atau bahkan dapat membatalkan Hak Pengelolaan dimaksud.
Dengan demikian faktor penguasaan tanah merupakan hal penting dalam penetapanpemberian hak atas tanah. Bila tanahnya dikuasai secara fisik dan terus-
menerus, menjadi bahan pertimbangan yang kuat bagi pemerintah untuk mengabulkan permohonan hak atas tanahnya, sebaliknya bila tanah yang dimohonkan
tidak dikuasainya, maka ada alasan untuk menolak permohonan hak atas tanah dimaksud.
Hal yang menarik di Kelurahan Bagan Deli tersebut adalah adanya surat- surat tanah yang terkenal dengan nama KLD singkatan dari Keterangan Labuhan Deli
yaitu surat keterangan yang dikeluarkan oleh Asisten Wedana Ketjamatan Labuhan Deli tahun 1961 yang diberi judul “Surat Keterangan Haq Memperusahai Tanah”
yang ditandatangani oleh Machmud Saidin selaku Asisten Wedana Ketjamatan Labuhan Deli masa itu.
KLD ini menerangkan bahwa seseorang menguasai bidang tanah tertentu yang berasal dari pecahan Grant Sultan yang telah koyak-koyak dan tidak dapat
dibaca lagi. Jadi KLD ini dikeluarkan sebagai pengganti Grant Sultan yang sifatnya
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
sementara menunggu ada peraturan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah berkenaan dengan hak memakai dan memperusahai tanah. Letak tanah dalam KLD
ini umumnya berada di daerah-daerah paluh yang, sekalipun ada batas-batas tanah dan sket petanya, tetapi di lapangan tidak diketahui dengan jelas letak dan batas-batas
bidang tanah tersebut, karena sket peta kasar yang dilampiri dalam KLD tersebut tidak dapat dilakukan rekonstruksi di lapangan.
Menurut Mualli Guntoro, Kepala Sub Seksi Pemetaan Tematik Kantor Pertanahan Kota Medan,
62
terhadap KLD ini, Kantor Pertanahan telah ada diterbitkan sertipikat Hak Milik sekitar 50 lima puluh bidang, sertipikat tersebut diproses
melalui konversi dan sampai saat ini tidak jelas dimana lokasi dan batas-batasnya sebab peta bidang tanah tersebut hanya berupa kutipan peta sket kasar yang tidak
diukur secara kadastral. Sampai saat inipun, banyak pemilik surat tanah berbentuk KLD tersebut
yang datang menanyakan lokasi tanahnya sesuai dengan sket yang ada dan juga meminta rekomendasi guna disertipikatkan atau dijadikan obyek agunan ke lembaga
perbankan. Namum saat ini pemilik KLD ini tidak dapat lagi dilayani baik yang
meminta rekomendasi maupun untuk diterbitkan sertipikatnya, karena ketidakjelasan lokasi dan batas-batas bidang tanahnya, terlebih-lebih pemilik KLD tersebut sama
sekali tidak ada menguasai tanahnya. Padahal bidang tanah yang suratnya
62
Wawancara dilakukan tanggal 10 Juli 2007
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
dicamtumkan dalam KLD tersebut umumnya adalah tanah pertanian yang penggunaannya untuk tambak.
Dengan tidak mengetahui letak dan batas-batas bidang tanahnya oleh pemilik KLD tersebut sudah barang tentu yang bersangkutan tidak menguasai secara
fisik tanah tersebut, dengan tidak menguasai tanah tersebut berarti juga telah menelantarkan tanahnya dengan sengaja.
Hal tersebut tentunya bertentangan dengan ketentuan yang ada, antara lain dalam Hukum Adat menetapkan bahwa apabila tanah yang sudah dibuka kemudian
dibiarkan tidak diurus atau ditelantarkan, maka hak penguasaan atau pemilikan dari tanah tersebut menjadi habis, jika tanah tersebut berasal dari tanah hak ulayat, maka
tanah itu akan kembali menjadi hak ulayat masyarakat hukum adat atau desa,
63
juga sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UUPA yang menentukan seseorang yang
mengklaim mempunyai hak atas tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahaan tanah tersebut secara aktif oleh pemilik sendiri.
Begitu juga dengan ketentuan Pasal 27, 34 dan 40 UUPA telah menggariskan bahwa barang siapa yang menelantarkan tanahnya menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan hak atas tanahnya dapat dihapuskan selanjutnya tanahnya jatuh kepada Negara, ditelantarkan maksudnya dengan sengaja tidak dipergunakan
63
Muhammad Hatta, Hukum Tanah Nasional, Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Yogyakarta : Media Abadi, 2005, hal. 34
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya dan yang berhak menyatakan tanah tersebut dalam keadaan terlantar.
64
Oleh karena itu, tepat apabila Pemerintah baik melalui pemerintahan desakecamatan maupun melalui Badan Pertanahan Nasional tidak
melegalisasimemformalkan seseorang yang hanya memiliki surat-surat tanah saja atas suatu bidang tanah tertentu tetapi tidak menguasai secara fisik obyek tanah
tersebut dengan aktif, terlebih-lebih apabila tanah tersebut merupakan tanah pertanian, hal tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Bila hal yang demikian yang terjadi, maka pemilik KLD tersebut hanya menggunakan surat-surat tanahnya sebagai ajang spekulasi. Betul memang bahwa ia
bisa saja sebagai pihak yang syah menurut hukum sebagai pemilik tanahnya, namun adalah tindakan salah jika tidak mengetahui dimana letak dan batas-batas tanahnya.
Bagaimana yang bersangkutan akan memelihara tanahnya sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 15 UUPA jika tanah tersebut tidak dikuasainya, maka
pemilikan tanah tersebut tidak hanya bertentangan dengan hukum tetapi juga pemegang hak atas tanah tersebut juga dapat dihukum sesuai dengan ketentuan Pasal
53 UUPA yang menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-. Sungguhpun dari ketentuan pasal ini tidak ada didengar dilaksanakan secara efektif.
64
AP Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Bandung : Mandar Maju, 1993, hal. 143
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
Pelaksanaan dari ketentuan tersebut sebenarnya merupakan hal penting untuk memastikan penguasaan tanah tersebut menjadi faktor penting dalam pemilikan
tanah, yakni menguasai tanah tersebut dengan menggunakannya sesuai dengan fungsi dan tujuan haknya akan memberikan manfaat bagi pemegang haknya sendiri dan pada
gilirannya bermanfaat juga kepada masyarakat sekitarnya.
Apabila tanah tersebut tidak dikuasai dan dibiarkan dalam keadaan terlantar, berarti ada unsur kesengajaan untuk membiarkan tanah tersebut tidak berproduksi dan
tidak memberi manfaat sehingga selain merugikan pemiliknya sendiri juga merugikan masyarakat sekitarnya.
Hal ini penting diperhatikan dan dilaksanakan, dalam hal ini mempertimbangkan penguasaan tanah dan melaksanakan aturan hukum yang
berkaitan dengan penguasaan tanah tersebut, karena pada dasarnya aturan hukum tersebut bukan hanya peraturan belaka, tetapi lebih merupakan potret dari perilaku
manusia, artinya hukum erat kaitannya dengan manusia. Selama ini banyak aturan hukum yang hanya dalam bentuk aturan pasal-
pasal di atas kertas, namun tidak berbanding lurus dengan ketertiban di masyarakat, undang-undang menumpuk tetapi persoalan tidak kunjung terselesaikan dengan baik,
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
hal ini terjadi karena tidak ada penegakan hukum law enforcemen dan penegakan hukum tidak ada karena faktor manusia dan perilakunya.
65
Kenyataan ini tergambar betul dan menjadi kenyataan dalam hal penguasaan atas tanah, karena banyak aturan hukum UU Nomor 5 tahun 1960 dan
UU Nomor 51Prp1960 yang seharusnya dapat menyelesaikan penguasaan tanah oleh orang lain yang tidak berhak atau tidak menguasai tanah secara
fisikmenelantarkan tanahnya yang dapat dikenakan hukuman, namun aturan hukum tersebut tidak dilalaksanakan secara konsekwen.
Pentingnya penguasaan tanah tersebut, termasuk dalam hal penetapan pemberian hak atas tanah sekalipun dari segi penggunaan tanah tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, seperti aturan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, maka status hubungan hukum antara orang yang menguasai tanah tersebut dengan tanahnya
tidak dapat diabaikan sama sekali. Dengan kata lain penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah tidak
mempengaruhi status hubungan hukum atas tanah, hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Bahkan dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah tersebut ditentukan bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat
diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan, dengan ketentuan sebagaimana
65
Satjipto Raharjo, Wajah Hukum Indonesia, Artikelopini pada Harian Kompas yang diterbitkan tanggal 28 Juli 2008, halaman 6.
Edi Sahputra : Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan, 2009
diatur dalam Pasal 13, penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tersebut harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah,
tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami.
Dalam hal ini dapat dicontohkan bahwa seseorang yang mempunyai tanah di kawasan sempadan pantai dan tanah tersebut dikuasainya secara fisik, maka
kepadanaya dapat diberikan hak atas tanah, dengan syarat tanah tersebut harus ditanaminya dengan pohon-pohon yang bersifat melindungi abrasi pantai, seperti
menaman pohon kelapa atau mangrove.
D. Bukti Penguasaan Tanah
Sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat berbagai jenis bukti penguasaan atas tanah yang ditemukan di Kecamatan Belawan, terutama yang berada pada
kawasan sempadan pantai. Bukti penguasaan tanah tersebut, ada yang sudah berupa hak atas tanah yang
sudah terdaftar menurut UUPA, ada juga bukti hak yang belum terdaftar dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat tertentu, baik oleh pejabat yang
berwenang maupun yang tidak berwenang, ada juga yang hanya berupa surat-surat yang dibuat secara di bawah tangan, dengan uraian sebagai berikut :
1. Hak Pengelolaan