Psikologi Sastra Hubungan Sastra dan Psikoanalisa

a. Psikoterapi dan konseling Terapi ini dilakukan untuk membantu pasien memahami diri dan perasaannya lebih mendalam. b. Obat psikoterapetik Obat-obatan jenis antipsikotik bisa mengurangi atau menghilangkan gejala psikosis. c. Perawatan tingkah laku Terapi ini membantu pasien mengubah cara berpikir atau tingkah laku tertentu yang mengganggu dan teknik yang digunakan diantaranya adalah teknik relaksasi. d. Terapi Elektrokonvulsif Terapi ini diberikan melalui arus listrik kecil yang dialirkan ke otak untuk menghasilkan kejang mirip dengan kejang epileptik. Biasanya diberikan pada pasien yang mengalami kemurungan serius dan pasien akan dibius terlebih dahulu. http:www.sabah.org.m6mnasihatartikel_kesihatanpenyakit_mental.htm

B. Psikologi Sastra

Endraswara 2003: 96 menerangkan asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain: dipengaruhi oleh hal pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconscious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar conscious. Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca Wellek dan Warren 1990: 90. Jatman dalam Endraswara 2003:97 menyatakan bahwa psikologi sastra memiliki pertautan yang erat, secara tidak langsung dan fungsional serta memiliki landasan pijak yang kokoh. Pertautan yang tidak langsung karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari kejiwaan manusia. Bedanya, kalau karya sastra mempelajari kejiwaan manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari kejiwaan manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil.

C. Hubungan Sastra dan Psikoanalisa

Menurut Freud dalam Alwisol 2005: 17, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni; sadar conscious, prasadar preconscious, dan tak sadar unconscious. Tahun 1923, ia mengenalkan unsur kejiwaan, yakni; id, ego, dan superego. Ketiga sistem ini satu sama lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id das es adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Ego das ich adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia luar, mengarahkan individu kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Superego berkembang mengontrol dorongan-dorongan “buta” id tersebut. Superego berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif menyangkut baik-buruk. Atmaja dalam Endraswara 2003: 101 memandang id sebagai satu acuan penting untuk memahami mengapa seniman atau sastrawan menjadi kreatif. Dengan id sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa “energi buta”. Id berada dan beroperasi dalam daerah bawah sadar. Lebih lanjut dikatakan bahwa ketaksadaran dapat menyublim ke dalam proses kreatif pengarang. Wellek dan Warren 1990: 97 menambahkan bahwa proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif. Psikoanalisa merangsang pada “keadaan jiwa” pencipta sehingga muncul ide teks sastra. Menurut Freud, penyair kadang-kadang menjadi seorang “pelamun” yang lari dari kenyataan hidup. Baginya, kreativitas adalah sebuah pelarian escapisme. Keadaan itulah yang mengarahkan pada studi psikologi sastra terhadap proses kreatif pengarang Dalam Wellek dan Warren 1990: 92. Endraswara 2003: 103 menambahkan bahwa munculnya asumsi tersebut berarti psikologi sastra dapat mempelajari karya-karya secara psikologis. Kepribadian pengarang akan tampak juga dalam kejiwaan karyanya. Karya sastra menjadi “objek” ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi hatinya. Masuknya sastra menuju interdisipliner lain dalam hal ini adalah psikologi membuktikan bahwa sastra bukanlah sebuah otonomi. Ratna 2004:63 menyebutkan bahwa psikoanalisis Freud dalam mempelajari teks sastra bertumpu pada; 1 bahasa pasien, adanya keterlibatan sastra, 2 memakai objek mimpi, fantasi, dan 3 mite yang dalam karya sastra, ketiganya merupakan sumber imajinasi. Lebih lanjut Ratna 2004:345 mengatakan, bahwa teori Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis di balik gejala bahasa. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sastra dan psikoanalisa. Hubungan itu adalah 1 ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan hadirnya karya sastra dan 2 ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini karya sastra menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan mimpi” Milner dalam Endraswara 2003:102. Jadi sistem sensor intern mempengaruhi proses kreativitas penulis dalam berkarya. Karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya.

D. Penokohan