Lingkungan Keluarga Faktor Penyebab Ijime di Jepang

sekelasnya atau anak itu adalah anak yang lemah fisiknya. Ijime semacam ini dilakukan oleh kelompok mayoritas anak – anak sekolah di sekolah yang sama.

4. Lingkungan Keluarga

Cara pendidikan anak tradisional di Jepang dimana ibu secara langsung memeluk dan mengasuh anaknya sendiri semakin tidak terlihat akibat adanya perkembangan sarana mendidik anak yang tidak menunjukkan kehadiran ibu turun tangan secara langsung. Hal ini merupakan salah satu hambatan yang mengakibatkan hilangnya hubungan ibu dan anak secara langsung Nojuu, 1989 : 68-70 . Yamamura Takeaki dari Universitas Rikkyo menjelaskan bahwa anak lahir dari sebuah keluarga yang merupakan kelompok paling inti di dalam masyarakat manusia. Di dalam kelompok itulah anak dibesarkan sesuai dengan keberadaan kelompok itu di dalam masyarakat sebagai satu unit kelompok yang lebih besar lagi. Ditekankan bahwa perkembangan anak di dalam keluarga sudah menunjukkan sifat bermasyarakat dan sifat bermasyarakat yang ada pada anak itu bukan dimulai dari adanya tahap – tahap perkembangan setelah anak itu lahir tetapi perkembangan itu sudah ada dengan sendirinys sejak bagitu anak dilahirkan oleh ibunya. Ciri ideal kehidupan keluarga adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi kehangatan, kasih sayang, dan sikap saling menghormati. Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa berbagai macam bentuk kekerasan serius terjadi dalam konteks keluarga. Seperti dikemukakan Gelles dalam Annisa 2005 : 34 pada kalimat pembukaan bukunya, “orang – orang di masyarakat lebih mungkin dibinuh, diserang secara fisik, dipukul, dihajar, ditampar, atau ditempeleng oleh anggota keluarganya sendiri daripada oleh orang lain di tampat lain”. Anak – anak yang dianiaya oleh anggota keluarganya mungkin tidak mengungkapkan pengalamannya kepada orang lain karena tidak ingin dianggap sebagai pendusta atau pembuat masalah. Karena statusnya sebagai anggota yang relatif tak berdaya dalam sistem keluarga, anak paling beresiko menjadi sasaran perilaku agresif orang tua atau anggota keluarga lain yang lebih tua. Seperti dikemukakan Tedechi, dkk dalam Annisa 2005 : 34 “orang – orang yang amat jarang menggunakan paksaan terhadap orang lain menganggap anaknya sebagai pengecualian. Orang tua tunggal dan ibu – ibu remaja juga lebih berkemungkinan menganiaya anak – anaknya secara fisik. Begitu juga orang tua yang memiliki masalah penggunaan alkohol dan obat terlarang Wiehe dalam Annisa, 2005 : 35. Selain itu juga ditemukan bahwa orang tua yang menganiaya anak – anak secara fisik memiliki harapan tidak realistis terhadap kemampuan kontrol diri dan kemandirian anaknya. Kekurangan sumber keuangan dan dukungan sosial juga menjadi pemicu dari kekerasan terhadap anak. Akibat menderita kekerasan fisik yang tentunya menderita sakit badaniah akibat tindakan yang dilakukan orang tua merupakan pengalaman yang sangat buruk bagi anak. Dengan demikian tidak mengejutkan bila banyak diantara anak – anak itu mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dalam hubungan sosial, dan perilaku sosial mereka secara umum. Penilaian diri yang rendah, kecemasan, perilaku merusak diri, ketidak mampuan menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan orang lain adalah efek – efek penganiayaan fisik pada masa anak – anak yang lazim dilaporkan Miller, dkk 1999 : 65. Pengalaman penganiayaan fisik ini berhubungan dengan lebih tingginya kemungkinan perilaku menyimpang pada anak yang bersangkutan dan meningkat sampai beranjak dewasa, terutama pada remaja laki – laki Englander, 1997 : 27. Karena tekanan dari orang tua, remaja tersebut meluapkannya kepada teman – temannya yang secara fisik berbeda dari yang lain. Ia akan terus melakoni tindak ijime secara terus – menerus. Sejumlah anak yang diabaikan diperkirakan akan tumbuh menjadi pelaku ijime yang agresif. Ketiaadaan akan perhatian dan kehangatan terhadap anak, bersamaan dengan contoh perilaku menyimpang di rumah dan pengawasan yang kurang terhadap anak, menyediakan kesempatan yang sempurna akan terjadinya perilaku ijime Loeber, dkk, 1998 : 53. Contoh perilaku menyimpang seperti kekerasan fisik dan kekerasan secara lisan orang tua terhadap anaknya atau menggunakaan kekerasan fisik terhadap satu sama lain. Karena anak sering melihat kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya dapat dipastikan bahwa perilaku penyimpangan oleh anak ketika ia beranjak remaja maka sebagian akan ditirunya dari yang dilakukan oleh orang tuanya tersebut Jaffe, dkk dalam Annisa, 2005 : 36. Orang tua yang berpura – pura tidak melihat tabiat buruk anaknya mungkin memanjakan anak dengan cara lain. Orang tua memberikan terlalu banyak kasih sayang yang salah. Anak – anak menjadi terhambat perkembangannya. Anak seperti ini lalu terlalu banyak bergantung pada “pengabdian” yang diterimanya di rumah sehingga tidak memiliki kepercayaan pada dirinya. Agar diterima dan mendapatkan kasih sayang, anak lalu tidak berbuat apa – apa. Anak setuju saja terhadap apapun yang dikatakan kepadanya. Tetapi dia tidak pernah yakin apakah berbuat benar atau salah akibatnya lalu menjadi cemas, yaitu merasa takut dan tegang. Baginya dunia merupakan tempat yang menakutkan dan manusia merupakan makhluk hidup yang tidak dapat dipercaya. Keluarga Jepang saat ini, yang populer di kalangan pekerja kota biasanya mereka hidup dan tinggal di flat kecil terdiri dari dua kamar tidur dan satu dapur. Tetapi meskipun demikian, perabotan rumah tangganya lengkap dan berupa perabotan listrik. Pada tahun 1960-an mereka hanya menginginkan kulkas, mesin cuci, dan alat penyedot debu. Tetapi lama – kelamaan, keinginannya itu meningkat seperti AC, TV berwarna dan mobil. Untuk memenuhi keinginannya ini, biasanya suami istri bekerja. Dalam bahasa Jepang, suami istri yang bekerja disebut Tomokasegi. Di lain pihak karen terlalu banyak menggunakan perabotan elektronik di dalam rumah tangga membuat jam kerja berkurang terutama untuk istri. Dengan berkurangnya jam kerja, banyak istri yang menganggur. Biasanya para istri yang menganggur menghabiskan waktu senggangnya dengan memusatkan perhatian kepada pendidikan anak. Hal ini dikenal dengan istilah Kyooiku Mama. Dalam Kyooiku Mama ini, ibu memiliki peranan yang sangat penting terhadap pendidikan anak. Anak – anak dididik dengan keras dan disiplin yang kuat. Tentu saja hal ini dilakukan demi kebahagiaan anak di masa mendatang tetapi di lain pihak tanpa disadari mempunyai dampak buruk yang timbul dalam diri si anak yang bersangkutan. Karena disiplin dan ketatnya jam pelajaran, membuat waktu bermain hampir tidak ada sehingga anak – anak merasa ditekan. Mereka belajar seakan – akan hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya atau juga karena ia merasa takut dimarahi orang tuanya. Perasaan tertekan ini tertimbun dalam diri si anak, meskipun ia melakukan tugas – tugasnya dengan baik. Di dalam rumah anak – anak memang patuh terhadap orang tua tetapi jika berada di luar rumah, mereka berontak dan melampiaskan kkketegangan mereka dengan melakukan tindakan kekerasan di sekolah booryoku. Dampak lain dari Kyooiku Mama adalah timbulnya rasa bersaing dalam diri anak karena selama ia dididik ibunya selalu menekankan agar anaknya masuk pergurungan tinggi no. 1. Perasaan bersaing ini akan terbawa terus. Hal inilah yang membuat orang Jepang ddijuluki sebagai masyarakat yang tidak bisa lepas dari rasa bersaing Kyoosho Shakai. Karena memang orang Jepang selalu menerima status orang lain melalui pendidikannya yang dalam istilah Jepang disebut Gakurei Shakai. Banyak suami istri yang bekeeerja di luar yang berarti meninggalkan anak – anaknya di rumah. Maka timbullah masalah yang disebut Kagikko anak pembawa kunci. Maksudnya adalah anak diberi tugas membawa kunci rumah dan membukakan pintu jika orang tuanya pulang dari bekerja. Setelah sekolah seorang anak pulang dengan perasaan hampa karena tidak ada seorang pun yang akan menyambut kedatangannya. Ia hanya ditemani oleh acara – acara TV saja sehingga tidak ada pengawasan dari orang tua khususnya ibu. Sehingga acara TV yang ia tonton terkadang membawa pengaruh yang buruk terhadap anak. Hal ini juga dapat dianggap sebagai hal – hal yang berkaitan dengan tindakan penyimpangan perilaku Jepang yang dikenal dengan Ijime.

2.3 Bentuk – Bentuk Ijime di Jepang