Jenis-Jenis Penyelenggaraan Angkutan Udara

berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara, kebangsaan, dan kenusantaraan. 17 Menurut ketentuan Pasal 3 UUPU, pengangkutan dengan pesawat udara bertujuan untuk: 18 a Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan berdaya guna dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat; b Mengutamakan dan melindungi penerbangan nasional; c Menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas pembangunan nasional; d Sebagai pendorong, penggerak, dan penunjang pembangunan nasional; e Mempererat hubungan antar bangsa.

C. Jenis-Jenis Penyelenggaraan Angkutan Udara

Pengelompokan jenis-jenis angkutan udara pada umumnya merujuk pada Pasal 83 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yaitu angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut biaya. 19 17 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan 18 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 27 19 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 1 ayat 14 Angkutan Udara Niaga dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang berbentuk Perusahaan Perseroan Terbatas Persero, Badan Usaha Universitas Sumatera Utara Milik Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas ataupun Koperasi yang memiliki status sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 20 1 Angkutan udara niaga dalam negeri adalah adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga; Angkutan udara niaga terbagi atas dua klasifikasi, yaitu: 2 Angkutan udara niaga luar negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya. 21 Angkutan udara bukan niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, bahwa: 1 Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, danatau badan usaha Indonesia lainnya. 20 Pelaku Angkutan Udara Niaga, sebagaimana yang dimuat dalam http:repository.usu. ac.idbitstream123456789207583Chapter20II.pdf , diakses pada tanggal 1 Oktober 2014 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 83 ayat 1 dan 2 Universitas Sumatera Utara 2 Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa: a angkutan udara untuk kegiatan keudaraan aerial work; b angkutan udara untuk kegiatan pendidikan danatau pelatihan personel pesawat udara; atau c angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga. Selain angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga, terdapat jenis angkutan udara lain, yakni; angkutan udara perintis adalah merupakan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan. 22 Berdasarkan objek angkutannya, angkutan udara dapat mengangkut orangpenumpang passanger dan barang cargo. Sesuai dengan penelitian skripsi ini yang membahas mengenai penumpang, maka perlu untuk diketahui bahwa pengaturan mengenai penumpang secara umum tidak diatur. Namun, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan dirinya yang diangkut. Sehingga, penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek, karena dia adalah pihak dalam perjanjian, dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah. 22 Ibid, Pasal 104 Universitas Sumatera Utara diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus mampu melakukan perbuatan hukum atau mampu membuat perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata. 23 1 Adanya kata sepakat antara para pihak yang akan mengadakan perjanjian.

D. Perjanjian Pengangkutan Udara

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket yang Tinggi Ketika Musim Libur dan Keselamatan Penerbangan (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan)

6 117 103

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keunggulan Pada Maskapai Penerbangan (Studi Kasus Maskapai Penerbangan Airasia Di Kota Medan)

1 67 69

Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas (PT) Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Studi Pada PT. Indonesia Traning Company Medan)

4 50 81

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

2 43 114

Tanggung Jawab PT. Eric Dirgantara Tour & Travel Terhadap Penumpang Pesawat Udara Ditinjau Dari Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999

1 75 113

Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Orang Dan Barang Dalam Pengangkutan Udara Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

3 143 98

Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

3 100 84

Perlindungan Konsumen Atas Kerusakan Dan Kehilangan Bagasi Penumpang Pesawat Udara Oleh Maskapai Penerbangan (Study Kasus PT. Metro Batavia Cabang Medan)

10 98 124

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keunggulan Pada Maskapai Penerbangan (Studi Kasus Maskapai Penerbangan Airasia Di Kota Medan)

0 0 15

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 2 36