Psikologi Sosial STRATEGI BRANDING DJARUM BLACK DALAM MEMBENTUK PSIKO KOMUNAL NEW COMMUNITY

commit to user 32 3. Mendeskripsikan dengan jelas superioritas brand dibandingkan pesaing yang telah terindikasikan dalam kerangka acuan. Pernyataan mengenai keunggulan ini menjadi point-of-difference POD dari brand tersebut. Memasukkan bukti-bukti pendukung untuk klaim yang dibuat dalam kerangka acuan. Bukti-bukti pendukung ini menjadi dasar mengapa konsumen bisa mempercayai reasons to believe klaim yang dibuatditawarkan oleh brand tersebut. Elemen ini relatif lebih dibutuhkan jika klaim yang dibuat bersifat abstrak dan melibatkan atribut yang tidak berujud intangibles ataupun manfaat yang lebih bersifat emosional dibanding fungsional. Suatu brand yang tidak mempunyai keunikan akan menjadi brand yang mediocre atau biasa-biasa saja. Pembentukan brand yang kuat dimulai dari penentuan brand positioning yang unik dan relevan. Perumusan brand positioning ini melibatkan keputusan strategis dalam manajemen pemasaran, yaitu bagian pasar menjadi kelompok-kelompok yang relatif homogen segmentasi dan pemilihan sasaran pasar targeting. Selain itu, perumusan strategi brand positioning juga seiring dengan dua konsep kunci lainnya yaitu Unique Selling Proposition dan Sustainable Competitive Advantage yang mensyaratkan keunggulan dibanding pesaing dan berkelanjutan. Ike Janita Dewi, 2009: 40-43

2.3. Psikologi Sosial

Psikologi sosial adalah perilaku kelompok hasil dari proses interaksi sosial suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang commit to user 33 lain, atau sebaliknya. Rumusan ini dengan tepat menggambarkan kelangsungan timbal-baliknya interaksi sosial antara dua atau lebih manusia itu. Sementara itu, individu yang satu dapat menyesuaikan diri secara autoplastis kepada individu yang lain, di mana dirinya dipengaruhi oleh diri yang lain. Individu yang satu dapat juga menyesuaikan diri secara aloplastis dengan individu lain, di mana individu yang lain itulah yang dipengaruhi oleh dirinya yang pertama. Dengan demikian, hubungan antara individu yang berinteraksi senantiasa merupakan hubungan timbal-balik, saling pengaruh yang timbal-balik Gerungan, 2009: 58-61. Jumlah individu dapat mempengaruhi kualitas interaksi sosial, triad kelompok yang berjumlah tiga orang. Orang ketiga menyebabkan perubahan radikal dan fundamental. Anggota keempat dan seterusnya membawa dampak yang hampir sama dengan masuknya anggota ketiga. Triad berpotensi melahirkan struktur kelompok independen yang berakibat membawa dampak pelevelan umum pada anggotanya. Ritzer dan Goodman, 2009: 180-181. Kelangsungan interaksi sosial ini, sekalipun dalam bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks, tetapi interaksi sosial dapat dibeda-bedakan beberapa faktor yang mendasarinya, baik secara tunggal maupun berkelompok, yaitu Bonner, 1953: a. Faktor imitasi b. Faktor sugesti c. Faktor identifikasi d. Faktor simpati commit to user 34 2.3.1. Faktor dalam Interaksi Sosial 2.3.1.1. Faktor Imitasi Dalam perkembangan ilmu jiwa sosial mengenai pendapat Gabriel Tarde yang beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Walaupun pendapat ini ternyata berat sebelah, peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil. Lebih jauh, tidak hanya berbicara yang merupakan alat komunikasi yang terpenting, tetapi juga cara-cara lain untuk menyatakan diri sendiri dipelajari melalui proses imitasi pula. Misalnya, tingkah laku tertentu, memberikan hormat, cara menyatakan terima kasih, cara menyatakan kegirangan orang apabila bertemu dengan seorang kawan yang lama tidak dijumpai, cara-cara memberikan isyarat tanpa bicara dan lain-lain cara ekspresi itu dapat dipelajari pada mulanya secara mengimitasinya. Demikian juga cara-cara berpakaian, gejala mode yang mudah menjalar itu, dipelajari orang dengan jalan imitasi. Demikian pula halnya dengan adat-istiadat dan konvensi- konvensi lainnya, yang sangat dipengaruhi oleh imitasi sehingga karenanya terbentuklah tradisi-tradisi yang dapat bertahan berabad-abad lamanya. Tentulah dalam hal itu tidak hanya faktor imitasilah yang memegang peranannya tetapi juga struktur masyarakat dimana tradisi itu dipertahankan. Selain itu, pada lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu, imitasi itu mempunyai peranannya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan commit to user 35 yang baik. Selanjutnya, apabila seseorang telah dididik dalam suatu tradisi tertentu yang melingkupi segala situasi sosial, maka orang itu memiliki suatu kerangka cara-cara tingkah laku dan sikap-sikap moral yang dapat menjadi pokok pangkal untuk memperluas perkembangannya dengan positif. Dan, dalam didikan ke dalam suatu tradisi modern maupun kuno, imitasi memegang peranan penting Symonds, 1931: 245-264. Peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti yang digambarkan di atas juga mempunyai segi-segi yang negatif. Yaitu, apabila hal-hal yang diimitasi itu mungkinlah salah ataupun secara moral dan yuridis harus ditolak. Apabila contoh demikian diimitasi orang banyak, proses imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif yang meliputi jumlah yang besar. Selain itu, adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan kebiasaan di mana orang mengimitasi sesuatu tanpa kritik, seperti yang berlangsung juga pada faktor sugesti. Dan, hal ini dapat menghambat perkembangan kebiasaan berpikir kritis. Dengan kata lain, adanya peranan- peranan imitasi dalam interaksi sosial dapat memajukan gejala-gejala kebiasaan malas berpikir kritis pada individu manusia yang mendangkalkan kehidupannya. Syarat orang dalam mengimitasi suatu hal, yaitu: 1. Minat-perhatian yang cukup besar akan hal tersebut. 2. Sikap menjunjung tinggi atau mengagumi hal-hal yang diimitasi, dan berikutnya dapat pula suatu syarat lainnya, yaitu bahwa 3. Orang-orang juga dapat mengimitasi suatu pandangan atau tingkah laku karena hal itu mempunyai penghargaan sosial yang tinggi. Jadi seseorang commit to user 36 mungkin mengimitasi sesuatu karena ia ingin memperoleh penghargaan sosial di dalam lingkungannya. Imitasi bukan merupakan dasar pokok dari semua interaksi sosial, melainkan merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial, yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku di antara orang banyak. Dengan cara imitasi, pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap-sikap, ide-ide, dan adat-istiadat dari suatu keseluruhan kelompok masyarakat, dan dengan demikian pula seseorang itu dapat lebih melebarkan dan meluaskan hubungan-hubungannya dengan orang-orang lain Gerungan, 2009: 62-65. 2.3.1.2. Faktor Sugesti Sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial hampir sama. Bedanya adalah bahwa dalam imitasi itu orang yang satu mengikuti sesuatu di luar dirinya; sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain di luarnya. Memang besar pula peranan sugesti itu dalam pembentukan norma-norma kelompok, prasangka-prasangka sosial, norma-norma susila, norma politik dan lain-lainnya. Sebab, pada orang kebanyakan, di antara pedoman-pedoman tingkah lakunya itu banyak dari adat kebiasaannya yang diambil alih dengan begitu saja, tanpa pertimbangan lebih lanjut dari orang tuanya, pendidik, ataupun kawan di lingkungannya. Hal ini disebabkan kehidupan zaman modern begitu kompleks sehingga dengan mengambil alih pandangan dan tingkah laku orang lain lebih commit to user 37 mudah dapat mereka hadapi persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari yang makin kompleks. Pada level yang lebih umum, meningkatnya ukuran kelompok akan meningkatkan kebebasan individu. Kelompok atau masyarakat kecil cenderung mengontrol lewat sugesti terhadap individu yang ada di dalamnya. Namun, pada masyarakat yang lebih luas, individu cenderung terlibat dalam sejumlah kelompok, yang masing-masing hanya mengontrol ±melalui sugesti ± sebagian kecil dari keseluruhan kepribadian individu Simmel dalam Ritzer dan Goodman, 2009: 181. Sugesti dalam ilmu jiwa sosial dapat dirumuskan sebagai suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Secara garis besar, terdapat beberapa keadaan tertentu serta penyebab yang memudahkan sugesti terjadi, yaitu: 1. Sugesti karena hambatan berpikir Dalam proses sugesti terjadi gejala bahwa orang yang dikenainya mengambil alih pandangan-pandangan dari orang lain tanpa memberinya per- timbangan-pertimbangan kritik terlebih dahulu. Orang yang terkena sugesti itu menelan apa saja yang dianjurkan orang lain. Hal ini tentu lebih mudah terjadi apabila individu ketika terkena sugesti berada dalam keadaan ketika cara-cara berpikir kritis itu sudah agak terkendala. Hal ini juga dapat terjadi, misalnya apabila seorang individu itu sudah lelah berpikir, tetapi juga apabila proses berpikir secara itu dikurangi dayanya karena sedang mengalami commit to user 38 rangsangan-rangsangan emosional. Dalam keadaan demikian, mudah terjadi sugesti dari individu lain yang menjadi sebab dari keadaan yang mempesona individu bersangkutan yang terkena sugesti. 2. Sugesti karena keadaan pikiran terpecah-pecah disosiasi Ketika pikiran seseorang dihambat karena kelelahan atau karena rangsangan emosional, sugesti itu pun mudah terjadi pada diri orang tersebut apabila ia mengalami disosiasi dalam pikirannya, yaitu apabila pemikiran orang itu mengalami keadaan terpecah-belah. Hal ini dapat terjadi, misalnya apabila orang yang bersangkutan menjadi bingung karena ia dihadapkan pada kesulitan-kesulitan hidup yang terlalu kompleks bagi daya penampungan pikirannya. Apabila orang karena sesuatu hal menjadi bingung, maka ia lebih mudah terkena sugesti orang lain yang mengetahui jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya itu. Lapangan sosial tempat sugesti memegang peranan yang sangat penting adalah iklan atau reklame. Bahkan, cara agar sebuah iklan atau reklame itu dapat menarik perhatian orang banyak, selanjutnya bagaimana iklan atau reklame itu harus disusun agar mampu memberikan pengaruh sugesti yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Dalam hubungan ini, dapat dicatat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana sugesti iklan atau reklame dapat berlangsung dengan relatif mudah. Pengaruh sugesti itu dapat terbentuk karena faktor otoritas dan karena faktor mayoritas. commit to user 39 3. Sugesti karena otoritas atau prestise Orang cenderung menerima pandangan-pandangan atau sikap-sikap tertentu apabila pandangan atau sikap tersebut dimiliki oleh para ahli dalam bidangnya sehingga dianggap otoritas pada bidang tersebut atau memiliki prestise sosial yang tinggi. Hal ini dipergunakan pula pada bidang propaganda ketika massa lebih cenderung untuk menerima suatu ucapan apabila ucapan itu berasal dari seorang ahli dalam bidang tersebut, atau mempunyai prestise sosial yang tinggi berkaitan dengan bidang itu sehingga dapat dipercaya. 4. Sugesti karena mayoritas Orang lebih cenderung akan menerima suatu pandangan atau ucapan apabila ucapan itu didukung oleh mayoritas, oleh sebagian besar dari golongannya, kelompoknya, atau masyarakatnya. Mereka cenderung untuk menerima pandangan itu tanpa pertimbangan lebih lanjut karena jika sebagian besar berpendapat demikian ia pun rela ikut berpendapat demikian. 5. Sugesti karena will to believe Beberapa pendapat menyatakan bahwa sugesti justru membuat sadar akan adanya sikap-sikap dan pandangan-pandangan tertentu pada orang- orang. Dengan demikian, yang terjadi dalam sugesti itu adalah diterimanya suatu sikap-pandangan tertentu karena sikap-pandangan itu sebenarnya sudah ada pada dirinya tetapi dalam keadaan terpendam. Dalam hal ini, isi dari sugesti akan diterima tanpa pertimbangan lebih lanjut karena ada pribadi orang yang bersangkutan sudah terdapat suatu kesediaan untuk lebih sadar dan yakin akan hal-hal disugesti itu yang sebenarnya sudah terdapat padanya. commit to user 40 Jenis sugesti semacam ini dapat pula disebut sugesti karena will to believe atau sugesti karena keinginan untuk meyakini dirinya Gerungan, 2009: 65- 71. 2.3.1.3. Faktor Identifikasi Proses identifikasi pertama berlangsung secara tidak sadar secara dengan sendirinya, kedua secara irasional jadi berdasarkan perasaan-perasaan atau kecenderungan-kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkannya secara rasional dan ketiga identifikasi mempunyai manfaat untuk melengkapi sistem norma, cita-cita, dan pedoman tingkah laku orang yang mengidentifikasi itu Gerungan, 2009: 71-74. Sebenarnya, manusia ketika ia masih kekurangan akan norma-norma, sikap-sikap, cita-cita, atau pedoman-pedoman tingkah laku dalam bermacam- macam situasi dalam kehidupannya, akan melakukan identifikasi kepada orang- orang yang dianggapnya tokoh pada lapangan kehidupan tempat ia masih kekurangan pegangan itu. Demikianlah, manusia itu terus-menerus melengkapi sistem norma dan cita-citanya itu, terutama dalam suatu masyarakat yang berubah-ubah dan yang situasi-situasi kehidupannya serba ragam. Identifikasi dilakukan orang kepada orang lain yang dianggapnya ideal dalam suatu segi, untuk memperoleh sistem norma, sikap, dan nilai yang dianggapnya ideal, dan yang masih merupakan kekurangan pada dirinya. Sebagaimana diungkapkan, proses ini terjadi secara otomatis, bawah sadar, dan objek identifikasi itu tidak dipilih secara rasional, tetapi berdasarkan penilaian commit to user 41 subjektif, berperasaan. Ikatan yang lalu terjadi antara orang yang mengidentifikasi dan orang tempat identifikasi merupakan ikatan batin yang lebih mendalam daripada ikatan antara orang yang saling mengimitasi tingkah lakunya. Imitasi juga dapat berlangsung antara orang-orang yang tidak saling kenal, sedangkan tempat dimana seseorang mengidentifikasi itu dinilai terlebih dahulu dengan cukup teliti dengan perasaan sebelum seorang individu mengidentifikasi diri dengan individu lain, yang bukan merupakan proses rasional dan sadar, melainkan irasional dan berlangsung di bawah taraf kesadaran seseorang. Hanya, apabila seorang individu telah mengetahui bahwa memang ada proses-proses identifikasi seperti yang digambarkan itu, seorang individu dapat menganalisis diri sendiri apabila dianggap perlu, dari manakah seorang individu memperoleh norma-norma dan sikap-sikap tertentu, dan apakah dalam hal memperoleh norma- norma itu seorang individu juga telah mengidentifikasi diri sendiri dengan orang lain yang merupakan tokohnya. Akhirnya dapat dikatakan bahwa interaksi sosial yang berlangsung pada identifikasi itu lebih mendalam daripada hubungan yang berlangsung melalui proses-proses sugesti maupun imitasi. 2.3.1.4. Faktor Simpati Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya seseorang, terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaan sebagaimana proses identifikasi. Orang tiba-tiba merasa dirinya tertarik kepada orang lain seakan-akan dengan sendirinya, dan commit to user 42 tertariknya itu bukan karena salah satu ciri tertentu, melainkan karena keseluruhan cara bertingkah laku orang tersebut. Akan tetapi berbeda dengan identifikasi, timbulnya simpati itu merupakan proses yang sadar bagi diri manusia yang merasa simpati terhadap orang. Simpati menghubungkan seseorang dengan orang lain; sebaliknya, perasasan antipati cenderung menghambat atau menghilangkan sama sekali pergaulan antar orang. Peranan simpati cukup nyata dalam hubungan komunikasi antara dua atau lebih orang. Hubungan komunikasi antar manusia itu biasanya didahului oleh hubungan simpati yang terus-menerus memegang peranan dalam hubungan komunikasi itu. Patut ditambahkan bahwa simpati dapat pula berkembang perlahan-lahan di samping simpati yang timbul dengan tiba-tiba. Gejala identifikasi dan simpati itu sebenarnya sudah berdekatan. Akan tetapi, dalam hal simpati yang timbal-balik itu, akan dihasilkan suatu hubungan kerja sama dimana seseorang ingin lebih mengerti orang lain sedemikian jauhnya sehingga ia dapat merasa berpikir dan bertingkah seakan-akan ia adalah orang lain itu. Sedangkan dalam hal identifikasi terdapat suatu hubungan dimana yang satu menghormati dan menjunjung tinggi yang lain, dan ingin belajar daripadanya karena yang lain itu dianggapnya sebagai sosok ideal. Jadi, pada simpati, dorongan utama adalah ingin mengerti dan ingin bekerja sama dengan orang lain, sedangkan pada identifikasi dorongan utamanya adalah ingin mengikuti jejaknya, ingin mencontoh ingin belajar dari orang lain yang dianggapnya sebagai sosok ideal. Hubungan simpati menghendaki hubungan kerja sama antara dua atau orang yang setaraf. Hubungan identifikasi hanya menghendaki bahwa satu ingin menjadi commit to user 43 seperti yang lain dalam sifat-sifat yang dikaguminya. Simpati bermaksud kerja sama, identifikasi bermaksud belajar Gerungan, 2009: 74-76. Simpati hanya dapat berkembang dalam suatu relasi kerja sama antara dua atau lebih orang, yang menjamin terdapatnya saling mengerti. Justru karena adanya simpati itu dapatlah diperoleh saling mengerti yang lebih mendalam. Mutual understanding tidak dapat dicapai tanpa adanya simpati. Pada pihak lain, simpati menyebabkan terjadinya relasi kerja sama tadi, di mana kedua pihak lebih memperdalam saling mengertinya. Jadi, faktor simpati dan hubungan kerja sama yang erat itu saling melengkapi yang satu dengan yang lainnya. Tujuan simpati baru terlaksana apabila terdapat hubungan kerja sama tadi. Jelaslah bahwa saling mempengaruhi dalam interaksi sosial yang berdasarkan simpati jauh lebih mendalam akibatnya daripada yang terjadi atas dasar imitasi atau sugesti. 2.3.2. Situasi Sosial 2.3.2.1. Situasi Kebersamaan Pada situasi ini, individu-individu yang turut serta dalam situasi tersebut belum mempunyai saling hubungan yang teratur seperti yang terdapat pada situasi kelompok sosial. Situasi kebersamaan itu merupakan situasi dimana berkumpul sejumlah orang yang sebelumnya saling tidak mengenal, dan interaksi sosial yang lalu terdapat di antara mereka itu tidak seberapa mendalam. Mereka kebetulan ada bersamaan pada suatu tempat, dan kesemuanya, yang kebetulan berada bersamaan itu, belum merupakan suatu keseluruhan yang utuh. Yang terpenting dalam situasi commit to user 44 ini bukanlah bahwa mereka mengadakan interaksi sosial yang mendalam, melainkan bahwa sejumlah orang itu karena kepentingan bersama telah terkumpul di suatu tempat Gerungan, 2009: 78-81. 2.3.2.2. Situasi Kelompok Sosial Situasi ini merupakan situasi di dalam kelompok, di mana kelompok sosial tempat orang-orangnya berinteraksi itu merupakan suatu keseluruhan tertentu, misalnya suatu perkumpulan, suatu partai, dan anggota-anggotanya sudah mempunyai saling hubungan yang lebih mendalam antara yang satu dengan yang lain, saling hubungan yang tidak berlaku pada hari itu saja mereka berkumpul, tetapi saling hubungan itu sudah terjadi sebelumnya. Selain hubungan-huhungan pribadi antara orang-orang dalam situasi kelompok sosial itu, terdapat juga hubungan struktural dan hierarkis, yaitu antara orang-orang yang menjadi pemimpin dan staf kelompok serta angggota-anggota biasa. Hubungan tersebut berdasarkan pembagian tugas di antara para anggotanya yang menuju ke suatu kepentingan bersama. Selain itu, kelompok sosial sudah mempunyai ciri-ciri dan peraturannya yang khas baginya sehingga memang merupakan suatu keseluruhan tertentu Gerungan, 2009: 82-88. 2.3.3. Psiko-komunal Psiko-komunal adalah kesamaan perilaku kejiwaan yang terdapat pada individu di dalam sebuah kelompok, yang muncul akibat akumulasi faktor-faktor interaksi sosial dimana hal tersebut akan membentuk pola komunalitas yang commit to user 45 terjadi akibat adanya kedekatan atau kesamaan interest. Interest dapat terbangun melalui persamaan habit kebiasaan, hobi kesukaan keinginan dan aspirasi dalam suatu ruang publik public sphere dan waktu moment. Perilaku psikologis dalam sebuah kelompok massa tidak dapat terlepas dari pengaruh ³ruang publik ´ sebagai wadah untuk menyalurkan ³harapan´ ekspektasi. Hal ini disebabkan karena sebuah kelompok dipastikan menempati ruang publik public sphere dalam interaksi sosialnya dalam masalah ini moment. Ruang publik menjadi faktor utama dalam pembentukan psiko-komunal. 2.3.3.1. Ruang Publik Public Sphere Ruang publik sebagai wadah dapat dijelaskan bahwa wadah yang mempunyai kualitas kepublikan sejauh ia dapat menampung di dalam dirinya berbagai entitas kelompok, komunitas, persatuan, kumpulan dengan aneka ragam kepentingannya. Ruang publik, dalam hal ini, mempunyai tingkatan-- tingkatan kepublikan, yang sangat ditentukan oleh besaran daya tampungnya terhadap aneka ragam bentuk dan kepentingan publik tersebut. Semakin besar daya serapnya dan semakin beragam yang diserapnya, semakin baik kualitas kepublikan sebuah ruang. Sebaliknya, semakin kecil daya serap ruang dan semakin seragam yang diserapnya, semakin buruk kualitas kepublikan ruang tersebut. Berdasar pada spektrum kepublikan, ruang publik dapat dibedakan berdasarkan dua titik ekstrem di dalam spektrum tersebut. Pada ekstrem pertama, terdapat ruang publik yang memiliki kualitas kepublikan yang maksimal, yaitu commit to user 46 kondisi ruang yang mampu menampung secara maksimal berbagai bentuk dan kepentingan publik di dalamnya maximalism of public sphere. Pada ekstrem kedua, terdapat ruang publik yang memiliki kualitas kepublikan yang minimal, yaitu kondisi ruang yang hanya mampu secara minimal menampung bentuk dan kepentingan publik yang beragam minimalism of public sphere Piliang, 2006: 247-248. 2.3.3.2. Tingkatan Publik Public Level Dalam kepentingan publik yang beragam setidaknya ada tiga bentuk kepentingan dan otoritas publik ini, yaitu kepentingan kaum borjuis kapitalis korporasi, intelektual figur idola, dan publik itu sendiri. Dua otoritas yang pertama berkepentingan terhadap ruang publik, sementara yang terakhir berkewajiban menyediakan ruang tersebut. Disebabkan para borjuis dan intelektual tidak memiliki otoritas langsung terhadap domain publik, maka permasalahan tersebut menuntut adanya ruang publik dalam pengertian modernnya sebagai ruang bagi otoritas publik. Peran otoritas publik itu kini direpresentasikan oleh tokoh publik dalam hal ini adalah figur idola, yang mewakili kelompok borjuis dalam ruang publik, sehingga keberadaannya dapat menjadi jembatan antara publik dan korporasi. Ruang publik ini tidak dapat dilepaskan dari relasi kekuasaan dan relasi ideologi di baliknya Piliang, 2006: 249-250. commit to user 47 2.3.3.3. Hegemoni Publik Public Hegemony Hubungan antara ruang publik dan ideologi ini, dapat dipahami lewat konsep hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci. Diungkapkan bagaimana konsep hegemoni tidak hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekuatan, akan tetapi dominasi lewat kepemimpinan intelektual dan moral di dalam relasi yang kompleks di antara sistem kekuasaan dan berbagai elemen sosial yang di dalamnya sangat penting peran ruang publik. Gramsci melihat bahwa di dalam sistem kekuasaan sangat penting diciptakan penerimaan publik terhadap berbagai gagasan dan kebijakan, yang hanya mungkin terbentuk di dalam ruang publik terbuka yang sehat. Ruang publik, dan penerimaan publik yang terbentuk di dalamnya, merupakan konsep yang menjembatani antara kepentingan publik plural dan kepentingan sistem kekuasaan untuk pelanggengan kekuasaan korporasi, yang di dalamnya berlangsung pertarungan hegemoni secara terus-menerus. Dalam pengertian inilah ruang publik dianggap sebagai tempat bertemunya berbagai kepentingan untuk menemukan penyelesaian dan solusi lewat public consent. Artinya, bila sistem kekuasaan yang ada mampu menggiring ke arah penerimaan publik menyangkut gagasan atau kebijakan tertentu, bahwa seakan-akan gagasan dan kebijakan itu telah memenuhi kepentingan publik, maka di dalam ruang publik berlangsung mekanisme hegemoni. Berbagai alat hegemoni berada di dalam sebuah medan perang, yang di dalamnya berlangsung perjuangan aktif dan tanpa akhir dalam memperebutkan hegemoni. Media massa, misalnya, sebagai ruang dimana bahasa dan simbol- commit to user 48 simbol diproduksi dan disebarluaskan, tidak hanya dilihat sebagai alat kekuasaan dominan semata yang pasif, sebaliknya bersama media massa tandingan membentuk sebuah ruang publik tempat berlangsungnya perang bahasa atau perang simbol dalam rangka memperebutkan atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Oleh sebab itu, di dalam ruang publik kekuatan bahasa dan simbol mempunyai peranan yang sangat sentral dalam membentuk hegemoni, terutama sebagai media pembentukan opini publik. Hegemoni lewat ruang publik tidak hanya berupa dominasi sistem gagasan atau kepercayaan semata, akan tetapi merupakan keseluruhan proses dominasi ideologis yang direpresentasikan lewat tanda, makna, dan nilai-nilai di baliknya. Di dalam ruang publik, bahasa, tanda, makna, dan nilai-nilai dominan tersebut selalu dipertanyakan, digugat, ditentang, dilawan lewat berbagai bentuk perjuangan. Meskipun demikian, di dalam era media digital dan elektronik dewasa ini ²yang di dalamnya teknologi media mempunyai kekuatan dalam memanipulasi bahasa, tanda, dan realitas ²per- juangan hegemoni bertautan dengan manipulasi simbolik di dalam berbagai medianya Piliang, 2006: 250-253. 2.3.3.4. Tujuan Publik Public Orientation Ruang publik mempunyai tugas untuk menampung dan memberi tempat pada semua ragam publik kelompok. Ketika berbagai kelompok berbeda tersebut hadir secara bersama di dalam ruang publik itu, akan dimungkinkan terbentuk ke dalam berbagai prinsip, bentuk, nilai, atau makna yang menjadi commit to user 49 budaya bersama common culture oleh berbagai kelompok yang berkepentingan di dalam ruang publik tunggal tersebut, Donald Horne di dalam The Public Culture: The Triumph of Industrialism menyebut budaya bersama tersebut sebagai budaya publik. Di dalam ruang publik terjadi silang-menyilang berbagai kebudayaan, yang satu sama lainnya mungkin saja saling bertentangan dan berkonflik, akan tetapi pada tingkat tertentu dapat mengkristal dan membentuk aspek-aspek kebudayaan yang dimiliki bersama sebagai budaya bersama dari berbagai elemen budaya berbeda tersebut. Dalam pengertian ini ruang publik dapat dipandang sebagai ruang kontradiktif yang di dalamnya, di satu pihak, berbagai kelompok budaya saling bersaing dan berkonflik satu sama lainnya untuk mendapatkan ruang bagi eksistensi dan pengakuan dirinya atau mengkomunikasikan kepentingan dan aspirasi mereka; akan tetapi, di pihak lain, di dalam ruang yang sama dapat terbentuk budaya bersama dari kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Banyak kepentingan yang saling bersilangan di dalam ruang publik, maka ruang publik bukanlah representasi dari sebuah kebudayaan tunggal, melainkan sebuah ruang multidimensi tempat bertemu dan bersilangannya berbagai kepentingan kultural tersebut yang sangat ditentukan oleh struktur sosio-ekonomi dari sebuah masyarakat. Di dalam masyarakat yang dibentuk oleh semangat industrialisasi atau posindustrialisasi, ruang publik bukanlah representasi dari masyarakat tersebut, melainkan perangkat representasi yang terbatas darinya yang merepresentasikan kurang lebih apa yang disebut eksistensi sebuah masyarakat. commit to user 50 Dengan perkataan lain, ada kecenderungan sebuah budaya untuk mendominasi bahkan memonopoli ruang publik dalam wujud representasi dan tindakan, sehingga kebudayaan yang sesungguhnya bagian kecil dari realitas dianggap merepresentasikan keseluruhan realitas. Oleh sebab itu, berbagai kelompok kepentingan yang ada di dalam ruang publik tidak hanya sekadar berkepentingan terhadap ruang publik dalam rangka mengomunikasikan kepentingannya mendapatkan pengakuannya, melainkan berada dalam relasi saling memengaruhi satu sama lainnya secara kompleks melalui model yang dikatakan Gramsci sebagai pertarungan hegemoni, yaitu dominasi lewat keunggulan kultural. Ketika di dalam sebuah masyarakat ide ekonomi atau komoditi menguasai kesadaran dan pikiran masyarakatnya, maka paradigma ekonomi atau paradigma komoditi cenderung menjadi model berbagai aspek dunia kehidupan lainnya Piliang, 2006: 253-255. 2.3.3.5. Ideologi Publik Public Ideology Dominannya paradigma ekonomi kapitalistik di dalam ruang publik sebuah masyarakat akan menggiring pada semacam komodifikasi ruang publik yang kemudian diikuti oleh imagologi ruang publik, yaitu direduksinya eksistensi budaya ke dalam wujud ³citra´. Pengerutan makna eksistensi di dalam ruang publik ke dalam wujud ³citra´ menggiring pada semacam pendangkalan ruang publik, yang di dalamnya tidak saja segala hal dijadikan komoditi, akan tetapi segala yang remeh-temeh banal dijadikan sebagai bagian dari budaya publik, sehingga menggiring ke arah semacam banalisasi ruang publik. commit to user 51 Bila ruang publik dimonopoli ²baik bentuk, representasi, maupun pemaknaan di dalamnya ²oleh sebuah kelompok kultural misalnya budaya ekonomi atau budaya totalitarianisme, maka di dalam ruang publik berpotensi berlangsungnya apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai kekerasan simbol. Sebagaimana dipahami oleh Bourdieu, kekerasan simbol adalah sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak, yang menyembunyikan di baliknya pemaksaan dominasi, termasuk dominasi bahasa, tanda, dan pemaknaan. Dalam konteks ruang publik, kekerasan simbol bukanlah sekadar bentuk dominasi melalui media komunikasi; ia adalah penggunaan dominasi di dalam ruang publik melalui media komunikasi sedemikian rupa, sehingga dominasi tersebut diakui secara salah dan meskipun demikian diakui sebagai legitimate. Distorsi ideologis di dalam ruang publik lewat mekanisme kekerasan simbol semacam ini meminimalisasi otoritas publik. Distorsi ruang publik lewat mekanisme kekerasan simbol, melukiskan sebuah mekanisme yang di dalamnya relasi komunikasi dimanipulasi oleh relasi kekuasaan sedemikian rupa, sehingga terjadi berbagai penyimpangan dari dunia realitas yang sesungguhnya. Ruang publik justru dimanipulasi oleh sebuah sistem kekuasaan untuk melanggengkan posisi dominannya dengan cara mendominasi mendistorsi media komunikasi, bahasa, tanda, serta interpretasi terhadapnya. Ketika publik menerima sebuah simbol konsep, gagasan, ide, kepercayaan, prinsip yang telah terdistorsi itu dan memberikan pengakuan atasnya, ini berarti bahwa sebuah sistem kekuasaan berhasil melakukan kekerasan simbol dengan cara yang halus. Bentuk pemaksaan simbolik yang dibungkus dengan cara yang commit to user 52 sangat halus ini, menjadikan publik tidak sadar bahwa telah berlangsung pemaksaan dan menerimanya sebagai sesuatu yang diterima kebenarannya. Bila ruang publik dinilai berdasarkan kapasitas dan kualitasnya, dalam menampung dan memberi tempat berbagai kelompok dan kepentingan, ruang publik secara real saat ini dalam kondisi minimalis, tidak selalu ideal seperti yang diharapkan publiknya. Di dalam kondisi minimalis berlangsung semacam penjajahan pengalaman oleh citra, sehingga minimalisme tidak hanya sebuah respons defensif terhadap bahaya, akan tetapi muncul dari transformasi sosial yang lebih fundamental: pengambilalihan dunia objek oleh dunia citra, yang menjadikan semakin sulit membedakan antara realitas dan fantasi. Perkembangan dunia citra yang dibantu oleh perkembangan teknologi informasi mutakhir tidak hanya memonopoli representasi realitas, tetapi mengaburkan batas antara realitas dan ilusi. Di dalam kondisi minimalis, diri tidak lagi mengendalikan mode kehidupannya, tetapi dikendalikan oleh agen-agen luar yang mengekspolitasi berbagai bentuk kebutuhan, aspirasi, gaya, prestise, dan gaya hidupnya. Diri minimalis tak lebih dari sebuah refleksi dari citra bentukan lingkungannya Piliang, 2006: 255-258. Minimalisme ruang publik dalam konteks masyarakat Indonesia dapat dijelaskan melalui berbagai fenomena minimalisme sebagai berikut: 1. Pendangkalan ruang publik Ruang publik yang di dalamnya dominan diutamakan, dipuja dan dirayakan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai-nilai popularitas, akan tetapi minim sensibilitas estetis, selera, rasa, dan etis. Minimalisme ruang publik, commit to user 53 dalam hal ini, adalah ketika ruang tersebut dipenuhi oleh segala bentuk kedangkalan dan permukaan tersebut. 2. Komodifikasi ruang publik Didominasinya ruang publik oleh kaum borjuis-kapitalis yang menanamkan pengaruhnya ²atau mendiseminasi paradigmanya²tidak saja pada sektor ekonomi, akan tetapi pada sektor-sektor kehidupan lainnya yang berkepentingan terhadap ruang publik. 3. Banalitas ruang publik Marjinalisasi dan minimalisasi berbagai hal yang esensial, dalam rangka memaksimalkan berbagai hal yang tak esensial, semata dalam rangka mengikuti mekanisme hasrat kapitalisme ²minimalisme yang esensial, maksimalisme yang tak esensial. 4. Virtualitas ruang publik Minimalisme ruang publik terbentuk ketika ²lewat kemampuan teknologi digital dan virtual dalam memanipulasi dan merekayasa citra realitas ² ruang publik didominasi oleh berbagai bentuk kepalsuan, kesemuan, dan distorsi realitas. 5. Transparansi ruang publik Minimalisme ruang publik terjadi ketika ruang tersebut didominasi oleh elemen-elemen private space yang sebelumnya dianggap rahasia, yang kini berbagai rahasia itu misalnya foto pribadi artis kini dapat direkam, dimodifikasi, direkayasa, dan disebarluaskan ke dalam berbagai jaringan global seperti internet sebagai pengetahuan publik. Teknologi informasi commit to user 54 digital telah menggiring ke arah transparasi ruang publik secara global, yaitu terpampangnya berbagai rahasia pribadi secara global dalam jumlah banyak, jangkauan luas, dan waktu yang cepat. 6. Imoralitas ruang publik Imoralitas ruang publik terbentuk ketika di dalamnya figur-figur publik bukanlah orang-orang yang menjaga fondasi moralitas, akan tetapi, sebaliknya, yang melakukan berbagai bentuk pemutarbalikan dan permainan moral. Figur-figur publik ini mendefinisikan sendiri ukuran-ukuran moral dan etis berdasarkan selera dan kepentingannya sendiri. Imoralitas ruang publik menyebabkan ukuran moral amoral, pantas tak pantas, benar salah menjadi relatif, sesuai dengan kepentingan yang ada di baliknya. Imoralitas ruang publik adalah proses ke arah minimalisme moral, yaitu direduksinya makna moralitas itu sendiri kedalam bentuknya yang paling rendah. 7. Mitologisasi dan Mistifikasi ruang publik Ruang publik yang didominasi oleh berbagai mitos dan mistik, dengan meminggirkan dunia realitas yang sesungguhnya. Berbagai bentuk mitos yang hidup di dalam ruang publik politik, ekonomi, budaya, media telah menggiring pikiran dan kesadaran masyarakat ke arah berbagai ilusi tentang figur atau keadaan yang sesungguhnya telah berlalu atau bahkan tidak pernah ada sama sekali Piliang, 2006: 258-263. commit to user 55 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metodologi Penelitian

Dokumen yang terkait

ALTERNATIF STRATEGI PEMASARAN ROKOK DJARUM BLACK DI JEMBER

1 7 16

ALTERNATIF STRATEGI PEMASARAN ROKOK DJARUM BLACK DI JEMBER

0 7 16

ALTERNATIF STRATEGI PEMASARAN ROKOK DJARUM BLACK DI JEMBER

4 24 16

PENDAHULUAN CITRA PERUSAHAAN DI MATA KELOMPOK KEPENTINGAN (Kasus: Citra PT. Djarum di Mata Djarum Black Car Community Yogyakarta).

0 2 44

PENUTUP CITRA PERUSAHAAN DI MATA KELOMPOK KEPENTINGAN (Kasus: Citra PT. Djarum di Mata Djarum Black Car Community Yogyakarta).

0 8 57

PEREMPUAN DALAM IKLAN DJARUM VERSI DJARUM BLACK DAN DJARUM SPECIAL (Studi Semiotik Tentang Representasi Perempuan Dalam Iklan Djarum versi Djarum Black dan Djarum Special di Majalah Penthouse).

0 8 69

GAYA HIDUP ANGGOTA “DJARUM BLACK CAR COMMUNITY SURABAYA” DENGAN BERLANGGANAN MAJALAH “MOTOR” . (Studi Deksriptif Gaya Hidup Anggota “Djarum Black Car Community Surabaya” Dengan Berlangganan Majalah “Motor”).

1 10 142

Strategi Branding „Djarum Black‟ Dalam Membentuk Psiko-Komunal “New Community” cove

0 0 2

PEREMPUAN DALAM IKLAN DJARUM VERSI DJARUM BLACK DAN DJARUM SPECIAL (Studi Semiotik Tentang Representasi Perempuan Dalam Iklan Djarum versi Djarum Black dan Djarum Special di Majalah Penthouse) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh

0 1 12

GAYA HIDUP ANGGOTA “DJARUM BLACK CAR COMMUNITY SURABAYA” DENGAN BERLANGGANAN MAJALAH “MOTOR” . (Studi Deksriptif Gaya Hidup Anggota “Djarum Black Car Community Surabaya” Dengan Berlangganan Majalah “Motor”)

0 1 21