Indeks keanekaragaman dan keseragaman

1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun Keanekaragaman H 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun Keseragaman E sedimen dangan insangnya, selain itu juga dapat mengatur respirasi aerobik dengan mukus yang diproduksi oleh permukaan tubuh di dalam tabungnya. Kepadatan terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu sebesar 16 Indm 2 dan hanya ada 2 jenis yaitu Mactra sp. dari filum Mollusca dengan kepadatan 12 indm 2 dan Cirratulus sp. dari filum Polychaeta de ngan nilai kepadatan 4 indm 2 . Hal ini diduga karena stasiun tersebut mempunyai kandungan oksigen yang rendah sehingga hanya biota yang mempunyai toleransi tinggi yang dapat bertahan hidup.

4.1.2 Indeks keanekaragaman dan keseragaman

Hasil analisis struktur indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman dijelaskan pada Gambar 4 berikut. a b Gambar 4. Hasil pengukuran makrozoobenthos yang meliputi indeks keanekaragaman a dan indeks keseragaman b di setiap stasiun pengamatan Indeks keanekaragaman H’ di Teluk Jakarta bervariasi dengan kisaran nilai H’ antara 0,811-4,208 seperti yang telihat pada Gambar 4a dan Lampiran 4. Nilai terendah terdapat pada stasiun 4 sebesar 0,811, sedangkan tertinggi terdapat pada stasiu n 12 sebesar 4,208. Pada daerah dekat daratan rata-rata nilai H’ lebih rendah dari pada daerah tengah dan luar teluk. Hal ini diduga karena letak stasiun yang dekat dengan daratan menyebabkan rentan terhadap buangan berupa limbah domestik, pertanian maupun industri. Selain itu kandungan oksigen terlarut rata- rata di zona ini rendah, nilai BOD 5 tinggi dan C-organik tinggi mengakibatkan tingginya kandungan H 2 S, sehingga hanya makrozoobenthos yang mempunyai toleransi tinggi yang yang dapat bertahan pada kondisi tersebut. Kisaran indeks keseragaman secara keseluruhan teluk antara 0,371-0,837 Gambar 4b dan Lampiran 4. Nilai terendah terdapat pada stasiun 3 dan 4 sedangkan nilai tertinggi sebagian besar terdapat pada stasiun 12. Rendahnya nilai keseragaman diduga jumlah individu tiap jenis tidak sama atau bahkan berbeda jauh karena kondisi lingkungan perairan seperti fisika -kimia kurang mendukung pertumbuhan makrozoobenthos, sehingga jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup di daerah tersebut. Tingginya nilai kesamaan diduga karena penyebaran individu relatif seragam. Magurran 1983 , nilai keseragaman mempunyai kisaran antara 0-1. Semakin mendekati 1 maka keseragaman tergolong tinggi. Dengan demikian, pada Teluk Jakarta dapat dikatakan bahwa semakin ke arah laut keseragaman semakin tinggi karena pengaruh aktivitas dari daratan semakin kecil. 4.2 Karakteristik lingkungan perairan Karakteristik kondisi perairan yang ditelaah meliputi parameter fisika suhu, kedalaman, kekeruhan, kecerahan dan TSS dan parameter kimia salinitas, pH, oksigen terlarut, BOD 5 dan H 2 S. Hasil analisis terhadap karakteristik kualitas perairan ditunjukkan pada Gambar 5, 6 dan Lampiran 1. Berikut adalah gambar hasil analisis terhadap parameter fisika perairan di Teluk Jakarta. Parameter-parameter tersebut disajikan pada Gambar 5. Suhu °C 17 34 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun 17 34 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun Kedalaman m 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun Kekeruhan NTU 35 70 105 140 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun TSS mgl 20 40 60 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun Kecerahan a b c d e Gambar 5. Hasil pengukuran parameter fisika perairan yang meliputi suhu a, kedalaman b, kekeruhan c, kecerahan d dan TSS e di setiap stasiun pengamatan Suhu pada suatu badan air dipengaruhi oleh waktu dalam hari, penutupan awan, musim, aliran serta kedalaman badan air Effendi, 2003. Suhu dekat dasar di perairan Teluk Jakarta dapat dilihat pada Gambar 5a dan Lampiran 1. Secara keseluruhan suhu di Teluk Jakarta berkisar antara 29– 31 o C. Suhu tertinggi terdapat pada stasiun 5 sebesar 31 o C. Adanya perbedaan suhu antar stasiun diduga karena waktu pengukuran suhu dan kedalaman setiap stasiun berbeda sehingga mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang dapat mencapai daerah dekat dasar dan mengakibatkan suhu lebih tinggi maupun lebih rendah. Namun demikian kisaran suhu yang diperoleh pada penelitian ini masih mendukung bagi kehidupan benthos, karena suhu berada di bawah batas toleransi tinggi untuk keseimbangan populasi benthos yaitu dibawah 32 o C. Hal ini didukung dengan dengan Kep MENLH No.51 tahun 2004 menetapkan ambang batas suhu bagi kehidupan biota laut adalah alami atau sekitar 28-32 o C. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai kedalaman perairan Teluk Jakarta di seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 2–18 meter Gambar 5b, Lampiran 1. Kedalaman terendah terdapat pada stasiun 5 dan 6, diduga karena posisi stasiun berada di muara sungai sehingga banyak mendapat masukan air tawar yang membawa partikel-partikel tanah dan lumpur akibatnya tingkat sedimentasi menjadi tinggi dan terjadinya pendangkalan. Kedalaman tertinggi terdapat pada stasiun 12 dan 13, diduga karena kelompok tersebut merupakan daerah tengah dan luar dari teluk sehingga tingkat sedimentasi lebih rendah dari daerah dekat daratan. Hal ini didukung oleh pernyataan Ongkosongo 1980 bahwa kedalaman perairan Teluk Jakarta di dekat daratan umumnya kurang dari 10 meter, namun lebih ke arah te ngah bisa mencapai 10–30 meter. Kekeruhan berkorelasi positif dengan padatan tersuspensi. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi juga nilai kekeruhan Effendi, 2003. Nilai kekeruhan secara keseluruhan pada Teluk Jakarta berkisar antara 2,2– 90,7 NTU Gambar 5c, Lampiran 1. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sedangkan terendah pada stasiun 12. Hal ini dikarenakan stasiun 3 dekat dengan daratan dan muara sungai yang terdapat banyak masukan partikel baik dari air tawar maupun dari kegiatan di sekitar teluk, sedangkan letak stasiun 12 lebih jauh dari daratan sehingga pengaruh dari daratan lebih sedikit. Berdasarkan Kep MENLH No.51 tahun 2004, ambang batas maksimum kekeruhan bagi kehidupan biota laut adalah kurang dari 5 NTU. Dengan demikian kekeruhan Teluk Jakarta khususnya daerah dekat daratan melebihi ambang batas sedangkan pada daerah di luar teluk masih dibawah ambang batas atau masih cukup baik untuk kehidupan biota laut. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi Effendi, 2003. Secara umum hasil pengukuran kecerahan di Teluk Jakarta Gambar 5d, Lampiran 1 menunjukkan nilai kecerahan yang relatif rendah. Nilai persentase kecerahan tersebut dengan kisaran 9,6-50 . Rendahnya nilai kecerahan hampir diseluruh stasiun diduga karena memiliki kandungan tersuspensi yang cukup tinggi, sehingga mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke perairan. Kandungan total padatan tersuspensi terutama disebabkan karena kikisan tanah ataupun erosi tanah yang terbawa oleh badan air Effendi, 2003. Hasil pengukuran total padatan tersuspensi secara keseluruhan di Teluk Jakarta berkisar antara 7-122 mgl Gambar 5e, Lampiran 1. Nilai terendah diperoleh pada stasiun 2 dan tertinggi pada stasiun 3. Tingginya nilai TSS diduga karena posisi stasiun 3 dekat dengan daratan dan mendapat masukan padatan tersuspensi lebih banyak akibat kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Menurut Effendi 2003, kandungan TSS kurang dari 25 mgl tidak berpengaruh buruk untuk kegiatan perikanan. Dengan demikian kandungan TSS di Teluk Jakarta secara keseluruhan lebih dari 25 mgl tidak cukup baik untuk kegiatan perikanan. Parameter kimia perairan yang diamati meliputi salinitas, pH, oksigen terlarut, BOD 5 dan H 2 S. Nilai oksigen terlarut DO dan BOD 5 bervariasi sedangkan salinitas, pH dan H 2 S relatif sama antar stasiun. Salinitas pada perairan pesisir, sangat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya masukan air tawar Effendi, 2003. Nilai salinitas di Teluk Jakarta berkisar antara 11– 32 psu Gambar 6a, Lampiran 1. Nilai salinitas terendah terdapat pada stasiun 6 diduga karena posisi stasiun tersebut merupakan Muara Sungai Marunda sehingga mendapat pengaruh air tawar lebih besar. Nilai salinitas tertinggi terdapat stasiun 12 dan 13, hal ini diduga karena stasiun tersebut merupakan daerah terluar dari teluk sehingga pengaruh air tawar pada stasiun tersebut lebih sedikit jika dibandingkan dengan stasiun yang lain. Menurut Nybakken 1992, pada daerah estuari memiliki fluktuasi salinitas yang maksimum. Fluktuasi tersebut sangat bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut dan jumlah masukan air tawar. Kisaran nilai pH secara keseluruhan di Teluk Jakarta sebesar 7,3– 8,56 Gambar 6b, Lampiran 1. Nilai terendah terdapat pada stasiun 6 sedangkan tertinggi terdapat pada stasiun 12. Hal ini diduga karena kandungan bahan organik dan masukan air tawar pada stasiun 12 lebih rendah sehingga menyebabkan tingginya pH. Secara umum, nilai pH di perairan Teluk Jakarta masih dapat 3 6 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun pH 2 4 6 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun DO mgl Salinitas psu 10 20 30 40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun 2 4 6 8 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun BOD 5 mgl 10 20 30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun H 2 S mgl mendukung kehidupan makrozoobenthos. Hal ini juga didukung oleh Effendi 2003 bahwa sebagian besar biota akuatik, termasuk dalam hal ini makrozoobenthos sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7 – 8,5. Berikut adalah gambar hasil analisis terhadap parameter kimia perairan di Teluk Jakarta. Parameter-parameter tersebut disajikan pada Gambar 6. a b c d e Gambar 6. Hasil pengukuran parameter kimia perairan yang meliputi salinitas a, pH b, oksigen terlarut c, BOD 5 d dan H 2 S e di setiap stasiun pengamatan Kadar oksigen terlarut dapat dipengaruhi oleh dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik Effendi, 2003. Berdasarkan hasil penelitian, nilai oksigen terlarut Teluk Jakarta bervariasi Gambar 6c, Lampiran 1. Kisaran secara keseluruhan kandungan oksigen terlarut di perairan antara 0,4–7 mgl. Nilai DO terendah terdapat pada stasiun 6 diduga karena di stasiun tersebut merupakan Muara Sungai Marunda sehingga mendapat masukan bahan organik akibat kegiatan dari industri dan rumah tangga. Kegiatan tersebut diduga membuang limbahnya ke sungai yang akhirnya bermuara di Teluk Jakarta dan menyebabkan bahan organik tinggi yang berdampak menurunkan oksigen terlarut dalam air karena proses dekomposisi yang relatif tinggi. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 11, diduga karena letak stasiun yang ke arah luar teluk mendapatkan suplai oksigen dari alam lebih besar dan kontinu. Nilai BOD 5 perairan dipengaruhi suhu, keberadaan mikroba serta kandungan bahan organik Effendi, 2003. Kisaran kebutuhan oksigen biokimia BOD 5 untuk keseluruhan Teluk Jakarta adalah sebesar 3,31–11,12 mgl Gambar 6d, Lampiran 1. Nilai BOD 5 tertinggi berada pada stasiun 6 diduga karena stasiun tersebut merupakan muara sungai, sehingga banyak masukan bahan organik karena kegiatan di sekitar daratan tersebut baik langsung maupun dari masukan air tawar. Hal ini didukung dengan kandungan oksigen yang relatif rendah karena diperlukan dalam proses dekomposisi untuk menguraikan bahan organik menjadi anorganik. BOD 5 terendah terdapat pada stasiun 8, diduga karena stasiun tersebut lebih ke tengah teluk dan jauh dari daratan maupun gugusan pulau sehingga masukan bahan organik hanya diperoleh dari pergerakan arus yang membawa bahan organik dari daratan. Kep MENLH No.51 tahun 2004 menetapkan ambang batas maksimum kandungan BOD bagi kehidupan biota laut adalah 20 mgl. Dari ketentuan tersebut maka Teluk Jakarta masih cukup baik untuk kehidupan biota laut tetapi karena kandungan oksigen yang rendah maka hanya biota yang mempunyai toleransi lingkungan tinggi yang bisa hidup pada Teluk Jakarta. Berdasarkan hasil pengukuran kandungan H 2 S, hampir keseluruhan Teluk Jakarta tinggi. Kisaran nilai kandungan H 2 S di perairan dekat dasar keseluruhan teluk adalah sekitar 17,49–29,16 mgl Gambar 6e, Lampiran 1. Tingginya kandungan H 2 S dikarenakan kelarutan oksigen dalam air rendah dan kandungan bahan organik tinggi, sehingga dengan keterbatasan oksigen terlarut yang tidak mencukupi untuk proses dekomposisi oleh bakteri menyebabkan proses dekomposisi dilaksanakan tanpa oksigen anaerob. Dampak yang ditimbulkan karena proses anaerob tersebut adalah menghasilkan H 2 S yang berbahaya bagi kehidupan biota laut. Menurut Kep MENLH No.51 tahun 2004 ambang batas maksimum kandungan H 2 S bagi kehidupan biota laut adalah 0,01 mgl. Hal ini menyatakan bahwa kandungan H 2 S di Teluk Jakarta telah melebihi ambang batas bagi kehidupan organisme karena kandungan H 2 S teluk diatas 0,01 mgl.

4.3 Karakteristik sedimen