Deskripsi Umum Alat Tangkap Purse seine Lokasi dan Waktu Penelitian

Pola arus berperan secara tidak langsung dalam migrasi ikan layang, karena sebenarnya arus membawa massa air laut dengan kadar salinitas tertentu yang cocok dengan ikan layang Asikin, 1971.

2.2 Deskripsi Umum Alat Tangkap Purse seine

Purse seine atau yang disebut pukat cincin merupakan alat penangkap ikan dari jenis surrounding net atau jaring lingkar. Menurut Ayodhyoa 1981 pukat cincin sering disebut dengan jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai kantong atau jaring kolor. Konstruksi pukat cincin terdiri dari bagian kantong, badan, sayap, selvedge, pelampung, tali ris atas, pemberat, tali ris bawah, cincin, tali cincin, tali kolor dan tali selambar. Prinsip penangkapan purse seine adalah dengan melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan sehingga ikan akan terkurung dan terkumpul di bagian kantong. Alat bantu rumpon dan lampu sorot dipergunakan untuk menarik gerombolan ikan ke arah jaring, ketika operasi penangkapan dilakukan pada malam hari tanpa ada cahaya bulan. Operasi ini dilakukan mengikuti sifat ikan layang yang termasuk ke dalam fototaksis positif dan pada malam hari selalu berada pada lapisan atas perairan. Kondisi arus selama operasi penangkapan diharapkan berada pada kecepatan kurang dari 2 knot Trimulyo H 12 Agustus 2006, komunikasi pribadi. Tujuan penangkapan purse seine adalah ikan-ikan pelagis yang bergerombol, berenang di dekat permukaan air dan memiliki densitas schooling yang tinggi. Ikan-ikan yang menjadi tangkapan dari purse seine ini, antara lain: layang Decapterus spp, cakalang Katsuwonus pelamis, kembung Rastrelliger spp, tembang Sardinella spp dan selar Selaroides spp.

2.3 Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi

Geografis untuk Daerah Penangkapan Ikan 2.3.1 Penginderaan Jauh Indraja satelit National oceanic atmosperic administration NOAA merupakan program penginderaan jauh satelit untuk lingkungan kelautan yang dimulai sejak tahun 1960-an oleh negara Amerika Serikat yang pada awalnya bernama program television infrared observation satellite TIROS. Dan hingga tahun 2001 NOAA masih mengoperasikan lima satelit dengan seri NOAA-12, 14, 15, 16 dan 17. Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833 km di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit serial NOAA memanfaatkan sensor advanced very high resolution radiometer AVHRR. Sementara itu pada tahun 1988, badan antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan kelautan Fengyun-1 FY-1 A dan programnya terus berlanjut higga peluncuran satelit FY-1 D pada bulan Mei 2002. Satelit Fengyun tersebut memiliki spesifikasi orbitnya mirip NOAA dan memilki sensor multispectral visible and infrared scan radiometer MVISR dengan 10 kanal band. Selain perbedaan dari jenis sensor, FY-1 memiliki 3 kanal yang dapat dipergunakan untuk kegiatan pendugaan sebaran klorofil-a fitoplankton dan kekeruhan di perairan. Gambar 3 serta Tabel 1 dan 2 berikut ini menunjukkan beberapa perbedaan dan persamaan kedua satelit beserta sensor yang dibawanya: a b Gambar 3 Satelit NOAA-AVHRR a dan Satelit FY-1 MVSIR b Sumber: Kushardono 2003 Tabel 1 Karakteristik satelit NOAA dan FY-1 Karakteristik NOAA FY-1 Jumlah satelit yang masih beroperasi 5 satelit NOAA-12, 14, 15, 16, 17 2 satelit FY-1 C, FY-1 D Orbit Polar sun-synchronous Polar sun-synchronous Ketinggian orbit dari permukaan bumi 833 km 863 Km Periode pengulangan 102 menit 102,3 menit Lebar sapuan data 2048 piksel pixel 2048 piksel pixel Resolusi spasial 1,1 km nadir 1,1 km nadir Resolusi radiometrik 10 bitsdata 10 bitsdata Sumber: Kushardono 2003 Tabel 2 Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR Panjang Gelombang Sensor µm Kanal AVHRR MIVSR Keutamaan 1 0,58-0,68 0,58-0,68 Kecerahan awan, tutupan es dan salju, tutupan vegetasi 2 0,725-1,10 0,84-0,89 Kecerahan awan dan tutupan vegetasi 3 A. 1,57-1,64 B. 3,55-3,93 3,55-3,95 Sumber panas, kecerahan awan malam hari 4 10,5-11,5 10,3-11,3 Suhu Permukaan Laut harian malamsiang, Kecerahan awan 5 11,5-12,5 11,5-12,5 Suhu Permukaan Laut harian malamsiang, Kecerahan awan 6 - 1,58-1,64 Kepadatan tanah 7 - 0,43-0,48 Warna laut klorofil-a 8 - 0,48-0,53 Warna laut klorofil-a 9 - 0,53-0,58 Warna laut klorofil-a 10 - 0,90-0,985 Kekeruhan perairan Sumber: Kushardono 2003 Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada umumnya mempergunakan hasil pengukuran tidak langsung satelit terhadap parameter suhu permukaan laut SPL dan warna laut ocean color. Untuk pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran panjang gelombang 3-14 µm. Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL tersebut dapat dijadikan dasar dalam menduga fenomena laut seperti upwelling, front dan pola arus permukaan yang merupakan indikasi dari suatu wilayah perairan yang kaya dengan unsur hara atau subur. Perairan subur merupakan tempat kecendurangan dari migrasi suatu sumber daya ikan, yang dapat dikatakan juga sebagai DPI. Data SPL dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang menggunakan kanal infra merah jauh, sebagai contoh SPL diturunkan dari pencitraan satelit serial NOAA ataupun Fengyun FY-1. Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim yang satu dengan musim yang lainnya. Disamping itu perairan Indonesia juga dipengaruhi oleh massa air dari Lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Kedua massa air ini dihubungkan dengan sistem arus lintas Indonesia ARLINDO di beberapa tempat seperti: Selat Makasar, Selat Sunda dan lain-lain. Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara musim barat dan musim timur. Pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, sebaliknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat. Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan atau tingkat konsentrasi klorofil-a. Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat bergantung dengan konsentrasi nutrient. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat juga digunakan sebagai petunjuk produktivitas suatu perairan. Dengan memanfaatkan sensor dengan kisaran gelombang cahaya tampak atau antara 0,43-0,58 µm untuk warna laut, dapat dilakukan pendugaan sebaran spasial klorofil-a di permukaan laut, sebagai contoh, identifikasi konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh dari pengolahan citra satelit Fengyun FY-1.

2.3.2 Sistem Informasi Geografis SIG

Sistem informasi geografis SIG digolongkan ke dalam sistem informasi spasial dimana pemanfaatan SIG ini dapat menyatukan pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh ilmuan perikanan untuk kegiatan pengelolaan perikanan laut di masa mendatang Close dan Hall, 2006. Pengertian sistem informasi geografis SIG jika dihubungkan dengan kegiatan pengelolaan perikanan adalah suatu sistem analisis informasi dan pengelolaan data yang berasal dari data tangkapan, sintesis data citra, pengembangan data perikanan yang sudah ada ataupun analisis terhadap data yang berhubungan dengan kegiatan perikanan laut dalam menghasilkan keluaran infromasi yang berguna bagi stakeholder perikanan Holmes, 2006. Pemanfaatan SIG bagi keperluan pengelolaan sumber daya perikanan diperuntukan pada tiga bidang, yaitu: 1 kegiatan penangkapan, 2 budi daya perairan dan 3 kawasan perlindungan habitat sumber daya perairan. Tujuan pengelolaan dalam kegiatan pembangunan penangkapan ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya ini secara berkelanjutan dengan adanya dinamika penawaran supply dan permintaan demand sebagai dasar data masukan Dahuri et al. 1996 dan Holmes, 2006. Hasil tangkapan tinggi bergantung pada kondisi lingkungan perairan yang baik sehingga rekrutmen stok dan pertumbuhan individu dapat meningkat dengan meminimalkan kematian alamiah dari individu itu sendiri. Logika masukan data pengelolaan seperti ini membutuhkan berbagai informasi yang terkait agar pengelolaan pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat diwujudkan, salah satunya dengan menyediakan informasi spasial distribusi jenis- jenis sumber daya perikanan itu sendiri Dahuri et al. 1996 dan Holmes, 2006. Data grafis SIG di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu: 1 data raster dan 2 data vektor. Data raster menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid. Sedangkan data vektor menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan titik-titik, garis-garis atau kurva atau poligon dan atribut-atributnya. Struktur data vektor yang sering dipergunakan dalam SIG adalah suatu cara untuk membandingkan informasi titik, garis ataupun poligon ke dalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan Prahasta, 2002. Model data spasial itu sendiri dalam pengertian SIG adalah pandangan atau presepsi terhadap dunia nyata real world yang telah disederhanakan, dimana kemampuan SIG yang dapat melakukan: 1 analisis keruangan spatial analysis dan 2 pemantauan monitoring dapat dipergunakan mempercepat dan mempermudah penataan ruang ataupun pemetaan potensi keberadaan sumber daya pada suatu wilayah di permukaan bumi yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya Prahasta, 2002. Gambar 4 di bawah ini menunjukkan dalam proses pengumpulan data suatu sumber daya sebagai sebuah dunia nyata dikumpulkan sebagai sumber data, kemudian sumber data yang merupakan sebuah input data ditata dalam bentuk data dasar manajemen data yang selanjutnya di analisis dengan menggunakan komputer dan akhirnya informasi yang berasal dari olahan data tersebut digunakan sebagai pengambilan keputusan untuk suatu kegiatan di lapang oleh stakeholder. Gambar 4 Proses SIG. Informasi tersaji dalam bentuk tema thematic layer dengan cakupan coverage dan atribut data yang disesuaikan dengan aslinya. Tema-tema tersebut kemudian dengan menggunakan metode tumpang susun overlay disajikan ke dalam bentuk peta yang mengandung berbagai informasi baik keberadaan sumber daya maupun kondisi lingkungan pendukungnya pada waktu itu Prahasta, 2006. Kegiatan pengelolaan data lapang melalui teknologi SIG dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak berbasiskan teknologi komputer seperti Arc-info, Arc-view ataupun Map-info Dahuri et al. 1996 dan Prahasta, 2006. 3 METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: tahap pertama pengumpulan data lapang pada titik-titik lokasi dan hasil tangkapan ikan layang dan tahap kedua pengolahan data citra untuk mendapatkan informasi parameter oseanografi suhu permukaan laut SPL dan klorofil-a. Tahap pertama dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 2005 di pusat pendaratan ikan PPI Bajomulyo Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah gambar 5, sedangkan tahap kedua dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2005 di laboratorium instalasi lingkungan dan cuaca, pusat pemanfaatan dan pengembangan penginderaan jauh, lembaga penerbangan dan antariksa nasional ILC PUSBANGJA LAPAN Pekayon, Jakarta Timur.

3.2 Bahan dan Alat