12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan seringkali menimbulkan sengketa berkepanjangan dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Peraturan-peraturan yang mengatur masalah pertanahan disamping Undang-Undang Pokok Agraria UUPA Nomor 5 Tahun 1960 begitu banyak tersebar, sehingga
membingungkan dan terkesan kompleks tidak hanya bagi masyarakat luar, namun juga bagi para akademisi, pejabat dan banyak instansi yang terkait dengan masalah
pertanahan tersebut. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar pemahaman dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia memandang
tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting.
Menurut Boedi Harsono, walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam konsiderans, pasal-pasal dan penjelasan, dapatlah
disimpulkan bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria digunakan dalam
1
Universitas Sumatera Utara
13
arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
1
Dengan pemakaian sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA, hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat
bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam
tertentu yang meliputi hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi, hukum air yang mengatur hak-hak penguasaan atas air,
hukum pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian, hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air, hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa bukan Space Law yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa yaitu memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 48 UUPA.
2
Menurut Imam Sudiyat, sebagai salah satu unsur essensiil pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung
negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya mendominasi. Di negara
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 6
2
Ibid, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
14
yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu
conditio sine qua non.
3
Sebenarnya, jauh sebelum pendapat Imam Sudiyat muncul, UUPA dalam pertimbangannya juga menegaskan bahwa hukum agraria nasional harus memberi
kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia dan perkembangan zaman serta merupakan perwujudan
asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.
4
Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang mengatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
5
Namun, kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA. Berbagai konflik seputar tanah kerap terjadi. Amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan
rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat
banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan. Batam sebagai bagian wilayah Indonesia, tidak terlepas dari fenomena
semacam ini. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan yang mau
3
Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 1. Conditio sine qua non
merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti syarat mutlak atau syarat yang absolut. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 82.
4
Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Pertimbangan.
5
Ibid., Pasal 6.
Universitas Sumatera Utara
15
tidak mau harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru.
Di tengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, maka jalan pintas untuk
mendirikan tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi pemukiman menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh
lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liar
6
pun bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya.
Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena ini, pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di
Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemilikan hak
pakai atas tanah negara.
7
Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri lewat Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat
perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga kebijakan di bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut kebijakan pertanahan menjadi
6
Rumah liar merupakan rumah yang didirikan di atas tanah yang bukan diperuntukkan untuk pemukiman. Markus Gunawan, “Rumah Liar, Problematika Multidimensial,” Syari Pos, Batam,
12 Juli 2002 : 4.
7
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia,
PP No. 41 Tahun 1996, LN No. 59 Tahun 1996, TLN No. 3644, Pertimbangan.
Universitas Sumatera Utara
16
kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk selanjutnya disebut Otoritas Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.
8
Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004
9
yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.
10
Pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada daerah kabupatenkota ini merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.
11
Dengan berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah
Kota Batam. Terhadap hal ini, Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41
Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara
Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa
8
Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, 2004, hal. 8
9
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi tersebut tidak banyak merevisi tentang masalah
pertanahan. Hanya satu Pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut. Indonesia, Undang-Undang
Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437.
10
Ibid, Pasal 1.
11
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
17
sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam.
Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupatenkota merupakan urusan yang berskala kabupatenkota diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-undang
ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam.
Status hukum hak pengelolaan atas seluruh areal yang terletak di Pulau Batam termasuk dalam gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Ngenang,
Pulau Kasem, dan Pulau Moi-moi, yang diperoleh Otorita Batam berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Februari 1977
12
menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di Pulau Rempang dan Galang.
Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam apabila terjadi
peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam. Mengingat pentingnya pemahaman yang komprehensif dalam menyikapi
problematika pertanahan tersebut yang amat bertautan dengan masalah yuridis, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menjadikan problematika pertanahan yang
terjadi di pulau seluas 610 hektar ini sebagai topik penyusunan tesis. Untuk
12
Pemerintah Kota Batam, Op.cit, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
18
melakukan penelitian secara lebih mendalam terhadap kewenangan pemerintah daerah Kota Batam dalam bidang pertanahan.
Adapun judul penyusunan tesis ini adalah Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
B. Perumusan Masalah