93
diselenggarakan oleh Dinas Pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dalam hal ini izin
lokasi menjadi tidak berlaku. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang izin lokasi dalam Pasal 2 ayat 2 d disebutkan bahwa izin lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dimiliki oleh
perusahaan yang bersangkutan dalam hal tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan
rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut. Namun, kewenangan lainnya di luar pemerintah izin lokasi tersebut tetap
dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah KabupatenKota.
B. Kewenangan Bidang Pertanahan di Pulau Batam
Pulau Batam mulai dibangun dengan berbekal keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang pengembanan pembangunan Pulau Batam. Statusnya
ditingkatknya sebagai daerah industry dengan keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973. Sejumlah daerah ditetapkan sebagai kawasan bonded warehouse melalui
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974. Menteri Dalam Negeri mengeluarkan
Universitas Sumatera Utara
94
Keputusan Nomor 43 Tahun 1977 yang menetapkan pengelolaan dan penggunaan tanah di daerah industri pulau Batam.
Kemudian, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 menetapkan seluruh daerah industri Pulau Batam sebagai wilayah industri pulau
Batam melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983. Pemerintah mengatur Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1984 yang mengatur hubungan kerja antara
pemerintah Kotamadya Batam dengan Otorita Batam. Dalam hubungan kerja tersebut diatur bahwa pemerintah Kotamadya Batam bertanggung jawab dalam bidang
kemasyarakatan dan pemerintahan, sedangkan Otorita Batam bertanggung jawab dalam bidang pembangunan.
Pada tahun 1999, pemerintah bersama DPR menerbitkan Undang-Undang No. 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kota Batam dan Kedudukan Otorita Batam
dalam pembangunan Batam dipertegas. Semula, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999, posisi Otorita Batam selaku Badan Pembangunan di Pulau
Batam semakin kuat kedudukannya karena keberadaannya dicantumkan dalam undang-undang keberadaan Pemerintah Kota Batam sesuai dengan semangat otonomi
daerah. Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri menyebabkan terjadinya
perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri termasuk bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan menjadi kewenangan Otorita
Batam lewat hak pengelolaan sebagaimana ternyata dalam Keputusan Menteri Dalam
Universitas Sumatera Utara
95
Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam.
112
Keadaan ini dalam perjalanannya sempat diperuncing dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah
Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada masing-masing
daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.
113
Berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah
Kota Batam. Terhadap hal ini, Otorita Batam tetap berpegang pada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Penetapan Batam sebagai Zona Industri dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Indutri Pulau Batam yang memberikan kewenangan
kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan. Sementara itu, pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bawa sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi
kewenangan Pemerintah Kota Batam.
114
112
Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Kuatnan Singingi, dan Kota Batam, UU No. 53 Tahun 1999, LN No. 181 Tahun 1999, TN No. 3002, Pasal 2
113
Pemerintah Kota Batam, Op. Cit, hlm. 8
114
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak serta-merta memberikan kewenangan bidang pertanahan kepada pemerintah daerah. Pasal 14
Universitas Sumatera Utara
96
Hal ini didukung dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten
Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabuaptn Kuantan Singingi dan Kota Batam yang menyebabkan perubahan besar dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Pulau Batam. Jika sebelumnya, Otorita Batam mengikutsertakan Pemerintah Kota Batam
dalam menjalani tugas pemerintahan dan pembangunan, kini sebaliknya justru Pemerintah Kota Batam diamanatkan untuk mengikutsertakan Otorita Batam.
Di dalam pertimbangan mukadimah Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 ini juga disebutkan bahwa perkembangan Kotamadya Batam tidak terlepas dari
keberadaan Otorita Batam sebagai pengelola industri di Pulau Batam. Pada pertimbangan lain juga ditegaskan bahwa mengingat di Kota Batam pada
saat berlakunya undang-undang ini penyelenggraan sebagian tguas dan kewenangan dilaksanakan oleh Badan Otorita Batam dalam rangka mendudukan tugas, fungsi, dan
kewenangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemeritnahan Daerah, diperlukan pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota
Batam dan Badan Otoritas Batam untuk menghindari tumpang tindih penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Terhadap hal ini, posisi pemerintah Kota Batam seakan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam yang
Undang-Undang tersebut hanya menyebutkan tentang pelayanan pertanahan tanpa dilengkapi dengan penjelasan tentang Pelayanan pertanahan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
97
diinterpretasikan memberikan peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam. Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa dengan terbentuknya
Kota Batam, kewenangan daerah sebagai daerah otonom mencakup seluruh bidang pemerintahan termasuk kewenangan wajib, kecuali bidang politik, luar negeri,
pertanahan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama, serta kewenangan bidang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
115
Pasal 17 ayat 2 menyebutkan bahwa kewenangan wajib terdiri dari pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
116
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 21 ayat 1 yang menyebutkan bahwa dengan terbentuknya Kota Batam sebagai daerah otonom, Pemerintah Kota Batam
dalam penyelenggaraannya pemerintahan dan pembangunan di daerahnya mengikutsertakan Otorita Batam.
117
Pada ayat 2 disebutkan bahwa, status dan kedudukan Badan Otorita Batam yang mendukung kemajuan pembangunan nasional dan daerah sehubungan dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah Daerah perlu disempurnakan. Atas dasar itu, pada ayat 3 disebutkan, perlu diatur hubungan kerja
antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam dengan Peraturan Pemerintah.
115
Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Kota Batam, Op.Cit , Pasal 17
116
Ibid
117
Ibid, Pasal 21
Universitas Sumatera Utara
98
Hubungan kerja itu diatur selambat-lambatnya satu tahun atua 12 bulan sejak diresmikannya kot batam sebagai daerah otonom.
118
Peraturan pemerintah yang sangat dinanti-natikan masyarakat, terutama investor tak kunjung tiba. Selama proses penantian peraturan pemerintah tentang
hubungan kerja antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam, sering terjadi gesekan dan benturan di lapangan dalam menerapkan kewenangna oleh masing-
masing institusi. Ketegangan demi ketegangan pun muncul antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam, tetapi peraturan pemerintah yang mengatur hubungan kerja
Pemerintah Kota Batam dan otoritas Batam tetap tidak terbit.
119
Bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam, ketidakjelasan hubungan antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam menimbulkan persoalan
pertanggngjawaban. Terhadap kebijakan Otorita Batam yang menimbulkan permasalahan bagi masyarakat Kota Batam, DPRD Kota Batam tidak dapat meminta
pertanggungjawaban kepada Otorita Batam karena secara procedural, Otorita Batam tidak bertanggung jawab kepada masyarakat Batam melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, tetapi langsung bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.
120
Sementara itu, hak pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam membatasi ruang gerak Pemerintah Kota Batam. Dalam hal pembangunan sarana pemerintahan
118
Ibid.
119
Surya Makmur Nasution, Batam Jangan Sampai Arang Abis Besi Binasa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal. 95
120
Peneliti, Wawancara, dengan Rienhard Hutabarat : Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam, Dewan Pewakilan Rakyat Daerah Kota Batam, Batam, 23 Januari 2007.
Universitas Sumatera Utara
99
seperti kantor-kantor dan sekolah-sekolah negeri, pemerintah kota Batam harus mengajukan permohonan kepada Otorita Batam. Seringkali terjadi, tanah yang
dialokasikan tidak sesuai dngan rencana yang dimohonkan oleh Pemerintah Kota Batam. Bahkan asset pemerintaan Kota Batam dalam bentuk tanah, tidak memiliki
sertifikat termasuk Kantor Walikota Batam.
121
Di tengah mengharapkan adanya kepastian hukum tentang aturan hubungan kerja Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam, muncul gagasan atau ide
menjadikan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas FTZ.
122
Namun, hingga kini RU FTZ yang menjadi hak inisiatif DPR dalam pembahasannya tak juga
menunjukkan tanda-tanda adanya kepastian pengesahannya. Padahal, bagi Pemerintah Kota Batam adanya Undang-Undang FTZ dapat memperjelas
kewenangannya.
123
Dalam situasi yang sedikit kacau tersebut, Otorita Batam tidak terpancing untuk terjun ke dalam politik praktis. Kendati sebagian besar warga terutama yang
121
Peneliti, Wawancara, dengan Rudi Sakyakirti : Kepala Bagian Hukum dan Organisasi Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Kota Batam, Batam, 23 Januari 2007.
122
Setelah Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan UU No. 36 Tahun 2000 tentang
kawasan Perdaganan dan Pelabuhan Bebas, 4 Juni 2007, diharapkan status hukum free Trade Zone FTZ di Batam menjadi jelas dalam Pasal 4 Perpu Nomor 1 Tahun 2007 dikatakan bahwa penetapan
FTZ, termasuk di Batam, cukup melalui Peraturan Pemeritnah, bukan melalui Undang-Undang. Kendati RUU FTZ telah disahkan oleh DPR dalam sidang Paripurna tanggal 14 September 2004 yang
memberlakukan Batam sebagai FTZ secara menyeluruh, namun sampai saat ini RUU tersebut belum diundangkan oleh Presiden. Sementara itu, pada tanggal 20 Agustus 2007, pemerintah menerbitkan
peratran Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Ulasan leih lanjut lihat dalam Zubairi Hasan, Jalan Pintas Penyelesaian Status Hukum
FTZ Batam, Batam Pos 31 Juli 2007, 4 , Agustar, Menunggu Perpu SEZ atau RUU FTZ, Batam Pos, 27 Agustus 2007, 4, Ferry Santoso, Presiden Tetapkan PP, Kompas, 22 Agustus 2007 9 : 18
123
Freddy, Et al,. Op.cit, hal.95
Universitas Sumatera Utara
100
telah bermukim lebih dari sepuluh tahun di Batam banyak berpihak kepada kebijakan kebijakan Otorita Batam. Sebagai institusi yang profesional dan telah eksis
sejak decade 1970, Otorita Batam tetap melanjutkan visi dan misinya sebagai otorita pengelola pembangunan Pulau Batam dan sekitarnya termasuk Rempang dan
Galang.
124
Saat ini kewenangan bidang pertanahan tetap menjadi kewenangan Otorita Batam melalui hak pengelolaan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun
1973 tentang Kedudukan Pulau Batam sebagai Daerah Industri. Pasal 6 ayat 2 Keputusan Presiden tersebut menyebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan
pengurusan tanah di dalam wilayah Daerah Industri Pulau Batam dalam rangka ketentuan tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang agrarian dengan ketentuan seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak pengelolaan
kepada ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Hak pengelolaan tersebut memberi wewenang kepada Ketua Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga, menerima uang pemasukanganti rugi dan uang wajib tahunan.
124
Ibid, hal. 85
Universitas Sumatera Utara
101
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 6 Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977. Keputusan
Menteri Dalam Negeri ini memberikan hak pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk seluruh areal tanah yang ada
di Pulau Batam termasuk gugusan Pulau Janda Berhias, Tanjung Sauh, Ngenang, dan Pulau Kasem.
Sementara itu, menurut rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk KabupatenKota merupakan urusan yang berskala kabupatenkota yang di antaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-
undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pertanaan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam.
Tentu saja dalam hal ini Pemerintah Kota Batam sebagai institusi pemerintahan yang otonom dengan berdasarkan kekuatan Undang-Undang
berkesimpulan bahwa terbitnya undang-undang tersebut memperkuat posisinya dalam mengurus roda pemerintahan termasuk kewenangan pertanahan. Namun, harus
diperhatikan bahwa Pulau Batam merupakan salah satu daerah yang memiliki kekhususan dengan keberadaan Otorita Batam yang merupakan pionir pembangunan
Pulau Batam. Hanya saja, keberadaan Otorita Batam tidak mendukung dengan legalitas formal yang cukup kuat terutama dalam menghadapi perubahan system
ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan saat ini.
Universitas Sumatera Utara
102
Oleh karena itu, penyelesaian terhadap permasalahan ini perlu dilakkan secara komprehensif. Di samping perlu segera diterbitkan peraturan pemerintah tentang
hubungan kerja antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam sesuai dengan amanat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999, pemerintah juga
merumuskan kembali konsep pengembangan Pulau Batam. Apabila tetap mempertahankan kedudukan Otorita Batam di samping adanya
Pemerintah Kota Batam, kedudukan Otorita Batam perlu dilengkapi dengan sejumlah peratuan perundang-undangan yang mampu memosisikan kedudukan Otorita Batam
secara jelas termasuk kewenangan bidang pertanahan. Peraturan tersebut perlu dibuat dengan memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan dan keserasian
pengaturan antara peraturan perundang-undangan dan keserasian pengaturan antara peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah yang terjadi di Pulau Batam
sehingga tidak menimbulkan multi-tafsir dan tumpang tindih kewenangan. Berbagai cara untuk menyelesaikan sengketa kewenangan terus dilakukan
termasuk revisi terhadap Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah
Industri Pulau Batam tetap bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Pasal 4 ayat 1 Keputusan Presiden yang menyebutkan bahwa Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam bertanggung jawab atas pengembangan daerah industri Pulau Batam, padahal kewenangan mengembangkan dan
mengendalikan pembangunan Pulau Batam terdapat pada Walikota Batam
Universitas Sumatera Utara
103
berdasarkan kebijakan menurut ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa kepala daerah memimpin penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Apabila pemerintah memiliki kebijakan yang lebih menekankan semangat
otonomi daerah, peran pemerintah Kota Batam perlu lebih dioptimalkan. Terhadap hal ini, segala kewenangan yang dimiliki oleh Otorita Batam harus diserahkan
Kepada Pemerintah Kota Batam. Dalam hal ini Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 43 Tahun 1977 tentnag Pengelolaan dan Penggunana Tanah di Daerah Industri Pulau Batam harus dicabut.
Sejak dulu masalah Batam memang adalah tentang perencana tata ruang dan manajemen kota, serta pembagian tugas antar Otorita Batam yang mengembangkan
daerah industri dan pemerintah daerah yang ditugaskan menangani administrasi kota dan isu keamanan.
Pengamatan terhadap berbagai kebijakan yang diterbitkan dalam dasawarsa terakhir semakin memperlihatkan adanya kecenderungan untuk memberikan berbagai
kemudahan atau hak yang lebih besar pada sebagian kecil masyarakat yang belum diimbangi dalam perlakuan yang sama bagi kelompok masyarakat yang terbanyak.
125
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana sebenarnya maka untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, yang menjadi landasan UUPA itu dipahami dan
125
Sumarjono, Op.Cit, hlm. 15
Universitas Sumatera Utara
104
diterjemahkan secara benar dalam berbagai kebijakan yang mendukung atau relevan dengan bidang pertanahan? Dengan perkataan lain, apakah kebijakan pertanahan yan
diterbitkan dapat merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat? Walaupun tidak mudah didefenisikan, keadilan sering digambarkan
sebagai equal distribution among equal. Keadilan bukan merupakan konsep yang statis, tetapi suatu proses, suatu keseimbangan yang kompleks dan bergerak di antara
berbagai faktor, termasuk equality.
126
Dalam hubungan antara negara dan warga negara, keadilan sosial mengandung pemahaman bahwa warga negara mempunyai kewajiban untuk
memberikan sumbangan kepada negara demi terwujudnya kesejahteraan umum, dan bahwa negara berkewajiban untuk membagi kesejahteraan kepada para warga
negaranya sesuai dengan jasa atau kemampuan dan kebutuhan masing-masing secara proporsional. Bila hal ini diterjemahkan dalam kebijakan pertanahan, berbagai
ketentuan yang dibuat hendaklah memberikan landasan bagi setiap orang untuk menerima bagian manfaat tanah baik bagi diri sendiri maupun keluarganya sehingga
dapat memperoleh kehidupan yang layak. Khususnya dalam konsep keadilan sosial adalah lebih tepat untuk memberikan tempat kepada keadilan berdasarkan atas
kebutuhan, mengingat secara keseluruhan lebih banyak masyarakat yang bernasib kurang beruntung.
127
126
Ibid
127
Ibid
Universitas Sumatera Utara
105
Dalam proses industrialisasi sebagai gejala yang tidak dapat dielakkan dalam pembangunan negara kita, dalam berbagai kegiatan ekonomi tampil tiga pulau
di dalamnya, yakni negara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat, yang masing- masing mempunyai posisi tawar-menawar yang berbeda karena perbedaan di dalam
akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan sumber daya terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan sumber daya alam berupa tanah yang
terbatas itu. Kedudukan yang tidak seimbang dalam posisi tawar-menawar di antara masyarakat dan pihak swasta lebih dikukuhkan dengan adanya masyarakat dan pihak
swasta lebih dikukuhkan dengan adanya kewenangan pembuat kebijakan untuk merancang kebijakan yang biasa terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat
tersebut dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan tanah.
128
Saat ini kewenangan bidang pertanahan di Pulau Rempang dan Galang masih status quo. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1992 tentang
Penambahan Wilayah Lilngkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikan Bonded Zone, dalam
penetapan pertama disebutkan bahwa wilayah lingkungan kerja daerah Industri Pulau Batam sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973
ditambah dengan Pulau Rempang dari Pulau Galang. Namun, Pulau Rempang dan Galang juga merupakan wilayah administrasi pemerintah dari Pemerintah Kota
Batam sesuai dengan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan
128
Ibid, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
106
Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natura, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota
Batam. Bagi Otorita Batam, Keputusan Presiden tersebut memberikan kewenangan
bidang pertanahan kepadanya. Namun hal ini sebenarnya hanya merupakan penambahan wilayah kerja dan bukan merupakan hak pengelolaan Otorita Batam.
Hal ini tercermin dari penetapan keenam Keputusan Presiden tersebut yang menyebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan pengelolaan tanah di dalam
wilayah Pulau Rempang dan Galang, termasuk usaha – usaha pengamanan, penguasaan, pengalihan dan pemindahan hak atas tanah diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agraria Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9-VII-1993 tanggal 13 Juni 1999 tentang Pengelolaan dan Penguursan Tanah di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau –
pulau lain disekitarnya, pada penetapan pertama disebut bahwa menyatakan kesediaan untuk memberikan hak pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam atas seluruh areal yang terletak di Pulan Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau lainnya di sekitarnya bagaimana tergambar dalam lampiran
Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992. Hal ini berarti bahwa isi keputusan tersebut baru sebatas kesediaan
pemerintah untuk memberikan hak pengelolaan kepada Otorita Batam. Selanjutnya,
Universitas Sumatera Utara
107
Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Surat Nomor 560-2458 tanggal 29 Agustus 2001 tentang Petunjuk mengenai Pulau Rempang, Galang, Galang Baru dan
pulau – pulau lain disekitarnya, dalam poin ke-3 disebutkan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VII-1993
baru bersifat kesediaan pemerintah untuk memberikan hak pengelolaan kepada Otorita Batam, namun sampai saat ini Otorita Batam belum mengajukan permohonan
hak pengelolaan di daerah Pulau Rempang, Galang dan Galang Baru setelah dilakukan penyesuaian Rencana Induk Tata Ruang Pemerintah Kota Batam agar
kesinambungan kawasan Batam sebagai kawasan industri, alih kapal, pariwisata dan perdagangan sesuai dengan tujuan dan kebijakan pemerintah.
Setiap kegiatan perolehan tanah untuk penyelenggaraan pembangunan untuk kepentingan umum diwajibkan untuk memperoleh izin lokasi yang peruntukkanbnya
disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Kota Batam. Pemberian izin lokasi telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan serta Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang izin Lokasi.
Ketentuan ini berarti bahwa tanah di luar hak pengelolaan Otorita Batam dalam hal ini Pulau Rempang, Galang, Galang Baru dan pulau-pulau lain
disekitarnya menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk mengatur dan mengelolanya sesuai dengan peraturan daerah Kota Batam Nomor 202001 juncto
Nomor 22004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014.
Universitas Sumatera Utara
108
Dalam praktiknya, tanah yang belum didaftarkan hak pengelolaanya, oleh Otorita Batam telah dialokasikan kepada pihak ketiga dengan mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Kota Batam. Hal ini diartikan bahwa secara tidak langsung, Otorita Batam mengakui adanya kewenangan bidang pertanahan yang
dimiliki Pemerintah Kota Batam.
129
Terhadap hal ini, cara pandang yang objektif diperlukan untuk menghindarkan diri dari kecurigaan yang berlebihan terhadap perkembangan baru atau sikap yang
terlalu mudah menerima hal-hal baru tanpa pertimbangan konseptual yang matang. Metode penemuan hukum apa pun yang dipilih haruslah dilandasi dengan sikap logis,
konsisen dan kritis dalam mengoperasionalisasikan asas-asas hukum yang berlaku. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan yang legalistik akan membawa
ketidaksesuaian dengan kenyataan empiris, yang barangkali dari segi kepastian hukum jelas, namun dari segi keadilan dan kemanfaatannya belum dapat dijamin.
Sebaliknya, pendekatan fungsional segi kemanfaatannya menonjol, namun segi keadilannya kurang memperoleh perhatian. Membangun hukum itu bukan pekerjaan
yang sederhana karena suatu syarat keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan secara seimbang.
130
129
Peneliti, Wawancara, dengan Wahyu Daryatin: Bidang Penaatgunaan Tanah Dinas Pertanahan Pemerintah Kota Batam, Dinas Pertanahan Pemerintah Kota Batam, Batam, 27 Januari
2007.
130
Sumardjono, Op.cit., hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
109
UUPA masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Di samping itu, masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang, namun jsutru bertambah
dalam kompleks permasalahannya. Di dalam pembentukan peraturan perundang- undangan yang merupakan peraturan perlaksanaan UUPA ataupun peraturan –
peraturan lain yang lelevan, pada umumnya tidak dilengkapi dengan pemikiran yang tuntas terhadap peraturan pelaksanaannya. Kesenjangan ini bila dibiarkan terlampau
lama tentu menimbulkan ketidakpastian hukum.
131
Cara berpikir komprehensif mensyaratkan bahwa dalam setiap pembentukan undang-undang, garis besar hal-hal yang kelak harus dimuat dalam peraturan
pelaksanaanya, sebaiknya sudah dirancang sekaligus. Pembangunan hukum yang dilandasi dengan sikap yang proaktif didasarkan pada hasil penelitian dan kebutuhan
hukum akan menghasilkan produk hukum yang efektif. Diperlukan upaya yang terus – menerus untuk melakukan penemuan hukum dalam rangka pembangunan
hukum tanah yang bertanggung jawab.
132
Disamping itu, pemerintah perlu mengaktualisasikan asas dekonsentrasi di bidang pertanahan. Artinya, utnuk masa yang akan datang, pemerintah harus tulus
dan mempunyai itikad baik untuk memberikan pelimpahan wewenang kepada daerah dalam hal urusan di bidang pertanahan.
133
131
Ibid
132
Ibid
133
Idham, Konsilidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 2004, hal. 131.
Universitas Sumatera Utara
110
Pengalaman selama ini yang terjadi menunjukkan bahwa sikap pemerintah yang kerap berubah memunculkan krisis kepercayaan terhadap aturan hukum
di Indonesia.
134
Padahal, tujuan hukum yaitu menegaskan pentingnya perlindungan kepentingan manusia untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang tertib
dan teratur.
135
134
Markus Gunawan dan Lisya Anggraini Editor, Batam Problematika Multidimensial, CV. Karya Mandiri, Batam, 2004, hal. 105
135
Sudikno Mertokusomu, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2002, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
111
BAB IV KEABSAHAN PERATURAN BIDANG PERTANAHAN YANG TELAH
DITERBITKAN OLEH OTORITA BATAM DENGAN BERLAKUNYA UU NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
A. Akibat Hukum berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah