Usaha – Usaha Penanggulangan Ijime Di Kalangan Siswa Di Jepang Nihon No Gakusei No Shuui Ni Aru Ijime No Mondai No Kaishaku

(1)

USAHA – USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI

KALANGAN SISWA DI JEPANG

NIHON NO GAKUSEI NO SHUUI NI ARU IJIME NO

MONDAI NO KAISHAKU

Skripsi

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Disusun oleh :

Happy Mart Amfris Oloan A.

NIM : 080708018

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

USAHA – USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI KALANGAN SISWA DI JEPANG

NIHON NO GAKUSEI NO SHUUI NI ARU IJIME NO MONDAI NO KAISHAKU

OLEH

HAPPY MART AMFRIS OLOAN AMBARITA 080708018

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof. Hamzon Situmorang, MS,Ph.D Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum NIP: 19580704 1984 12 1 001 NIP: 19600919 1988 03 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum NIP: 19600919 1988 03 1 001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyeleseaikan skripsi yang berjudul “USAHA – USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI KALANGAN SISWA DI JEPANG.”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu, penulis secara terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen pembimbing II saya. 3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing I

yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan pendidikan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.


(5)

5. Seluruh staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah membantu penulis dalam hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini. 6. Orang tua penulis, Amon Ambarita dan Friska Nadeak, yang selalu

mendoakan penulis agar selalu sehat, memberikan dukungan moral dan material yang tak terhingga hingga saat ini, yang tidak akan mampu penulis balas sampai kapanpun juga.

7. Adik – adik penulis, Desman Ferinata Ambarita, Anderson Juniarta Ambarita dan Monika Putri Ambarita yang selalu memberiku semangat dan mewarnai hari – hariku.

8. Kepada Dhaher Frans Pasaribu, yang menjadi temanku semenjak aku memulai perkuliahan di Departemen Sastra Jepang. Terima kasih buat bantuan, semangat dan dukungannya.

9. Sahabat-sahabatku, Wilda, Nenk, Winda, Vivin, Dodi, Magna, Ndit, Surya, Ardi, dan Januar ,terima kasih sudah jadi keluarga dan sahabat terbaikku yang selalu memberi semangat dan dukungan dan teman-temanku 08 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih karena sudah bersamaku selama 4 tahun terakhir ini.

10. Buat senior – seniorku, Randy K. Simanjuntak, SS, Hyantes T.B Pasaribu, SS, Fredy Walis Sembiring, SS, Teddy Sumbari, SS, Ferdian Pardede, SS, dan Victor Julianto Manullang, SS, yang telah memberikan dukungan, semangat, bantuan, saran, dan nasehat kepada penulis.

11. Kepada junior – junior dan sekaligus anggota Team Aotake, Edo, Nugraha, Baim, Barry, Rauf, Tira, Rizky, yang telah bersama – sama membangun


(6)

kejayaan Team Aotake di bidang sepak bola dan futsal. Kalian teruskan kejayaan Team Aotake dan jangan biarkan sinar Aotake redup.

12. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari isi maupun uraianya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan-masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, November 2012

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR…...……… I

DAFTAR ISI………. IV

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang Masalah………. 1

1.2 Perumusan Masalah……… 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan……….. 6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……… 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 9

1.6 Metode Penelitian……….. 10

BAB II IJIME DALAM MASYARAKAT JEPANG………... 12

2.1 Pengertian Ijime……….. 12

2.2 Faktor Penyebab Ijime di Jepang……….…... 15

2.3 Bentuk – Bentuk Ijime di Jepang……… 28

2.4 Contoh Kasus Berkaitan dengan Ijime……… 29

BAB III USAHA – USAHA MENANGGULANGI IJIME………... 32


(8)

3.2 Keluarga………...…... 35

3.3 Sekolah………...…………. 38

3.4 Pemerintah………... 44

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN………. 47

4.1 Kesimpulan………...……… 47

4.2 Saran……… 51

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(9)

ABSTRAK

USAHA – USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI KALANGAN SISWA DI JEPANG

Ijime adalah gangguan yang berisi ejekan, penindasan, perendahan martabat, atau bahkan kekerasan yang dilakukan oleh para para pelajar. Masalah ijime di Jepang sudah menjadi masalah sosial yang cukup serius. Hal ini terbukti masalah ijime tidak hanya membuat banyak siswa malas untuk datang ke sekolah, tetapi dapat membuat korbannya melakukan tindakan bunuh diri. Sebagai contoh adalah seorang siswa SMP di Fukuoka Jepang berusia 13 tahun yang melakukan bunuh diri untuk lepas dari kekejaman ijime yang dilakukan oleh teman sekelasnya.

Masalah ijime yang timbul di Jepang ini tidak terlepas dari berbagai faktor. Adapun faktor penyebab timbulnya ijime di Jepang ini adalah budaya, berita yang dimuat di media massa, pendidikan di sekolah dan lingkungan keluarga.

Dalam skripsi ini metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan. Metode ini dilakukan dengan cara mengambil sumber acuan dari buku-buku dan artikel yang berhubungan dengan ijime di Jepang. Dalam hal ini penulis melakukan survey book di berbagai tempat serta mengambil beberapa data dari internet, jurnal, dan e-book.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan konsep ijime dan pendekatan sosiologis. Ijime adalah masalah kenakalan anak-anak sekolah di tingkat pendidikan dasar dan menengah berupa penganiayaan, penghinaan, baik segi mental maupun fisik yang mereka lakukan di antara mereka sendiri.


(10)

Agar dapat menjelaskan kasus ijime diperlukan sebuah teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penulisan ini. Dalam hal ini, penulis menggunakan teori pendekatan sosiologi untuk meneliti ijime yang terjadi pada masyarakat Jepang.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat tidak sebagai individu yang terlepas dari kehidupan masyarakat. Fokus bahasan sosiologi adalah interaksi manusia, yaitu pengaruh timbal balik di antara dua orang atau lebih dalam perasaan, sikap, dan tindakan.

Walaupun masalah ijime sudah menjadi masalah yang sangat serius di lingkungan sekolah di Jepang, namun sebenarnya masalah tersebut dapat ditanggulangi. Masalah ijime tersebut dapat ditanggulangi melalui peran serta beberapa pihak seperti melalui diri siswa sendiri, keluarga, sekolah dan pemerintah. Adapun yang dapat dilakukan oleh setiap siswa untuk menanggulangi ijime adalah :

1. Memiliki kesadaran diri dan pribadi yang kuat.

2. Mampu menjadi seorang teman yang baik bagi semua orang dan memiliki teman yang setia baik pada saat senang maupun susah.

3. Memiliki sikap untuk berteman dengan bijak dan menjaga sebuah persahabatan.

4. Memiliki sikap keterbukaan untuk menceritakan masalahnya kepada orang tua.

Peran orang tua dalam lingkungan keluarga juga sangat penting dalam penanggulangan ijime. Adapun yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah :


(11)

1. Mendidik dan mengasuh anak dengan pola asuh yang penuh kasih sayang dan penuh perhatian.

2. Menjalin komunikasi dengan anak sehingga memiliki kepekaan terhadap anak.

3. Jangan terlaku memanjakan anak. Biarkan anak untuk melakukan dan memutuskan sesuatu agar dirinya memiliki rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri.

4. Jangan terlalu mendidik anak dengan keras dan disiplin yang kuat. Berilah waktu mereka untuk bermain dengan teman – teman mereka dan bersosialisasi dengan orang lain.

5. Orang tua memiliki waktu dengan anaknya dan tidak terlalu sibuk dengan urusan pekerjaanya. Hal ini penting agar anak tidak merasa hampa dan orang tua juga mampu melakukan pengawasan terhadap tontonan anak sehingga anak tidak terpengaruh dengan dampak buruk dari tontonannya.

Ijime sering terjadi di sekolah. Oleh karena itu, pihak sekolah dapat melakukan tindakan – tindakan untuk menanggulangi ijime, seperti :

1. Sekolah membangun sistem untuk mencegah dan menangani kasus ijime di sekolah.

2. Di sekolah dibangun kesadaran dan pemahaman tentang ijime dan dampaknya kepada semua warga sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, hingga orang tua siswa.


(12)

3. Sekolah menyediakan berbagai kegiatan positif kepada siswa agar dapat membangun sikap sportifitas, kebersamaan, dan saling menyayangi antar warga sekolah.

4. Dibangun komunikasi antara sekolah, orang tua, dan siswa melalui pertemuan – pertemuan yang diadakan secara rutin.

5. Tindakan tegas terhadap siswa yang melakukan tindakan ijime. 6. Menghentikan praktek – praktek kekerasan dalam mendidik siswa. 7. Membangun kapasitas siswa dalam hal melindungi dirinya dari pelaku

ijime dan tidak menjadi pelaku ijime.

8. Memberikan perhatian khusus pada tempat – tempat sering terjadinya ijime seperti halaman bermain, toilet, kantin, tempat olahraga, dan gudang sekolah.

9. Memberikan tindakan yang tegas pada guru yang melakukan tindakan ijime.

Peran guru juga sangat penting dalam proses penanggulangan ijime. Adapun yang dapat dilakukan oleh guru adalah menjadi seseorang guru yang profesional. Adapun guru profesional itu adalah :

1. Bekerja keras untuk mendapatkan rasa hormat muridnya.

2. Menghargai muridnya dan orang lain secara sejajar dan mencoba untuk memahami mereka secara individu.

3. Menyadari bahwa hubungannya dengan para muridnya harus memuaskan bagi kedua belah pihak.

Selain peran sekolah dan guru, peran bimbingan konseling juga dapat membantu penanggulangan ijime. Adapun yang dapat dilakukan oleh bimbingan


(13)

konseling sekolah adalah pemberian bimbingan konseling kepada siswa sebagai pelaku dan penderita ijime.

Terakhir, pihak yang juga berperan dalam penanggulangan ijime adalah pemerintah. Adapun yang dapat dilakukan pemerintah dalam menanggulangi ijime adalah :

1. Membuat peraturan dan undang – undang tentang ijime 2. Membuat program kebijakan anti ijime

3. Perekrutan guru yang tidak hanya berdasarkan kemampuan psikomotor dan kognitif saja tetapi juga kemampuan afeksinya.

4. Membatasi dan mengurangi berita – berita atau tayangan – tayangan yang terkait dengan tindak kekerasan atau ijime yang dimuat di media massa


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap negara. Di Jepang sendiri, ijime adalah sebuah fenomena sosial yang cukup serius. Yang di maksud dengan ijime atau bullying adalah gangguan yang berisi ejekan, penindasan, perendahan martabat, atau bahkan kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar.

Ijime atau penganiayaan merupakan fenomena sosial yang tidak dapat diabaikan karena ijime dapat terjadi pada setiap orang, bahkan di negara-negara maju juga masih terdapat banyak kasus ijime, terutama negara Jepang. Seperti dalam harian Media Indonesia ( 27 Juli 1997 pada lembar “Delik”), memuat berita kasus pembunuhan seorang bocah oleh bocah di Kobe, Jepang.

Kasus-kasus semacam penganiayaan (ijime) cenderung meningkat tajam di negeri Jepang. Dalam tengah tahun pertama 1997 setidaknya terjadi tiga kasus pembunuhan secara amat mengenaskan oleh anak-anak di bawah umur, belum kasus-kasus bunuh diri sejumlah pelajar akibat tindak kekerasan dan pemerasan oleh sesama murid sekolah. Di Jepang ijime dianggap sebagai masalah yang serius.

Faktor banyaknya kasus ijime yang terjadi di Jepang tidak lepas dari kebudayaan yang membentuk masyarakat Jepang. Selain faktor kebudayaan, faktor yang menyebabkan banyaknya terjadi kasus ijime di Jepang adalah faktor


(15)

keluarga, pendidikan sekolah dan pengaruh media. Faktor-faktor inilah yang membuat banyaknya kasus ijime terjadi di Jepang.

Ijime, seperti yang dikenal di Jepang, merupakan masalah manusia yang akan terus berlangsung hingga sampai kapan pun. Segala jenis penindasan, hardikan di sekolah, gangguan atau diskriminasi di dalam masyarakat. Itu semua adalah ijime (Uchida, 1993:1).

Sementara menurut Akiko Dogakunai (2005:2), ijime diartikan secara harafiahnya sebagai masalah kenakalan anak-anak sekolah di tingkat pendidikan dasar dan menengah berupa penganiayaan, penghinaan, penyiksaan, baik segi mental maupun fisik yang mereka lakukan di antara mereka sendiri.

Adapun menurut Murakami (1993:149-150) bentuk-bentuk ijime kedalam dua kelompok yaitu:

1. Penganiayaan mental dalam bentuk perbuatan mengancam, memberikan nama julukan dengan tujuan mengolok-olok korban, tidak mengikutsertakan korban dalam kegiatan kelompok serta menjadikan korban sebagai objek bulan-bulanan secara terus menerus di hadapan khalayak ramai yang menyebabkan korban ijime merasa dipermalukan dan kemudian timbul perasaan rendah diri. Beberepa nama julukan yang umum digunakan antara lain baikin ( kuman ), shine ( mati lo! ) dan kusai ( dasar bau ).

2. Penganiayaan fisik dalam bentuk menjambak rambut, menyiram air kotor ke sekujur tubuh korban, menampar, melakukan pelecehan seksual, dan sebagainya.


(16)

Selain itu, Coloroso Barbara (2006:47-50) juga memaparkan bentuk-bentuk ijime ke dalam 4 kelompok, yaitu:

1. Ijime verbal berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial), pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, terror, surat-surat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, gossip dan lain sebagainya.

2. Ijime secara fisik berupa memukuli, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, mencakar serta meludahi korban yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, merusak serta menghancurkan barang-barang milik korban yang tertindas.

3. Ijime secara relasional (pengabaian) yaitu pelemahan harga diri si korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan agresif, lirikan mata, helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa yang meengejek dan bahasa tubuh yang kasar.

4. Ijime elektronik yaitu perilaku ijime yang dilakukan melalui sarana elektronik seperti computer, handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan.


(17)

Prilaku ijime ini memiliki dampak bagi korban, pelaku, maupun lingkungan (orang-orang yang menyaksikan) ijime. Adapun dampak yang diperoleh oleh korban adalah muncul rasa takut dalam diri korban terhadap pelaku, timbulnya perasaan minder, putus asa, kesepian dan sebagainya, mendorong korban ijime untuk melakukan bunuh diri, tidak memiliki identitas diri dan korban dapat berbalik menjadi pelaku ijime. Bagi pelaku ijime, dampak yang dapat diperoleh adalah mudah marah, cenderung bersikap agresif dengan prilaku yang pro terhadap kekerasan. Sedangkan bagi lingkungan (orang-orang yang menyaksikan ijime) dampak yang diperoleh adalah mereka akan menganggap bahwa ijime adalah perilaku yang dapat diterima secara sosial dan mereka bergabung dengan para pelaku ijime karena takut menjadi sasaran berikutnya.

Begitu mengerikannya dampak yang ditimbulkan oleh tindakan ijime, maka perlu penanggulangan agar masalah yang ditimbulkan oleh tindakan ijime tidak semakin parah. Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan tindakan ijime di kalangan siswa di Jepang, maka penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut dengan judul “USAHA – USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI KALANGAN SISWA DI JEPANG”.

1.2

Perumusan Masalah

Istilah ijime berasal dari kata ijimeru (苛める) yang memiliki arti harafiah sebagai tindakan menyiksa, memarahi, dan mencaci maki. Kata tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah istilah sosial yang digunakan untuk menggambarkan salah satu bentuk penganiayaan yang terjadi dalam masyarakat Jepang.


(18)

Pada dasarnya, masalah ijime dialami oleh setiap negara namun tidak sampai pada tahap yang mengkhawatirkan seperti yang terjadi di Jepang. Di Jepang, tak jarang kasus ijime sering berakhir dengan kematian. Di Jepang, ijime terjadi di lingkungan sekolah baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Adapun perilaku ijime tersebut tentunya memiliki dampak kepada korban, pelaku maupun lingkungan (orang-orang yang menyaksikan) ijime. Adapun dampak-dampak yang diperoleh para korban ijime dari perbuatan ijime misalnya munculnya rasa takut dalam diri korban terhadap pelaku, tidak memiliki identitas diri bahkan mendorong korban ijime untuk melakukan bunuh diri. Bagi pelaku ijime dampak yang diperoleh adalah mudah marah, cenderung bersikap agresif dengan prilaku yang pro terhadap kekerasan. Sedangkan bagi lingkungan (orang-orang yang menyaksikan ijime) dampak yang diperoleh adalah mereka akan menganggap bahwa ijime adalah prilaku yang dapat diterima secara sosial dan mereka bergabung dengan para pelaku ijime karena takut menjadi sasaran berikutnya.

Untuk menghindari dampak dari ijime ini, tentunya ada penanggulangan ataupun pencegahan agar masalah ini tidak semakin parah. Adapun penanggulangan ini hendaknya dilakukan oleh para siswa sendiri, orang tua, sekolah maupun pemerintah Jepang sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat permasalahan dalam bentuk pertanyaan yang akan dibahas pada skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Apa – apa saja faktor penyebab ijime di Jepang?


(19)

1.3

Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi pembahasannya hanya mengenai bagaimana penanggulangan ijime di kalangan siswa di Jepang yang meliputi peran diri sendiri, keluarga, sekolah dan pemerintah.

Agar pembahasan lebih jelas, terarah dan akurat, maka penulis dalam bab II menjelaskan juga tentang pengertian ijime, faktor-faktor penyebab ijime, bentuk-bentuk ijime dan contoh kasus berkaitan dengan ijime.

1.4

Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Ijime, seperti yang dikenal di Jepang, merupakan masalah manusia yang akan terus berlangsung hingga sampai kapan pun. Segala jenis penindasan, hardikan di sekolah, gangguan atau diskriminasi di dalam masyarakat. Itu semua adalah ijime (Uchida, 1993:1).

Sementara menurut Akiko Dogakunai (2005:2), ijime diartikan secara harafiahnya sebagai masalah kenakalan anak-anak sekolah di tingkat pendidikan dasar dan menengah berupa penganiayaan, penghinaan , penyiksaan, baik segi mental maupun fisik yang mereka lakukan di antara mereka sendiri.

Morita (1985,2001) yang menyebut bahwa ijime adalah sebuah tipe tindakan agresif dari seseorang yang memiliki posisi dominan di dalam proses interaksi sebuah grup melalui tindakan yang disengaja atau serangkaian tindakan yang menimbulkan penderitaan mental dan atau fisik bagi orang lain yang berada di dalam grup yang sama.


(20)

Ijime di Jepang lebih mirip dengan “bullying” di Barat, yakni tekanan untuk menyakiti perasaan korban yang dilakukan oleh orang-orang dalam sebuah komunikasi/kelompok yang saling mengenal. Persepsi orang untuk menyamakan “ijime” dengan “bullying” adalah karena arti ijime jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris memang paling mendekati arti “bullying”.

Dalam melakukan ijime, pelaku ijime biasanya melakukan perbuatan dengan berbagai cara. Adapun menurut Murakami (1993:149-150) bentuk-bentuk ijime kedalam dua kelompok yaitu:

1. Penganiayaan mental. 2. Penganiayaan fisik.

Selain itu, Barbara Coloroso (2006:47-50) juga memaparkan bentuk-bentuk ijime ke dalam 4 kelompok, yaitu:

1. Ijime verbal. 2. Ijime secara fisik.

3. Ijime secara relasional (pengabaian). 4. Ijime elektronik.

2. Kerangka Teori

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan konsep ijime, konsep penanggulangan dan pendekatan sosiologis. Dalam konsep ijime, penulis menggunakan pendapat Akiko Dogakunai dan Morita. Menurut Akiko Dogakunai (2005:2), ijime diartikan secara harafiah sebagai masalah kenakalan anak-anak sekolah di tingkat pendidikan dasar dan menengah berupa penganiayaan,


(21)

penghinaan, baik segi mental maupun fisik yang mereka lakukan di antara mereka sendiri.

Hal yang hampir sama juga disebutkan oleh Morita. Morita (1985,2001) berpendapat bahwa ijime adalah sebuah tipe tindakan agresif dari seseorang yang memiliki posisi dominan di dalam proses interaksi sebuah grup melalui tindakan yang disengaja atau serangkaian tindakan yang menimbulkan penderitaan mental dan atau fisik bagi orang lain yang berada di dalam grup yang sama.

Dalam konsep penanggulangan, penulis menggunakan pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online. Penanggulangan berasal dari kata kerja tanggulang yang berarti menghadapi, mengatasi. Lalu mendapat awalan pe- dan akhiran –an sehingga berubah penanggulangan yang merupakan kata benda yang berarti proses, cara, perbuatan mengatasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa penanggulangan adalah cara, perbuatan untuk menghadapi ataupun mengatasi suatu hal (www.kbbi.web.id).

Agar dapat menjelaskan kasus ijime diperlukan sebuah teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penulisan ini. Dalam hal ini, penulis menggunakan teori pendekatan sosiologi untuk meneliti ijime yang terjadi pada masyarakat Jepang.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat tidak sebagai individu yang terlepas dari kehidupan masyarakat. Fokus bahasan sosiologi adalah interaksi manusia, yaitu pengaruh timbal balik di antara dua orang atau lebih dalam perasaan, sikap, dan tindakan. Ruang kajiannya dapat berupa masyarakat, komunitas, keluarga, perubahan gaya hidup, struktur, mobilitas sosial, gender, interaksi sosial, perubahan sosial,


(22)

perlawanan sosial, konflik, integrasi sosial, norma dan sebagainya (Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2004:3-4).

1.5

Tujuan dan Mamfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Moleong (2007:370) menyebut bahwa maksud dan tujuan dalam suatu karya tulis adalah penting karena hal ini menjadi dasar para penulis atau ilmuwan tertarik untuk berkarya dalam bidang ilmu pengetahuan dengan jalan menulis karya tulis ilmiah.

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa – apa saja faktor penyebab ijime di Jepang.

2. Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan ijime di kalangan siswa di Jepang.

2. Mamfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang ijime di Jepang. 2. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang penanggulangan ijime

di kalangan siswa di Jepang.

3. Dapat dijadikan sebagai informasi untuk penelitian lain yang berhubungan dengan ijime.


(23)

1.6

Metode Penelitian

Metode ialah merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah langkah yang sistematik untuk mengumpulkan data dengan metode atau teknik tertentu guna,menari jawaban atas permasalhan yang ada (Sinaga dkk;1997:2). Sedangkan menurut Siswantoro (2005:55) metode penelitian dapat diartikan seebagai prosedur atau tatacara yang sistematis yang dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu.

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan suatu gejala sosial tertentu (Bungin, 2001). Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati objek masalah yang terjadi, kemudian mengumpulkan data berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian mengembangkan data yang telah didapat sesuai dengan informasi dan data yang sesuai dan berhubungan dengan masalah dalam skripsi ini. Data-data yang berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian ini didapat dan dikumpulkan melalui metode Penelitian Kepustakaan atau Library Research. Menurut Nasution (1996 : 14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang


(24)

perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konssep, kesimpulan serta saran. Metode kepustakaan merupakan metode yang mengutamakan pengumpulan data dari beberapa buku atau referensi yang berkaitan dengan pembahasan untuk mencapai tujuan penelitian (Mulyadi dalam Syahwani, 2006:13).

Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Survey book dilakukan diberbagai perpustakaan,seperti : Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang USU, Perpustakaan USU, dan beberapa perpustakaan lainnya. Sementara Documentary Research dilakukan dengan menghimpun data yang bersumber dari internet seperti Google Book maupun blok blok yang membahas mengenai permasalahan yang berkaitan dengan judul penelitian ini.


(25)

BAB II

IJIME DALAM MASYARAKAT JEPANG

2.1 Pengertian Ijime

Istilah ijime berasal dari kata ijimeru (苛める) yang memiliki arti harafiah sebagai tindakan, memarahi, dan mencaci maki. Kata tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah istilah sosial yang digunakan untuk menggambarkan salah satu bentuk tindakan penganiayaan yang terjadi dalam masyarakat Jepang. Para sosiolog Jepang secara sederahana mendefinisikan ijime sebagai tindakan penganiaayaan yang terjadi di dalam kelompok masyarakat Jepang

Penganiayaan atau ijime seperti dikenal di Jepang adalah masalah manusia yang akan terus berlangsung hingga entah kapan. Segala jenis penindasan, hardikan di sekolah, gangguan atau diskriminasi di dalam masyarakat. Itu semua adalah ijime (Uchida, 1993 : 1).

Sementara menurut Akiko Digakunai (2005 : 2), ijime diartikan secara harfiahnya sebagai masalah kenakalan anak – anak sekolah di tingkat pendidikan paling dasar dan menengah berupa penganiayaan, penghinaan, penyiksaan baik segi mental maupun fisik yang mereka lakukan di antara mereka sendiri.

Definisi tersebut membuat masyarakat internasional sering mengidentikkan ijime dengan tindakan bullying yang kerap terjadi di negara-negara Barat. Akan tetapi, kata bullying yang memiliki arti sebagai tindakan menganiaya, tidak memberikan batasan yang jelas mengenai bentuk penganiayaan yang dilakukan


(26)

sehingga tindakan bullying di negara-negara Barat umumnya mengacu pada segala bentuk tindakan yang bertujuan untuk menyiksa secara fisik korban.

Faktor banyaknya kasus ijime yang terjadi di Jepang tidak lepas dari kebudayaan yang membentuk masyarakat Jepang karena wujud lain kebudayaan dapat berupa sistem sosial karena yang berbentuk tindakan ada pada diri manusia. Sistem sosial ini terdiri dari kegiatan – kegiatan manusia dalam berinteraksi antar individu dan kelompok dari waktu ke waktu dengan pola tertentu.

Nojuu Shinsaku (1989 : 44) dari Pusat Penelitian Bimbingan Kehidupan Anak di Jepang mengatakan tentang apa yang disebut ijime sebagai berikut :

Yang disebut ijime berbeda dengan perkelahian, tetapi merupakan suatu perbuatan seseorang yang mempunyai kekuatan dalam beberapa bentuk untuk dapat melakukan penyerangan searah terhadap yang manjadi lawannya. Orang yang berada dalam posisi yang kuat menyerang orang yang berada dalam posisi yang lemah baik secara fisik maupun mental dan mempunyai ciri bahwa yang melakukan itu merasa senang apabila melihat lawannya menderita dan menjadi kesal. Ijime mempunyai ciri bukan dilakukan dengan berakhir satu kali perbuatan seperti halnya dalam suatu perkelahian, tetapi dilakukan dalam masa yang panjang.

Ijime berbeda dengan apa yang disebut perkelahian karena perkelahian biasanya dilakukan oleh satu lawan satu tetapi ijime kelihatannya semacam perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok besar orang terhadap sekelompok kecil orang atau oleh beberapa orang terhadapa satu orang. Selain itu, ijime tak hanya dilakukan satu kali perbuatan tetapi dilakukan berkali – kali dalam masa yang panjang.

Ijime biasanya terjadi di dalam konteks sekolah, berhubungan teman sebaya baik pelaku maupun korbannya. Menurut Krahe Barbara (2001 : 197), ijime


(27)

mengandung beberapa pengertian seperti menggangu, melecehkan, merendahkan, mengintimidasi dan menganiaya. Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan waktu yang pendek. Ijime biasanya terjadi secara berkelanjutan selama jangka waktu yang lama, sehingga korban secara terus – menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Ijime dapat berbentuk tindakan langsung maupun tidak langsung. Ijime langsung mencakup pelecehan fisik terhadap korbannya sementara ijime tidak langsung terdiri atas berbagai strategi yang menyebabkan korban terasing dan terkucil secara sosial.

Beberapa penelitian masalah ijime mengatakan antara ijime di Jepang dan di Barat itu sedikit berbeda. Persepsi orang untuk menyamakan karena arti ijime jika diartikan ke dalam bahasa Inggris memang paling mendekati arti “bullying”. Para peneliti Jepang lebih cocok memakai definisi Morita (2001) yang menyebut bahwa ijime adalah sebuah tingkah laku agresif yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki posisi dominan di dalam proses interaksi sebuah grup melalui tindakan disengaja atau serangkaian tindakan yang menimbulkan penderitaan mental dan/atau fisik orang lain yang berada di dalam grup yang sama. Jadi bukan pada penekanan kekuatan fisik dan ketidakseimbangan kekuatan (Taki, 2003). Ini mengindikasikan bahwa pelecehan dengan kekerasan fisik di Jepang jauh lebih rendah dari negara lain dari survey Morita (2001).

Meski punya sikap dan arti yang mirip dengan ‘ijiwaru’ dan ‘iyagarase’ tetapi dijelaskan oleh Smith, dkk. (2002), istilah ijime tetap dipakai karena mengandung unsur fisik yang terendah dan lebih menyerang mental (terdapat pula istilah ‘fuzake’ yang isinya hampir semuanya verbal, atau ‘nakamahazushi’ yang


(28)

lebih terimplementasikan kearah terputusnya hubungan sosial). Dari keterangan ini, diindikasikan adanya definisi terpisah antara ijime (bullying) dan boryoku (violence, kekerasan) dalam keseluruhan pembicaraan untuk masalah sosial kejiwaan di Jepang. Ditambahkan oleh Morita (2001) bahwa pergeseran sistem masyarakat Jepang dari publik (ooyake) ke privat (watakushi, uchi) juga rentan terhadap masalah ijime ini.

Ijime di Jepang lebih mirip dengan bullying yang dilakukan di negara Barat, yakni tekanan pada menyakiti perasaan korban yang dilakukan oleh orang – orang dalam satu kelompok komunitas/kelompok (saling mengenal). Sedang kekerasan (boryoku) lebih fiskal dan tujuannya merampas atau membuat sakit secara fisik korban yang dilakukan mungkin oleh orang yang tidak dikenal. Taki (2003) selanjutnya mengidentifikasikan beberapa kondisi penting dari ijime itu adalah pertama, korban sudah merasa menjadi bagian dari kelompok, adanya ketidakseimbangan pengaruh atau kekuatan (non fisik) lain, dan ketiga adalah intensitas atau kekerapan ijime ini terjadi. Semakin tak bisa menghindar atau melawan maka semakin besar intensitas ijime itu berlangsung.

2.2 Faktor Penyebab Ijime di Jepang

Ada beberapa penyebab sehingga muncul ijime di Jepang. Adapun faktor – faktor tersebut adalah :

1. Budaya

Jepang memiliki struktur masyarakat yang unik yaitu struktur masyarakat kelompok atau lazim disebut sebagai shuudan shugi (集団主義). Taki (2003)


(29)

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan struktur masyarakat kelompok adalah sebuah struktur yang lebih mengutamakan individu sebagai bagian dari satu kelompok masyarakat dibandingkan individu sebagai seorang personal. Masyarakat Jepang mengelompokkan diri mereka dengan orang – orang di sekitarnya sesuai dengan kriteria tertentu seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, diakui ke dalam satu kelompok masyarakat tertentu menjadi prioritas utama bagi individu mendapatkan suatu identitas diri. Ketika seseorang diakui oleh satu kelompok masyarakat maka pada saat itulah dia menjadi manusia seutuhnya.

Sejak masa kanak – kanak, individu Jepang telah diajarkan sebuah prinsip sosial yang disebut shuudan ishiki(集団意識)atau dengan kata lain kesadaran untuk hidup berkelompok (Nakane Chie, 1984 : 8). Misalnya saja, ketika duduk di bangku TK mereka akan membentuk kelompok bermain yang disebut ~kumi/gumi. Jika seorang anak sudah bergabung dengan salah satu kumi maka dia tidak bisa seenaknya bergabung dalam permainan yang dilakukan oleh kumi yang lain. Bagi mereka, anggota dari kumi di luar kelompok bermain adalah orang asing .

Menginjak usia SD, pertemanan kelompok ini mulai memperluas wilayahnya selain sebagai kelompok bermain. Anak – anak yang berasal dari TK yang sama cenderung akan bergabung menjadi satu kelompok. Mereka kemudian akan membentuk kelompok makan siang, kelompok belajar, atau kelompok tamasya dan sebagainya, yang terbentuk sejak mereka pertama kali menginjak bangku pendidikan sekolah dasar. Hanya bersama kelompok – kelompok inilah mereka akan menghabiskan masa SD mereka.


(30)

Pertemanan kelompok semacam ini akan terus berlanjut hingga ke tingkat SMP, SMA, bahkan universitas dan tempat kerja. Semakin tinggi jenjang kehidupan yang dimasuki maka semakin ketat dan beragam pula kriteria yang dituntut agar bisa bergabung dengan satu kelompok tertentu terutama ketika seseorang menginjak usia remaja. Hal in terlihat jelas di kelompok – kelompok yang terbentuk semasa SMA, misalnya kelompok murid populer, kelompok murid murid pandai, kelompok OSIS, bahkan kelompok yang terbentuk karena anggotanya tergabung dalam satu ekstrakurikuler yang sama.

Akan tetapi tidak semua individu sanggup memenuhi kriteria yang diminta oleh satu kelompok tertentu supaya dapat menjadi bagian dari kelompok mereka. Individu – individu inilah yang biasanya akan menjadi korban tindakan ijime. Ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kriteria kelompok dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, misalnya cacat fisik, prestasi belajar yang standar, orang yang lemah secara fisik maupun mental, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, korban ijime adalah orang – orang yang berbeda dengan orang – orang di sekeliling mereka. Terkadang perbedaan itu tidak selalu buruk, ada pula orang yang dijadikan sasaran ijime karena mereka memiliki kelebihan dalam bakat atau kepintaran.

Pernyataan di atas diperkuat oleh Merry White dalam Valentina (2008 : 30) yang merumuskan tiga tipe anak – anak yang umumnya menjadi ijimerakekko (korban ijime) seperti diuraikan di bawah ini :

1. Anak – anak yang tidak populer bukanlah bagian dari grup manapun; mereka diasingkan atau ditolak oleh grup – grup yanga ada di dalam kelas. Beberapa dari anak – anak ini berusaha untuk diterima dengan


(31)

bergaul, selalu terlihat oleh yang lain, atau dengan jelas memaksa untuk diterima (deshabari). Sebagian lainnya menarik diri dari pergaulan. Mereka diasingkan karena berbagai macam alasan misalnya karena dicap sebagai “orang yang sangat menggangu” atau “orang yang lambat”, “orang yang jorok dan berantakan”, “pembohong”, “bermuka dua”. Akan tetapi, umumnya mereka menjadi korban karena mereka “berbeda”. 2. Anak – anak ini mungkin memiliki kualitas yang menimbulkan rasa

ccemburu atau persaingan di dalam grup, terutama karena mereka majime (serius).

3. Anak – anak yang tidak populer adalah mereka dikatakan memiliki “mental korban (higaisha ishiki)” yang menyebabkan terjadinya ijime. Menurut Jhon Clammer dalam Valentina (2008 : 31) berpendapat bahwa bagi masyarakat Jepang yang mementingkan kebersamaan dalam kelompok, homogenitas individu menjadi sebuah keharusan supaya dapat bertahan hidup dalam sistem tersebut. Hal ini menyebabkan memiliki perbedaan dengan orang lain menjadi semacam momok yang manakutkan bagi masyarakat Jepang karena mereka akan dipaksa untuk menjadi sama atau dikucilkan. Sesuai dengan peribahasa yang mengatakan deru kugi wa utareru yang berarti paku yang menonjol harus dipalu. Peribahasa tersebut mengibaratkan orang – orang yang memiliki perbedaan sebagai sebuah paku yang menonjol. Paku tersebut harus dibuat sama kedudukannya dengan paku – paku lain dengan cara dipalu. Maka apabila seseorang berbeda dengan orang lain disekitarnya, dengan cara halus atau kasar orang tersebut akan dipaksa untuk menjadi sama dengan yang lain.


(32)

2. Berita yang Dimuat di Media Massa

Munculnya berita – berita mengenai masalah ijime yang serius melalui media massa seperti berita dengan judul : “Ijime Peristiwa Bunuh diri’ atau “Peristiwa Pembunuhan Balas Dendam Akibat di Ijime” dan lain – lain ini memberi kesan kepada para orang tua dan masyarakat lainnya di Jepang bahwa pendidikan di Jepang sedang mengalami kekacauan. Dengan meluasnya berita tentang ijime, kata ijime muncul sebagai istilah yang popular. Bukan populer terhadap kata itu saja, tetapi juga populer di dalam dunia anak – anak karena melalui acara – acara televisi atau buku cerita bergambar anak, membuat mereka mengenal apa yang disebut ijime. Banyak acara televisi yang dianggap tidak baik dan dapat mempengaruhi dunia anak salah satunya adalah acara yang menyangkut tentang ijime.

Morita Yoji dari sebuah universitas swasta di Osaka, adalah seorang yang meneliti tentang ijime. Ia mengatakan bahwa berita – berita di media massa tentang ijime menyebabkan timbulnya masalah masyarakat. Pandangan mengenai baik buruknya media massa memuat berita ijime dikatakannya bahwa ijime sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Walaupun ijime itu bukanlah sebuah tindakan yang baik, tetapi bisa ditemui atau bisa ada di dalam segala lapisan masyarakat apa saja.

Kalau diibaratkan sebagai sebuah warna, segala perbuatan baik berwarna putih dan perbuatan yang buruk berwarna hitam sedangkan ijime berwarna abu – abu. Tetapi karena semakin meluas dan berkembangnya konsep tentang ijime ini, lama – kelamaan ijime ini cenderung dikelompokkan ke dalam perbuatan buruk ( Jidoshinri, Oktober 1986, dikutip dan diterjemahkan oleh Nojuu, 1989 : 23 ).


(33)

Walaupun ijime itu dikatakan bukan suatu perbuatan yang baik, tetapi sebenarnya di dalam dunia anak ijime merupakan proses liku – liku kehidupan anak dalam masyarakat. Misalnya, dengan cara berkelahi anak – anak ingin menunjukkan apa yang ada pada dirinya. Ada kalanya ia diijime dan ada kalanya ia mengijime. Bagi anaka itu sendiri, melalui ijime ia belajar menyesuaikan diri di dalam lingkungannya.

3. Pendidikan Sekolah

Sekolah mempunyai fungsi yang amat dan sangat khusus untuk menciptakan makhluk baru yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena sekolah merupakan asosiasi yang lebih luas dari keluarga atau teman – teman. Selain itu sekolah tidak berasal dari hubungan darah, bukan juga dari pilihan bebas, tetapi dari pertemuan secara kebutuhan dan tidak dapat dielakkan di antara para murid yang dikumpulkan berdasarkan umur dan berbagai kondisi sosial yang hampir sama ( Nojuu, 1989 : 20 ).

Selain itu sekolah merupakan tempat untuk anak bertindak secara moral, yaitu bertindak dengan cara – cara tertentu yang meliputi konsistensi keteraturan tingkah laku dan wewenang. Yang disebut moral pada dasarnya adalah sesuatu yang bersifat tetap, sejauh kita berbicara mengenai jangka waktu yang tidak terlalu panjang, moral itu akan tetap sama dan tidak berubah ( Madubrangti, 1994 : 17 ).

Terdapat jarak yang besar antara moral ketika anak masih berada bersama keluarga, ketika anak menemukan dirinya dan ketika ia meninggalkan keluarga itu, sekolah dan lingkungannya merupakan sarana yang paling tepat untuk


(34)

pembentukan moral anak. Ada tiga unsur dalam moral, yaitu disiplin, keterikatan pada kelompok dan otonomi si pelaku. Berarti pembentukan moral anak sekolah dapat dilihat dalam situasi di dalam kelas, karena kelas adalah suatu kelompok kecil, berarti tidak satupun dari anggota kecil ini akan bertindak sebagaimana jika mereka bertindak sendiri – sendiri karena akan mempengaruhi kelompoknya.

Di kelas ada cukup banyak hal – hal yang dapat dilihat dipelihara bersama dalam kehidupan kolektif kelas, hal ini untuk membangkitkan rasa solidaritas anak seperti memiliki ide – ide bersama, perasaan besama dan tanggung jawab bersama.

Sikap anak sekolah di Jepang akhir – akhir ini cenderung untuk tidak menyukai segala sesuatu bentuk – bentuk aturan yang bersifat keharusan, seperti disiplin atau aturan – aturan yang diwajibkan oleh guru kelas atau kelompok resmi di sekolah. Sehingga anak – anak sekolah di Jepang sekarang dengan adanya semacam tuntutan masyarakat sebagai Gakurekishakai ‘masyarakat beriwayat pendidikan’ yaitu masyarakat yang menuntut adanya riwayat pendidikan , dimana anak – anak sekolah dituntut untuk mengejar kemampuan ilmu pengetahuannya melalui persaingan belajar. Untuk itu berbagai usaha yang dilakukan oleh guru maupun orang tua antara lain dengan memberikan pelajaran tambahan atau menyuruh anaknya mengambil pelajaran tambahan untuk menghadapi ujian masuk Sekolah Menengah Atas atau Perguruan Tinggi favorit dalam bentuk persaingan belajar dalam usaha mencapai hensachi ( peringkat prestasi belajar ).

Kemudian karena sangat banyak peraturan serta tuntutan sekolah yang diberikan kepada murid – muridnya, sehingga apabila murid tidak melakukannya sesuai dengan peraturan dan tuntutan tersebut maka ia akan menerima hukuman


(35)

fisik yang dilakukan oleh gurunya di sekolah maupun oleh orang tuanya di rumah ( Madubrangti, 1994 : 18 ).

Masalah anak sekolah yang sedang hangat dibicarakan orang pada waktu lalu yaitu masalah Konaiboryoku (kebrutalan anak di sekolah), yang pada saat itu sedang menjadi pembicaraan hangat di Jepang menjadi tidak begitu menonjol. Tetapi sebenarnya dengan meradanya masalah konaiboryoku di mata masyarakat bukan berarti masalah anak dapat diatasi sepenuhnya. Konaiboryoku dilakukan oleh anak sekolah sebagai salah satu wujud protes anak terhadap aturan – aturan sekolah yang begitu banyak. Walaupun demikian kebrutalan anak – anak sekolah di Jepang yang akhir – akhir ini kelihatannya sudah semakin berkurang bukan berarti mereka sudah sadar untuk tidak melakukan kebrutalan lagi. Tetapi sebenarnya berkurangnya jumlah kebrutalan anak di sekolah itu karena anak cemas akan semakin bertambah banyak dan kerasnya peraturan – peraturan sekolah apabila ia melakukan kebrutalan di sekolah. Selain itu peraturan – peraturan kecil tentang kehidupan anakpun sudah ditekankan pada anak – anak dengan memberikan hukuman fisik jika aturan itu tidak dipatuhi.

Akibatnya, cara lain yang dilakukan oleh anak untuk menghindari hukuman fisik yang diberikan oleh guru maupun orang tuanya ini, memunculkan tindakan lain yang dilakukan oleh anak sebagai ungkapan protes di dalam dirinya yaitu dengan melakukan tindakan tokokyohi (tidak mau pergi ke sekolah). Selain itu mereka cenderung membentuk semacam kelompok yang bersifat protes dengan cara mengijime seorang teman dari kelompoknya yang dianggap memiliki di kelasnya. Oleh karena itu anak yang dijadikan sasaran ijime itu mempunyai kelebihan atau kelainan yang tidak dimiliki oleh mayoritas teman – teman


(36)

sekelasnya atau anak itu adalah anak yang lemah fisiknya. Ijime semacam ini dilakukan oleh kelompok mayoritas anak – anak sekolah di sekolah yang sama.

4. Lingkungan Keluarga

Cara pendidikan anak tradisional di Jepang dimana ibu secara langsung memeluk dan mengasuh anaknya sendiri semakin tidak terlihat akibat adanya perkembangan sarana mendidik anak yang tidak menunjukkan kehadiran ibu turun tangan secara langsung. Hal ini merupakan salah satu hambatan yang mengakibatkan hilangnya hubungan ibu dan anak secara langsung ( Nojuu, 1989 : 68-70 ).

Yamamura Takeaki dari Universitas Rikkyo menjelaskan bahwa anak lahir dari sebuah keluarga yang merupakan kelompok paling inti di dalam masyarakat manusia. Di dalam kelompok itulah anak dibesarkan sesuai dengan keberadaan kelompok itu di dalam masyarakat sebagai satu unit kelompok yang lebih besar lagi. Ditekankan bahwa perkembangan anak di dalam keluarga sudah menunjukkan sifat bermasyarakat dan sifat bermasyarakat yang ada pada anak itu bukan dimulai dari adanya tahap – tahap perkembangan setelah anak itu lahir tetapi perkembangan itu sudah ada dengan sendirinys sejak bagitu anak dilahirkan oleh ibunya.

Ciri ideal kehidupan keluarga adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi kehangatan, kasih sayang, dan sikap saling menghormati. Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa berbagai macam bentuk kekerasan serius terjadi dalam konteks keluarga. Seperti dikemukakan Gelles dalam Annisa (2005 : 34) pada kalimat pembukaan bukunya, “orang – orang di masyarakat lebih mungkin


(37)

dibinuh, diserang secara fisik, dipukul, dihajar, ditampar, atau ditempeleng oleh anggota keluarganya sendiri daripada oleh orang lain di tampat lain”.

Anak – anak yang dianiaya oleh anggota keluarganya mungkin tidak mengungkapkan pengalamannya kepada orang lain karena tidak ingin dianggap sebagai pendusta atau pembuat masalah. Karena statusnya sebagai anggota yang relatif tak berdaya dalam sistem keluarga, anak paling beresiko menjadi sasaran perilaku agresif orang tua atau anggota keluarga lain yang lebih tua. Seperti dikemukakan Tedechi, dkk dalam Annisa (2005 : 34) “orang – orang yang amat jarang menggunakan paksaan terhadap orang lain menganggap anaknya sebagai pengecualian.

Orang tua tunggal dan ibu – ibu remaja juga lebih berkemungkinan menganiaya anak – anaknya secara fisik. Begitu juga orang tua yang memiliki masalah penggunaan alkohol dan obat terlarang ( Wiehe dalam Annisa, 2005 : 35). Selain itu juga ditemukan bahwa orang tua yang menganiaya anak – anak secara fisik memiliki harapan tidak realistis terhadap kemampuan kontrol diri dan kemandirian anaknya. Kekurangan sumber keuangan dan dukungan sosial juga menjadi pemicu dari kekerasan terhadap anak.

Akibat menderita kekerasan fisik yang tentunya menderita sakit badaniah akibat tindakan yang dilakukan orang tua merupakan pengalaman yang sangat buruk bagi anak. Dengan demikian tidak mengejutkan bila banyak diantara anak – anak itu mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dalam hubungan sosial, dan perilaku sosial mereka secara umum. Penilaian diri yang rendah, kecemasan, perilaku merusak diri, ketidak mampuan menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan


(38)

orang lain adalah efek – efek penganiayaan fisik pada masa anak – anak yang lazim dilaporkan (Miller, dkk 1999 : 65). Pengalaman penganiayaan fisik ini berhubungan dengan lebih tingginya kemungkinan perilaku menyimpang pada anak yang bersangkutan dan meningkat sampai beranjak dewasa, terutama pada remaja laki – laki (Englander, 1997 : 27). Karena tekanan dari orang tua, remaja tersebut meluapkannya kepada teman – temannya yang secara fisik berbeda dari yang lain. Ia akan terus melakoni tindak ijime secara terus – menerus.

Sejumlah anak yang diabaikan diperkirakan akan tumbuh menjadi pelaku ijime yang agresif. Ketiaadaan akan perhatian dan kehangatan terhadap anak, bersamaan dengan contoh perilaku menyimpang di rumah dan pengawasan yang kurang terhadap anak, menyediakan kesempatan yang sempurna akan terjadinya perilaku ijime (Loeber, dkk, 1998 : 53). Contoh perilaku menyimpang seperti kekerasan fisik dan kekerasan secara lisan orang tua terhadap anaknya atau menggunakaan kekerasan fisik terhadap satu sama lain. Karena anak sering melihat kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya dapat dipastikan bahwa perilaku penyimpangan oleh anak ketika ia beranjak remaja maka sebagian akan ditirunya dari yang dilakukan oleh orang tuanya tersebut (Jaffe, dkk dalam Annisa, 2005 : 36).

Orang tua yang berpura – pura tidak melihat tabiat buruk anaknya mungkin memanjakan anak dengan cara lain. Orang tua memberikan terlalu banyak kasih sayang yang salah. Anak – anak menjadi terhambat perkembangannya. Anak seperti ini lalu terlalu banyak bergantung pada “pengabdian” yang diterimanya di rumah sehingga tidak memiliki kepercayaan pada dirinya. Agar diterima dan mendapatkan kasih sayang, anak lalu tidak berbuat apa – apa. Anak setuju saja


(39)

terhadap apapun yang dikatakan kepadanya. Tetapi dia tidak pernah yakin apakah berbuat benar atau salah akibatnya lalu menjadi cemas, yaitu merasa takut dan tegang. Baginya dunia merupakan tempat yang menakutkan dan manusia merupakan makhluk hidup yang tidak dapat dipercaya.

Keluarga Jepang saat ini, yang populer di kalangan pekerja kota biasanya mereka hidup dan tinggal di flat kecil terdiri dari dua kamar tidur dan satu dapur. Tetapi meskipun demikian, perabotan rumah tangganya lengkap dan berupa perabotan listrik. Pada tahun 1960-an mereka hanya menginginkan kulkas, mesin cuci, dan alat penyedot debu. Tetapi lama – kelamaan, keinginannya itu meningkat seperti AC, TV berwarna dan mobil. Untuk memenuhi keinginannya ini, biasanya suami istri bekerja. Dalam bahasa Jepang, suami istri yang bekerja disebut Tomokasegi.

Di lain pihak karen terlalu banyak menggunakan perabotan elektronik di dalam rumah tangga membuat jam kerja berkurang (terutama untuk istri). Dengan berkurangnya jam kerja, banyak istri yang menganggur. Biasanya para istri yang menganggur menghabiskan waktu senggangnya dengan memusatkan perhatian kepada pendidikan anak. Hal ini dikenal dengan istilah Kyooiku Mama.

Dalam Kyooiku Mama ini, ibu memiliki peranan yang sangat penting terhadap pendidikan anak. Anak – anak dididik dengan keras dan disiplin yang kuat. Tentu saja hal ini dilakukan demi kebahagiaan anak di masa mendatang tetapi di lain pihak tanpa disadari mempunyai dampak buruk yang timbul dalam diri si anak yang bersangkutan.

Karena disiplin dan ketatnya jam pelajaran, membuat waktu bermain hampir tidak ada sehingga anak – anak merasa ditekan. Mereka belajar seakan – akan


(40)

hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya atau juga karena ia merasa takut dimarahi orang tuanya. Perasaan tertekan ini tertimbun dalam diri si anak, meskipun ia melakukan tugas – tugasnya dengan baik. Di dalam rumah anak – anak memang patuh terhadap orang tua tetapi jika berada di luar rumah, mereka berontak dan melampiaskan kkketegangan mereka dengan melakukan tindakan kekerasan di sekolah (booryoku).

Dampak lain dari Kyooiku Mama adalah timbulnya rasa bersaing dalam diri anak karena selama ia dididik ibunya selalu menekankan agar anaknya masuk pergurungan tinggi no. 1. Perasaan bersaing ini akan terbawa terus. Hal inilah yang membuat orang Jepang ddijuluki sebagai masyarakat yang tidak bisa lepas dari rasa bersaing (Kyoosho Shakai). Karena memang orang Jepang selalu menerima status orang lain melalui pendidikannya yang dalam istilah Jepang disebut Gakurei Shakai.

Banyak suami istri yang bekeeerja di luar yang berarti meninggalkan anak – anaknya di rumah. Maka timbullah masalah yang disebut Kagikko (anak pembawa kunci). Maksudnya adalah anak diberi tugas membawa kunci rumah dan membukakan pintu jika orang tuanya pulang dari bekerja. Setelah sekolah seorang anak pulang dengan perasaan hampa karena tidak ada seorang pun yang akan menyambut kedatangannya. Ia hanya ditemani oleh acara – acara TV saja sehingga tidak ada pengawasan dari orang tua khususnya ibu. Sehingga acara TV yang ia tonton terkadang membawa pengaruh yang buruk terhadap anak. Hal ini juga dapat dianggap sebagai hal – hal yang berkaitan dengan tindakan penyimpangan perilaku Jepang yang dikenal dengan Ijime.


(41)

2.3 Bentuk – Bentuk Ijime di Jepang

Tujuan utama dari tindakan ijime adalah menganiaya secara mental. Akan tetapi sering pula tindakan ijime juga melibatkan penyiksaan fisik yang mengarah pada tindakan kriminal. Menurut Murakami (1993:149-150) membagi bentuk-bentuk ijime ke dalam dua kelompok yaitu:

1. Penganiayaan mental dalam bentuk perbuatan mengancam, memberikan nama julukan dengan tujuan mengolok-olok korban, tidak mengikutsertakan korban dalam kegiatan kelompok serta menjadikan korban sebagai objek bulan-bulanan secara terus menerus di hadapan khalayak ramai yang menyebabkan korban ijime merasa dipermalukan dan kemudian timbul perasaan ,rendah diri. Beberepa nama julukan yang umum digunakan antara lain baikin ( kuman ), shine ( mati lo! ) dan kusai ( dasar bau ).

2. Penganiayaan fisik dalam bentuk menjambak rambut, menyiram air kotor ke sekujur tubuh korban, menampar, melakukan pelecehan seksual, dan sebagainya.

Sedangkan Barbara Coloroso (2006:47-50) memaparkan bentuk-bentuk ijime ke dalam 4 kelompok, yaitu:

1. Ijime verbal berupa julukan nama seperti antara lain baikin (kuman), shine (mati lo!), celaan, fitnah, kritik kejam, makian, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial), pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau


(42)

pelecehan seksual, terror, surat-surat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, gossip dan lain sebagainya. 2. Ijime secara fisik berupa memukuli, mencekik, menyikut,

meninju, menendang, menggigit, mencakar serta meludahi korban yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, merusak serta menghancurkan barang-barang milik korban yang tertindas.

3. Ijime secara relasional (pengabaian) yaitu pelemahan harga diri si korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan agresif, lirikan mata, helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa yang meengejek dan bahasa tubuh yang kasar.

4. Ijime elektronik yaitu perilaku ijime yang dilakukan melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chattingroom, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya digunakan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan.

2.4 Contoh Kasus yang Berkaitan dengan Ijime Kasus I

Di Jepang tepatnya di Fukuoka seorang siswa murid SMP berusia 13 tahun yang bernama Kiyoteru Okochi memutuskan bunuh diri untuk lepas dari ijime


(43)

teman sekelasnya. Dia meninggalkan catatan yang membuktikan dan mengklarifikasi fakta bahwa dia merasa putus asa dari kekejaman ijime. Sebab dia selalu dipaksa untuk merendamkan wajahnya ke dalam air sungai yang kotor, bahkan sepedanya rusak berulang kali dan teman sekelasnya menuntut agar ia selalu memberikan uang kepada mereka sebesar 1000 yen setiap harinya. Karena tindakan ijime ini terus menerus dilakukan oleh temannya sehingga ia melakukan bunuh diri sebagai bentuk penyelesaiannya (Fredman : 1995).

Kasus II

Pada tanggal 2 November 1984, diketemukan mayat seorang pelajar yang berusia 18 tahun, bernama Yoshiaki Kamazawa di sebuah sungai di area Tenma. Kepala korban telah dipukuli berkali – kali dengan palu dan kedua matanya telah dicungkil keluar. Dari penyelidikan yang dilakukan, diketahui bahwa yang membunuh Yoshiaki adalah 2 teman sekelasnya. Mereka ditangkap dan mengaku bahwa mereka membunuh Yoshiaki karena mereka ingin membalas dendam. Apa yang melatar belakangi hingga timbul balas dendam, dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa mereka berdua selama berbulan – bulan telah diperdayai oleh Yoshiaki.

Mereka dijadikan pesuruh dan sering diperintahkan untuk menyerang pelajar lain. Jika hal ini tidak dilakukan, mereka mendapat siksaan dari Yoshiaki dengan bertubi – tubi. Pernah suatu hari Yoshiaki mengendarai sepeda menyusulnya. Kalau tidak berhasil mereka akan dipukuli.

Mereka berdua telah beberapa kali mengadukan perbuatan Yoshiaki kepada guru – guru mereka, tetapi mereka berdua tidak mendapat bantuan selayaknya dari


(44)

guru – guru mereka tersebut. Bahkan guru mereka bersikap pura – pura tidak tahu kejadian tersebut sewaktu ditanya.

Peristiwa yang menyakitkan mereka hingga mereka timbul perasaan ingin membunuhnya adalah peristiwa dimana Yoshiaki memaksa mereka melakukan maasturbasi di depan teman – teman sekelas lainnya.

Tidak tahan dengan perlakuan yang dilakukan Yoshiaki, maka mereka sepakat untuh membunuh Yoshiaki demi mengakhiri penderitaan mereka sebagai korban ijime. Mereka memanggil Yoshiaki ke taman, setelah berhasi mengajak Yoshiaki ke taman, keduanya bergantian memukul kepala Yoshiaki dengan palu. Seolah takut Yoshiaki akan bangun kembali, salah satu dari mereka mencungkil keluar bola mata Yoshiaki dengan menggunakan ujung palu yang sama dan kemudian membuang mayatnya ke sungai.


(45)

BAB III

USAHA – USAHA MENANGGULANGI IJIME

3.1 Diri Sendiri

Ijime dapat ditanggulangi melalui berbagai cara. Ijime dapat dicegah ataupun ditanggulangi melalui diri sendiri. Ada beberapa langkah paling ampuh untuk menangkal ijime, yaitu memiliki kesadaran diri dan kepribadian yang kuat, menjadi seorang teman, memiliki satu teman yang baik (baik di saat susah maupun senang), dan melebur dalam sebuah kelompok. Dan seorang pengijime akan berusaha menggagalkan semua ini. Dengan ditindas maka anak dapat ditolak oleh rekannya. Pada saat ia sangat membutuhkan dukungan mereka, dia justru tidak mendapatkannya. Tampaknya tak seorangpun menyukainya, tak peduli betapa kerasnya ia mencoba menyesuaikan diri dan berupaya agar bisa diterima. Anak pun mulai memandang sekolah sebagai tempat yang mengancam dan menakutkan dimana ia tak bisa mengaandalkan siapapun untuk membantunya. Siklus kekerasan pun berputar maju.

Ada lima faktor kepribadian yang ditulis oleh seorang mahasiswa doktoral, S. Pierce yang dapat melindungi anak sehingga tidak menjadi korban penindasan selama bersekolah. Faktor itu adalah :

•Sifat ramah

•Keinginan untuk berbagi

•Keinginan untuk bekerja sama

•Keterampilan untuk bergabung dalam permainan anak – anak lain


(46)

Jika seorang anak memandang dirinya sebagai sosok yang cakap, terampil, koperatif, bertanggung jawab, banyak akal dan tangguh, maka ia bukan saja tidak akan menjadi para penindas yang kejam dan suka mencari perkara tapi ia juga akan cenderung mampu secara efektif mempertahankan diri dari serangan orang lain.

Seorang anak yang melakukan pembicaraan yang positif tentang dirinya sendiri untuk mengembangkan kepercayaan diri dan penghormatan terhadap dirinya sendiri maka akan cenderung memandang penyebab penindasan berasal dari luar dan bukan sesuatu yang bisa menjatuhkan dirinya.

Di sisi lain kalau anak kurang memiliki kesadaran diri yang kuat, tergantung pada pujian, dan cenderung menyalahkan dirinya sendiri untuk hal – hal yang keliru dalam kehidupannya, maka ia cenderung akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah ditindas.

Setiap anak membutuhkan orang – orang dalam lingkungan mereka yang menawarkan dukungan, saran dan cinta tak bersyarat untuk membangun kesadaran diri yang kuat. Akan sangat berguna jika bisa menemukan seorang anak yang lebih besar sebagai sahabat. Dan karena setiap anak bisa saja beresiko menjadi korban ijime, maka gagasan idealnya adalah bersahabat dengan anak – anak lain sejak dini. Beberapa sahabat terbaik adalah pengijime yang telah berubah. Anak – anak harus mulai belajar untuk berteman dengan bijak, mengembangkan persahabatan, dan menyingkir dari pertemanan yang menyakiti.

Cara lain untuk menangkal penindasan selain dengan menjadi seorang teman dan memiliki teman – teman adalah dengan kecakapan seorang anak untuk memperkenalkan dirinya ke dalam sebuah kelompok. Carilah kelompok yang


(47)

berisi teman – teman sejati yang peduli dengan teman – teman kelompok mereka ataupun dengan orang – orang yang di luar kelompok mereka.

Anak – anak yang menghabiskan banyak waktu bersama dengan teman – temannya pastinya mengalami perselisihan dan pertengkaran. Penting bagi anak untuk belajar memecahkan permasalahan dan menuntaskan konflik secara damai. Ketika anak menyajikan gagasan dan pikiran mereka sendiri, simak alasan mereka dan bekerja samalah untuk mencapai sebuah solusi. Sikap memberi, menerima, keterbukaan dan kerja sama kedua anak membuat mereka semakin dekat satu sama lain. Anak – anak yang telah menuntaskan masalah secara bersama – sama dengan sukses cenderung akan saling membantu ketika salah satu di antara mereka ditindas.

Selain itu cara lain untuk menghindarkan anak dari penindasan adalah anak memiliki keterbukaan diri untuk menceritakan masalahnya kepada orang tuanya. Banyak anak – anak di Jepang yang di ijime oleh teman – temannya di sekolah cenderung menyembunyikan dan menutup – nutupi masalahnya dari orang tua mereka agar tidak diketahui. Hal ini adalah tindakan yang salah sebab dengan demikian maka anak akan menanggung masalah sendiri dan tidak baik bagi dirinya. Anak hendaklah menceritakan masalahnya kepada orang tuanya sebab dengan mereka menceritakan masalahnya kepada orang tua mereka maka dapat meringankan masalah mereka dan mereka sadar bahwa ada orang yang peduli pada dirinya. Selain itu dengan anak bercerita masalahnya kepada orang tua mereka, maka orang tua dapat melakukan tindakan – tindakan yang dapat menghindarkan sang anak dari tindakan penindasan – penindasan berikutnya.


(48)

3.2 Keluarga

Keluarga adalah salah satu faktor yang penting untuk mengatasi tindakan ijime. Dalam keluarga, orang tualah yang memiliki peranan yang sangat besar agar anak tidak mengalami atau melakukan tindakan ijime. Orang tua seharusnya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak – anaknya. Jangan membiarkan anak hidup dalam kekangan mental ataupun fisik. Sikap memarahi anak habis – habisan, apalagi tindak kekerasan (pemukulan dan tindakan fisik) tidaklah baik, karena hal itu hanya akan menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya sehingga menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Sehingga akan menimbulkan kebencian pada orang tuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari tindakan kekerasan adalah anak akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga menurunkan prestasi anak di sekolah dan hubungan sosial atau pergaulan dengan teman – temannya akan terganggu. Sehingga hal ini akan mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau membentak apabila timbul kekesalan di dalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas, mengalami mimpi buruk, depresi dan mengalami berbagai masalah di sekolah. Penting disadari oleh orang tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang dan perhatian.

Menjalin komunikasi dengan anakpun merupakan salah satu tindakan penting bagi orang tua untuk menghindarkan dan menangulangi kekerasan pada


(49)

anak. Tujuannya adalah agar anak akan merasa cukup nyaman bercerita kepada orang tua ketika mereka mengalami intimidasi ataupun kekerasan di sekolah. Jika anak – anak mengetahui bahwa mereka dapat mendatangi orang tua mereka dengan hal – hal yang baik atau buruk dan bahwa orang tua akan menyimak mereka secara aktif serta menawarkan dukungan, bimbingan, dan kebijaksaan, maka mereka mungkin akan memberi tahu orang tua kalau mereka telah ditindas. Bahkan kalau mereka tidak datang seketika dan memberi tahu orang tua, bila orang tua meluangkan waktunya untuk berdialog dengan anak – anak tentang kegiatan mereka sehari – hari dan kalau orang tua terlibat dalam kehidupan anak – anak mereka dan mengetahui teman – teman anaknya maka orang tua cenderung mengetahui tanda – tanda kalau ada sesuatu yang salah dengan anak mereka termasuk tentang adanya penindasan yang telah dialami oleh anak mereka. Dengan begini anak akan mengetahui bahwa tak ada satupun yang terlalu tolol atau terlalu serius untuk dibicarakan dan anak juga mengetahui bahwa orang tua ada sebagai orang dewasa yang peduli untuk mendukung dan memberdayakan dirinya.

Orang tua juga tidak baik terlalu memanjakan anaknya dengan terlalu memberikan kasih saying yang salah. Dengan terlalu memanjakan anak, orang tua secara tidak langsung menghambat perkembangannya. Jika anak bersalah, hendaknya orang tua bertindak tegas dan bijaksana sehingga anak tahu perbuatan itu salah dan berusaha tidak lagi mengulangi kesalahannya. Selain itu orang tua harus mengajarkan anak untuk tidak lari dari masalah. Biarkan anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri terlebih dahulu sebab dengan demikian akan membuat kepercayaan dirinya semakin baik dan semakin dewasa dalam bersikap.


(50)

Apabila anak meminta misalnya pindah sekolah, sebisa mungkin jangan turuti hal tersebut sebab masalah penindasan terjadi hampir di setiap sekolah.

Di Jepang saat ini ada istilah Kyooiku mama. Kyooiku mama adalah ibu yang memusatkan perhatiannya kepada pendidikan anak sehingga ibu memiliki peranan yang sangat penting terhadap pendidikan anak. Anak – anak dididik dengan keras dan disiplin yang kuat. Karena disiplin dan ketatnya jam pelajaran, membuat waktu bermain hampir tidak ada sehingga anak – anak merasa ditekan. Hal ini tidak baik sebab selain belajar, anak juga memerlukan waktu untuk bermain bersama teman – temannya dan bersosialisasi dengan yang lain. Oleh sebab itu, ibu sebagai yang berperan penting disini hendaknya selain mendidik anaknya untuk disiplin dalam belajar tapi juga memberikan waktu untuk anaknya bermain dengan teman – temannya supaya anak tidak merasa tertekan.

Selain itu, orang tua juga harus dapat meluangkan waktunya kepada anaknya dan tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Banyak sekarang suami istri di Jepang yang bekerja di luar dan meninggalkan anaknya di rumah. Sehingga timbullah masalah yang disebut Kagikko (anak pembawa kunci). Maksudnya adalah anak diberi tugas membawa kunci rumah dan membukakan pintu jika orang tuanya pulang kerja. Anak dengan keadaan seperti ini merasa kehampaan dan kesepian dalam dirinya karena tidak seorangpun yang akan menyambut kedatangannya. Dalam hal ini, yang menjadi temannya adalah acara – acara televisi saja. Tidak ada pengawasan orang tua terhadap acara apa – apa saja yang ditonton oleh anak. Banyak acara televisi yang buruk yang ditonton oleh anak termasuk acara – acara ataupun berita – berita tentang penindasan yang tentunya membawa dampak buruk bagi anak. Hal ini juga dapat menyebabkan anak – anak


(51)

melakukan perilaku menyimpang termasuk ijime. Oleh sebab itu, orang tua dituntut untuk bisa meluangkan waktunya dan melakukan pengawasan terhadap tontonan anak – anak mereka agar anak – anak mereka tidak terpengaruh dampak buruk dari program televisi yang ditonton olah anak mereka.

3.3 Sekolah

Merupakan kewajiban sekolah untuk melindungi peserta didik dari terjadinya tindak kekerasan terhadap siswa. Apabila tindak kekerasan di sekolah tidak ditangani secara serius akan berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan belajar siswa. Kondisi lingkungan yang kurang kondusif untuk kegiatan belajar akan berdampak kepada penurunan prestasi belajar siswa dan prestasi sekolah secara umum. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh sekolah berkaitan dengan pencegahan atau minimalisasi terjadinya tindak kekerasan di sekolah. Langkah -langkah tersebut diantaranya :

1. Sekolah harus membangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus ijime di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya ijime serta sistem penanganan korban ijime di setiap sekolah. Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban ijime bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban ijime, dll.


(52)

2. Di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan pemahaman tentang ijime dan dampaknya kepada semua warga sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga orangtua. Sosialisasi tentang program anti ijime perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua warga sekolah memahami dan mengerti apa itu ijime dan dampaknya.

3. Sekolah menyediakan berbagai kegiatan positif kepada siswa yang dapat membangun sikap sportifitas, kebersamaan, dan saling menyayangi antar warga sekolah.

4. Perlu dibangun komunikasi secara terbuka antara sekolah, orang tua dan siswa melaui pertemuan-pertumuan yang secara rutin diadakan. Pertemuan dengan orang tua ini bertujuan agar pihak sekolah dan guru mengetahui perhatian orang tua pada anaknya, pola hubungan anak dengan orang tua dan upaya orang tua dalam mendukung aktivitas anak di sekolah dan upaya orang tua dalam menanggulangi ijime melalui jejaring dengan banyak pihak. Selain dengan orang tua, pertemuan dan wawancara dengan siswa juga diperlukan untuk mengetahui secara mendalam tentang akar masalah, situasi sekolah, bentuk, alasan, dan kondisi ijime. Dengan adanya pertemuan dan wawancara dengan orang tua dan murid ini maka pihak sekolah maupun guru dapat melakukan tindakan yang sesuai dengan keadaan yang terjadi.

5. Perlu tindakan tegas terhadap siswa yang melakukan tindakan kekerasan di sekolah yang sudah melampaui batas-batas toleransi yang telah diberikan. 6. Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di


(53)

ramah anak dengan penerapan positive discipline di sekolah. Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dalam tahap ini.

7. Membangun kapasitas siswa dalam hal melindungi dirinya dari pelaku ijime dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti ijime serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti ijime di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan.

8. Pihak sekolah memberikan perhatian khusus pada tempat – tempat seperti halaman bermain, toilet, kantin, tempat berolahraga dan gudang di sekolah. Hal ini penting sebab pada tempat – tempat inilah sering terjadi tindakan ijime. 9. Sekolah memberikan tindakan yang tegas kepada guru yang melakukan tindakan

ijime jika terbukti guru tersebut melakukan tindak kekerasan ataupun ijime.

Selain itu, guru juga memiliki peran yang sangat penting dalam proses penanggulangan ijime. Adapun beberapa alasan peran guru sangat penting dalam penanggulangan ijime adalah :

1. Kebanyakan orang berpikir bahwa masalah ijime adalah masalah murid/siswa saja sehingga lebih memusatkan perhatian pada murid. Padahal ketidak pedulian guru terhadap siswa turut menjadi ekselator (pelestari) kesinambungan peristiwa ijime. Oleh karena itu, guru dituntut perhatiannya dalam masalah ijime ini sebab jika guru tidak memberikan penih perhatiannya terhadap masalah ini, maka masalah ini akan terus berlanjut.

2. Guru merupakan figur teladan yang langsung dapat dilihat oleh siswa/murid, bila guru tidak tidak menunjukkan kepedulian dalam berkata – kata dan


(54)

bertindak dengan benar setiap hari, maka siswa lebih mungkin melakukan ijime atau menjadi korban ijime. Itu sebabnya dalam proses belajar mengajar, guru harus sadar bahwa proses mengajar adalah untuk meningkatkan kapital sosial dan kognitif.

3. Guru merupakan konselor yang mudah dan cepat bagi siswa. Dalam hal ini semua guru menjadi sangat penting sebagai orang yang melakukan pertolongan pertama.

4. Guru sangat dibutuhkan perannya untuk menciptakan atmosfer yang yang

mengurangi ijime dan mendorong proses kelompok yang mendukung dan

merangkul siswa – siswa yang rentan mengalami ijime.

Begitu besarnya peran guru dalam proses penangulangan ijime, maka untuk menangulanginya seorang guru haruslah menjadi seorang guru yang profesional. Adapun guru yang profesional adalah :

a.Guru yang profesional selalu bekerja keras untuk memenangkan rasa hormat dari muridnya.

b. Guru yang profesional menghargai muridnya dan orang lain secara sejajar dan mencoba untuk memahami mereka secara individu. Berusaha sesering mungkin berkomunikasi secara terbuka dengan murid – muridnya, rekan – rekan guru, para orang tua dan atasannya. Ia menyadari bahwa interaksi sosial yang menyenangkan dan efektif akan mendorong terwujudnya pendidikan yang bermutu.

c.Guru yang profesional menyadari bahwa hubungannya dengan para muridnya harus memuaskan bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, ia mampu bertindak tenang, masuk akal dan tidak emosional, termasuk saat menangani masalah – masalah atau kesalahan - kesalahan murid yang serius.


(55)

d. Guru yang profesional secara aktif mendorong muridnya untuk mengembangkan bakat, kemampuan dan keterampilan dirinya. Ia merasa bahagia bila muridnya berhasil.

Selain peran dari sekolah dan guru, dalam rangka menanggulangi ijime di sekolah perlu adanya upaya – upaya bimbingan konseling yang terintegrasi. Pelaksanaan pemberian bimbingan konseling kepada siswa sebagai pelaku dan penderita ijime, atau guru – guru dan staf sekolah sebagai pelaku bisa saja dengan konseling kelompok atau konseling individual. Bimbingan kelompok diberikan kepada semua siswa sebagai upaya tidak langsung dalam merubah sikap dan perilaku siswa melalui penyajian informasi yang teliti atau menekankan dorongan untuk berfungsinya kemampuan – kemampuan kognitif. Selain itu bisa menggunakan media elektronik seperti pemutaran film terjadinya ijime dan dampaknya terhadap kehidupan seseorang korban ijime.

Pendekatan bimbingan konseling yang digunakan dalam mengatasi ijime di sekolah, bisa dengan menggunakan pendekatan eklektik yaitu suatu pendekatan yang terintegrasi seperti pendekatan perilaku, pendekatan berpusat pada pribadi, pendekatan transaksi analitis, humanistik dan sebagainya.

Pendekatan perilaku digunakan dalam konseling kelompok untuk mengatasi ijime, asumsinya bahwa perilaku, kognisi, perasaan bermasalah itu terbentuk karena dipelajari. Oleh karena itu semua dapat dirubah dengan suatu proses belajar yang baru. Pendekatan perilaku bisa mengintervensi dari teori belajar sosial (sosial-learning theory), seperti penguatan kembali (reinforcement), pemberian contoh (modellin), pembentukan, penataan kembali kognisi, latihan santai (relaxtion) dan sebagainya.\

Penguatan kembali (reinforcement), bisa dilakukan oleh guru – guru atau teman – teman supaya klien bisa percaya diri. Teknik ini bisa dilakukan sendiri dengan bagaimana berusaha untuk menguatkan diri sendiri dan meningkatkan kemampuan mengolah diri dan tidak tergantung pada orang lain. Pemberian contoh merupakan alat yang sangat kuat , karena secara tidak langsung siswa akan meniru dan melihat apa yang dilakukan oleh


(56)

gurunya atau temannya, misalnya bagaimana guru menghargai pendapat siswa walaupun salah, atau menghargai karyanya, siswa diajarkan untuk bisa menghargai, saling toleransi, saling menghormati, dan saling menyayangi.

Penataan kembali kognisi (cognitive restructuring), adalah proses menemukan dan menilai kognisi seseorang, menemukan dampak negatif pemikiran tertentu dan belajar mengganti kognisi tersebut dengan pemikiran yang lebih realistik dan cocok.

Pendekatan berpusat pada pribadi (person-center approach), didasari asumsi bahwa manusia cenderung bergerak ke arah keseluruhan dan perwujudan diri. Individu – individu di dalam dirinya memiliki sumber daya yang luas untuk memahami dirinya sendiri dan untuk mengubah konsep dirinya. Oleh karena itu, konselor bersifat menghargai tanpa syarat, empati dan keaslian.

Pendekatan Ekstensial Humanistik berasumsi bahwa manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Teknik yang digunakan adalah kesadaran diri, kebebasan dan tanggung jawab, keterpusatan, dan kebutuhan akan orang lain.

Pendekatan Analisis Transaksional, berasumsi bahwa orang – orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir dan memutuskan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaannya. Pendekatan ini berlandaskan teori kepribadian yang menggunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego yang terpisah yaitu orang tua, orang dewasa, dan anak. Kemudian berpendapat bahwa manusia memerlukan belaian baik secara fisik maupun emosional. Jika belaian tidak terpenuhi, maka mereka tidak akan berkembang secara sehat. Oleh karena itu seorang konselor harus berperan memberikan perhatian pada masalah – masalah emosinal dan berperan sebagai guru, pelatih atau nara sumber yang penuh kasih sayang.


(57)

3.4 Pemerintah

Pemerintah Jepang sebenarnya sudah membuat undang – undang ataupun peraturan tentang ijime. Namun, hal itu belum sanggup untuk menanggulangi tindakan ijime di Jepang. Oleh sebab itu, pemerintah Jepang hendaknya harus membuat peraturan yang lebih tegas tentang ijime. Selain itu, untuk mendukung peraturan dan undang – undang yang telah dibuat oleh pemerintah, perlu juga menggiatkan program kebijakan anti ijime di setiap sekolah. Program anti ijime ini hendaknya melibatkan pihak sekolah, orang tua dan siswa dengan memberikan penyuluhan tentang apa itu ijime dan akibatnya. Bagaimana strategi pencegahan dan cara menghadapi tindakan ijime. Dengan adanya peraturan dan undang ijime yang disertai dengan penggiatan kebijakan anti ijime, diharapkan dapat menekan dan menanggulangi tindakan ijime di Jepang.

Pelaku dalam kasus ijime di sekolah Jepang sering sekali adalah guru. Oleh sebab itu, dalam proses penerimaan seorang guru perlu seleksi yang ketat dan sertifikasi terhadap guru. Hal ini Untuk menjamin bahwa guru-guru memiliki kemampuan dasar yang standar sebagai tenaga pengajar dan sebagai bentuk pertanggungjawaban akan kualitas pendidikan yang akan diberikan.

Seleksi dalam penerimaan guru, bukan hanya berdasarkan kemampuan kognitif dan psikomotornya, tetapi juga kemampuan afeksinya. Hal ini penting agar setiap guru dapat menjadi seorang guru yang berempati sehingga apabila murid terlibat masalah termasuk masalah ijime, maka guru memiliki rasa empati kepada muridnya yang bermasalah sehingga murid yang bermasalah bukan balik diijime tetapi dibimbing dengan penuh kasih.


(1)

Madubrangti, Diah. 1994. Dasar Kemunculan Ijime Pada Anak Sekolah Di Jepang. Jakarta : Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif ( Cetakan Ke- 23). Bandung: PT. Serambi Ilmu Pustaka

Morita, Y. (ed.) 2001. The Comparative Study on Bullying in Four Countries. Tokyo: Kaneko Shobo.

Morita, Y. (ed.) (1985).Sociological Study on the Structure of Ijime Group. Osaka: Osaka City College Sociology Study

Nakane, Chie. 1984. Japanese Society. London: Charles E. Turtle Company

Nana Syaodih S. 2007. Bimbingan dan Konseling Dalam Praktek. Bandung : Maestro.

Nasution, M. Arif. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Nojuu, Shinsaku. 1989. Kodomo to Ijime ‘Anak dan Ijime’. Tokyo : Otsuki Shoten

Djuwita, Ratna. 2006. Kekerasan Tersembunyi di Sekolah: Aspek-aspek Psikososial dari Bullying. Makalah dalam Workshop Bullying: Masalah Tersembunyi dalam Dunia Pendidikan di Indonesia. Jakarta 29 April 2006.

Sinaga M, dan Sinuhaji J. 1997. Metode Penelitian. Medan. USU Press

Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra. Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press


(2)

Supriadi, Joko. 2009. Analisis Ijime Dalam Komik Life Karya Keiko Suenobu. ( Skripsi ) Medan. : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Suyanto, Bagong dan J. Dwi Narwoko. Sosiologi Teks. Pengantar dan Terapan. Jakarta : Prenada Media

Taki, M. 2003. Ijime Bullying: Characteristic, Causality and Intervention Oxford-Kobe Seminar : Measure to Reduce “Bullying in Schools”. Kobe Institute, Kobe Japan

Uchida, Reiko. 1997. Ijime No Nekko Sumber Pelecehan. Jakarta: Pustaka Firdaus

Valentina, Erika. 2008. Analisis Dampak Ijime terhadap Tokoh Gaara dalam Komik Naruto Karya Kishimoto Masashi. ( Skripsi ) Jakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia


(3)

日本の学生の周囲にある苛めの問題の解釈

虐めというのは生徒たちがする冷笑、搾取、階級のばかにすること、 圧制までの邪魔である。日本に虐めの問題はけっこ重大な社会問題になっ た。この虐めの問題はたくさん生徒が学校へ来るように怠けになるだけじ ゃなくて、罹災者は自殺をすることもできる。例はクラスメートにされる

虐めのひどさと離れるように自殺をすることになる 13 歳の日本の福岡の

中学校の政党である。

日本での虐めの問題はいろいろな因数とはなれない。日本での虐め が起きるの因数は文化、マスコミに出るニュース、学校での療育、家族で ある。

この論文の中に使っている研究方法は書籍の方法である。この方法 は日本での虐めと関係がある記事と本からの出所を取ることである。この

ことでいろいろなところで Survei book をして、インターネット、ジャー

ナル、e-book からいくらかのダータを取る。

この論文を書くとき、虐めコンセプトと社会のアプローチを使う。

虐めは暴政と中世というしょうがっこう,小学校と中学校の生徒のいたずらで、精

神的もにくたいてき,肉体的も

じぶん


(4)

虐めの事件を説舞で切るように、この論文の目的と目標と合うアプ ローチの理論が必要である。このことで、日本社会に起きる虐めを研究の ために社会学のアプローチを使う。

社会学は社会の生活とはなれない個人としてじゃなくて、社会の部 分として人間の行為を学ぶ学問である。社会学の中心は人間の関係で、そ れは感情、態度迫伊作の仲の二人とか二人以上のお互いの効果である。

日本の学生で虐めの問題は重大な問題になっても、実はその問題は 持ちこたえられる。その虐めの問題は、たとえば学生から、家族、学校、 政治のようなあらゆる方向役割から持ちこたえられる。虐めを持ちこたえ るために、各学生にできることは:

1. 自己の自覚と強い自身を持っていること。

2. 皆にいい友達になれて、うれしいときも苦しいときも忠実な友人を

持っていること。

3. いい友達になる態度を持っていて、有効を守ること。

4. 両親に問題を話すための公開性の態度を持っていること。

虐めを持ちこたえるように家族の中の両親の役割も大事なことであ る。両親にできることは:

1. 愛情と関心をこめて育児で子供を育てること。

2. 子供に対して敏感を持っているようにコムニケションを作ること。

3. 子供を甘やかしすぎないでください。責任と自信を持っているよう


(5)

4. 厳しすぎる自付けで子供を育てないでください。他人と関係を作っ

てともだち,友達と

あそ

,遊び

じかん

,時間を

,上げてください。

5. 仕事ばかり忙しくないで子供と時間を持っていること。このことは

子供がつまらなくかん,感じないように大事なことで、見られる番組

から悪い影響を与えられないように注視をすることができること。

虐めは学校でよく起きている。だから、虐めを持ちこたえるように 学校からできることは:

1. 学校での虐めの事件を解説して抑えるために

しすてむ

,システムを立ち

上げる。

2. 学校での全員は、学生から、先生、校長先生、両親まで虐めの影響

の地示唆を作られた。

3. 学校は洋館でお互いに

あいじょう

,愛情のタイトを作るようにいろいろな

いい努力を作る。 4.

ていきかいこう

,定期化以降から

がっこう

,学校、両親と一緒コミニケションが作

られる。

5. 苛めをやる学生に厳しく字つける。

6. 学生を育てるとき圧政のことをやめる。

7. 苛めを焼くなくて自分を

まも

,守ることに学生の能力を立ち上がる。

8. こうてい、トイレ、カンテイン、運動所、倉庫のようなところに特


(6)

9. 苛めをやる先生に厳しくし付ける。

苛めを持ちこたえるとき先生の役割も大事なことである。先生にで きることはプロの先生になることである。プロの先生は:

1. 学生の尊敬を与えるように努力すること。

2. 平等的に学生と他人を高く評価して、彼らの自分自身を分かってみ

ること。

3. 学生との関係は双方友にとって間属させなければならないと築くこ

と。

学校と先生の役割の位階、カウンセリングの役割も苛めをも,持ちこ

たえることができる。学校のカウンセリングにできることはやる人と罹災 者として学生にカウンセリングを上げる。

最後に、苛めを持ちこたえるための役割部分は政治である。苛めを 持ちこたえるように政治にできることは:

1. 苛めについて規則と法律を作る。

2. 反苛めのプログラムを作る。

3. Psikomotor と Kognitif の能力だけでなく、Afeksi の能力によるとも 先生に募集する。特別な機関に先生の仕事の評価をする。

4. マスコミについているいじめと圧制に関係がある番組とかニュース