II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai DAS dan Parameter Sistem DAS
Daerah aliran sungai DAS merupakan daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami, sehingga semua air hujan yang jatuh di atasnya akan
mengalir menuju ke suatu lokasi pembuangan outlet. Menurut Dixon dan Easter
1986 dan Brooks et al. 1991 DAS merupakan suatu daerah area yang dibatasi secara topografi oleh punggung bukit dan air hujan yang jatuh di atasnya
akan dialirkan melalui suatu sistem jaringan sungai sampai menuju titik pengukuran outlet. Sebagai suatu sistem neraca air tertutup, DAS mempunyai
fungsi untuk menampung masukan dari curah hujan dan mengalirkan keluaran sebagai debit aliran Black, 1996. Menurut Chow 1964, siklus air merupakan
suatu rangkaian proses peristiwa yang terjadi pada air dari saat air hujan jatuh ke permukaan bumi, dialirkan menjadi aliran permukaan ke badan-badan sungai
hingga menguap ke udara, dan kemudian jatuh kembali ke permukaan bumi Gambar 3. Selanjutnya sebagian air hujan yang jatuh akan menguap melalui
evaporasi sebelum jatuh di permukaan bumi, dan sebagian lainnya akan menjadi aliran permukaan runoff setelah diintersepsi oleh tanaman dan terinfiltrasi ke
dalam tanah, serta mengalami perkolasi dan mengalir ke badan sungailaut sebagai aliran bawah tanah base flow.
Siklus air dan distribusi air hujan yang sampai dipermukaan bumi menurut Robinson dan Sivapalan 1996 merupakan proses perubahan air hujan menjadi
aliran permukaan dan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : 1 fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari curah hujan bruto menjadi curah hujan netto
curah hujan sisa, dan 2 fungsi transfer DAS yaitu perubahan dari curah hujan netto menjadi aliran permukaan langsung. Curah hujan bruto didefinisikan
sebagai total jumlah air hujan yang jatuh ke permukaan bumi sebelum terjadinya
9
intersepsi dan infiltrasi. Untuk curah hujan netto curah hujan sisa didefinisikan sebagai jumlah air hujan yang mengalir melalui jaringan hidrologi, setelah
terjadinya proses intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah jenuh. Hasil penelitian Heryani 2001 dan Sarjiman 2004 menyatakan bahwa pengujian model H2U
Hydrogramme Hydrograph Universale dalam memprediksi debit aliran di sub- DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat akurasi yang tinggi
bila memasukkan parameter intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah.
Intersepsi
Infiltrasi langsung
Aliran permukaan
Aliran Bawah Permukaan
Perkolasi
Cadangan bawah tanah
Aliran Dasar Aliran Sungai
Evaporasi Evapotranspirasi
Hujan Langsung ke
permukaan tanah
Simpanan permukaan tanah
Infiltrasi tertunda
Simpanan bawah permukaan tanah
Jatuh langsung
Gambar 3. Siklus hidrologi Chow, 1964
Intersepsi merupakan proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer
10
atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan dan atau jika melebihi kapasitas simpan vegetasi air hujan tersebut akan mengalir ke permukaan tanah Asdak,
1995. Harahap 1998 menyatakan bahwa intersepsi merupakan selisih antara curah hujan yang sampai di puncak tajuk dengan curah hujan yang sampai di
permukaan tanah, baik yang melalui tajuk maupun aliran batang. Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas intersepsi, yaitu : 1
faktor vegetasi yang meliputi : total luas permukaan tanaman, sifat dan adsorpsi permukaan daun, dan kerapatan susunan daun, dan 2 faktor iklim yang meliputi
: intensitas hujan, lamanya hujan, dan kecepatan angin. Menurut Asdak 1995, besarnya air hujan yang tertampung di permukaan tajuk, batang dan cabang
vegetasi dinamakan kapasitas intersepsi dan sangat ditentukan oleh bentuk, kerapatan, dan tekstur dari vegetasi. Hasil penelitian Nuriman 1999
menunjukkan bahwa besarnya intersepsi tanaman berhubungan erat dengan tinggi curah hujan dan indek luas daun, dimana semakin tinggi nilai indeks luas
daun maka akan semakin tinggi intersepsi tanaman. Dalam analisis fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari hujan bruto menjadi hujan efektif, perhitungan
kapasitas intersepsi tanaman didasarkan pada persamaan yang dikembangkan oleh Aston 1979:dalam De Roo et al., 1999. Hasil penelitian Heryani 2001 dan
Sarjiman 2004 menunjukkan penggunaan persamaan intersepsi yang dikembangkan oleh Aston 1979:dalam De Roo et al., 1999 dalam analisis debit
aliran permukaan di sub-DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki
tingkat akurasi yang tinggi F70.
Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah, umumnya tetapi tidak mesti melalui permukaan tanah dan terjadi secara vertikal, serta
merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari siklus air dalam menyerap, menampung, dan mendistribusikan air hujan yang jatuh diatasnya.
Secara umum besarnya kapasitas infiltrasi tanah mempunyai peranan yang
11
sangat besar dalam menurunkan besarnya debit aliran permukaan tanah dibandingkan parameter lainnya, seperti intersepsi tanaman. Menurut Arsyad
2000 laju infiltrasi merupakan banyaknya air per satuan waktu yang masuk ke dalam tanah melalui permukaan tanah, sedangkan laju maksimum air dapat
masuk ke dalam tanah pada suatu saat disebut kapasitas infiltrasi. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya laju infiltrasi
tanah, yaitu : karakteristik tanah struktur, tekstur, kadar air tanah awal, ukuran pori, kedalaman lapisan kedap, surface sealing dan soil crusting dan
pengelolaan lahan pola tanam, pemilihan jenis tanaman, pengmbalian bahan organik, dan pengolahan tanah Thierfelder, et al., 2002; Herawatiningsih, 2001;
Mamedov, et al., 2000. Hasil penelitian Zhang dan Miller 1996 menyatakan bahwa meningkatnya stabilitas agregat tanah dengan pemberian Poliakrilamid
PAM dan gipsum CaSO
4
pada tanah Ultisol lempung berpasir dapat meningkatkan besarnya kapasitas infiltrasi sebesar 50 dibandingkan dengan
kontrol. Hasil penelitian Mamedov dan Levy 2001 juga menyatakan bahwa
tanah yang banyak didominasi oleh liat yang tinggi atau bertekstur liat mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih rendah 3,38 mmjam dibandingkan
pada tanah bertekstur pasir berlempung 4,88 mmjam pada intensitas hujan yang tinggi 64 mmjam, sedangkan pada intensitas hujan yang rendah 2
mmjam pada tanah bertekstur liat memiliki kapasitas infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan tanah bertekstur pasir berlempung yakni masing-masing
sebesar 18,75 mmjam dan 5,38 mmjam. Selain itu,
faktor terbentuknya
surface sealing terbentuknya lapisan tipis yang kedap di permukaan tanah dan soil crusting pemadatan tanah menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas
infiltrasi dan peningkatan volume aliran permukaan Thierfelder, et al., 2002; Mamedov, et al., 2000; Zhang dan Miller, 1996. Menurut Zhang dan Miller
12
1996 dan Le Bissonais 1996 terbentuknya surface sealing dan soil crusting disebabkan oleh dua prosses yang saling komplementer, yaitu : 1 dispersi kimia
dan pergerakan partikel liat yang menyebabkan tertutupnya pori-pori tanah, serta terbentuknya lapisan kedap di bawah permukaan tanah, dan 2 disintegrasi fisik
agregat tanah dan terjadinya pemadatan tanah yang disebabkan oleh energi kinetik hujan.
Faktor pengelolaan lahan, seperti : pengolahan tanah, pengembalian bahan organik kedalam tanah, pemilihan jenis tanaman, dan pola tanam juga
sangat berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah. Hasil penelitian Thierfelder et al. 2002 menyatakan bahwa pengelolaan lahan pada tanah
Inceptisol Oxic Dystropept dengan rata-rata intensitas hujan sekitar 330 mmjam pada perlakuan penanaman ubi kayu yang dirotasi dengan Brachiaria
decumbens selama 3 tahun tahun 1999 – 2001 memiliki kapasitas infiltrasi yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan penanaman ubi kayu dengan
pengolahan tanah minimum minimum tillage, ubi kayu + Chamaecrista rotundifolia, ubi kayu secara monokultur, ubi kayu + kotoran ayam 4 tonha, ubi
kayu ditanam secara intensif, ubi kayu + kotoran ayam 8 tonha, dan tanah dalam kondisi bera. Hal tersebut juga didukung hasil penelitian Yusuf 1991 di daerah
berlereng kemiringan 9 – 10 yang mana pemberian bahan organik kotoran ayam 10 tonha dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah sekitar 4,06
1.030,40 mmmenit dibandingkan kontroltanpa pemberian bahan organik 988,60 mmmenit dan dapat menurunkan besarnya volume aliran permukaan
runoff sebesar 18,71 181,60 liter dibandingkan kontrol 223,40 liter. Selain itu, hasil penelitian Napitupulu 1998 dan Rukaiyyah 2001 juga menunjukkan
bahwa pada tanah Entisol Regosol Coklat Kekelabuan yang bervegetasi lahan pertanian yang diberakan dan ditumbuhi rumput-rumputan dengan kondisi kadar
air tanah awal sekitar 44 dan porositas total sekitar 58 mempunyai kapasitas
13
infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanah Mollisol Rendzina yang bervegetasi dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 36 dan porositas
total sekitar 63 Gambar 4. Demikian juga dengan kapasitas infiltrasi tanah Entisol tidak bervegatasi lahan pertanian yang diberakan dan tidak ditumbuhi
rumput-rumputan dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 45 dan porositas total sekitar 55 yang lebih besar dibandingkan dengan pada tanah Mollisol
tidak bervegetasi dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 30 dan porositas total sekitar 51 Gambar 4. .
0,00 1,00
2,00 3,00
4,00 5,00
6,00 7,00
8,00 9,00
100 200
300 400
Waktu Menit L
a ju
In fil
tra s
i m
m m
e nit
Regosol_Vegetasi Regosol_NonVegetasi
Rendzina_Vegetasi Rendzina_Nonvegetasi
Gambar 4. Perbedaan laju infiltrasi pada jenis tanah dan penggunaan lahan yang berbeda Napitupulu, 1998; Rukaiyyah, 2001
Menurut Hakim et al. 1986 besarnya laju infiltrasi tidak hanya meningkatkan besarnya jumlah air yang tersimpan dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman,
tetapi juga dapat mengurangi besarnya bahaya banjir yang diakibatkan oleh besarnya aliran permukaan. Hasil penelitian Yanrilla 2001 juga menunjukkan
bahwa jenis tutupanpenggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap besarnya laju infiltrasi tanah, yang mana jenis tutupan lahan hutan alam memiliki laju
infiltrasi yang lebih besar dibandingkan jenis tutupan lahan hutan Pinus, ladang
14
jagung, dan lahan terbuka Gambar 5. Hal ini juga didukung hasil penelitian Arianti 1999 yang menunjukkan bahwa jenis tutupan lahan hutan alam
mempunyai laju infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan pada jenis tutupan lahan tegalan pertanaman jagung
1 2
3 4
5 6
10 20
30 40
50 60
70
Waktu menit L
a ju
I n
filt ra
si c
mmenit
Lahan Terbuka Ladang jagung
Hutan Pinus Hutan Alam
Gambar 5. Perbedaan laju infiltrasi pada berbagai jenis tutupanpenggunaan lahan Yanrilla, 2001
Selanjutnya analisis fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari hujan bruto menjadi hujan efektif, yang mana untuk perhitungan kapasitas infiltrasi
tanah didasarkan pada persamaan Horton 1940:dalam Bedient dan Huber, 1992. Persamaan infiltrasi menurut model Horton tersebut telah banyak
digunakan dalam analisis simulasi debit aliran permukaan pemodelan hidrologi, seperti : HYSIM Manley, 2006, MARINE Estupina-Borrell et al., 2006, dan
SWMM Huber and Dickinson, 1988:dalam Rossman, 2004. Hal ini dikarenakan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir
debit puncak aliran permukaan dan waktu respon memiliki hasil yang lebih baik dan lebih konsisten untuk beberapa kejadian banjir dibandingkan dengan
penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Philip 1957: dalam Bedient dan
15
Huber, 1992 dan SCS 1972: dalam Chahinian et al., 2004 dalam pendugaan banjir Chahinian et al., 2004. Selain itu, hasil penelitian Chahinian et al. 2004
menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir tidak lebih baik dibandingkan dengan penggunaan persamaan
infiltrasi menurut model Morel-Seytoux 1978: dalam Chahinian et al., 2004 dalam pendugaan banjir. Persamaan infiltrasi tanah model Morel-Seytoux
tersebut merupakan modifikasi dari model Green dan Ampt 1911: dalam Chahinian et al., 2004. Hal ini didukung dari hasil penelitian Heryani 2001 dan
Sarjiman 2004 menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi tanah menurut model Horton 1940:dalam Bedient dan Huber, 1992 dalam analisis debit aliran
permukaan di sub-DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat
akurasi yang tinggi. 2.2. Banjir dan Kekeringan
Pemanfaatan sumberdaya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan klas kemampuannya, telah menimbulkan berbagai
permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang sampai saat ini belum dapat teratasi adalah degradasikerusakan lahan di daerah aliran
sungai DAS. Degradasi lahan merupakan proses berkurangnya atau hilangnya kegunaan suatu lahan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan manusia.
Degradasi lahan menurut Lal 1994 disebabkan oleh kemerosotan sifat fisik erosi dan pemadatan tanah dan sifat kimia tanah penurunan tingkat
kesuburan, keracunan dan pemasaman tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi lahan menurut Oldeman 1994 adalah 1 pembukaan
lahan dan penebangan kayu secara berlebihan deforestration, 2 penggunaan lahan untuk kawasan peternakanpenggembalaan secara berlebihan over
grazing, dan 3 aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida
16
secara berlebihan. Barrow 1991 juga menyatakan bahwa degradasi lahan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1 bahaya alami, 2 meningkatnya
jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan dan intensitas penggunaan lahan, 3 kemiskinan, 4 masalah kepemilikan lahan, 5 kestabilan
politik dan kesalahan administratif, 6 aspek sosial dan ekonomi, 7 penerapan teknologi yang tidak tepat, dan 8 pertambangan. Degradasi lahan tersebut
berdampak terhadap kerusakan DAS dan kerusakan tersebut semakin lama semakin meningkat setiap tahunnya. Indikatornya adalah pada tahun 1984
terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas sekitar 9,69 juta hektar dan kemudian meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis dengan luas sekitar
12,52 juta hektar, dan tahun 2000 meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan luas sekitar 23,71 juta hektar DITJEN RRL, 2001.
DAS sebagai suatu sistem neraca air tertutup yang mempunyai fungsi untuk menampung masukan curah hujan dan mengalirkan keluaran debit,
maka setiap terjadinya suatu perubahan terhadap masukan curah hujan dan sistem penggunaan lahan dan jenis tanah akan menyebabkan perubahan pada
keluaran unit hidrograf. Berkaitan dengan degradasi lahan dalam suatu sistem DAS, maka dampak langsung yang dapat dilihat adalah banjir dan kekeringan,
sedimentasi, tanah longsor, dan penurunan kualitas air. Banjir dan kekeringan merupakan suatu fenomena alam dimana sistem
DAS tidak dapat menyerap, menyimpan dan mendistribusikan secara optimal terjadinya perubahan masukan curah hujan, sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan debit puncak dan memperpendek waktu menuju debit puncak banjir, dan dampak lanjutannya adalah tambahan cadangan air tanah
recharging pada musim hujan menjadi sangat terbatas, sehingga suplai produksi air dimusim kemarau menjadi rendah kekeringan.
Banjir merupakan suatu peristiwa manakala debit sungai melebihi kapasitas tampungan sungai.
17
Genangan adalah peristiwa manakala suatu daerah dipenuhi air karena tidak ada drainase yang mengatuskan air keluar dari daerah tersebut. Kekeringan
merupakan suatu peristiwa manakala jumlah curah hujan dibawah kondisi normal sehingga terjadi penurunan produksi air untuk keperluan tanaman dan domestik.
Irianto 2003 mengemukakan tentang sistem peringatan dini tentang banjir dan pada prinsipnya sistem tersebut dapat menginformasikan lebih awal
tentang besaran magnitude banjir debit puncak dan waktu menuju debit puncak yang mungkin terjadi dan waktu evakuasi korban memadai sehingga
resiko yang dapat ditimbulkan dapat diminimalkan. Sistem peringatan dini tentang banjir di Indonesia sangat penting, karena 1 intensitas dan keragaman
hujan menurut ruang dan waktu sangat tinggi sehingga banjir bisa terjadi secara tiba-tiba atau yang dikenal sebagai banjir bandang flash flood dan 2 hujan
besar umumnya terjadi pada sore sampai malam hari sebagai akibat proses orografis sehingga terjadinya banjir umumnya terjadi malam hari Irianto, 2003.
Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kekeringan, yaitu : 1 perubahan iklim, yaitu kekeringan sebagai dampak dari perubahan iklim, dimana
kondisi musim kemarau dry season berhubungan dengan penurunan curah hujan di bawah normal, 2 kerusakan DAS, yaitu kekeringan sebagai dampak
dari menurunnya produksi air pada musim kemarau akibat DAS tidak mampu menyerap, menyimpan dan mendistribusikan air, sehingga kedua faktor tersebut
berdampak lanjutan terhadap ketersediaan air untuk tanaman. Menurut Pasandaran dan Hermanto 1997:dalam Shofiyati et al., 2002 bahwa kekeringan
yang melanda sebagian wilayah Indonesia terjadi secara periodik. Berdasarkan data curah hujan periode tahun 1975 – 1999, kejadian kekeringan yang melanda
sebagian Indonesia terjadi setiap 5 tahun tahun 1975-1987, dan pada periode tahun 1987-1999 kejadian kekeringan terjadi setia 3-4 tahun Pramudia, 2002.
Penanggulangan dampak kekeringan dapat dilakukan melalui dua pendekatan,
18
yaitu : 1 memperbaiki dan mengelola DAS dalam rangka meningkatkan fungsi DAS dalam menyerap dan menyimpan kelebihan air di musim hujan dan
mendistribusikannya di musim kemarau, dan 2 memilih komoditas yang sesuai dengan tingkat ketersediaan air.
Untuk meningkatkan tingkat keakuratan dan kecepatan dalam pendugaan kekeringan, maka banyak ahli yang menduga dan memantau wilayah rawan
kekeringan dengan menggunakan teknologi citra satelit. Thiruvengadachari et al. 1991:dalam Shofiyati et al., 2002 memantau kekeringan di India menggunakan
citra NOAA AVHRR dua mingguan. Selain itu, hasil penelitian Liu dan Kogan 1996, Bayarjarga, et al. 2000, dan Shofiyati et al. 2002, penggunaan
teknologi citra NOAA AVHRR dapat digunakan untuk memantau kekeringan di Brazil, Gobi dan Gurun Steepe Mongolia, dan DAS Brantas, Jawa Timur
Indonesia. Selain itu, Anderson et al. 2007 menunjukkan bahwa kesehatan vegetasi yang digambarkan oleh indeks vegetasi dan temperatur permukaan
lahan dari hasil analisis citra Landsat 7 dapat digunakan untuk memprediksi dan memetakan kekeringan.
2.3. Perkembangan Teknik Komputasi Unit Hidrograf