Analisa Kasus Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Study Putusan Nomor 600/PID.B/2009/PN.Mdn)

B. Analisa Kasus

Adapun analisa kasus secara hukum berdasarkan putusan hakim yang menyatakan bahwa Terdakwa SRI BAKTI als. BEKTI telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menyuruh Membuat Surat Palsu dan Menggunakannya” dengan menjatuhi hukuman penjara 10 sepuluh bulan, maka berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yakni keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti diperoleh sebagai berikut: 1. Berdasarkan surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan yakni menggunakan surat dakwaan alternatif, yang artinya bahwa masing-masing dakwaan di dalam surat dakwaan tersebut saling mengecualikan satu sama lain. Yang tentu berbeda dengan dakwaan subsidair yakni harus terlebih dahulu dibuktikan dakwaan primair dan jika ini tidak terbukti, barulah diperiksa dakwaan subsidair. 90 • Dalam Pasal 263 ayat 2 KUHP adalah dari unsur objektifnya yakni adanya perbuatan memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan; Dengan demikian antara dakwaan pertama dengan dakwaan kedua merupakan dakwaan yang berisi pasal yang saling mengecualikan atau berdiri sendiri di dalam pembuktiannya. Adapun dakwaan pertama yakni Pasal 263 ayat 2 KUHP atau dakwaan kedua Pasal 263 ayat 1 KUHP. Dimana perbedaan antara kedua pasal tersebut yakni: 90 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 187. • Dalam Pasal 263 ayat 1 KUHP adalah dari unsur objektifnya yakni adanya perbuatan membuat surat palsu atau memalsu. Menyesuaikan dengan perbuatan terdakwa berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti maka perbuatan terdakwa dapat digolongkan sebagai perbuatan memakai surat palsu yakni SIM C yang diperolehnya dengan jalan menyuruh Wahyu Abdillah, S.T. untuk membuat SIM C palsu, dimana terdakwa secara sadar mengetahui bahwa Wahyu Abdillah, S.T. adalah orang yang tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan SIM C dan terdakwa memberi uang sebesar Rp. 100.000,- seratus ribu rupiah dengan dua kali pembayaran sebagaimana dimaksud untuk biaya pembuatan SIM C palsu tersebut yang dibuat tanpa melalui prosedur yang sah yakni tanpa melalui uji kesehatan, uji teori maupun praktek. Dan terungkap bahwa benar Wahyu Abdillah, S.T. memberikan SIM C palsu tersebut kepada terdakwa setelah selesai membuatnya dan ketika memakai SIM C palsu tersebut terdakwa ditangkap oleh pihak kepolisian yang pada saat itu sedang bertugas mengatur lalulintas jalan, sehingga petugas kepolisian membawa terdakwa ke Poltabes Medan untuk diperiksa lebih lanjut. 2. Dalam mempertimbangkan unsur-unsur pada dakwaan pertama yakni Pasal 263 ayat 2 KUHP dengan penjabarannya sebagai berikut: a. Unsur Barang Siapa; Bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah siapa saja atau subjek hukum yakni orang atau badan hukum, pendukung hak dan kewajiban, yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dapat dimintai pertanggungjawaban di sini adalah orang yang cakap hukum yang artinya orang yang sudah dewasa dan yang sehat secara jasmani dan rohani tidak dalam pengampuan. Dalam hal ini adalah Terdakwa SRI BAKTI als. BEKTI adalah termaksud subjek hukum dan bertindak sebagai orang yang cakap hukum dengan telah berusia 38 tahun yang padanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya, dimana identitas terdakwa telah diperiksa secara seksama yang ternyata cocok serta benar dan telah dibenarkan pula oleh terdakwa. Maka unsur “barang siapa” dapat dinyatakan telah terpenuhi. b. Dengan sengaja; Adapun “dengan sengaja” maksudnya adalah bahwa orang yang mempergunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu maka ia tidak dapat dihukum. 91 Pengertian kesengajaan yang dirumuskan oleh Satochid Kartanegara, ialah melaksanakan sesuatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. 92 91 Ibid. 92 Satochid Kartanegara, Log. Cit. Oleh Bambang Poernomo, dikemukakannya bahwa kesengajaan itu secara alternatif dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana. 93 Yang dimana di dalam proses pembuatan SIM C tersebut dilakukan di Toko Percetakan XP dengan cara di bantu oleh saksi Jufriadi Sianturi yang Dalam fakta yang diperoleh di dalam persidangan yakni dari keterangan saksi dan keterangan terdakwa bahwa Terdakwa SRI BAKTI als. BEKTI sudah mengetahui secara sadar bahwa SIM C yang diperolehnya dari saksi Wahyu Abdillah, S.T. adalah tidak asli atau palsu yang didukung dari tindakan atau perbuatan terdakwa yang mendatangi saksi Wahyu Abdillah, S.T. untuk mengurus dan membuat SIM C dengan syarat hanya diphoto dengan menggunakan Handphone dan memberikan KTP serta uang sebesar Rp. 100.000,- seratus ribu rupiah yang dimana pemberiannya secara bertahap yakni masing-masing Rp. 50.000,- lima puluh ribu rupiah dalam pembayarannya sebagai biaya pembuatan SIM C palsu di suatu tempat di Komplek USU Medan bukan di kantor polisi yang tanpa ada mengikuti uji kesehatan, uji teori maupun praktek. Dan juga terdakwa secara sadar mengetahui bahwa saksi Wahyu Abdillah, S.T. bukan orang yang berwenang untuk membuat SIM C terlihat dan dibenarkan dari adanya keterangan saksi Wahyu Abdillah, S.T. dan juga dari keterangan terdakwa sendiri. 93 Bambang Poernomo, Log. Cit. juga tidak memiliki hak untuk mencetak SIM C tersebut, dengan jalan menerima flash disk dari saksi Wahyu Abdillah, S.T. yang berisi data dari terdakwa yang mau dicetak SIM C tersebut. Dan hal ini pun juga telah dibenarkan di dalam adanya keterangan saksi yang dibuat oleh saksi Jufriadi Sianturi. Dari tindakan tersebut di atas, maka terdakwa dapat dinyatakan secara sadar dan mengetahui benar-benar bahwa Surat Izin Mengemudi golongan C yang dipergunakan itu tersebut adalah palsu, maka unsur “dengan sengaja” dapat dinyatakan telah terpenuhi. c. Unsur menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan; Bahwa menurut R. Soesilo, sebab dianggap sebagai mempergunakan, ialah misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu ditempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan. Dalam hal ini menggunakan surat palsu inipun harus pula dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan. 94 Dalam fakta hukum yang diperoleh dipersidangan Terdakwa SRI BAKTI als. BEKTI pada hari Kamis tanggal 11 Desember 2008 sekitar pukul 18.00 WIB, terdakwa yang sedang mengendarai sepeda motor di Jl. Sutomo simpang Jl. Bambu Medan, diberhentikan oleh petugas kepolisian 94 Ibid. bernama saksi Sumando M.T. Simbolon jabatan sebagai Ba. Unit Patwal Sat. Lantas Poltabes Medan yang sedang bertugas pada saat itu, yang dikarenakan sepeda motor terdakwa tidak dilengkapi dengan kaca spion. Ketika diberhentikan, anggota kepolisian langsung menanyakan kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor beserta SIM C kepada terdakwa. Kemudian terdakwa hanya menunjukkan STNK Nomor Pol. BK 2341 CI tanpa disertai dengan kelengkapan SIM C. Lalu ketika petugas kepolisian meminta menunjukkan identitas diri kepada terdakwa, petugas kepolisian melihat adanya SIM C palsu tersebut dan meminta terdakwa untuk memperlihatkannya kepada petugas kepolisian yang pada saat itu masih ada di dalam dompet tersangka. Kemudian terdakwa memberikan SIM C palsu tersebut untuk dipergunakan dan diperlihatkan kepada petugas kepolisian. Apabila melihat fakta persidangan yang bersesuaian dengan keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yakni SIM C palsu tersebut di atas, maka terdakwa dianggap telah mempergunakan SIM C palsu dengan jalan menyerahkan SIM C palsu tersebut ditempat dimana SIM C tersebut harus dibutuhkan yakni pada saat diminta untuk menunjukkan kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor beserta SIM yang dilakukan oleh petugas kepolisian yang dikarenakan sepeda motor terdakwa tidak dilengkapi oleh kaca spion yang berdasarkan tugas dan wewenang yang sesuai Pasal 14 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang berbunyi menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan. 95 Maka jelaslah bahwa adanya suatu tindakan menyerahkan SIM C palsu tersebut kepada anggota kepolisian untuk digunakan dalam hal pemeriksaan kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor berseta SIM yang digunakan Terdakwa dimana pemeriksaan SIM C kepada setiap Bahwa adapun terdakwa secara sadar dan mengetahui SIM C yang digunakan pada saat itu adalah palsu dapat diketahui dari tindakan terdakwa yang pada saat dimintai untuk menunjukkan kelengkapan surat- surat kendaraan bermotor beserta SIM C kepada terdakwa. Pada awalnya terdakwa mengatakan tidak memiliki SIM C kemudian anggota kepolisian memintakan identitas lainnya untuk diperiksa, ketika hendak mengambil identitas lainnya dari dompet terdakwa lalu petugas melihat SIM C palsu tersebut dan meminta untuk mempertunjukkannya. Dengan demikian adanya perbuatan yang sengaja ditutupi akan kebenarannya dalam hal ini tidak menunjukkan secara langsung SIM C palsu tersebut kepada anggota kepolisian yang dikarenakan bahwa terdakwa secara sadar dan memiliki rasa takut bahwa yang dimilikinya adalah sebuah SIM golongan C yang tidak memiliki keabsahan kebenaran palsu yang didapat dari saksi Wahyu Abdillha, S.T. 95 Pasal 14 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. pemilik kendaraan bermotor didasarkan pada tugas dan wewenang anggota kepolisian sebagai aparatur penegak hukum. Dengan melihat lalu menyimpulkan semua tindakan dan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, maka unsur “menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan” dapat dinyatakan telah terpenuhi. d. Unsur kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian Dapat mendatangkan kerugian di sini maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan “kerugian” di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian dilapangan masyarakat, kesusilaan, kehormatan dan lain sebagainya. 96 Menurut Soenarto Soerodibroto “Kerugian yang dapat timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, tidak perlu diketahui atau disadari oleh petindak”. Hal ini ternyata dari adanya suatu arrest HR 8-6- 1897 yang menyatakan bahwa “petindak tidak perlu mengetahui terlebih dulu kemungkinan timbulnya kerugian ini”. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya berdasarkan pada akibat-akibat 96 R. Soesilo, Log. Cit. yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. 97 97 Soenarto Soerodibroto, Op. Cit., hlm. 156. Dengan demikian kerugian yang dapat ditimbulkan dengan adanya SIM C palsu tersebut yakni dapat berupa kerugian materiil yaitu dengan tidak dibayarkannya kepada kas negara sebagaimana dengan biaya pembuatan SIM C sesuai dengan Peraturan Pemerintah PP No. 312004 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP, biaya SIM yaitu biaya pembuatan SIM Baru Rp. 75.000,- tujuh puluh lima ribu rupiah dan biaya perpanjangan SIM Rp. 60.000,- enam puluh ribu rupiah yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia pada bagian Sat. Lantas. Dan kerugian-kerugian lainnya yang dapat ditimbulkan dengan adanya SIM C palsu tersebut adalah kekacauan dalam kesembrautan pencatatan data setiap orang yang ingin memperoleh izin untuk mengemudikan kendaraan bermotor dalam hal ini sepeda motor yang dikhawatirkan bahwa orang yang belum layak untuk mengemudikan sebuah sepeda motor dengan adanya SIM C palsu tersebut akan menimbulkan ketidaktertiban berlalulintas yang berakibat kecelakaan lalu lintas lakalantas. Dengan melihat berbagai kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dengan dipergunakannya SIM C palsu tersebut diatas, maka “unsur kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian” dapat dinyatakan telah terpenuhi. Berdasarkan uraian penjelasan unsur-unsur Pasal 263 ayat 2 KUHP di atas tersebut maka Terdakwa EKA BAKTI als. BEKTI dapat dinyatakan telah terbukti secara sah dan menyakinkan melalukan suatu kejahatan di dalam perbuatan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 263 ayat 2 KUHP. 3. Berdasarkan rendahnya sanksi yang diberikan apabila melihat di dalam amar putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara selama 10 sepuluh bulan terhadap terdakwa dikurangi masa penahanan jika dibandingkan dengan surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni menuntut dengan menjatuhkan pidana penjara selama 1 satu tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, serta apabila mengkaji di dalam KUHP yakni Pasal 263 ayat 2 KUHP dengan perbuatan yang di hukum karena pemalsuan surat adalah hukuman penjara selama-lamanya 6 enam tahun; maka sangatlah beralasan hukum dinilai akan mempersulit untuk mencapai tujuan daripada pemidanaan itu sendiri, karena dengan sanksi yang dijatuhkan terlalu kecil sehingga tidak memberikan efek jera terhadap terdakwa sehingga nantinya dikhawatirkan terdakwa akan kembali menggunakan SIM C palsu tersebut dalam kegiatan berkendara sepeda motor sehari-harinya. 4. Ditinjau dari akibat yang ditimbulkan dengan adanya perbuatan memakai atau menggunakan SIM C palsu ini oleh terdakwa maka akan membawa dampak secara langsung mengenai adanya ketidakpastian hukum dalam proses tata cara pengeluaran SIM oleh pihak yang berwenang sebagaimana mestinya yang dimana seseorang akan dengan mudah memesan lalu menggunakan SIM C palsu di dalam berkendara kendaraan bermotor dalam kegiatan sehari-hari. Adapun setelah menganalisa putusan Nomor 600Pid.B2009PN.Mdn. maka terdapat beberapa kesalahan secara formalitas bentuk yang semestinya harus dipenuhi suatu putusan itu sendiri yakni sebagai berikut: 1. Berdasarkan Pasal 197 ayat 1 KUHAP huruf “d” yang menuliskan bahwa surat putusan pemidanaan memuat pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Melihat dari pada Putusan Nomor 600Pid.B2009PN.Mdn. yang hanya sebanyak 2 dua lembar saja, maka tidak ditemukannya pertimbangan yang disusun mengenai fakta dan keadaan, yang dimana fakta dan keadaan disini ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi korban. Yang ada ditemukan di dalam putusan tersebut hanyalah menuliskan bahwa “saksi-saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpah yang ada pada pokoknya sama dengan keterangan dalam berita acara yang dibuat oleh penyidik”. Dimana yang artinya adalah keterangan saksi-saksi tersebut tidak ditulis ulang di dalam putusan tersebut, melainkan hanya mengarahkan bahwa keterangan saksi-saksi tersebut sama dengan apa yang ditulis di dalam berita acara penyidik yang tertuang di dalam Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum saja. Begitu juga dengan keterangan terdakwa, yang dalam putusan menuliskan bahwa “menimbang bahwa terdakwa dipersidangan telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sama dengan berita acara yang dibuat oleh penyidik.” Dalam hal ini juga mengartikan bahwa tidak dituliskannya keterangan terdakwa di dalam putusan tersebut, yang hanya menyatakan bahwa terdakwa telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sama dengan berita acara yang dibuat penyidik di dalam Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian maka di dalam Pasal 197 ayat 2 KUHAP menjelaskan bahwa apabila tidak terpenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 ayat 1 KUHAP huruf “d” sebagaimana telah diuraikan di atas, maka mengakibatkan putusan batal demi hukum. 2. Ditemukan adanya ketidaksesuaian antara apa yang ditulis di dalam pertimbangan hakim yang menyebutkan bahwa “menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsur-unsur dalam Pasal 263 ayat 1 KUHP” dibandingkan dengan apa yang ditulis di dalam amar putusannya yakni “menyatakan bahwa Terdakwa SRI BAKTI als. BEKTI tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Menyuruh membuat Surat Palsu dan Mempergunakannya”. Dimana penjelasan dari ketidaksesuaian tersebut adalah bahwa di dalam Pasal 263 ayat 1 KUHP unsur objektifnya yakni adanya perbuatan membuat surat palsu atau memalsu. Yang berdasarkan fakta persidangan terungkap adalah yang membuat SIM C palsu tersebut adalah Wahyu Abdilah, S.T. bukan terdakwa. Sedangkan di dalam amar putusan menuliskan terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana Menyuruh membuat Surat Palsu dan Mempergunakan, yang apabila di kualifikasikan maka itu termaksud di dalam delik Pasal 263 ayat 2 KUHP yang unsur objektifnya yakni adanya perbuatan memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan dalam hal ini adalah SIM C palsu. Dengan demikian terjadinya kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan pertimbangan hakim tersebut yang seharunya ditulis Pasal 263 ayat 2 KUHP bukan Pasal 263 ayat 1 KUHP. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan