Preparasi dan Karakterisasi Film Sabung Silang Hidrogel PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan Natrium Alginat dengan Metode Freeze-thawing dan Metronidazol sebagai model zat aktif

(1)

PREPARASI DAN KARAKTERISASI FILM SAMBUNG SILANG

HIDROGEL PVA

(POLY(VINYL-ALCOHOL))

DAN NATRIUM

ALGINAT DENGAN METODE

FREEZE-THAWING

DAN

METRONIDAZOLE SEBAGAI MODEL ZAT AKTIF

SKRIPSI

NURUL HIKMAH TANJUNG

1111102000005

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2015


(2)

i UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PREPARASI DAN KARAKTERISASI FILM

SAMBUNG SILANG HIDROGEL PVA

(POLY(VINYL-ALCOHOL))

DAN NATRIUM ALGINAT DENGAN

METODE

FREEZE-THAWING

DAN

METRONIDAZOL SEBAGAI MODEL ZAT AKTIF

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi

NURUL HIKMAH TANJUNG

1111102000005

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

v UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Nama : Nurul Hikmah Tanjung

NIM : 1111102000005

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Preparasi dan Karakterisasi Film Sabung Silang Hidrogel PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan Natrium Alginat dengan Metode Freeze-thawing dan Metronidazol sebagai model zat aktif

Telah dibuat sediaan film sambung silang PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan natrium alginat yang mengandung metronidazol. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi film PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan (NA) natrium alginat yang disambung silang, membandingkan karakteristik film sambung silang dengan film yang tidak disambung silang, dan untuk mengetahui pengaruh sambung silang terhadap karakteristik film. Film dibuat dengan empat formula A, B, C dan D dengan memvariasikan adanya natrium alginat dan metode sambung silang. Sambung. silang dilakukan dengan menggunakan metode fisik yaitu metode

freeze-thawing. Film yang dihasilkan dikarakterisasi meliputi evaluasi organoleptis, ketebalan, kadar air, sifat mekanik, daya mengembang, dan profil pelepasan metronidazol dari film. Karakteristik film sambung silang yang dihasilkan dibandingkan dengan film yang tidak disambung silang. Hasilnya menunukkan bahwa film PVA-NA yang disambung silang, film PVA yang disambung silang, film PVA-NA yang tidak disambung silang dan film PVA yang tidak disambug silang memiliki karakteristik : persen kadar air berturut-turut64,97 ± 4,22%, 52,2 ± 5,89, 61,77±3,58% dan 32,53 ± 6,473%; persen kekuatan tarikberturut-turut52,86±7,43%, 100,55 ± 9,98%, 69,02 ± 2,38% dan 54,89 ± 5,01%; persen elongasiberturut-turut266,67 ± 5,77%, 423,33 ± 45,09%, 366,67 ± 11,55% dan 246,67 ± 46,19, persen pelepasan zat aktif dari dalam film pada jam ke 24 berturut-turut102,7 ± 8,06%, 164,11 ± 1,12%, 102,01 ± 2,67, dan 152,00 ± 11,02. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa proses sambung silang mempengaruhi karakteristik film. Sambung silang yang dilakukan pada PVA-NA menyebabkan peningkatan kadar air sehingga menurunkan persen kekuatan tarik dan meningkatkan persen elongasi. Persentase kekuatan tarik terendah dan elongasi tertinggi dihasilkan oleh film sambung silang PVA-NA, persentase pelepasan obat metronidazol terendah dihasikan oleh film sambung silang PVA-NA.

Kata kunci : film hidrogel, PVA, natrium alginat, metode sambung silang, freeze-thawing.


(7)

vi UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Name : Nurul Hikmah Tanjung Major : Pharmacy

Title : Preparation and Characterization of Crosslinked PVA (Poly(vinyl alcohol)) and Sodium Alginate Hydrogel Film with Freeze

ThawingMethod and Metronidazole as Active Pharmaceutical Ingredient Model

A Crosslink of PVA (Poly(vinyl-alcohol)) Hydrogel Film and Sodium Alginate dosage form that contain Metronidazole has been made. The purpose of this study was to characterize PVA (Poly(vinyl-alcohol)) and Sodium Alginate that were crosslinked, compare the characteristics of crossedlinked film with un-crossedlinked and to understand the effect of crosslink to the film. The film was formulated A, B, C and D. where varying the presence of sodium alginate and crosslink method in the film. Crosslink was done by using a physics method which was freeze thawing. The film that was resulted was characterized by their organoleptic, thickness, weight uniformity , water content, mechanical properties, swelling ratio, release profile of metronidazole from the film. The crosslink film characteristics resulted were being compared to the film that was not crosslinked. The result showed that NA crosslinked film, PVA crosslinked film, PVA-NA un crosslinked film and PVA uncrosslinked film had characteristics of : water content percentage 64,97 ± 4,22%, 52,2 ± 5,89, 61, 77 ± 3,58% and 32,53 ± 6,473% respectively; tensile strength percentage 52,86 ± 7,43%, 100,55 ± 9,98%, 69,02 ± 2,38% and 54,89 ± 5,01% respectively; elongation break percentage 266,67 ± 5,77%, 423,33 ± 45,09%, 366,67 ± 11,55% dan 246,67 ± 46,19, 102,01 ± 2,67, and 152,00 ± 11,02 respectively ; active pharmaceutical ingredient release from the film at hour 24 percentage 102,7 ± 8,06%, 164,11 ± 1,12%, respectively. Based on the results, it can be concluded that crosslink process affected the film characteristics. Crosslink that was done to PVA-NA caused ater content increase that the percentage of tensile strength was decreasing and elongation break percentage was increasing. The lowest tensile strength and the highest elongation break were resulted by PVA-NA crosslinked film, the lowest metronidazole release percentage was resulted by PVA-NA crosslinked film.


(8)

vii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Alhamdulillahirabbil`alamiin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat serta kita sebagai umatnya. Penulisan skripsi yang berjudul “Preparasi dan Karakterisasi Film Sabung Silang Hidrogel PVA

(Poly(vinyl-alcohol)) dan Natrium Alginat dengan Metode Freeze-thaing dan Metronidazol sebagai model zat aktif” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Nelly Suryani, Ph.D., Apt dan Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan, ilmu, bimbingan, waktu, tenaga, dan dukungan kepada penulis. 2. Prof. Dr. Arif Sumantri, S.KM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Yardi, Ph.D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada saya.

5. Kedua orang tua, ayahanda Syafi’i Koto dan ibunda tercinta Sarifah Hanum yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dan doa yang tidak pernah putus dan dukungan baik moril maupun materil. Sungguh besar jasa beliau, tidak ada apapun di dunia ini yang mampu membalas kebaikan Ayah dan Mama. Maafkan anakmu ini yang memiliki banyak kesalahan, semoga Allah senantiasa melindungi Ayah dan Mama.


(9)

viii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

tercinta Basir, M. Ridwan, Ardila, Riko Sihombing, dan Zulfan Efendi Arwalembun yang telah memberikan kasih sayang, doa, semangat,dan dukungan baik moril maupun materil sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

7. Keponakan-keponakan saya tersayang Sari Rahmadani, Hafiza Khairunnisa, M. Fajar Shiddiq, Prima Aji, Farhan Kholik, Sri Annisa, Jasmin, Batara Yuda, Indra Yana, M. Barkah Alzizian, Sahira Nafisa dan Doni Darmawan terima kasih karena selalu menjadi penyemangat dan penghibur ibu selama ini.

8. Kakek dan Nenek saya tersayang Alm. ungku Tapar, Alm.ungku Buyung, Almh. Nenek Norma semoga kalian diberi tempat terbaik disisi Allah swt dan Nenek Mariatun semoga selalu diberikan kesehatan dan umur panjang. Terimakasih telah telah menyayangi dan mendoakan kesuksesan cucumu ini.

9. Seluruh keluarga besar saya tercinta terima kasih atas doa dan dukungan baik secara moral dan materil.

10. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang amat besar.

11. Laboran-laboran Farmasi FKIK, Kak Rahmadi,Kak Eris, Kak Lisna, Kak Liken, Mba Rani, Kak Tiwi, Kak Yaenap, Kak Walid dan Mba Anis terima kasih atas dukungan serta kerjasamanya selama kegiatan penelitian.

12. Sahabat-sahabat seperjuanganku tercinta Mazaya Fadhila, Meri Rahmawati, Novila Tari, Mida Fahmi, Wina Oktaviana, Yulia Nurbaiti Raihana, Jemia, Firda Khanifah, Fitri Rachmadani, Dini Fauzana, Philia Permaiswari Pratiwi, Khairunnisa Robbani, Henny Pradika Nigrum, Miyadah Samiyah, Dana Yusshiammanti Fitria, Qurry Mawaddana, Gina Kholisoh, Nicky Annisiana Fortunita, Rika Chaerunnisa, Dhenny Arman Siregar, Resky Yuliandari dan Muhammad Fahmi Salafuddin, atas kebersaaman, persaudaraan, bantuan, semangat, pengertian, motivasi dan


(10)

ix UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

kebersamaan kita selama kita di bangku perkuliahan.

14. Sahabat-sahabatku tercinta Intan Kurnia, Nabilah Fitri, Tengku Zahra Diba Johan, Nurul Arifah Batubara, Tengku Sofia Andriani Johan, Hanifah Sembiring, Dinda Afdilla Sarra, Nur Rizqi Handayani, Bebi Ayu Meilani, Nur Mawaddah Sari, dan Irawati Basuki, Muarifah, Harry Santoso dan Raudhatul Fuad terima kasih atas doa dan dukungan kalian selama ini.

15. Teman-teman “Tabletters” Umniyati Mufidah, Herlina Pratiwi, Ichsana Eskha Widya, Rizka Nurbaiti, Wardah Annajiah dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu dan memberikan banyak masukan dalam penelitian ini.

16. Teman-teman “1001” Ailla Tiara Putri, Tiara Arliani, Anggita Cahya Utami, Nadiya Hilmi, Tri Wahyuni, Dila Taruli, Laila Khotimah dan teman-teman lainnya terima kasih atas doa dan dukungan kalian selama ini.

17. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu saran serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam penelitian ini. Amiin Ya Rabbal’alamiin.

Ciputat, Oktober2015


(11)

(12)

xi UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Kulit ... 4

2.2 Luka ... 4

2.2.1 Jenis-Jenis Luka ... 5

2.2.1.1 Luka Berdasarkan Derajat Kontaminan ... 5

2.2.1.2 Luka Berdasarkan Penyebab ... 6

2.2.2 Fase Penyembuhan Luka ... 7

2.2.2.1 Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi)... 8

2.2.2.2 Fase Intermediate (Proliferasi) ... 10

2.2.2.3 Fase Akhir (Remodelling) ... 12

2.2.3 Gangguan Proses Penyembuhan Luka ... 12

2.2.3.1 Jaringan Parut Hipertrofik dan Keloid ... 13

2.2.3.2 Luka Kronis ... 13

2.3 Obat Luka dalam Sejarah Iskandar Dzulqarnain ... 14

2.4 Wound Dressing (Pembalut Luka) ... 17

2.5 Hidrogel ... 18

2.6 PVA(Poly(vinyl alkohol)) ... 19

2.7 Natrium Alginat ... 20

2.8 Sambung Silang ... 22

2.9 Sambung Silang PVA ... 23

2.10Gliserin ... 24

2.11Metronidazol ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.2 Alat dan Bahan ... 26

3.2.1 Alat ... 26

3.2.2 Bahan ... 26


(13)

xii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

3.3.3 Karakterisasi Cairan Pembentuk Film ... 29

3.3.3.1 Evaluasi Organoleptis ... 29

3.3.3.2 Evaluasi Viskositas ... 29

3.3.4 Karakterisasi Film ... 29

3.3.4.1 Evaluasi Organoleptis ... 29

3.3.4.2 Pengukuran Ketebalan Film ... 29

3.3.4.3 Analisa Daya Mengembang ... 30

3.3.4.4 Analisa Kadar Air ... 30

3.3.4.5 Uji Sifat Mekanik Film ... 30

3.3.4.6 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva Kalibrasi Metronidazole ... 31

3.3.4.7 Penetapan Kadar Metronidazole dalam Film ... 31

3.3.4.8 Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Pembuatan Sediaan Film ... 32

4.1.1 Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film ... 32

4.1.2 Preparasi Film Sambung Silang ... 33

4.2 Karakterisasi Cairan Pembentuk Film ... 34

4.2.1 Evaluasi Organoleptis ... 34

4.2.2 Evaluasi Viskositas ... 34

4.3 Karaktersasi Film ... 35

4.3.1 Evaluasi Organoleptis ... 35

4.3.2 Pengukuran Ketebalan Film ... 36

4.3.3 Analisa Daya Mengembang ... 37

4.3.4 Analisa Kadar Air ... 38

4.3.5 Uji Sifat Mekanik Film ... 39

4.3.6 Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film ... 40

4.3.7 Penetapan Kadar Metronidazole dalam Film ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(14)

xiii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Tabel 3.1 Variasi NA dalam Formula Film Sambung Silang ... 27

Tabel 3.2 Variasi Jenis Film ... 28

Tabel 4.1 Karakteristik Film Hasil Optimasi ... 32

Tabel 4.2 Ketebalan Film ... 36

Tabel 4.3 Daya Mengembang Film ... 37

Tabel 4.4 Kadar Air ... 39

Tabel 4.5 Uji Mekanik Film ... 39

Tabel 4.6 Persen Kumulatif Pelepasan Metronidazole dari Film ... 40

Tabel 4.7 Hasil Optimasi Waktu Ekstraksi Metronidazole dari Film ... 41


(15)

xiv UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Gambar 2.1 Rumus Struktur Poly(vinyl alcohol) ... 20

Gambar 2.2 Struktur Alginat ... 21

Gambar 2.3 Struktur Jaringan Tiga Dimensi PVA yang Disambung Silang dengan Metode Freeze Thawing ... 23

Gambar 2.4 Rumus Struktur Metronidazol ... 24

Gambar 4.1 Larutan CPF PVA-NA (A), Larutan CPF PVA (B) ... 34

Gambar 4.2 Gambar Makroskopik Keempat Formula Film A (A), Film B (B), Film C (C), dan Film D (D) ... 35

Gambar 4.3 Grafik Daya Mengembang Film ... 37

Gambar 4.4 Kurva Sifat Mekanik Film ... 39


(16)

xv UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Lampiran 1. Alur Penelitian ... 49

Lampiran 2. Gambar Alat dan Bahan ... 50

Lampiran 3. Pembuatan Koloid PVA 6% ... 51

Lampiran 4. Pembuatan Koloid NA 0,9% ... 51

Lampiran5. Pembuatan Larutan Metronidazol ... 51

Lampiran 6. Pembuatan Larutan Metronidazol Standar ... 51

Lampiran 7. Data Standar Absorbansi dan Kurva Kalibrasi Metronidazol dalam Aquabidestilasi ... 52

Lampiran 8. Kadar Air ... 52

Lampiran 9. Ketebalan Film ... 53

Lampiran 10. Uji Mekanik ... 53

Lampiran 11. Keseragaman Kandungan ... 54

Lampiran 12. Presentase Kumulatif Pelepasan Metronidazol dari Film ... 54

Lampiran 13. Hasil Optimas Pelepasan Metronidazol ... 54

Lampiran 14. Penetapan Kadar Metronidazol dari Film ... 55

Lampiran 15. Uji Daya Mengembang ... 56

Lampiran 16. Data Statistik Uji Mekanik Kekuatan Tarik ... 57

Lampiran 17. Data Statistik Uji Mekanik Elongasi ... 58

Lampiran 18. Data Statistik Uji Daya Mengembang ... 60

Lampiran 19. Contoh Perhitungan Optimasi Pelepasan Metronidazol ... 66

Lampiran 20. Contoh Perhitungan Kadar Metronidazol ... 67

Lampiran 21. Sertifikat Analisis PVA ... 68

Lampiran 22. Sertifikat Analisis Metronidazol ... 69


(17)

1 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pada saat ini, sediaan penutup luka menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehata. Banyaknya korban yang menderita luka akibat kecelakaan industri, lalu lintas, penyakit diabetes, kebakaran dan sebagainya menjadi faktor pertimbangan khusus dalam penelitian obat penutup luka. Sediaan penutup luka sangat diharapkan memiliki mekanisme kerja yang cepat dan efektif untuk mempercepat penyembuhan.

Produk hidrogel merupakan kelompok yang terdiri dari material polimer, struktur hidrofiliknya mengakibatkan produk ini mampu menjerap air dalam jumlah besar dalam jaringan tiga dimensinya (Ahmed, 2013). Sifat lain dari hidrogel yaitu dapat memberikan lingkungan yang lembab untuk migrasi sel dan menyerap beberapa eksudat serta debridemen autolitik tanpa membahayakan granulasi atau sel-sel epitel serta memberikan efek dingin dan efek menenangkan pada kulit (Weller dan Summan, 2006). Keuntungan-keuntungan hidrogel tersebut merupakan dasar pemilihan hidrogel sebagai basis film yang akan digunakan.

Dalam aplikasi pengobatan penutup luka, PVA merupakan produk hidrogel sintetik yang paling lama dan memiliki biokompatibel yang baik (Komoun et al.,2014 ). Tetapi PVA memiliki kekurangan yaitu tidak cukup elastis, membrannya kaku dan sifat hidrofilisitasnya yang terbatas jika digunakan sendiri sehingga membutuhkan modifikasi seperti menggabungkan PVA dengan hidrogel natural ataupun sintetik lain (Kamoun et al., 2014).

Serangkaian campuran PVA (poly(vinyl alcohol) dan polimer hidrogel lain yang memiliki karakteristik yang baik telah direview menggunakan metode sambung silang yang berbeda untuk mendapatkan bahan pembalut luka yang tepat. Yaitu pembalut luka yang memiliki biokompatibilitas dan sifat mekanik yang memuaskan.

Dalam jurnal review yang dilakukan oleh (Komoun et al., 2014) para peneliti lain menyatakan bahwa penggabungan PVA dengan menggunakan


(18)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA natrium alginat (NA) dengan metode freeze-thawing akan meningkatkan sifat film seperti meningkatkan elastisitas, dan stabilitas suhu dan daya mengembang yang berdampak pada kelembaban lingkungan luka.

NA memiliki sifat hidrofilisitas yang tinggi, biokompatibilitas yang baik dan relatif ekonomis dan telah banyak diaplikasikan dalam pengobatan biomedis seperti wound dressing. NA merupakan polimer hidrogel yang paling umum diaplikasikan untuk wound dressing yang digabungkan dengan PVA baik sebagai komponen utama ataupun tambahan. (Kamoun et al., 2014).

Pada penelitian ini akan dibuat film hidrogel yang terdiri dari 4 jenis film yang berbeda pada formula dan proses sambung silang. Film A terdiri dari polimer PVA dan NA yang disambung silang, film B terdiri dari polimer PVA yang disambung silang, film C terdiri dari polimer PVA dan NA yang tidak disambung silang dan film D terdiri dari polimer PVA yang tidak disambung silang. Semua film dibuat dengan penambahan gliserin sebagai plasticizer dan metronidazol sebagai model zat aktif. Penambahan plastisizer diharapkan mampu meningkatkan efektivitas pembentukan film.

Sambung silang merupakan salah satu metode untuk menghubungkan antara rantai polimer satu dengan yang lainnya sehingga terbentuk suatu bangunan tiga dimensi yang saling berkesinambungan (Sugita et al., 2009). Ikatan yang terbentuk ini dapat mempengaruhi karakteristik dari suatu polimer dimana akan meningkatkan daya mengembang, sifat mekanik dan pelepasan obat (Komoun et al., 2013)

Hidrogel akan disambung silang dengan metode freeze-thawing dalam upaya untuk memperbaiki sifat film. Bahan kimia yang digunakan dalam metode sambung silang secara kimia tidak hanya merupakan senyawa beracun dimana dapat terlepas atau sering diisolasi dari penyiapan gel sebelum diaplikasikan, tetapi juga dapat mempengaruhi substansi alami yang terjerap (misalnya protein, obat-obatan, dan sel-sel). Oleh karena itu, metode sambung silang fisik lebih dipilih dan disukai dibandingkan dengan ikatan silang kimia. Sehingga digunakan metode fisik yaitu freeze-thawing yang lebih mudah dan paling aman digunakan (Kamoun et al., 2014)


(19)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi penelitian selanjutkan dalam menentukan film yang akan digunakan sebagai pembawa bioaktif untuk sediaan penutup luka agar pengobatan pada luka mendapatkan efek terapi yang maksimal.

1.2Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah

1. Bagaimanakah karakteristik dari setiap film yang akan dibuat dengan metode sambung silang freeze--thawing?

2. Formulasi manakah yang akan memberikan karakteristik yang paling baik diantara formulasi yang telah dirancang?

3. Bagaimanakah pengaruh penambahan plastisizer pada pembentukan film ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mengkarakterisasi film PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan (NA) natrium alginat yang disambung silang dan yang tidak disambung silang.

2. Membandingkan karakteristik film sambung silang dengan film yang tidak disambung silang, dan untuk mengetahui pengaruh sambung silang terhadap karakteristik film

3. Mempelajari karakteristik film dari setiap formulasi baik film yang disambung silang dengan metode freeze-thawing maupun film yang tidak disambung silang.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitan ini adalah untuk meningkatkan efektifitas penggunaan film hidrogel pada sediaan penutup luka sehingga dapat memaksimalkan efek terapi pada pengobatan dan untuk membantu penelitian selanjutnya .


(20)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kulit

Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 2 m2 dengan berat kira-kira 16% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital vserta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitifitas bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Tortora dan Derrickson, 2009). Kulit mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, pengantar haba, penyerap, indera perasa, dan fungsi pergetahan (Setiabudi, 2008).

Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang, pirang dan hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam kecoklatan pada genitalia orang dewasa (Djuanda dan Sri, 2003). Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis dan tebalnya; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir dan preputium, kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa.Kulit yang tipis terdapat pada muka, yang berambut kasar terdapat pada kepala (Djuanda dan Sri, 2003). Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak (Tortora dan Derrickson, 2009).

2.2Luka

Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti trauma, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Bentuk dari luka berbeda tergantung penyebabnya, ada yang terbuka dan tertutup. Salah satu contoh luka terbuka adalah insisi dimana terdapat robekan linier pada kulit dan jaringan di bawahnya. Salah satu contoh luka


(21)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA tertutup adalah hematoma dimana pembuluh darah yang pecah menyebabkan berkumpulnya darah di bawah kulit (Pusponegoro, 2005)

Tubuh memiliki respon fisiologis terhadap luka yakni proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka terdiri dari berbagai proses yang kompleks untuk mengembalikan integritas jaringan. Selama proses ini terjadi pembekuan darah, respon inflamasi akut dan kronis, neovaskularisasi, proliferasi sel hingga apoptosis. Proses ini dimediasi oleh berbagai sel, sitokin, matriks, dan growth factor. Disregulasi dari proses tersebut bisa menyebabkan komplikasi atau abnormalitas luka yaitu luka hipertrofik dan keloid. Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara alami namun terkadang diperlukan penanganan khusus pada luka untuk membantu proses tersebut. Oleh karena itu penting untuk dipahami mengenai proses penyembuhan luka (Pusponegoro, 2005).

Luka memberikan angka morbiditas yang cukup besar di seluruh dunia terutama luka kronis karena mengganggu fungsional jaringan dan dilihat dari nilai estetikanya. Luka akut yang mengalami penyulit dalam proses penyembuhannya dapat berprogres imenjadi luka kronis. Contoh dari luka kronis yang sering dan menyebabkan komplikasi adalah ulkus diabetikus.Melihat permasalahan tersebut, luka perlu mendapat penanganan yang baik untuk mengurangi angka morbiditasnya (Lawrence, 2002).

2.2.1 Jenis-Jenis Luka

Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukan derajat luka (Taylor,1997).

2.2.1.1 Luka Berdasarkan Derajat Kontaminasi a. Luka Bersih

Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.


(22)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA b. Luka Bersih Terkontaminasi

Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.

c. Luka Terkontaminasi

Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.

d. Luka Kotor

Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama.

2.2.1.2 Luka Berdasarkan Penyebab a. Vulnus Ekskoriasi

Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupu n benturan benda tajam ataupun tumpul.

b. Vulnus Scissum

Vulnus scissum atau luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam (seng, kaca), dimana bentuk luka teratur.

c. Vulnus Laseratum

Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang-camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana


(23)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.

d. Vulnus Punctum

Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.

e. Vulnus Morsum

Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.

f. Vulnus Combutio

Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa

2.2.2 Fase Penyembuhan Luka

Tubuh mempunyai pelindung dalam menahan perubahan lingkungan yaitu kulit. Apabila faktor dari luar tidak mampu ditahan oleh pelindung tersebut maka terjadilah luka. Dalam merespon luka tersebut, tubuh memiliki fungsi fisiologis penyembuhan luka. Proses penyembuhan ini terdiri dari fase awal intermediate dan fase lanjut. Masing-masing fase memiliki proses biologis dan peranan sel yang berbeda. Pada fase awal terjad hemostasis dimana pembuluh darah yang terputus pada luka akan dihentikan dengan terjadinya reaksi vasokonstriksi untuk memulihkan aliran darah serta inflamasi untuk membuang jaringan rusak dan mencegah infeksi bakteri. Pada fase intermediate, terjadi proliferasi sel mesenkim, epitelialisasi dan angiogenesis. Selain itu terjadi pula kontraksi luka dan sintesis kolagen pada fase ini. Sedangkan untuk fase akhir, terjadi pembentukan luka/remodelling (Pusponegoro, 2005 dan Leong et al., 2012)


(24)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2.2.2.1 Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi)

Pada luka yang menembus epidermis akan merusak pembuluh darah menyebabkan pendarahan. Untuk mengatasinya terjadilah proses hemostasis. Proses ini memerlukan peranan platelet dan fibrin. Pada pembuluh darah normal, terdapat produk endotel seperti prostacyclin untuk menghambat pembentukan bekuan darah. Ketika pembuluh darah pecah, proses pembekuan dimulai dari rangsangan collagen terhadap platelet. Platelet menempel dengan platelet lainnya dimediasi oleh protein fibrinogen dan faktor von Willebrand. Agregasi platelet bersama dengan eritrosit akan menutup kapiler untuk menghentikan pendarahan (Leong et a.l, 2012)

Saat platelet teraktivasi, membran fosfolipid berikatan dengan faktor pezmbekuan V, dan berinteraksi dengan faktor pembekuan X. Aktivitas protrombinase dimulai, memproduksi trombin secara eksponensial. Trombin kembali mengaktifkan platelet lain dan mengkatalisasi pembentukan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin berlekatan dengan sel darah merah membentuk bekuan darah dan menutup luka. Fibrin menjadi rangka untuk sel endotel, sel inflamasi dan fibroblast (Gurtner, 2007)

Fibronectin bersama dengan fibrin sebagai salah satu komponen rangka tersebut dihasilkan fibroblast dan sel epitel. Fibronectin berperan dalam membantu perlekatan sel dan mengatur perpindahan berbagai sel ke dalam luka. Rangka fibrin-fibronectin juga mengikat sitokin yang dihasilkan pada saat luka dan bertindak sebagai penyimpan faktor–faktor tersebut untuk proses penyembuhan (Leong et a.l, 2012)

Reaksi inflamasi adalah respon fisiologis normal tubuh dalam mengatasi luka. Inflamasi ditandai oleh rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), calor (hangat), dan dolor (nyeri). Tujuan dari reaksi inflamasi ini adalah untuk membunuh bakteri yang mengkontaminasi luka (Gurtner, 2007 dan Schultz, 2007) Pada awal terjadinya luka terjadi vasokonstriksi lokal pada arteri dan kapiler untuk membantu menghentikan pendarahan. Proses ini dimediasi oleh epinephrin, norepinephrin dan prostaglandin yang dikeluarkan oleh sel yang cedera. Setelah 10-15 menit pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi yang dimediasi oleh seotonin, histamin, kinin, prostaglandin, leukotriene dan produk


(25)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA endotel. Pp ini yang menyebabkan lokasi luka tampak merah dan hangat (bster et a.l, 2012 dan Leong et a.l, 2012)

Sel mast yang terdapat pada permukaan endotel mengeluarkan histamin dan serotonin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Pp ini mengakibatkan plasma keluar dari intravaskuler ke ekstravaskuler. Leukosit berpindah ke jaringan yang luka melalui proses aktif yaitu diapedesis. Proses ini dimulai dengan leukosit menempel pada sel endotel yang melapisi kapiler dimediasi oleh selectin. Kemudian leukosit semakin melekat akibat integrin yang terdapat pada permukaan leukosit dengan intercellular adhesion moleculer (ICAM) pada sel endotel. Leukosit kemudian berpindah secara aktif dari sel endotel ke jaringan yang luka (Leong et a.l, 2012)

Agen kemotaktik seperti produk bakteri, complement factor, histamin, PGE2, leukotriene dan platelet derived growth factor (PDGF) menstimulasi leukosit untuk berpindah dari sel endotel. Leukosit yang terdapat pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil. Sel ini membuang jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis. Netrofil juga mengeluarkan protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh makrofag atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi, keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk mengalami proses penyembuhan. Pp ini bisa menyebabkan luka akut berprogresi menjadi luka kronis (Pusponegoro, 2005 dan Lawrence, 2002)

Pada hari kedua/ketiga luka, monosit/makrofag masuk ke dalam luka melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan mati. Makrofag mensekresi proteinase untuk mendegradasi matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang material asing, merangsang pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM. Makrofag merupakan penghasil sitokin dan growth factor yang menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen, pembentukan pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (Leong et a.l, 2012 dan Schultz, 2007)


(26)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Limfosit T muncul secara signifikan pada hari kelima luka sampai hari ketujuh. Limfosit mempengaruhi fibroblast dengan menghasilkan sitokin, seperti IL-2 dan fibroblast activating factor. Limfosit T juga menghasilkan interferon-(IFN- ), yang menstimulasi makrofag untuk mengeluarkan sitokin seperti IL-1 dan TNF-α. Sel T memiliki peran dalam penyembuhan luka kronis (Gurtner, 2007)

2.2.2.2 Fase Intermediate (Proliferasi)

Pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel-sel inflamasi, tanda-tanda radang berkurang, munculnya sel fibroblast yang berproliferasi, pembentukan pembuluh darah baru, epitelialisasi dan kontraksi luka. Matriks fibrin yang dipenuhi platelet dan makrofag mengeluarkan growth factor yang mengaktivasi fibroblast. Fibroblast bermigrasi ke daerah luka dan mulai berproliferasi hingga jumlahnya lebih dominan dibandingkan sel radang pada daerah tersebut. Fase ini terjadi pada hari ketiga sampai hari kelima (Leong et a.l, 2012).

Dalam melakukan migrasi, fibroblast mengeluarkan matriks MPP (mettaloproteinase) untuk memecah matriks yang mengppangi migrasi. Fungsi utama dari fibroblast adalah sintesis kolagen sebagai komponen utama ECM. Kolagen tipe I dan III adalah kolagen utama pembentuk ECM dan normalnya ada pada dermis manusia. Kolagen tipe III dan fibronectin dihasilkan fibroblast pada minggu pertama dan kemudian kolagen tipe III digantikan dengan tipe I. Kolagen tersebut akan bertambah banyak dan menggantikan fibrin sebagai penyusun matriks utama pada luka (Leong et a.l, 2012 dan Galiano et a.l, 2007).

Pembentukan pembuluh darah baru/angiogenesis adalah proses yang dirangsang oleh kebutuhan energi yang tinggi untuk proliferasi sel. Selain itu angiogenesis juga dierlukan untuk mengatur vaskularisasi yang rusak akibat luka dan distimulasi kondisi laktat yang tinggi, kadar pH yang asam, dan penurunan tekanan oksigen di jaringan (Gurtner, 2007 dan Schultz. 2007).

Setelah trauma, sel endotel yang aktif karena terekspos berbagai substansi akan mendegradasi membran basal dari vena postkapiler, sehingga migrasi sel dapat terjadi antara celah tersebut. Migrasi sel endotel ke dalam luka diatur oleh fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor (PDGF), dan


(27)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA transforming growth factor- (TGF- ). Pembelahan dari sel endotel ini akan membentuk lumen. Kemudian deposisi dari membran basal akan menghasilkan maturasi kapiler (Lawrence, 2002)

Angiogenesis distimulasi dan diatur oleh berbagai sitokin yang ebanyakan dihasilkan oleh makrofag dan platelet. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) yang dihasilkan makrofag merangsang angiogenesis dimulai dari akhir fase inflamasi. Heparin, yang bisa menstimulasi migrasi sel endotel kapiler, berikatan dengan berbagai faktor angiogenik lainnya. Vascular endothelial growth factor (VEGF) sebagai faktor angiogenik yang poten dihasilkan oleh keratinosit, makrofag dan fibroblast selama proses penyembuhan (Leong et al., 2012).

Pada fase ini terjadi pula epitelialisasi yaitu proses pembentukan kembali lapisan kulit yang rusak. Pada tepi luka, keratinosit akan berproliferasi setelah kontak dengan ECM dan kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan yang baru terbentuk. Ketika bermigrasi, keratinosis akan menjadi pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Pada ECM, mereka akan berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan membantu pergerakan dari matriks awal. Keratinosit juga mensintesis dan mensekresi MMP lainnya ketika bermigrasi (Galiano et al., 2007)

Matriks fibrin awal akan digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan granulasi akan berperan sebagai perantara sel-sel untuk melakukan migrasi. Jaringan ini terdiri dari tiga sel yang berperan penting yaitu : fibroblast, makrofag dan sel endotel. Sel-sel ini akan menghasilkan ECM dan pembuluh darah baru sebagai sumber energi jaringan granulasi. Jaringan ini muncul pada hari keempat setelah luka.Fibroblast akan bekerja menghasilkan ECM untuk mengisi celah yang terjadi akibat luka dan sebagai perantara migrasi keratinosit. Matriks ini akan tampak jelas pada luka Makrofag akan menghasilkan growth factor yang merangsang fibroblast berproliferasi. Makrofag juga akan merangsang sel endotel untuk membentuk pembuluh darah baru (Schultz, 2007)

Kontraksi luka adalah gerakan centripetal dari tepi luka menuju arah tengah luka. Kontraksi luka maksimal berlanjut sampai hari ke-12 atau ke-15 tapi


(28)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA juga bisa berlanjut apabila luka tetap terbuka. Luka bergerak ke arah tengah dengan rata-rata 0,6 sampai 0,75 mm/hari. Kontraksi juga tergantung dari jaringan kulit sekitar yang longgar. Sel yang banyak ditemukan pada kontraksi luka adalah myofibroblast. Sel ini berasal dari fibroblast normal tapi mengandung mikrofilamen di sitoplasmanya (Leong et al., 2012 dan Gurtner, 2007)

2.2.2.3 Fase Akhir (Remodelling)

Fase remodeling jaringan parut adalah fase terlama dari proses penyembuhan Proses ini dimulai sekitar hari ke-21 hingga satu tahun. Pembentukan kolagen akan mulai menurun dan stabil. Meskipun jumlah kolagen sudah maksimal, kekuatan tahanan luka hanya 15 % dari kulit normal. Proses remodelling akan meningkatkan kekuatan tahanan luka secara drastis. Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe I. Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada minggu ketiga hingga minggu keenam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan mencapai 90% dari kekuatan kulit normal (Leong et al, 2012).

2.2.3 Gangguan Proses Penyembuhan Luka

Proses fisiologis yang kompleks dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu fase yang berkepanjangan dapat mempengaruhi hasil dari penyembuhan luka yaitu jaringan parut yang terbentuk. Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen), penyebab tersebut antara kontaminasi atau benda asing, kekebalan tubuh yang lemah, ganguan koagulasi, obat-obatan penekan sistem iun, paparan radiasi, dan beberapa faktor lain. Suplai darah juga mempengaruhi proses penyembuhan, dimana suplai darah pada ekstremitas bawah adalah yang paling sedikit pada tubuh dan suplai darah pada wajah serta tangan cukup tinggi. Usia pasien yang tua juga memperpanjang proses penyembuhan (Pusponegoro, 2005., Lawrence, 2002 dan Gurtner, 2007)


(29)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2.2.2.1. Jaringan Parut Hipertrofik dan Keloid

Jaringan parut yang terbentuk sebagai hasil akhir proses penyembuhan bergantung pada kolagen terbentuk. Normalnya pada fase remodelling akan terjadi keseimbangan antara pembentukan kolagen dan pemecahannya oleh enzim. Apabila kolagen yang terbentuk melebihi degradasinya akan terjadi jaringan parut hipertrofik atau keloid, sedangkan apabila pemecahan lebih tinggi dari pembentukan akan terjadijaringan parut hipotrofik (Lawrence, 2002 dan Schultz, 2007)

Jaringan parut dengan proliferasi kolagen yang berlebihan adalah jaringan parut hipertrofik dan keloid. Keloid adalah jaringan parut yang tumbuh melebihi batas awal luka, biasanya tidak mengalami regresi. Keloid ini lebih sering terjadi pada pasien dengan kulit gelap dan juga ada predisposisi genetik (Gurtner, 2007 dan Galiano et a.l, 2007)

Jaringan parut hipertrofik adalah jaringan parut yang tumbuh tapi masih dalam batas luka awal dan biasanya sembuh secara spontan. Jaringan parut hipertrofik ini biasanya dapat dicegah, contohnya pada kasus luka bakar. Pada luka bakar, akan terjadi perpanjangan fase inflamasi yang menyebabkan terjadinya proliferasi berlebih akibat aktivasi fibroblast yang tinggi. Sehingga usaha utama untuk melakukan pencegahan adalah dengan membantu fase inflamasi agar berlangsung lebih singkat. Pembentukan luka yang perpendikular juga akan tampak rata, sempit dengan pembentukan kolagen yang lebih sedikit dibandingkan luka yang paralel dengan serat otot (Gurtner, 2007)

2.2.2.2. Luka Kronis

Abnormalitas dari fase-fase pada proses penyembuhan dapat mempengaruhi masa penyembuhan luka. Luka kronis didefinisikan sebagai luka akut yang disertai gangguan proses penyembuhan. Pada penelitian tentang luka kronis didapatkan bahwa aktivitas TNF-α dan IL-1 mengalami peningkatan. Pada penyembuhan luka diperlukan adanya keseimbangan degradasi proteolitik dari ECM dan restrukturisasi ECM untuk mengijinkan perlekatan sel dan pembentukan membran basal. Apabila proses ini terganggu, ECM akan


(30)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA mengalami kerusakan kemudian mencegah migrasi dan perlekatan keratinosit, dan merusak jaringan yang terbentuk (Brain et al, 2007)

Salah satu contoh dari luka kronis adalah pressure ulcers menunjukkan peningkatan MMP, terutama MMP-1, -2, -8 dan -9, dan penurunan kadar tissue inhibitors of mettaloproteinase (TIMP). Pp ini membuktikan bahwa pada luka kronis terjadi ketidakseimbangan antara degradasi dan restrukturisasi ECM. Proteolisis yang berlebihan juga menyebabkan pemecahan jaringan ikat dan mengeluarkan produk yang merangsang sel inflamasi kembali aktif. Inflamasi yang berkepanjangan juga menambah kecenderungan penyembuhan luka menjadi lama (Gurtner, 2007 dan Brain et al, 2007)

2.3 Obat Luka dalam Sejarah Iskandar Dzulqarnain Dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 83-98 dikatakan :

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah: "Aku

akan bacakan kepadamu cerita tentangnya." Sungguh, Kami telah

menempatkannya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun mengikuti suatu jalan. Hingga ketika dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ suatu kaum. Kami berkata: "Wahai Zulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka. Berkata Zulkarnain: "Adapun orang yang zalim, maka kelak kami akan menyiksanya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang sangat keras. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang baik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami." Kemudian Zulkarnain mengikuti jalan. Hingga tatkala dia sampai ke tempat terbit matahari, dia mendapati matahari itu menyinari suatu kaum yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah, dan sesungguhnya Kami mengetahui segala sesuatu yang ada pada Zulkarnain. Kemudian dia mengikuti jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai diantara dua gunung, dia mendapati suatu


(31)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Zulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat penutup/penghalang antara kami dan mereka?" Zulkarnain berkata: "Apa yang telah dianugerahkan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding/penghalang antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi!” Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Zulkarnain: "Tiuplah!" Hingga apabila dia (Zulkarnain) menjadikannya api, diapun berkata: "Berilah aku

leburan tembaga agar aku tuangkan ke atasnya." Maka mereka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Zulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar."

Dzulqarnain adalah seorang raja saleh yang diberi kekuasaan yang besar pada kesempatan yang luar biasa dan, kekuasaannya mencakup ke seluruh penjuru dunia di sekitar terbit dan terbenamnya matahari. Dalam keadaan demikian, Dzulqarnain tetap dalam kesalehan dan istiqamahnya tidak berubah, jika kita bayangkan pemimpin kita ada yang seperti beliau. Dengan berbagai keistimewaan dan kekuasaannya, beliau tidak pernah lupa kepada Tuhan yang memberikan segalanya (Taufik, 2009).

Beliau dikurniakan Allah otak yang pintar, fikiran yang panjang dan berbagai-bagai ilmu pengetahuan: Ilmu Perang, Ilmu Politik dan Ilmu Teknik dan Kimia. Dari semenjak dia masih kecil, hatinya sudah tidak enak melihat perang yang selalu timbul antara Timur (Kerajaan Persia) dengan Barat (Kerajaan Rum). Perang yang tidak henti-hentinya dari tahun ke tahun, malah dari abad ke abad, yang telah menewaskan ribuan manusia dan merusakkan bumi, menghancurkan banyak harta benda. Untuk menghindarkan perang antaraTimur dengan Barat yang sudah bertradisi ini, dia ingin mendirikan sebuah kerajaan besar yang meliputi Timur dan Barat (Taufik, 2009).


(32)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Padanya terdapat segala syarat untuk menyampaikan maksud dan tujuan hidupnya yang maha besar itu. Selain dia seorang yang baik, berakhlak yang tinggi, berilmu pengetahuan tentang ketenteraan, tentang pemerintahan dan teknik, akan dapat membawa dia sampai dipantai cita-citanya. Mula-mula sekali dengan tenteranya yang lengkap kuat, dia menuju ke Barat (Maghribi atau Moroko), tempat terbenamnya matahari. Disitu dilihatnya matahari itu terbenam dimata air yang bertambah hitam,yaitu Lautan Atlantik sekarang ini. Disitu didapatinya satu bangsa yang terlalu ingkar dan kafir, hebat sekali kerusakan dan kejahatan yang ditimbulkan bangsa itu. Bukan saja merusakkan permukaan bumi dan mengacaukannya, tetapi juga sudah menjadi tabiat mereka suka membunuh orang-orang yang tidak bersalah sekalipun. Sebelum melakukan tindakan, terlebih dahulu Dzulkarnain menadahkan tangannya ke langit, memohon petunjuk kepada Allah, tindakan apa sebaiknya yang harus dilakukan terhadap bangsa yang begitu kejam. Apakah bangsa itu akan digempurnya habis-habisan atau akan dibiarkan begitu saja? (Taufik, 2009).

Tuhan menyuruh Dzulkarnain membuat pilihan salah satu diantara dua tindakan: Digempur habis-habisan sebagai balasan atas kekejaman mereka selama ini atau diajar dan dididik dengan propaganda, agar mereka kembali kepada kebenaran dan meninggalkan segala kejahatan. Akhirnya Dzulkarnain memutuskan akan menggempur mereka yang durhaka dan jahat sehebat-hebatnya dan membiarkan serta melindungi orang-orang yang baik diantara mereka. Pada bangsa itu, Dzulkarnain lalu mengucapkan kata-katanya yang ringkas: Siapa yang aniaya, akan kami siksa dan dikembalikan kepada Tuhan agar Tuhan memberi siksa yang lebih hebat lagi. Adapun orang-orang yang saleh dan baik, akan kami lindungi serta diberi ganjaran-ganjaran dan kepadanya kami hanya akan perintahkan kewajiban-kewajiban yang ringan saja (Taufik, 2009).

Dalam beberapa penelitian banyak disebutkan dalam perjalanan Dzulqarnain selalu membawa lidah buaya dalam setiap peperangan sebagai obat luka bagi para prajuritnya. Dalam buku Martindale edisi 34 tahun 2005 , ekstrak kering dari Aloe Barbadensis berisi tidak lebih dari 28 % derivat hydoxyanthracene sebagai barbaloin. Massa yang berwarna coklat gelap sedikit mengkilat berbentuk pecahan atau bubuk coklat. Sedikit larut dalam air mendidih,


(33)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA larut dalam alkohol. Jus Aloe Capensis kering dari Aloe berisi 18 % derivat anthtracene sebagai barbaloin. Latex ( getah ) kering dari daun Aloe Barbadensis

dikenal dalam perdagangan sebagai Curacao Aloe atau dari Aloe Ferox .dikenal dalam perdagangan dengan Cape Aloe. Menghasilkan tidak kurang 50 % ekstrak yang larut dalam air (IAI, 2008).

2.4 Wound Dressing (Pembalut Luka)

Dressing adalah bahan yang digunakan secara topikal pada luka untuk melindungi luka, dan membantu penyembuhan luka. Dressing akan mengalami kontak langsung terhadap luka dan dibedakan dengan plester sebagai penahan dressing. Dressing berdasarkan aktivitasnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Inert/Passive Dressings dan Interactive/Bioactive Dressings (Weller dan Sussman, 2006).

Tujuan utama pada luka bersih yang akan ditutup atau dibiarkan bergranulasi adalah menyediakan lingkungan penyembuhan yang lembap untuk memfasilitasi migrasi sel serta mencegah luka mengering. Pemilihan dressing tergantung dari jumlah dan tipe eksudat yang terdapat pada luka. Dressing hidrogel, film, komposit baik digunakan untuk luka dengan jumlah eksudat sedikit. Untuk luka dengan jumlah eksudat sedang digunakan hidrokoloid dan untuk luka dengan jumlah eksudat banyak digunakan alginate, foam dan NPWT. Luka dengan jaringan nekrosis yang besar harus dilakukan debridement terlebih dahulu sebelum memasang dressing (Lawrence, 2002., Gurtner, 2007 dan Brain et al, 2007).

NPWT atau penutupan luka dengan vakum menggunakan spons pada luka, ditutup dengan dressing ketat kedap udara, dimana kemudian vakum dipasang. NPWT bisa digunakan untuk luka dengan kebocoran limfa yang besar dan fistula. Mekanisme utama NPWT adalah untuk menghilangkan edema, NPWT menghilangkan cairan darah atau limfa yang berada pada interstitial, sehingga meningkatkan difusi interstitial oksigen ke dalam sel. NPWT juga menghilangkan enzim-enzim kolagenase dan MMP yang kadarnya meningkat pada luka kronis (Lawrence, 2002 dan Brain et al, 2007).


(34)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Pembalut luka yang paling ideal adalah kulit alami sehingga dalam pengembangannya dalam pengembangannya penutup luka dibuat agar memiliki karakteristik yang mirir dengan kulit. Dengan demikian dapat tinggal lebih lama didaerah luka tanpa memberikan gangguan dan mampu mempercepat proses penyembuhan luka. Supaya memiliki karakteristik tersebut, maka suatu pembalut luka perlu memenuhi beberapa syarat berikut ini (Lloyd et al., 1998 dalam Anggraeni, 2012)

1. Mampu memelihara kelembaban yang tinggi pada antarmuka luka dan pembalut sekaligus mampu membuang eksudat luka berlebih dan senyawa-senyawa toksik melalui absorpsi.

2. Memungkinkan pertukaran udara sekaligus memelihara lapisan yang tidak permeabel terhadap mikroorganisme.

3. Dapat mengisolasi termal.

4. Bersifat biokompartibel dan tidak merangsang reaksi alergi selama kontak dengan jaringan.

5. Memiliki daya lekat yang minimal terhadap permukaan luka sehingga saat dilepaskan dari luka tidak memberikan rasa sakit.

6. Secara fisik kuat bahkan pada saat basah. 7. Dapat dibuat dalam bentuk steril.

Jika kriteria ini dapat dipenuhi maka lingkungan penyembuhan luka yang optimum dapat dipelihara dan proses penyembuhan dapat dipercepat ((Lloyd et al., 1998 dalam Anggraeni, 2012)

2.5 Hidrogel

Dressing hidrogel sebagaimana namanya, dirancang untuk melembabkan luka, rehidrasi bekas luka dan membantu dalam debridemen autolitik. Hidrogel adalah polimer larut yang mengembangkan dalam air dan tersedia dalam bentuk lembaran, gel berbentuk amorf atau lembaran hidrogel dressing penyerap (Weller dan Summan, 2006)

Dressing hidrogel memberikan lingkungan yang lembab untuk migrasi sel dan menyerap beberapa eksudat serta debridemen autolitik tanpa membahayakan granulasi atau sel-sel epitel adalah keuntungan lain dari dressing hidrogel.


(35)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Hidrogel telah dapat memberikan efek dingin dan efek menenangkan pada kulit, pp ini sangat penting pada luka bakar dan luka yang menyakitkan. Viskositas dressing hidrogel bervariasi (Weller dan Summan, 2006).

Hidrogel amorf diaplikasikan secara bebas ke atau ke dalam luka dan ditutupi dengan selaput sekunder seperti busa atau film.Hidrogel bisa tetap tinggal pada luka selama tiga hari hari.Dressing hidrogel mudah dihapus dari luka.Selain penggunaannya dalam luka hidrogel tipis membantu dalam pengelolaan lesi seperti cacar air dan herpes zoster (Weller dan Summan, 2006).

2.6 PVA(Poly(vinyl alkohol))

PVA adalah salah satu dari sedikit polimer yang bersifatdapat larut dalam air.Sifat kimia dan fisika dari polivinil alkohol membuat polimer ini memiliki andil penting dalam dunia perindustrian sehingga diproduksi secara luas di dunia.Polivinil alkohol pertama kali ditemukan oleh Haehnel dan Herrman melalui reaksi adisi alkali pada larutan bening alkohol polivinil asetat yang kemudian menghasilkan larutan berwarna cokelat muda yang kemudian diketahui merupakan polivinil alkohol. Polivinil alkohol kemudian diperkenalkan pertama kali secara komersial pada tahun 1927 (Kirk dan Othmer, 1982).

Berbeda dari senyawa polimer pada umumnya yang diproduksi melalui reaksi polimerisasi, PVA diproduksi secara komersial melalui hidrolisis PVA dengan alkohol karena monomer dari vinil alkohol tidak dapat dipolimerisasi secara alami menjadi PVA (Kirk dan Othmer, 1982)

Poly(vinyl alcohol) memiliki rumus kimia (C2H4O)n dengan berat molekul

20.000-200.00. polivinil alkohol merupakan polimer sintetik larut air. Poly(vinyl alcohol) tidak berbau, serbuk granul berwarna putih hingga cream. pH Poly(vinyl alcohol) 4.5-8.0, titik leleh 228oC untuk nilai hidrolisis penuh. Poly(vinyl alcohol)

larut dalam air, sedikit larut dalam etanol 95%; tidak larut dalam pelarut organik. Pelarutan membutuhkan dispersi (pembasahan) dari bentuk padat dalam air pada suhu ruang diikuti dengan pemanasan pada saat mencampur pada suhu 90oC sekitar 5 menit.Pencampuran kemudian dilanjutkan ketika larutan panas menjadi dingin pada suhu ruang (Rowe et a.l, 2009).


(36)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Gambar 2.1 Rumus Struktur Poly(vinyl alcohol)

Dalam aplikasinya poly(vinyl alcohol) digunakan dalam formulasi sediaan topikal(2.5% w/v) dan optalmik. Poly(vinyl alcohol) digunakan sebagai agen penstabil untuk emulsi (0.5% w/v). poly(vinyl alcohol) juga digunakan sebagaiagen peningkat viskositas untuk formulasi kental seperti produk optalmik (0.25-3.0% w/v). poly(vinyl alcohol) juga digunakan sebagai airmata buatan dan sebagai lubrikan pada cairan kontak lens, dan digunakan dalam formulasi

susteined-release untuk sediaan oral dan patch transdermal. (Rowe et a.l, 2009)

2.7 Natrium Alginat

Asam alginat tidak berasa, praktis tidak berbau, berwarna putih kekuningan, dan merupakan serbuk berserat (Rowe et al, 2009). Alginat (kalsium atau kalsium/natrium) bersifat sangat menyerap, merupakan dressing yang bersifat biodegradable yang berasal dari rumput laut coklat (Phaeophyceae) (Weller dan Summan, 2006).

Pertukaran ion aktif dari ion kalsium menjadi ion natrium pada luka membentuk natrium alginat larut gel yang menyediakan lingkungan lembab pada permukaan luka. Sehingga dressing kalsium membutuhkan kelembaban/eksudat dari luka, karena itu mereka tidak cocok untuk kering luka atau luka dengan eschar mengeras (Weller dan Summan, 2006).

Molekul asam alginat berbentuk polisakarida anionik yang linier dan disusun oleh kurang lebih 700-1000 residu rantai asam 1,4-ß-D- manuronat (M) dan 1,4-α-L- guluronat (G). Asam D-manuronat memiliki ikatan diekuatorial 4C1 sedangkan asam

guluronat memiliki ikatan diaksial 1C4 (Komoun, 2013 dan Wandrey, 2005). Rantai


(37)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Gambar 2.2 Struktur Alginat

Sifat alginat yang berserat dapat meninggalkan serat sisa dalam luka apabila tidak terdapat cukup eksudat pada luka. Pp ini mungkin memicu reaksi inflamasi karena merangsang zat asing dan menghasilkan respon tubuh. Perlu diperhatikan apabila menggunakan dressing alginat pada luka di sinus yang sangat dalam atau sempit, maka penghapusan dapat sulit dilakukan (Weller dan Summan, 2006).

Alginat merupakan polimer yang bersifat biokompatibel dan biodegradable, polimerlarut dalam air, sifat mekanik lemah, kesulitan dalam penanganan, penyimpanandalam larutan, dan sterilisasi (Kamoun, 2014)

Telah banyak penelitian yang mempromosikan beberapa dressing alginat karena dapat membantu proses hemostasis dalam perdarahan luka yang disebabkan karena pelepasan aktif ion kalsium yang membantu mekanisme pembekuan. Dressing alginat tersedia dalam lembaran, pita atau bentuk tali dalam berbagai ukuran dan memerlukan selaput sekunder (Weller dan Summan, 2006).

Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pada pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (McHugh, 2003).

Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, alginat akan mengalami degradasi. Selama penyimpanan alginat cepat mengalami degradasi dengan adanya oksigen terutama dengan naiknya kelembaban udara .Alginat komersial mudah terdegradasi oleh mikroorganisme yang terdapat diudara, karena bahan tersebut mengandung


(38)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA partikel alga dan zat bernitrogen. Semua larutan alginat akan mengalami depolimerisasi dengan kenaikan suhu (Zhanjiang ,1990).

2.8 Sambung Silang

Sambung silang merupakan ikatan yang menghubungkan rantai polimer satu dengan lainnya sehingga terbentuk suatu bangunan tiga dimensi yang berkesimbunga di mana proses pembentukannya dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu secara kimia dan secara fisik. Proses secara kimia dibentuk dengan ikatan kovalen yang bersifat irreversible, sedangkan proses secara kimia dibentuk oleh ikatan reversible. Pada proses secara fisik terjadi interaksi secara ionic seperti sambung silang ionic dan kompleks polielektrolit. Pembentukan ikatan silang dilakukan dengan penambahan suatu agen sambung sialng ke dalam larutan bahan yang akan dimodifikasi. Agen yang digunakan merupakan molekul yang memiliki bobot molekul yang lebih rendah daripada bobot molekul kedua rantai polimer yang akan disambung silang (Sugita et al., 2009).

Sambung silang terjadi ketika agen sambung silang membuat jembatan intermolekular atau yang lebih dikenal dengan tahap sambung silang. Agen sambung silang dapat berinteraksi dengan rantai linier makromolekul (tahap sambung silang) dan/atau dirinya sendiri (tahap polimerisasi) pada medium basa. Sambung silang secara drastis menurunkan mobilitas polimer dan sejumlah rantai yang terhubung oleh pembentukan dari keterkaitan antar rantai yang baru. Jaringan tiga dimensi kemudian terbentuk. Jika derajat retikulasi memiliki efisiensi yang tinggi, matriks dari polimer menjadi tidak larut dalam air (tetapi mengembang di dalam air) dan di pelarut organik (Shweta et al., 2013).

Metode sambung silang secara fisik banyak dianggap sebagai metode sambung silang yang tepat dan telah banyak di aplikasikan untuk biomedis dan aaplikasi farmasetik. Penggunaan metode ini memiliki beberapa keuntungan yaitu tidak toksik, bebas pelarut dan biokompatibel (Komoun et al., 2013)


(39)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2.9 Sambung Silang PVA

Peppas dan Merrill (1977) mengungkapkan upaya awal dalam mempertimbangkan hidrogel PVA sebagai polimer biomaterial. Biasanya, hidrogel diperoleh dengan proses sambung silang dari polimer, yang mungkin dilakukan oleh reaksi kimia (misalnya polimerisasi radikal bebas, reaksi kimia dari kelompok pelengkap, menggunakan iradiasi energi tinggi, ataureaksi enzimatik) atau denganreaksi fisik(misalnya kristalisasi ion interaksi rantai polimer, hidrogen ikatan antara rantai, interaksi protein, atau desain kopolimer graft) (Kamoun et al., 2014).

Dalam beberapa dekade terakhir, kebutuhandari gel sambung silang secara fisik mengalami peningkatan untuk menghindari penggunaan zat pengikat kimia tradisional dan reagen. Bahan kimia ini tidak hanya merupakan senyawaberacun dimana dapat terlepas atau sering diisolasi dari penyiapan gel sebelum diaplikasikan, tetapi juga dapat mempengaruhi substansi alami yang terjerap (misalnya protein, obat-obatan, dansel-sel). Oleh karena itu, metode sambung silang fisik lebih dipilih dan disukai dibandingkan dengan ikatan silang kimia (Kamoun et al., 2014).

[Sumber : Hassan dan Peppas, 2000]

Gambar 2.3 Struktur Jaringan Tiga Dimensi PVA yang Disambung Silang dengan Metode Freeze Thawing

Beberapa upaya telah dilakukan oleh peniliti telah untuk penyiapan sambung silang PVA-basis hidrogel diantaranya yaitu radiation crosslinking oleh Park and Chang, 2003, chemical reaction with glyoxal oleh Teramoto et al., 2001,


(40)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

reaction with borates oleh Korsmeyer and Peppas, 1981. Meskipun, larutan hidrogel PVA dapat terbentuk dengan kekuatan rendah setelah terpapar penyimpanan dalam waktu yang sangat panjang pada suhu kamar, tetapi metode ini tidak memenuhi persyaratan aplikasi, di mana sifat mekanik adalah karakter yang paling penting dalam hidrogel, jauh lebih lemah (Kamoun et al., 2014).

2.10 Gliserin

Gliserin dalam pemeriannya berbentuk cairan jernih yang kental tidak berwarna, tidak berbau, memiliki rasa manis dan besifat higroskopis (Rowe et a.l,

2009). Dalam penggunanya, gliserin banyak digunakan pada sediaan farmasi antara lain sebagai humektan, emolien, kosolven dan pelarut pada sediaan cair dan setengah padat. Sedangkan pada produksi kapsul gelatin lunak biasanya gliserin digunakan sebagai zat pemberi sifat plastis (plastisizer) (Rowe et a.l, 2009).

Berdasarkan sifat gliserin sebagai pemberi sifat plastis, maka akan digunakan glisein akan digunakan dalam penelitian ini untuk membantu meningkatkan sifat plastis dari film yang akan dibentuk sehingga akan meningkatkan penampilan film secara fisik.

2.11 Metronidazol

[Sumber : www.dailymed.nlm.nih.gov] Gambar 2.4 Rumus Struktur Metronidazol

Nama kimia : 2-metil-5-nitroimidazol-1-etanol Rumus molekul : C6H9N3O3


(41)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Pemeriaan : Hablur atau serbuk habllur, putih hingga kuning pucat; tidak berbau; stabil di udara; tetapi lebih gelap bila terpapar oleh cahaya.

Kelarutan : Sukar larut dalam eter; agak sukar larut dalam air, dalam etanol dan dalam kloroform.

Metronidazol merupakan obat yang bersifat hidrofilik, efektif untuk menghambat infeksi mikroorganisme anaerob dan protozoa. Obat ini digunakan untuk banyak terapi, termasuk infeksi vaginal dan peridontal. Obat ini termasuk obat yang banyak digunakan pada berbagai bsistem penghantaran obat seperti tablet untuk terapi ulkus peptikum, mikrosfer untuk terapi penyakit yang berhubungan dengan kolon dan mukosa lambung, partikel gel alginat untuk terapi lambung dan untuk terapi peridontal. Metronidazol adalah anggota kelas imidazol dengan konsentrasi 0,75% untuk sediaan gel intravaginal (Shifrovitch et al., 2009 dan USP, ).


(42)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Formulasi Sediaan Padat, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Farmakologi Laboratorium Kesehatan Lingkungan, dan Laboratorium Formulasi Sediaan Steril Program Studi Farmasi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah dan P3TIR BATAN, Pasar Jum’at.Penelitian dimulai pada bulan Maret hingga September 2015.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Timbangan analitik (AND GH-202, Jepang), stand up stirrer (IKA RW 20 Digital), pengaduk magnetik (Advantec SRS710HA), oven (Eyela NDO-400,Jepang), pH meter (Horiba F-52,Jepang), lemari pendingin dan freezer

(Sanyo, Indonesia), termometer, deksikator, mikrometer digital (Mitutoyo, Jepang), tensile tester Strograph-R1 (Toyoseiki, Jepang), alat potong dumb bell

(Saitama, Jepang), cawan penguap, spektrofotometer UV-VIS (Hitachi U-2910, Jepang), mikroskop (OlympusIX-71, Jepang), cetakan akrilik film 8x4x4 cm, gunting, spuit, mikropipet, membran siringe filter, pipet volumetrik, gunting,dan alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium seperti beaker glass, labu erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, kaca arloji, cawan penguap, lumpang alu, spatel, batang pengaduk, pinset, labu ukur, dan lain-lain.

3.2.1.Bahan

PVA (poly(vinyl-alcohol) tipe Pharmaceutical Grade (Shadong Bio-Technologi, Cina), natrium alginat (Shadong Bio-Bio-Technologi, Cina), metronidazol (PT.Indofarma, Indonesia) aquades, gliserin (Teknis), etanol 96% (Teknis), aquabides, akrilik, kertas saring, silica blue,tissue, alumunium foil dan plastik wrap.


(43)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 3.3. Prosedur Kerja

3.3.1 Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film

Optimasi ini dilakukan untuk memperoleh sediaan film yang memiliki organoleptis yang homogen secara visual, dan elastis. Dibuat cairan pembentuk film sambung silang PVA dan NA dengan formulasi sebagai berikut :

Tabel 3.1 Variasi NA dalam Formula Film Sambung Silang Kode Formula PVA (%) NA (%) Gliserin (%) Aquades (%)

F1 6 1,2 2 add 100

F2 6 0,9 2 add 100

F3 6 0,6 2 add 100

Larutan dibuat dengan mendispersikan PVA pada aquades (1 bagian PVA dalam 5 bagian air), pendispersian dilakukan dengan bantuan pemanasan pada suhu 90oC selama 5 menit diatas pengaduk magnetik dan diaduk hingga terbentuk koloid (Rowe et al., 2009). Konsentrasi PVA digunakan berdasarkan studi literatur pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kamoun (2013). Dalam penelitian tersebut digunakan PVA dan NA sebagai polimer pembentuk film dengan konsentrasi 10:2. Namun dalam penelitian ini konsentrasi dimodifikasi menjadi 5:1.

Natrium alginat didispersikan dalam aquades (1 bagian NA dalam 5 bagian air) dengan menggunakan lumpang yang dihangatkan kemudian digerus hingga terbentuk koloid (Kamoun et al., 2013). Koloid yang terbentuk dari PVA dan NA diamati homogenitasnya untuk kemudian dicampurkan secara perlahan dan aquades yang tersisa ditambahkan kedalam campuran.

Gliserin ditambahkan ke dalam campuran sebagai plasticizer dengan konsentrasi 2%. Konsentrasi ini didapatkan dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh Saarai (2011) .Campuran selanjutnya diaduk dengan stand up stirrer kecepatan 800 rpm selama 1 jam, campuran yang dihasilkan untuk selanjutnya disebut sebagai Cairan Pembentuk Film (CPF). CPF didiamkan


(44)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA selama 24 jam kemudian dikeringkan dalam oven 50oC selama 24 jam. Film yang dihasilkan kemudian diamati karakteristiknya, dimana film yang memenuhi karakteristik kemudian dipilih sebagai formula yang akan dievaluasi.

3.3.2 Preparasi Film Sambung Silang

Berdasarkan hasil optimasi film yang diambil sebagai formula akhir yaitu F2. Film yang dibuat terdiri dari 2 jenis CPF yang berbeda yaitu CPF yang terdiri dari kombinasi PVA-NA (CPF A) dan CPF yang hanya terdiri dari PVA (CPF B). Kedua CPF masing-masing akan dibagi menjadi dua jenis film yang dibedakan berdasarkan film yang disambung silang dan film yang tidak disambung silang, berikut tabel variasi jenis film yang akan dibuat :

Tabel 3.2 Variasi Jenis Film Kode

Formula

Formula

Metode

PVA (%) NA (%) Gliserin (%) Metronidazol (%)

A 6 0,9 2 0,75 Sambung Silang

B 6 0 2 0,75 Sambung Silang

C 6 0,9 2 075, Tidak Sambung Silang

D 6 0 2 0,75 Tidak Sambung Silang

*Film A (terdiri dari PVA dan NA yang disambung silang); Film B (terdiri dari PVA yang disambung silang); Film C (terdiri dari PVA dan NA yang dibentuk dengan pemanasan biasa tanpa disambung silang); Film D (terdiri dari PVA yang dibentuk dengan pemanasan biasa tanpa disambung silang).

Film hidrogel dibuat dengan cara mendispersikan 6% PVA dalam aquades (1 bagian PVA dalam 5 bagian air5), pendispersian dilakukan dengan pemanasan pada suhu 90oC selama 5 menit diatas pengaduk magnetik dan diaduk hingga homogen. Natrium alginat sebanyak 0,9% didispersikan dalam aquades (1 bagian NA dalam 5 bagian air) dengan menggunakan lumpang yang dihangatkan lalu digerus hingga terbentuk koloid yang homogen. Kemudian 0,075% metronidazol didispersikan dalam aquades (1 bagian metronidazol dalam 50 bagian air) diaduk hingga homogen. Larutan natrium alginat dan larutan metronidazol dicampurkan


(45)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA sedikit demi sedikit kedalam wadah berisi larutan PVA dan digenapkan menjadi 100%, kemudian campuran diaduk dengan menggunakan stand up stirrer dengan kecepatan 800 rpm selama 1 jam. Gliserin sebanyak 2% dicampurkan sedikit demi sedikit ke dalam CPF.CPF dibiarkan selama 24 jam dalam suhu ruang.

CPF ditimbang seksama sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam cetakan akrilik ukuran 8x4x4 cm. Film A dan B disiapkan sebagai film sambung silang dengan metode freeze-thawing dengan cara membekukan film pada suhu -20oC selama 8 jam kemudian dileburkan pada suhu 25oC selama 6 jam, proses ini dlakukan berulang selama 3 siklus kemudian dikeringkan bersama dengan film C dan D dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam. Film yang sudah kering kemudian dikeluarkan dari dalam oven untuk selanjutnya dilakukan karakterisasi dan evaluasi pada film (Kamoun et al., 2013 dengan modifikasi).

3.3.3 Karakterisasi Cairan Pembentuk Film 3.3.3.1 Evaluasi Organoleptis

Pengamatan makroskopik secara visual fisik CPF meliputi warna, kekeruhan, jenis CPF, dan permukaan (J. Balasubramanian et al., 2012)

3.3.3.2 Evaluasi Viskositas

Pengujian dilakukan menggunakan viskotester HAAKE 6R terhadap setiap CPF sesuai formula menggunakan spindel R2 dengan kecepatan putar 30 rpm pada suhu ruang (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dalam Ginting, 2014 dengan modifikasi)

3.3.4 Karakterisasi Film 3.3.4.1 Evaluasi Organoleptis

Pengamatan makroskopik secara visual fisik film meliputi warna dan tekstur permukaan (J. Balasubramanian et al., 2012)

3.3.4.2 Pengukuran Ketebalan Film

Ketebalan film diukur dengan mikrometer digital (Mitutoyo, Jepang) di 9 titik berbeda pada masing-masing film, kemudian dihitung rata-rata ketebalannya


(46)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA dan dinyatakan dalam satuan mikrometer (μm) (Satesh et al, 2010 dengan modifikasi).

3.3.4.3 Analisa Daya Mengembang

Untuk menghitung daya mengembang dari film PVA-NA, sampel film dipotong menjadi 2 cm x 2 cm dan direndam dalam aquades 25 ml. Bobot awal sediaan ditimbang (We). Sampel kering kemudian direndam dengan aquades, bobot sampel ditimbang pada interval waktu tertentu hingga bobot sampel konstan. Waktu yang diambil yaitu pada menit ke 1, 5, 10, 30, 60, 90, dan 120. Bobot sampel basah ditimbang (Ws). Ambilan air dari sampel dihitung menggunakan persamaan (Kamoun et al, 2013 dengan modifikasi)

Daya Mengembang (%) =

3.3.4.4 Analisa Kadar Air

Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode

thermogravimetri. Film dipotong menjadi 2 cm x 2 cm dan ditimbang terlebih dahulu (Wo). Film diletakkan di dalam cawan penguap dan dioven pada suhu 105oC selama 1 jam.Film kemudian didinginkan dalam deksikator selama 15 menit dan ditimbang (Wt).Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan (AOAC, 2005 dalam Eskha, 2015).

Kadar Air (%) =

3.3.4.5 Uji Sifat Mekanik Film

Kekuatan tarikan dan elongasi maksimum dianalisa menggunakan tensile tester Strograph-R1 (Toyoseiki, Jepang) dengan gaya 100 kg. Film dipotong dengan alat dumb bell Astm-D-1822-L Crosshead (kecepatan 25 mm/min). Kekuatan tarik dan elongasi diukur sampai film sobek. Data yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 (Kamoun et al, 2013 dengan modifikasi)


(47)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 3.3.4.6 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva

Kalibrasi Metronidazol

Kurva kalibrasi metronidazol diukur dengan melarutkan 12,5 mg metronidazol dalam 25 mL aquabides sehingga didapatkan larutan induk dengan konsentrasi 500 ppm. Larutan kemudian diencerkan untuk membuat seri konsentrasi 4, 8, 12, 16, 20, 24, 28 ppm. Untuk penentuan panjang gelombang maksimum, pengukuran serapan dilakukan dengan menggunakan larutan konsentrasi 10 ppm yang diukur pada panjang gelombang 200-1100 nm (Satesh et al, 2012 dengan modifikasi).

3.3.4.7Penetapan Kadar Metronidazol dalam Film

Film ukuran 2 cm x 2 cm dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 mL yang mengandung 100 mL aquabides. Medium diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 800 rpm selama 8 jam dan didiamkan selama 16 jam. Sebanyak 1 mL larutan diambil dan disaring dengan menggunakan saringan membran 0,45 μm. Larutan dianalisis dengan spektrofotometer-UV pada panjang gelombang maksimal yaitu 319 nm (Kumar et al., 2010 dengan modifikasi).

3.3.4.8Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film

Film ukuran 2 cm x 2 cm dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 mL yang mengandung 100 mL aquabides. Medium diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 800 rpm. Sebanyak 1 mL larutan diambil dandisaring dengan menggunakan saringan membran 0,45 μm pada beberapa interval waktu dan langsung diganti dengan medium baru. Larutan dianalisis dengan spektrofotometer-UV pada panjang gelombang maksimal yaitu 319 nm (Kumar et al., 2010 dengan modifikasi).


(48)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Film

4.1.1 Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film

Pada penelitian ini dibuat film sambung silang PVA dengan kombinasi NA dengan menggunakan metode freeze thawing. Metode freeze thawing

merupakan suatu metode pembuatan film dengan melalui proses pembekuan (-20oC) dan peleburan (25oC) yang dilakukan dalam beberapa siklus kemudian pelarut yang digunakan untuk melarutkan semua polimertermasuk obat dikeringkan sehingga terbentuk massa film (Hassan dan Peppas, 2000).

Tabel 4.1 Karakteristik Film Hasil Optimasi

Kode Formula F1 F2 F3

Konsentrasi

PVA (%) 6 6 6

Konsentrasi NA

(%) 1,2 0,9 0,6

Konsentrasi

Gliserin (%) 2 2 2

Bentuk CPF

Koloidal, agak keruh tanpa terlihat bentuk partikelnya, berwarna

kuning kecoklatan

Koloidal, agak keruh tanpa terlihat bentuk partikelnya,

berwarna kuning

Koloidal, agak keruh tanpa terlihat bentuk partikelnya, berwarna

kuning Homogenitas

CPF Homogen Homogen Homogen

Tekstur Film

Ujung film melengkung, tebal 0,23 mm, permukaan rata, kaku dibanding film lain, film

tidak transparan

Tebal 0,20 mm, permukaan rata, dan elastis, film

transparan

Tebal 0,18 mm, permukaan tidak rata,

dan elastis, film transparan, film melengkung

Penampakan Film


(49)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Pada penelitian pendahuluan dibuat film yang terdiri dari PVA dan NA dengan konsentrasi awal yaitu 5:1. Film ini dibuat dengan variasi konsentrasi dari NA dengan pemanasan 50oC selama 24 jam dan bobot film yang dicetak sebanyak 10 gr.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil yang berbeda-beda pada setiap formula seperti yang tertera pada tabel di atas. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan konsentrasi NA yang digunakan dalam film. Dari ketiga formula uji, F2 dianggap memiliki karakteristik yang palik baik, oleh karena itu pengujian akan dilanjutkan dengan menggunakan F2 sebagai formula film yang akan dievaluasi dan akan menggunakan metronidazol sebagai model zat aktif.

4.1.2 Preparasi Film Sambung Silang

Film dibuat mengandung obat metronidazol dengan dosis sebesar 0,75%, dosis tersebut merupakan dosis untuk sediaan topikal yang tertera pada USP. Dosis yang digunakan merupakan dosis zat aktif yang akan dimasukkan dalam sediaan yang akan dibuat. Sehingga dilakukan uji evaluasi untuk melihat kadar akhir metronidazol dalam film.

Sediaan film ini dibuat dengan menggunakan pelarut aquades dan juga menggunakan plasticizer yaitu gliserin sebanyak 2%. Penggunaan gliserin pada sediaan film ini adalah hasil optimasi dimana pada uji pendahuluan film dibuat tanpa penambahan plasticizer menghasilkan film yang keras dan kaku. Pengunaan

plasticizer di dalam formula sangat berkaitan dengan peningkat elastisitas dan sifat plastis dari film (Rudyardjo, 2014).

Untuk membuat larutan cairan pembentuk film (CPF), masing-masing bahan terlebih dahulu harus didispersikan pada aquades. Pendispersian tersebut bertujuan untuk memastikan semua bahan terdispersi dengan sempurna sehingga ketika semua bahan dicampur bahan-bahan tersebut akan homogen. Setelah proses pembuatan, CPF didiamkan selama 24 jam pada suhu ruang untuk menghilangkan gelembung udara yang terjerat di dalam CPF saat proses pembuatan. Gelembung udara yang terjerap dapat menyebabkan film yang terbentuk akan memiliki permukaan yang tidak merata.


(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

D 4.47586 18.92801 .819 -39.1722 48.1239 D A -149.08998* 18.92801 .000 -192.7380 -105.4419

B -61.11700* 18.92801 .012 -104.7651 -17.4689

C -4.47586 18.92801 .819 -48.1239 39.1722 MENIT_90 A B 118.25542* 9.23672 .000 96.9555 139.5553

C 183.39724* 9.23672 .000 162.0973 204.6972

D 175.55172* 9.23672 .000 154.2518 196.8516

B A -118.25542* 9.23672 .000 -139.5553 -96.9555

C 65.14182* 9.23672 .000 43.8419 86.4417

D 57.29629*

9.23672 .000 35.9964 78.5962 C A -183.39724* 9.23672 .000 -204.6972 -162.0973

B -65.14182* 9.23672 .000 -86.4417 -43.8419

D -7.84552 9.23672 .420 -29.1454 13.4544 D A -175.55172* 9.23672 .000 -196.8516 -154.2518

B -57.29629* 9.23672 .000 -78.5962 -35.9964

C 7.84552 9.23672 .420 -13.4544 29.1454 MENIT_120 A B 118.30090*

10.26797 .000 94.6229 141.9789 C 170.50591*

10.26797 .000 146.8279 194.1839 D 189.10211* 10.26797 .000 165.4241 212.7801

B A -118.30090*

10.26797 .000 -141.9789 -94.6229 C 52.20501*

10.26797 .001 28.5270 75.8830 D 70.80121* 10.26797 .000 47.1232 94.4792

C A -170.50591*

10.26797 .000 -194.1839 -146.8279 B -52.20501*

10.26797 .001 -75.8830 -28.5270 D 18.59620 10.26797 .108 -5.0818 42.2742 D A -189.10211*

10.26797 .000 -212.7801 -165.4241 B -70.80121* 10.26797 .000 -94.4792 -47.1232

C -18.59620 10.26797 .108 -42.2742 5.0818 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Lampiran 19. Contoh Perhitungan Optimasi Pelepasan Metronidazol

Diketahui : C1 : 9,857 ppm

C2 : 15,593 ppm

Faktor pengenceran : 50

Zat aktif yang dimasukkan : 240 mg

Ditanya : a) Kadar obat yang terekstraksi (N1) pada waktu t1?

b) Kadar obat yang terekstraksi (N2) pada waktu t2?

c) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t1?

d) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t2?

Jawaban :

a) Mencari kadar obat yang terekstraksi pada jam ke-1?

N1 = C1 x FP x 100 ml

= 9,857 ppm x 50 x 100 ml N1 = 49,28 mg

b) Mencari kadar obat yang terekstraksi pada jam ke-2?

Faktor Koreksi = C1 x FP x 100 ml

= 9,857 ppm x 50 x 5 ml = 2,464 mg

N2 = (C1 x FP x 100 ml) + Faktor Koreksi t1

= (15,593 ppm x 50 x 100 ml) + 2,464 mg N2 = 80,429 mg

c) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t1?

% Kadar = (N1/240 mg) x 100 = 20,53%

d) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t2 ?

% Kadar = (N2/240 mg) x 100 = 33,51%


(3)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Lampiran 20. Contoh Perhitungan Kadar Metronidazol

Diketahui : C : 17,233 ppm

Faktor pengenceran : 50 Bobot Film : 254,7 mg Ditanya : a) Kadar ?

b) % Kadar? Jawaban :

a) Mencari kandungan zat aktif pada jam ke-1? N1 = C x FP x 100 ml

= 17,233 ppm x 50 x 100 ml N1 = 86,165 mg

b) % Kadar = (N1/Bobot Film) x 100 = 33,82%


(4)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(5)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(6)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA