FASHION PUNK DAN IDENTITAS REMAJA (Analisis Semiologi Terhadap Simbol Simbol Visual dalam Fashion Komunitas Punk Modis Solo Grand Mall (SGM) di Surakarta)

(1)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

SKRIPSI

FASHION PUNK DAN IDENTITAS REMAJA

(Analisis Semiologi Terhadap Simbol-Simbol Visual dalam Fashion Komunitas Punk Modis Solo Grand Mall (SGM) di Surakarta)

Oleh:

ARUM SUTRISNI PUTRI D0204033

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Komunikasi

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGESAHAN

Telah Diuji dan Disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari : Kamis

Tanggal : 20 Januari 2011

Panitia Penguji :

1.Ketua : Dr. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D ( )

NIP. 19600813 198702 2 001

2. Sekretaris : Drs. Aryanto Budhy S, M,Si ( )

NIP. 19581123 198603 1 002

3. Anggota : Dra. Hj. Sofiah, M.Si ( )

NIP. 19530726 197903 2 001

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta Dekan

Drs. H. Supriyadi, SU NIP. 19530128 198103 1 001


(3)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Halaman Persetujuan

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 25 November 2010 Pembimbing

Dra. Hj. Sofiah Msi NIP. 19530726 197903 2 001


(4)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk :

Djoko Sutrisno dan Sumiyati

Sugijarto Marto Moeljono

Keluarga besar Terandou (Shin mum, Dieddy, Duele)

Dir en Grey (Kaoru, Toshiya, Die, Shinya, & Kyo)

All Punkers in the world

And all the street musician in the world


(5)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

MOTTO

Setiap orang hanya mempunyai satu takdir.

~ Don Vito Corleone the Godfather

Don’t blame the heavens.

If fate wants you to have something, you will get it.

If not, don’t bear any grudges.


(6)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRAK

ARUM SUTRISNI PUTRI. D0204033. FASHION PUNK DAN IDENTITAS REMAJA (Analisis Semiologi Terhadap Simbol-Simbol Visual dalam Fashion Komunitas Punk Modis Solo Grand Mall (SGM) di Surakarta), Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010.

Skripsi ini melaporkan hasil penelitian dari analisis semiologi terhadap fashion subkultur remaja komunitas punk modis di kawasan Solo Grand Mall (SGM) Surakarta. Fashion komunitas Punk Modis SGM menunjukkan bahwa ada pesan yang ingin disampaikan oleh mereka. Dengan pengamatan terhadap atribut yang disandang mereka, penelitian ini ingin memaknai bagaimana perlawanan dan pemberontakan subkultur remaja direpresentasikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan kajian semiologi komunikasi dan memberikan pengetahuan bahwa komunitas punk modis mempunyai sisi yang unik dan tidak selalu identik dengan kelakuan yang buruk.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengungkapkan adanya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, studi pustaka, dan wawancara. Analisa data dilakukan dengan metode semiologi melalui tahap penandaan Roland Barthes untuk mengetahui apa saja makna yang terkandung dalam fashion komunitas punk modis SGM di Surakarta terkait dengan makna pemberontakan subkultur remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam fashion komunitas punk modis SGM di Surakarta terdapat makna dan pesan pemberontakan atau perlawanan subkultur remaja terhadap budaya orangtua dan masyarakat dominan atau mainstream. Walaupun pemberontakan tersebut hanya terdapat pada level simbolik saja.

Fashion punk modis bermakna: (1)Gaya Rambut: Hitam bermakna kekuatan sedangkan warna menyala bermakna menarik perhatian. Ciri khas yaitu jambul pendek bermakna protes (2)Gaya Riasan: gelap bermakna kehidupan tanpa masa depan (3)Fashion: (a)Kaos: Warna gelap bermakna tak ada harapan akan masa depan, warna menyala bermakna perasaan beda (b)Celana: jeans robek-robek bermakna protes terhadap kondisi masyarakat dominan, model baggy atau pensil bermakna bagaimana melepaskan diri dari kesulitan hidup, dipakai melorot bermakna kemerosotan moral (c)Jaket: jeans lusuh dan kotor dengan coretan bermakna agar mengingat kelakuan buruk diri sendiri, sedangkan jumper cut-up bermakna anarki, agresi, dan frustrasi (d)Boxer: sengaja diperlihatkan bermakna pemberontakan, kemerosotan moral, sikap acuh tak acuh akan norma, nilai, dan tata tertib sosial. (4)Sepatu: kanvas atau sneakers melambangkan jiwa muda, sedangkan boots bermakna perlawanan terhadap represi aparat. (5)Asesoris: (a)Ikat pinggang: bermakna terkekang atau terfragmentasi (b)Gelang: gelang rantai bermakna perbudakan, perlawanan dan pemberontakan, juga bermakna ikatan erat dengan teman satu komunitas (c)Kalung : bermakna pengekangan diri (6)Piercings: bermakna penyiksaan diri dan penderitaan.


(7)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ARUM SUTRISNI PUTRI. D0204033. PUNK FASHION STYLE AND YOUTH IDENTITY (Semiological Analysis Research About Visual Symbols of Solo Grand Mall (SGM) Poser-Punk Community’s Fashion Styles in Surakarta), Communication Science, Faculty of Social and Political Science, Sebelas Maret University, Surakarta, 2010.

This research reports results from a semiology study of Poser-Punk youth community subculture in Solo Grand Mall (SGM) Surakarta. The SGM Poser-Punk community’s fashion styles shows that there is any messages they want to say by their visual symbols. By observating their attributes, this research wants to explore the meaning on how the resistance of the young subcultures represented. Hopefully, this research can be useful in semiology communication study and gives a different point of view that poser-punk community has a unique side and not always identified as a bad behaviour.

The type of this research is descriptive qualitative in purpose to reveal the relations between one symptom to another symptoms in society. The technique to gathers the files by observation, literary study, and interviews. The files analyze with semiological theory from Roland Barthes through signification process to reveals the meaning of the visual symbols of the SGM Poser-Punk Community’s fashion styles in relation with the essensial of youth subcultural resistance. The results of this research shows that in SGM Poser-Punk Community’s fashion styles in Surakarta, there is a resistance meaning and messages of youth subculture to parents culture and dominant culture. Eventhough the resistance only on symbolic levels.

Poser-punk’s fashion styles means: (1)Hairstyles: Black means power, shocking neon color means attractness. The special characteristic is semi Mohawk, or short Mohawk means protest (2) visual style : dark means life without future (3) fashion styles: (a)T-shirt: dark color means no hope of future, shocking color means difference (b)pants: cut-up jeans means protest against society conditions, baggy style or pencils means how to set them free from difficult life, showing their boxer means moral degradation (c)jacket: dirty jeans with graffiti means to remember their bad habit, cut-up jumper means anarchy, agression, and frustration (d)Boxer: show their boxer means rebellion, moral degradation, don’t care about social norm, values, and regulation. (4)shoes: sneakers means youth power, boots means fights against police repression (5)Accesories: (a)belt: means fragmentation (b) bracelet chain : means slave, fights and rebellion, it also means closeness with their community (c)necklace : means self-indulgence (6)Piercings: means self-torture and sorrow.


(8)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Obyek Penelitian ... 13

F. Tinjauan Pustaka ... 14


(9)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Semiologi ... 19

3. Subkultur... 36

4. Fashion ... 40

5. Punk ... 57

G. Metodologi Penelitian ... 63

1. Jenis Penelitian ... 63

2. Metode Penelitian ... 64

3. Teknik Sampling ... 64

4. Teknik Pengumpulan Data ... 65

5. Sumber Data ... 66

6. Unit Analisa ... 66

7. Teknik Analisis Data ... 67

BAB II SEJARAH PUNK ... 68

A. Definisi Punk... 69

B. Anak Punk Atau Punker... 71

C. Sejarah Kemunculan Punk ... 72

D. Gaya Hidup Punk ... 79

1. Musik ... 80

2. Fashion ... 101

3. Komunitas ... 108

4. Ideologi ... 111

E. Punk Di Indonesia ... 120


(10)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB III ANALISIS SEMIOLOGI GAYA PAKAIAN PUNK MODIS ... 142

A. Narasumber 1 : Bandeng... 142

1. Gaya Rambut... 143

2. Gaya Riasan ... 144

3. Pakaian ... 145

a. Kaos Oblong ... 145

b. Celana ... 146

c. Boxer ... 147

d. Jaket ... 148

4. Sepatu... 149

5. Asesoris ... 150

a. Ikat Pinggang... 150

b. Gelang ... 151

6. Piercings... 152

B. Narasumber 2 : Udin ... 153

1. Gaya Rambut... 154

2. Gaya Riasan ... 155

3. Pakaian ... 156

a. Kaos Oblong ... 156

b. Celana... 157

c. Boxer... 158

d. Jaket ... 159


(11)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5. Asesoris ... 161

a. Ikat Pinggang ... 161

b. Gelang ... 162

C. Narasumber 3 : Plenthon... 163

1. Gaya Rambut... 164

2. Gaya Riasan ... 165

3. Pakaian ... 166

a. Kaos Oblong ... 166

b. Celana... 167

c. Jaket ... 168

4. Sepatu... 169

5. Asesoris ... 170

a. Ikat Pinggang ... 170

b. Kalung... 171

c. Gelang ... 172

BAB IV PENUTUP ... 173

A. Kesimpulan ... 173

B. Saran... 176 DAFTAR PUSTAKA


(12)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pelopor Band Punk Inggris “The Sex Pistols”... 3

Gambar 2. Komunitas Punk di London Inggris ... 6

Gambar 3. Cover Single “God Save The Queen” The Sex Pistols ... 7

Gambar 4. Green Day ... 9

Gambar 5. Good Charlotte ... 9

Gambar 6. Tren Rambut Punk (a) 2005 (b) 2010 ... 10

Gambar 7. The Ramones... 72

Gambar 8. Blondie ... 72

Gambar 9. Malcolm McLaren... 74

Gambar 10. Vivienne Westwood ... 74

Gambar 11. Kaum Mods ... 76

Gambar 12. Vintage Mods dan scooter... 76

Gambar 13. Discharge... 81

Gambar 14. Billy Bragg ... 81

Gambar 15. The Beatles... 82

Gambar 16. The Rolling Stones... 82

Gambar 17. Pogo... 85

Gambar 18. Crowd Surfing... 85

Gambar 19. Iggy and The Stooges... 86


(13)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Gambar 21. The Dead Boys ... 86

Gambar 22. The Talking heads ... 86

Gambar 23. The Damned ... 87

Gambar 24. The Clash ... 87

Gambar 25. Black Flag ... 88

Gambar 26. The Dead Kennedys ... 88

Gambar 27. Misfits ... 89

Gambar 28. Sonic Youth... 89

Gambar 29. Rancid ... 89

Gambar 30. NOFX ... 89

Gambar 31. The Offspring ... 98

Gambar 32. Blink 182... 98

Gambar 33. Simple Plan ... 99

Gambar 34. Sum41 ... 99

Gambar 35. Model Rambut Mohawk ... 101

Gambar 36. Model Rambut Perempuan Punk ... 101

Gambar 37. Toko Spesialis Fashion Punk “Sex” di Inggris ... 104

Gambar 38. Bandeng tampak (a) depan, (b) samping... 142

Gambar 39. Gaya Rambut Bandeng tampak (a) depan, (b) samping, (c) belakang... 143

Gambar 40. Riasan Mata Bandeng ... 144

Gambar 41. Kaos Oblong yang Dipakai Bandeng... 145

Gambar 42. Celana yang Dipakai Bandeng ... 146


(14)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Gambar 44. Jaket yang dipakai Bandeng... 148

Gambar 45. Sepatu Boot yang Dipakai Bandeng ... 149

Gambar 46. Ikat pinggang yang Dipakai Bandeng ... 150

Gambar 47. Gelang yang Dipakai Bandeng... 151

Gambar 48. Piercings Bandeng (a) Bibir (b) telinga (c) lidah ... 152

Gambar 49. Udin tampak (a) depan, (b) belakang, (c) duduk, (d) samping ... 153

Gambar 50. Gaya Rambut Udin tampak (a) depan (b) samping... 154

Gambar 51. Riasan Mata Udin... 155

Gambar 52. Kaos Oblong Udin tampak (a) depan, (b) belakang... 156

Gambar 53. Celana Udin tampak (a) depan, (b) belakang... 157

Gambar 54. Boxer yang Dipakai Udin... 158

Gambar 55. Jaket Udin tampak (a) depan, (b) samping... 159

Gambar 56. Sneakers Udin tampak (a) depan (b) belakang ... 160

Gambar 57. Ikat pinggang yang Dipakai Udin ... 161

Gambar 58. Gelang rantai yang Dipakai Udin... 162

Gambar 59. Plenthon tampak (a) depan (b) tanpa jaket ( c ) duduk ( d) belakang ... 163

Gambar 60. Gaya Rambut Plenthon tampak (a) depan (b)samping ... 164

Gambar 61. Riasan mata Plenthon... 165

Gambar 62. Kaos oblong Plenthon ... 166

Gambar 63. Celana Jeans Plenthon tampak (a) depan (b) samping... 167

Gambar 64. Jaket Plenthon tampak (a) depan (b) belakang ... 168

Gambar 65. Sneakers yang Dipakai Plenthon... 169


(15)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Gambar 67. Kalung Etnik yang Dipakai Plenthon... 171 Gambar 68. Gelang Rantai yang Dipakai Plenthon ... 172


(16)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes... 24 Bagan 2. ”The Real Vestimentary Code” Barthes ... 32 Bagan 3. Langkah-langkah Analisis Fashion Punk Modis ... 35


(17)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja merupakan kelompok masyarakat dalam rentang usia yang bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum bisa disebut dewasa. Masa remaja merupakan tahapan transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Di sini, remaja mendapatkan lebih banyak tanggung jawab daripada anak-anak. Namun di sisi lain, mereka masih terikat kontrol orang dewasa. ”Jadi, remaja tidak mendapatkan akses kepada dunia orang dewasa, namun mereka mencoba mengambil jarak antara dirinya dengan dunia anak-anak.”1

”Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere

(kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ’tumbuh’ atau ’tumbuh menjadi dewasa.’”2 Menurut Siagian, ”Remaja adalah mereka yang berumur kira-kira 15-20 tahun. Atau bila dihubungkan dengan generasi yang masih bersekolah, batasnya adalah mereka yang belajar di tingkat SMP, SMA, dan tahun-tahun awal perguruan tinggi.”3 Sedangkan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menyatakan bahwa, ”Remaja merupakan periode perkembangan antara pubertas, peralihan biologis, dan masa dewasa. Sesuai dengan ketetapan WHO tahun 1971, usia mereka berada pada kelompok umur 10-24 tahun.”4

1 Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005, hal. 336

2

Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta, 2004, hal. 206

3 T. O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, hal.

118

4


(18)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Menurut Cohen, ”Transisi dari ketergantungan kanak-kanak menuju otonomi orang dewasa biasanya melibatkan satu fase pemberontakan, yang dengan sendirinya menjadi bagian dari tradisi budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.”5 Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri atau identitas. Dalam masa ini biasanya melibatkan fase pemberontakan untuk mewujudkan emansipasi nyata dari otoritas orang tuanya. Mereka ingin bertahan dan melawan secara struktural terhadap budaya orang tua dan budaya dominan, sementara itu mereka juga ingin membedakan diri secara simultan dari budaya ini.

Remaja membutuhkan seorang panutan yang dianggap pahlawan sebagai kiblat perlawanan atau pemberontakannya. Biasanya mereka akan menemukan simbol perlawanan itu pada sosok seorang ikon pop yang dianggap ideal dan sesuai dengan gaya hidup anak muda. Para pahlawan populer atau tokoh terkenal itu, sebagaimana diungkapkan oleh sosiolog Orrin Klapp, ”Membantu ’mengkristalisasikan suatu tipe sosial.’”6 Ikon pop tersebut menampakkan suatu gaya hidup baru dan selera yang baru pula. Biasanya tokoh yang menjadi idola remaja berasal dari kalangan selebritis seperti musisi, bintang film, dan olahragawan. Contohnya, band The Sex Pistols yang menjadi ikon subkultur Punk.

5 Chris Barker, Op. Cit., hal. 335

6


(19)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Gambar 1. Pelopor Band Punk Inggris “The Sex Pistols”7

Dimana ada ikon pop yang dianggap pahlawan di situ ada pengikut kultus. Bagi seorang remaja, pahlawan populer mereka dianggap memenuhi kebutuhan eksistensial yang penting akan identitas. Memang para ikon tersebut menjadi penentu gaya hidup remaja, akan tetapi gaya itu sendiri diperagakan dan dipasarkan kepada publik oleh suatu subkultur. Dalam sosiologi, antropologi, dan studi budaya, ”subkultur adalah sebuah kelompok orang dengan suatu budaya (baik terbuka maupun tersembunyi) yang membedakan mereka dari budaya yang lebih luas dimana mereka berada.”8 ”’Budaya’ dalam subkultur mengacu kepada ’seluruh cara hidup atau ’peta makna’ yang menjadikan dunia ini dapat dipahami oleh anggotanya. Kata ’sub’ mengandung konotasi suatu kondisi khas dan berbeda dari masyarakat dominan atau mainstream.”9

7http://www.live4ever.uk.com/2009/10/the-story-of-the-sex-pistols-never-mind-the-bollocks/

8 http://wiki.media-culture.org.au/

9


(20)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Subkultur dilihat sebagai solusi ajaib atau simbolis atas persoalan struktural kelas. Atau sebagaimana dikemukakan Brake, ”Subkultur memunculkan suatu upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami secara kolektif yang muncul dari kontradiksi berbagai struktur sosial… ia membangun suatu bentuk identitas kolektif dimana identitas individu bisa diperoleh di luar identitas yang melekat pada kelas, pendidikan, dan pekerjaan.”10 Dengan menggabungkan diri pada suatu subkultur yang dipilih secara sadar, remaja berusaha mencari identitas diri sekaligus menjadikan subkultur sebagai ruang untuk melakukan pemberontakan terhadap otoritas budaya orangtua dan budaya dominan yang mereka anggap kolot dan kaku.

Menurut Abercombie dan Warde (1988), ”Salah satu ciri umum yang menandai budaya orang muda, ditandai dengan kepedulian mereka terhadap gaya.”11 Kepedulian remaja terhadap gaya, merupakan perwujudan mereka dalam memanfaatkan objek materi. Gaya inilah yang kemudian memberi makna pada pakaian, penampilan, bahasa, ritual, mode interaksi, dan jenis musik dalam hubungannya satu sama lain. Dengan kata lain, subkultur pemuda ditandai dengan perkembangan gaya tertentu.

Gaya subkultur remaja ditunjukkan lewat atribut yang mereka pakai yang merupakan penggambaran atas karakter khas mereka. Gaya mereka menjelaskan sumber daya yang terkandung dalam kolektivitas dan teritorialitas melalui koherensi dan loyalitas geng terhadap kawan-kawannya. Ikatan seorang remaja dengan suatu subkultur tertentu menentukan gaya hidup

10 Ibid., hal. 339

11


(21)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

remaja tersebut. Dengan gaya hidup itu seorang remaja mengekspresikan identifikasinya dengan suatu subkultur. Anggota-anggota subkultur sering menandai keanggotaan mereka melalui penggunaan gaya yang berbeda dan simbolik.

Selera musik, fashion, bahasa, tingkah laku dan lain-lain, adalah modal subkultur agar bisa dipahami oleh anggota-anggotanya untuk membedakan diri dari subkultur lain, budaya orangtua atau budaya dominan. Secara internal, gaya hidup subkultur bertujuan membangun otentisitas status sosial dan membuat demarkasi dari budaya mainstream. Dengan demikian, karya subkultur remaja yang kreatif, ekspresif dan simbolis bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan. Namun, tidak ada solusi subkultur terhadap upah rendah, kerja rutin, yang membosankan dan tiadanya pendidikan, sehingga resolusi subkultur pemuda tetap berada pada level ritual simbolis.

Dewasa ini akan sulit mengidentifikasi suatu subkultur tertentu karena gaya mereka, terutama fashion, diadopsi oleh budaya dominan untuk tujuan komersil. Industri fashion mengambil keuntungan dari suatu subkultur yang digemari remaja. Proses industrialisasi ini pada akhirnya menyebabkan kematian atau evolusi dari subkultur tersebut, karena pengikutnya mengadaptasi nilai-nilai baru yang memunculkan sesuatu yang asing pada masyarakat mainstream. Subkultur berbasis musik dengan fashion yang khas rentan terhadap proses ini, seperti yang terjadi pada subkultur Punk.


(22)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Gambar 2. Komunitas Punk di London Inggris12

Punk merupakan subkultur yang berkembang pesat di London, Inggris, yang identik dengan ideologi anti kemapanan dengan semboyan ”do it

yourself”. Fashion subkultur Punk merupakan manifestasi dari semboyan

mereka. Mereka mengekspresikan diri dengan cara yang luar biasa berbeda dengan gaya Inggris yang anggun. Penampilan mereka jauh lebih mengagetkan dan membuat ngeri orang yang melihat karena benda-benda yang tidak pantas seperti peniti (safety pins), jepitan pakaian dari plastik, komponen televisi, silet, tampon bisa menjadi asesoris dari fashion Punk. Bahkan mereka memakai T-Shirt yang berlumuran darah. Rambutnya dicat hijau dengan gaya spike, mohawk, bihawk, atau trihawk.

Punk mempunyai kode fashion jauh lebih radikal, anarkis, dan memberontak. Tujuan dari penampilan subkultur Punk ini memang untuk

membuat shock sekaligus menimbulkan kesan aneh bagi orang yang

melihatnya. Selain itu, gaya seperti ini memang disengaja untuk menimbulkan kesan seperti anak yang teraniaya dan mengalami kekerasan di dalam

12


(23)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

keluarganya, atau menunjukkan diri sebagai orang yang terbuang yang dibenci oleh masyarakat. Mereka memilih kekerasan dengan gaya sadomasokistik, karena mereka hidup di lingkungan kelas pekerja di London yang penuh kekerasan dan kemiskinan.

Dengan penampilan yang mengejutkan tersebut subkultur Punk pun menarik perhatian media karena telah menyebabkan kepanikan moral. Momen yang paling mengejutkan adalah ketika ikon subkultur Punk generasi pertama, band The Sex Pistols, pada tahun 1977 meluncurkan single kedua mereka “God Save The Queen”. Inilah ekspos mereka yang paling verbal untuk mencaci-maki kerajaan. ”Lihat saja bagaimana Jamie Reid mendesain cover

single itu. Wajah Sang Ratu ditampilkan dalam dandanan Punk, lengkap

dengan tindikan pin di hidungnya.”13 Belakangan ini, desain kover album tersebut diaplikasikan pada kaos oblong, badge, dan asesoris lainnya.

Gambar 3. Cover Single “God Save The Queen” The Sex Pistols14

13 Moer, Punk is Dead?, Juice Magz Edisi September 2005

http://moer.multiply.com/journal/item/54

14


(24)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Inovasi fashion Punk secara langsung memberi umpan balik kepada fashion mainstream. Penyebarluasan gaya remaja subkultur menuju ke industri fashion bukan sekedar proses kultural, melainkan suatu jenis baru institusi komersial dan ekonomi. Jadi, setelah inovasi fashion orisinal yang menandai subkultur Punk diubah menjadi komoditas dan dibuat tersedia secara umum, ia lalu terkodifikasi, dibuat dapat dimengerti sekaligus dibentuk menjadi milik publik dan barang dagangan yang menguntungkan. Subkultur remaja mungkin melakukan resistensi secara simbolik melalui gaya, tetapi mau tak mau, perlawanan itu harus berakhir dengan terciptanya komoditas baru di bidang industri fashion.

Ketika perlawanan subkultur, baik secara visual dan verbal, mulai dikenal dan digemari para remaja di seluruh dunia, Punk menjadi lahan baru bagi industri, meliputi industri fashion, rekaman, dan lain-lain. Punk kini menjadi sebuah komoditas dengan memperhalus tampilannya. Penghalusan terhadap fashion Punk tersebut berakibat pada melemahnya makna isolasi diri dan pemberontakan. Inti dari Punk menjadi sangat pop dan bisa dinikmati siapa saja, termasuk golongan mapan. Bahkan benda-benda berbau Punk ini tak jarang ditemui di toko-toko dengan harga yang begitu mahal dan tak bisa dijangkau oleh kalangan bawah. Sehingga fenomena remaja berpenampilan seperti kaum Punk ini merebak dimana-mana. Oleh kaum Punk yang merasa sebagai bagian dari komunitas Punk jalanan asli, remaja berpenampilan Punk ini disebut poser atau Punk modis.


(25)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Fakta ironis bahwa Punk yang selama ini dicaci maki kini menjadi konsumsi kultural dapat dilihat pada resensi majalah remaja yang merupakan standar tren fashion budaya mainstream. ”Pada musim panas 1977, dan pada September tahun itu Cosmopolitan menampilkan resensi koleksi mutakhir Zandra Rhodes tentang pakaian gila yang seluruhnya adalah variasi dari tema Punk. Model-modelnya bergolek dari balik gunung peniti dan plastik (penitinya diberi permata, ”plastik”nya satin yang tampak basah dan artikel pendampingnya ditutup dengan aforisme –”to shock is chic.”15

Punk kembali menjadi trend di tahun 2000-an dan grup band seperti Green Day, Blink 182, Sum 41, Simple Plan, The Ataris, dan Good Charlotte meraih kesuksesan internasional yang luar biasa, Punk mengalami perubahan drastis dan kehilangan semangat anti kemapanannya.

Gambar 4. Green Day16 Gambar 5. Good Charlotte17

15 DickHebdige, Asal-Usul dan Ideologi Subkultur Punk, Buku Baik, Yogyakarta, 1999, hal. 187

16

http://img2.timeinc.net/people/i/2005/specials/grammys05/show/bwhair/greenday.jpg

17

http://4.bp.blogspot.com/_Zs9nNlwuDUI/SEd7l53XkdI/AAAAAAAAAYM/_nIbBR11brg/ s1600-h/good_charlotte.jpg


(26)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Band-band Punk tersebut tak lagi menyerukan kritik sosial, lirik-liriknya tidak lagi berbau politis, bahkan mengikat kontrak dengan label mayor, dan bergelimang kesuksesan seperti rocker di tahun 1970-an. Apalagi, ironisnya asesoris Punk, rambut mohawk, dan sepatu combat diproduksi dan dikemas ulang oleh perusahaan-perusahaan dengan label desainer dan dijual di mal-mal, sehingga fashion Punk bukan lagi menjadi simbol pemberontakan, tetapi sudah menjadi fetisisme komoditas yang dapat dipasarkan secara meluas oleh kaum kapitalis.

Pada tahun 2005, majalah CosmoGIRL! Indonesia menampilkan resensi gaya rambut Punk untuk kaum perempuan. Di samping gambar tersebut terdapat narasi yang bertajuk ”Forever Punk!” yang menyebutkan slogan ”Punk is not dead!”18 Sedangkan menurut Maestro rambut Indonesia, Rudy Hadisuwarno, mengenai tren rambut di tahun 2010, ”Inspirasi dari potongan model Punk Rocktahun 80-an itu akan kembali lagi.”19

(a) (b)

Gambar 6. Tren Rambut Punk (a) 200520 (b) 201021

18

Majalah CosmoGIRL! Indonesia edisi Januari 2005, hal. 56

19

http://www.infospesial.com/article/trend/2010-model-rambut-Punk-rock-80-an-kembali-populer.htm

20 Ibid.

21


(27)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

”Saat ini, jika kita melihat ada orang memakai pin di T-Shirtnya dengan rantai, melihat rambut mohawk yang dicat hijau, tindikan di telinga dan hidung, dan sepatu combat, kita langsung percaya bahwa dia adalah anggota kelompok anak Punk. Dia merasa menjadi bagian dari anak Punk, dan pakaiannya mencerminkan bahwa dia mempunyai kepercayaan dan nilai-nilai sama seperti anak-anak Punk. Bahkan dia dapat bercermin pada anak Punk lainnya dengan melihat penampilannya.”22 Sehingga akan sulit membedakan mana yang anak Punk jalanan dan mana yang sekedar mengikuti tren atau biasa disebut Punk modis.

Punk jaman sekarang lebih tepat diidentifikasi sebagai Punk modis bukan Punk ideologis. Fashion Punk modis merupakan manifestasi sebuah perpaduan ambigu antara resistensi dan penerimaan ide-ide hegemoni. Punk modis ini mempunyai dimensi perlawanan immanen karena mengekspresikan penyimpangan stilistik dan merefleksikan kontradiksi terhadap kekuasaan institusi dominan tetapi menggunakan pakaian pabrikan.

Walaupun evolusi banyak terjadi seiring dengan perkembangan Punk tetapi ada pesan-pesan yang dikomunikasikan secara non-verbal melalui tampilan visual mereka. Fenomena tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengetahui makna di balik simbol-simbol visual dalam fashion Punk modis terkait dengan pembentukan identitas remaja. Pembahasan secara deskriptif kualitatif dengan kajian semiologi ini diharapkan dapat mengungkap makna simbol-simbol visual dalam fashion Punk tersebut.

22


(28)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

B. Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

“Bagaimana makna simbol-simbol visual fashion Punk modis terkait

dengan identitas remaja?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yaitu:

1. memperkaya kajian komunikasi non-verbal secara semiologis dalam

disiplin ilmu komunikasi;

2. memberi sumbangan terhadap studi tentang tanda terutama yang berkaitan

dengan makna simbol-simbol visual dalam fashion Punk modis;

3. secara akademis, penelitian ini diajukan sebagai syarat meraih gelar kesarjanaan penulis di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharap dapat memberi sumbangan positif bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya komunikasi non-verbal secara semiologi.

b. Secara praktis, penelitian ini diharap dapat memberikan wacana mengenai subkultur Punk yang keberadaannya belum sepenuhnya diterima dalam masyarakat kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal.


(29)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

E. Obyek Penelitian

Sumber penelitian adalah komunitas Punk modis Solo Grand Mall (SGM) yang kadang mangkal di foodcourt SGM atau citywalk (depan SGM), Slamet Riyadi, Surakarta. Punkers yang dimaksud bukan remaja Punk yang tergabung dalam suatu komunitas Punk jalanan tertentu (misal: Punk Baluwarti, Punk STSI, Punk Purwosari, Punk Kleco, Punk Soniten dan lain-lain), melainkan sekelompok kecil remaja dengan dandanan Punk. Mereka tidak keluar dari rumah dan atau tidak hidup di jalanan. Komunitas Punk jalanan beranggapan bahwa Punk yang tidak turun ke jalan bukanlah anak Punk sejati. Remaja Punk modis dianggap hanya meniru atau sekedar mengikuti tren dan sama sekali tidak mengetahui ideologi di balik penampilan seorang Punker.

Penelitian ini mengambil obyek fashion Punk modis. ”Stacey

Thompson di dalam bukunya ’Punk Productions; Unfinished Business’

mengungkapkan bahwa secara historis Punk dipengaruhi oleh empat unsur

utama, yaitu musik, fashion, geng (komunitas) dan pergerakan

(pemikiran).”23 Peneliti mengambil unsur fashion sebagai obyek penelitian karena cara berpenampilan adalah sebuah tanda untuk membentuk citra tubuh, menunjukkan identitas seseorang, serta nilai budaya yang dianut. Jadi, obyek yang dianalisis dalam penelitian ini adalah setiap simbol-simbol visual dalam fashion style komunitas Punk modis, meliputi: pakaian, gaya rambut, riasan, sepatu dan asesoris lainnya.

23


(30)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

F. Tinjauan Pustaka

1. Komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses sosial yaitu sesuatu yang berlangsung atau berjalan antar manusia. Manusia sebagai makhluk sosial menempatkan interaksi antar sesama sebagai sebuah kebutuhan. Dalam berinteraksi komunikasi menjadi perhatian utama. Maka, komunikasi merupakan hal yang fundamental dalam kehidupan manusia.

”Istilah ’komunikasi’ atau dalam Bahasa Inggris ’communication’ berasal dari kata Latin ’communicatio’ dan bersumber dari kata

’communis’ yang berarti sama.”24 Maksud kesamaan tersebut adalah sama

makna atau arti, yang diusahakan melalui penggunaan bersama tanda-tanda oleh para pelaku komunikasi, yaitu komunikator dan komunikan.

John Fiske menegaskan bahwa, ”Komunikasi tidak dilihat hanya sebagai transmisi pesan, melainkan juga pada produksi dan pertukaran pesan, yaitu dengan memperhatikan bagaimana suatu pesan atau teks berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan memproduksi makna.”25 Konsep ini menunjukkan bahwa pesan adalah susunan tanda-tanda yang menghasilkan makna. Karena itu, ‘teks’ dan bagaimana membacanya menjadi bagian yang penting dalam proses pemaknaan. Di sini yang dimaksud dengan ‘membaca’ adalah proses menemukan makna-makna ketika seseorang berhadapan dengan ‘teks’. Dengan demikian, pengertian pesan selanjutnya mengacu pada pengertian makna.

24 Onong U. Effendi, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997,

hal. 10

25


(31)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Definisi makna sendiri mengalami kerancuan di kalangan ilmuwan. Menurut David K. Berlo, ”Makna tidak terletak pada lambang-lambang tapi terletak pada pikiran setiap orang, pada persepsinya. Makna menurutnya terbentuk dari pengalaman individu.”26 ”Brodbeck kemudian memberikan pengertian makna dalam tiga corak, yaitu:27

1. Makna inferensial, yaitu makna satu kata (lambang) adalah obyek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut.

2. Makna yang kedua menunjukkan arti (significane) suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain.

3. Makna intensional, yaitu makna yang dimaksud oleh seorang pemakai

lambang, makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau dicari rujukannya. Makna ini hanya terdapat pada pikiran orang dan hanya dimiliki oleh dirinya sendiri.”

Pesan yang disampaikan oleh sumber tidak akan memiliki arti jika penerima pesan tidak mempunyai kemampuan mengencode (memaknai) pesan tersebut. Ketidakpahaman atas sebuah pesan yang disampaikan oleh sumber kepada penerima sering terjadi. Ini bukan berarti telah terjadi kegagalan dalam berkomunikasi. Penyebabnya adalah latar belakang sosial dan budaya yang berbeda antara kedua belah pihak. Sehingga perbedaan dalam memaknai suatu teks sangat mungkin terjadi.

26 Jalalludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996, hal. 276

27


(32)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

”Ketika berkomunikasi kita menerjemahkan gagasan ke dalam bentuk lambang verbal dan non verbal.”28 Jalalludin Rakhmat membagi pesan ke dalam dua bentuk yaitu pesan verbal dan non verbal. Pesan verbal adalah pesan yang diucapkan dengan menggunakan kalimat dalam bahasa atau linguistik. Sedangkan pesan non verbal adalah pesan yang

disampaikan dengan menggunakan cara-cara tertentu (pesan

paralinguistik) dan juga pesan yang disampaikan dengan isyarat (pesan ekstralinguistik).

Bentuk-bentuk komunikasi non verbal berupa bahasa tubuh, seperti gerak isyarat (dengan mata, tangan, atau anggota tubuh lainnya), tekanan suara, dan ekspresi wajah. Bentuk-bentuk penyampaian pesan tersebut dapat ditampilkan melalui media yang dikemas secara kreatif seperti fotografi, lukisan, musik, film, iklan, arsitektur, komik, dan fashion.

”Adapun fungsi dari pesan non verbal ada lima, yaitu:29

1. Repetisi, adalah mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misal: menggeleng-gelengkan kepala berkali-kali; 2. Substitusi, adalah menggantikan lambang-lambang verbal. Misal:

menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-angguk;

3. Kontradiksi, adalah menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misal: memuji prestasi tapi mencibirkan bibir.

28 Steward L. Tubbs, Sylvia Moss, Human Communication, McGraw Hill Co., New York, 2000,

hal. 66

29


(33)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4. Komplemen, adalah melengkapi dan memperkaya makna pesan non

verbal. Misal: air muka menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata;

5. Aksentuasi, adalah menegaskan pesan verbal atau

menggarisbawahinya. Misal: mengungkapkan kejengkelan dengan memukul mimbar.”

Pesan-pesan non verbal sangat penting dalam komunikasi, seperti yang dikatakan oleh Dale G. Leathers yang dikutip Jalaludin Rakhmat. Ia menyebutkan alasan pentingnya pesan-pesan non verbal antara lain:30 a. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan melalui pesan non

verbal ketimbang verbal;

b. Pesan non verbal memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan (fungsi metakomunikatif) yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas;

c. Pesan non verbal merupakan cara yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal.

Fashion merupakan bentuk komunikasi non verbal. Di sini, garmen yang merupakan butir fashion menjadi medium atau saluran yang dipergunakan seseorang untuk mengkomunikasikan pesan pada orang lain. Kebanyakan orang merasa, fashion dan pakaian yang mereka pakai, memiliki makna tertentu. Kebanyakan orang memilih fashion dan pakaian seperti makna yang mereka persepsi terkandung dalam garmen tersebut.

30


(34)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dalam kata-kata Thomas Carlyle, “Pakaian menjadi ‘perlambang jiwa’ (emblems of the soul). Pakaian bisa menunjukkan siapa pemakainya. Dalam kata-kata tersohor dari Eco, ‘I speak through the cloth.’ (Aku berbicara lewat pakaianku).”31 Pakaian yang kita kenakan membuat pernyataan tentang diri kita. Orang yang berinteraksi dengan kita akan menafsirkan penampilan kita seolah-olah kita sengaja membuat suatu pesan. Pernyataan ini membawa kita pada fungsi komunikasi dari pakaian yang kita kenakan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh Kefgen dan Touche disebut sebagai pesan artifaktual, ”Pakaian menyampaikan pesan, pakaian terlihat sebelum suara terdengar.”32 Pakaian, “adalah bentuk komunikasi artifaktual (artifactual

communication). Komunikasi artifaktual biasanya didefinisikan sebagai

komunikasi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan pelbagai artifak, misalnya: pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furnitur di rumah Anda dan penataannya, ataupun dekorasi ruang Anda.”33

Fashion memunculkan sistem penandaan (signifikasi) yang menjadi tempat pembentukan dan pengkomunikasian tatanan sosial. Fashion bekerja dengan berbagai cara yang berbeda, namun memiliki kesamaan bahwa fashion merupakan tempat tatanan sosial dialami, dipahami, dan berlalu. Fashion dianggap sebagai salah satu makna yang diinginkan oleh individu atau kelompok sosial dalam mengkomunikasikan identitas mereka.

31 Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi, Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 2007, hal.vi

32 Isnawati, Aku Berdandan Maka Aku Ada, Edisi 4 Tahun XIV/2005, hal. 12

33


(35)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Semiologi

“Semiologi”, berasal dari dua kata Yunani, “semeion” dan “logos”. Semeion artinya “tanda” dan logos artinya “kisah”, “catatan” atau “ilmu”. Jadi, “semiologi” bisa diartikan sebagai ilmu tentang tanda atau sistem tanda. Dalam Bahasa Inggris disebut “semiotics”. Dalam Bahasa Indonesia disebut “semiologi” atau “semiotika”.

“Semiologi (atau semiotika) adalah ilmu umum tentang tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal yang berkaitan dengan signifikasi (signification), betapapun sangat tidak berstruktur, beraneka ragam, dan terpisah-pisah.”34”Semiotika meliputi studi bukan hanya ’tanda-tanda’ dalam percakapan keseharian, tetapi dari apapun yang ’menunjuk’ sesuatu hal yang lain. Dalam semiotik, tanda mengambil bentuk berupa kata-kata, gambar, suara, geestur, dan objek.”35

Semiologi memfokuskan perhatiannya terutama pada teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang (signs) baik yang terdapat pada media massa (seperti berbagai paket tayangan televisi, karikatur media cetak, film, sandiwara radio, dan berbagai bentuk iklan) maupun yang terdapat di luar media massa (seperti karya lukis, patung, candi, monumen, fashion show, dan menu masakan pada suatu food festival).36

34 Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta, 1996, hal. 181

35 Pamela Nilan, Applying Semiotic Analysis to Social Data in Media Studies, Makalah, hal. 6

36


(36)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dalam perkembangannya, terdapat dua peristilahan: semiologi

(semiology) dan semiotika (semiotics). Kedua istilah di atas mengacu pada

ilmu ini dan secara prinsip tidak ada perbedaan, kecuali dalam hal orientasi semiologi pada Saussure dan orientasi semiotika pada Pierce.37 Dengan kata lain, kedua istilah tersebut dapat sama-sama dipakai. Untuk penelitian ini lebih dipilih penggunaan istilah semiologi, sebagaimana yang biasa digunakan Roland Barthes.

Sejarah kajian tentang tanda atau semiologi modern mencatat ada dua nama yang berperan besar dalam perkembangannya, yaitu Ferdinand de Saussure dari Perancis dan Charles Sanders Pierce dari Amerika. Keduanya mendasarkan teori semiotikanya pada landasan yang berbeda. Saussure sebagai ahli linguistik, mengembangkan dasar-dasar dari linguistik dan memberi tekanan pada struktur yang menyusun tanda, sementara Pierce lebih menekankan pada konsep-konsep dari luar tanda.38

Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara signifiant (penanda) dan signified

(petanda). Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa.39

Konsep strukturalisme linguistik yang dirintis Ferdinand de Saussure inilah yang dikembangkan oleh Roland Barthes dan disebut

37 Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Indonesia Terra, Magelang, 2001, hal. 20

38 Ibid, hal. 12

39


(37)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

semiologi Barthes. Jika Saussure menekankan fungsi strukturalisme linguistik untuk mencari makna yang terkandung dan disampaikan dalam sistem penandaan bahasa, maka Barthes mencoba mengembangkan konsep Saussure untuk menyelidiki sistem di luar bahasa (other than language).

Bagi Barthes, semiologi hendak mempelajari bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat pula pada hal-hal yang bukan bahasa. Pada akhirnya, Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk dari signifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial, apapun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula.40

Konsep dasar semiologi Barthes adalah konsep tentang tanda dalam suatu sistem penandaan, signifikasi, dan tingkatan signifikasi. ”Tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang ‘berarti’ –suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman

yang ingin kita komunikasikan.”41”Tanda menjadi kode alamiah.

Transparansi makna adalah suatu hasil pembiasaan budaya, yang efeknya adalah menyembunyikan praktik pengkodean budaya. Objek budaya mengungkapkan makna, dan semua praktik budaya tergantung kepada

40 Ibid, hal. 53

41


(38)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

makna yang dibangun oleh tanda. Walhasil, kebudayaan dikatakan bekerja ‘seperti bahasa’ dan semua praktik budaya terbuka bagi analisis semiotik.”42

”Tanda memiliki dua prinsip dasar, yakni arbitrer dan linear. Tanda dikatakan arbitrer (semena-mena) dalam pengertian tanpa motif, bukan berarti pilihan bebas penutur terhadap penanda, tetapi bahwa tidak ada hubungan yang sungguh-sungguh alami antara penanda dan petanda dalam kenyataan. Tanda dikatakan linear karena penanda yang sifatnya auditori (berhubungan dengan pendengaran.)”43

Karakter arbitrer hubungan penanda-petanda mengandung arti bahwa makna bersifat cair, spesifik secara historis dan kultural, ketimbang tetap dan universal. Namun, ini juga berarti bahwa makna diatur

berdasarkan kondisi sosial historis yang spesifik. Sebagaimana dikatakan Culler, ”Karena dia arbitrer, tanda bergantung sepenuhnya kepada sejarah dan kombinasi pada momen tertentu dari penanda, dan petanda merupakan hasil tak menentu dari proses historis ini.”44

Baik petanda maupun penanda, menurut Barthes, ”memuat bentuk dan substansi. Bentuk adalah apa yang dapat dilukiskan secara mendalam, sederhana, dan koheren (kriteria epistemologis) oleh linguistik tanpa melalui premis ekstralinguistik; substansi adalah keseluruhan rangkaian

42 Chris Barker, Op. Cit., hal. 71

43 Kurniawan, Op. Cit., hal. 31-32

44


(39)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

aspek-aspek fenomena linguistik yang tidak dapat dilukiskan secara mendalam tanpa melalui premis ekstralinguistik.”45

Maka tanda memiliki 4 hal yang dapat diuraikan sebagai berikut:46 1. Substansi ekspresi: misalnya suara dan artikulator;

2. Bentuk ekspresi: yang dibuat dari aturan-aturan sintagmatik dan paradigmatik;

3. Substansi isi: misalnya aspek-aspek emosional, ideologis atau pengucapan sederhana dari petanda, yakni makna “positif”nya;

4. Bentuk isi: ini adalah susunan formal petanda di antara petanda-petanda itu sendiri melalui hadir atau tidaknya sebuah tanda semantik.

”Maka tanda semiologis juga tersusun dari penanda dan petanda, tetapi berbeda pada tingkat substansinya. Banyak sistem-sistem semiologis (obyek, bahasa isyarat, imaji piktorial) memiliki sebuah substansi ekspresi yang esensinya tidak untuk menandai, tetapi semata karena kebiasaan belaka dan asal-usulnya bersifat utilitarian dan fungsional” (Barthes, 1967: 41). Contohnya: pakaian untuk perlindungan. Pakaian tidak dikenakan untuk menunjukkan bahwa seseorang merupakan anggota suatu kelompok sosial.

”Dalam menganalisis makna dari lambang atau tanda (signs) erat kaitannya dengan tingkatan penafsiran. Penafsiran seringkali adalah sebuah makna yang keluar dari makna literal. Makna tersebut muncul dari sebuah pengalaman tertentu, dalam budaya tertentu, dan pada konteks

45 Kurniawan, Op. Cit., hal. 55-56

46


(40)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

tertentu. Makna dikatakan meningkat dari tanda yang ada sampai dengan tanda tunggal yang penuh dengan makna yang berlapis-lapis.”47

Untuk membahas lingkup makna yang lebih besar ini para ahli membedakan antara makna denotatif dan makna konotatif. Roland Barthes

menggunakan istilah orders of significations. Roland Barthes

membedakan antara first orders significations dengan second orders

significations. “Sistem tanda pertama kadang disebutnya dengan istilah

denotasi atau sistem terminologis, sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa.”48

Tahap signifikasi Barthes bisa dilihat pada bagan di bawah ini:

First Order Second Order

Reality Reality Culture

form

content

Bagan 1. Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes49

Ringkasnya, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai berikut:50

47 Chris Barker, Op. Cit., hal. 72

48 Kurniawan, Op. Cit., hal. 114-115

49

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003, hal. 127 myth signifier

signified

connotation dennotation


(41)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

a. Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan antara sign dengan referan dalam relitas eksternal. Denotasi dijelaskan sebagai makna sebuah tanda yang defisional, literal, jelas, (mudah dilihat dan dipahami) atau ‘commonsence’. Dalam kasus terhadap linguistik, makna denotatif adalah apa yang dijelaskan dalam kamus; b. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan

perasaan atau emosi pembaca atau pengguna nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi ‘subyektif’ dan ‘intersubyektif’. Istilah konotasi merujuk pada tanda yang memiliki asosiasi sosiokultural dan personal. Ini biasanya dikaitkan dengan kelas, umur, gender, etnik, dan sebagainya dari sang penafsir. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.

”Ketika konotasi dinaturalisasikan sebagai sesuatu diterima secara ‘normal’ dan ‘alami’, ia bertindak sebagai peta makna konseptual dimana seseorang memahami dunianya. Itu semua adalah mitos (berasal dari bahasa Yunani ’mutos’ berarti cerita).”51 ”Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem pertama (penanda dan petanda) yang membangun makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif.”52

50 Antonius Birowo (editor), Metode Penelitian Komunikasi Teori & Aplikasi, Gitanyali,

Yogyakarta, 2004, hal. 57-58

51 ST. Sunardi, Semiotika Negativa, Yogyakarta, Kanal, 2002, hal. 88

52


(42)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dalam tahap konotasi, Barthes membangun konsep tentang mitos yang didefinisikannya sebagai “‘a type of speech’, mitos adalah tipe wicara.”53 Disebut speech (wicara) karena mitos adalah cara orang berbicara, jadi bahasa sebagaimana kita berbicara. Mitos dipakai untuk mendistorsi atau mendeformasi kenyataan (signifikasi dari sistem tanda tingkat pertama). Mitos berfungsi untuk mendistorsi makna dari sistem semiotik tingkat pertama sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada realitas yang sebenarnya.

“Fungsi ini dijalankan dengan mendeformasi bentuk dengan konsep. Deformasi terjadi karena konsep dalam mitos terkait erat dengan kepentingan pemakai atau pembuat mitos (yaitu kelompok masyarakat tertentu). Dilihat dari proses signification, mitos berarti menaturalisasikan konsep (maksud) yang historis dan menghistorisasikan sesuatu yang intensional.”54 Proses itu terjadi sedemikian rupa sehingga pembaca mitos tidak menyadarinya.

Mitos berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu. Mitos adalah bagaimana kebudayaaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Melalui mitos-mitos tersebut akan lahir berbagai stereotipe tentang suatu hal. Mitos primitif misalnya memahami mengenai manusia dan dewa, hidup dan mati,

53 Roland Barthes, Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal. 151

54


(43)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sedangkan mitos masa kini mengenai gender, feminisme, ilmu pengetahuan dan lainnya.

Ciri-ciri mitos: 1. Distortif

Hubungan signifier (atau form) dan signified (atau konsep) dalam sistem mitos bersifat distortif dan deformatif. Unsur yang mendistorsi adalah konsep. Barthes mengatakan bahwa ciri ini membuat konsep bisa mengasingkan makna dari tanda tingkat pertama.

2. Intensional

Mitos dibuat bukannya tanpa maksud melainkan intensional. Mitos secara personal memanggil, menyapa dengan sengaja. Signification

mitos muncul bukan pertama-tama dari sistem linguistik atau sistem tingkat pertama melainkan oleh maksud.

3. Statement of fact

Mitos tidak lagi sekedar sapaan melainkan statement of fact. Artinya mitos lebih dari sekedar bisikan, ajakan, atau perintah melainkan menjadi bukti bahwa konsep itu faktual. Mekanisme signification ini menimbulkan efek lain. Pesan yang berada pada status historis berubah menjadi status natural. Status natural membuat pesan itu tidak dapat lagi diganggu gugat, ia sudah diyakinkan.

4. Motivasional

Bentuk mitos tidak arbitrer tapi mengandung motivasi. Signification


(44)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

melainkan motivated. Motivasi pada sistem mitis bekerja dengan menggunakan prinsip analogi.

”Meskipun mitos adalah konstruksi budaya, tapi ia bisa tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada

nalar awam (commonsense). Mitos kemudian mirip dengan konsep

ideologi, yang bekerja pada level konotasi.”55

Menurut Volosinov, ”Ranah ideologi bertepatan dengan ranah tanda... kapanpun ada tanda, di situ ada ideologi.”56 Menurut Barthes, mitos dan ideologi bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara historis. Mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. ”Mitos bertugas memberikan kehendak historis suatu justifikasi alamiah, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi.”57

Mitos menurut Barthes, ”adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan semikian dia adalah sebuah pesan. "Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah obyek, sebuah konsep, atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi dengan cara apa mitos menuturkan pesan itu. Dengan demikian ada batas-batas formal dari mitos, tetapi tak ada batasan yang ’substansial.”58

55 Chris Barker, Op. Cit, hal. 72

56 Ibid, hal. 130

57 Ibid, hal. 73

58


(45)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

”Meskipun semiologi Barthes menjadikan linguistik Saussure sebagai modelnya, tetapi Barthes mengingatkan bahwa semiologi tidak bisa sama dan sebangun dengan linguistik. Petanda dari garmen busana, misalnya, meski diperantarai melalui tuturan (majalah), tidaklah tentu didistribusikan seperti petanda dari bahasa selama keduanya tak memiliki ‘panjang’ yang sama (di sini sebuah kata, di sana sebuah kalimat). Petanda itu tidak memiliki material lain kecuali penanda tipikalnya. Dalam kasus sistem isologis seperti ini, orang kemudian tidak dapat menerimanya

kecuali dengan memaksakan padanya sebuah metabahasa.”59

Sintagma dan sistem berperan dalam proses pemahaman atas tanda. Menurut Barthes: ”Berlawanan dengan simbol, tanda sebenarnya didefinisikan bukan oleh analogisnya dan dalam makna berhubungan secara alami dengan sebuah isi, tetapi secara esensial oleh tempatnya di dalam sebuah sistem perbedaan-perbedaan (sistem oposisi pada tingkat paradigmatik dan sistem asosiasi pada tingkat sintagmatik).60

Contoh perbedaan antara Sistem dan Sintagma:61

Sistem Sintagma

Sistem garmen

Susunan dari helai, bagian atau pernik yang tak dapat dipakai pada waktu yang sama pada bagian tubuh yang sama, dan variasinya berkorespondensi dengan sebuah perubahan dalam makna pakaian:

- Toque (topi kecil wanita tanpa tepi) - Topi bertali di dagu

- Kerudung

Campuran pada tipe pakaian yang sama dari unsur-unsur yang berbeda:

Rok-blus-jaket

Tabel 1. Perbedaan Sistem dan Sintagma dalam Garmen

59 Ibid, hal. 57-58

60 Ibid, hal. 61-62

61


(46)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

”Paradigma adalah klasifikasi tanda-tanda atau satu kumpulan tanda-tanda yang diasosiasikan, yang merupakan semua anggota dari semacam kategori tetapan; tetapi setiap tanda itu berbeda secara signifikan. Sebuah sintagma adalah kombinasi beraturan dari tanda-tanda

yang berinteraksi yang membentuk keseluruhan yang bermakna.”62

Kedua jenis perbedaan itu pun dikaji dalam produksi makna dalam fashion. Perbedaan sintagmatik adalah perbedaan di antara hal-hal yang membentuk rangkaian penandaan atau keseluruhan. Jadi, perbedaan sintagmatik adalah perbedaan di antara bagian pembentukan garmen. Yaitu perbedaan antara garmen dalam satu pakaian atau setelan pakaian. Sebagai contoh, perbedaan antara kerah, kancing, bahu. Semuanya penting untuk membentuk sintagma atau keseluruhan penandaan, yakni kemeja.

Perbedaan paradigmatik adalah perbedaan antara hal-hal yang saling menggantikan. Misalnya, perbedaan antara model kerah pada kemeja. Ini adalah perbedaan antara jenis-jenis jas yang berbeda yang dapat dipiih untuk pakaian atau setelan pakaian. Perbedaan paradigmatik adalah perbedaan antara gaya kerah yang berbeda yang menjadi sumber untuk dipilih membuat kemeja.

Jadi, relasi sintagmatik dan paradigmatik adalah konteks tempat eksisnya sesuatu dan dari sanalah makna berasal. Di sini dapat ditegaskan bahwa relasi sintagmatik dan paradigmatik dapat menjelaskan semua konteks: satu garmen, setelan pakaian, dan fashion jadi didiami.

62


(47)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Komunikasi bukanlah suatu aktivitas tanpa pamrih atau netral. Komunikasi merupakan salah satu cara untuk memproduksi dan mereproduksi posisi timpang, dominan, dan subordinat dalam masyarakat. Posisi dominan dan subordinat, yang merupakan hasil perilaku manusia, dibuat tampak alamiah. Hal ini menunjuk pada hegemoni, yaitu situasi dimana kelompok sosial pada posisi dominan, menggunakan otoritas sosialnya sebagai hasil dari kekuasaannya, menjadi alamiah dan absah.

Fashion, sebagai bentuk komunikasi, merupakan bagian dari proses itu. Melalui fashion, pakaian, posisi dominan dan subordinat tampak terjadi alamiah, dan bukan merupakan hasil dari tindakan manusia. Hegemoni dapat dianggap sebagai bentuk peperangan yang bergerak yang secara konstan harus direbut lagi sebagai rangkaian medan perang perbedaan termasuk fashion.

“Dalam ‘The Fashion System’, Barthes memperoleh dua kelas komutatif besar: Dengan menggabungkan semua tuturan yang menyatakan semacam struktur, kita dibawa untuk menempatkan adanya (pada tingkat busana tertulis) dua kelas komutatif besar: Di satu sisi ditemukan semua segi busana dan di lain sisi semua segi karakter (bijak, menghibur, dan lain-lain) atau segi lingkungan (sore, akhir pekan, belanja, dan lain-lain); di satu sisi: bentuk, susunan, warna, dan yang lain: situasi, kesibukan, keadaan, suasana hati; atau untuk menyederhanakan lebih jauh, di satu sisi: pakaian, dan di sisi lain: dunia.”63

63


(48)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

“Barthes menempatkan sebuah garmen nyata dalam hubungan dengan lingkungan empiris di dunia. Tanda tipikalnya adalah: garmen nyata. Hal ini disebut Barthes: ‘The Real Vestimentary Code.’ Jadi, tampaklah bahwa bahasa mengkonstitusi sistem informasi kedua yang disebut Barthes ‘kode vestimentary tertulis’ atau ‘sistem terminologis’ dan menjadi bagan seperti di bawah ini:64

Sistem 2 / teminologis

Sistem 1 / vestimentary code

Keterangan :

Pn = Penanda (Signifier)

Pt = Petanda (Signified)

Bagan 2. ”The Real Vestimentary Code” Barthes

Semiologi sebenarnya merupakan suatu metode untuk membaca tanda-tanda kebudayaan sebagai suatu sistem. Dengan kata lain, Barthes sebenarnya melakukan suatu interpretasi kebudayaan. Interpretasi yang dimaksud adalah membuat sebanyak mungkin makna, bukannya menemukan suatu makna ultim dari fenomena yang diinterpretasi.

Semiologi Barthes menyarankan pluralitas makna dan interpretasi yang nyatanya tak dapat dipungkiri. mengingat ada perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia, sejarah, dan kebudayaan masing-masing. Semiologi Barthes dapat menjadi suatu bentuk dekonstruksi terhadap pemahaman-pemahaman yang selama ini sudah dianggap tuntas dan mapan.

64

Ibid, hal. 75

Pn kalimat

Pt Proposisi Pn

Pakaian yang nyata

Pt Dunia yang nyata


(49)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Barthes mengembangkan analisa struktural atau analisa tekstual yang diterapkan untuk mengkaji naskah atau teks-teks. Suatu naskah, oleh Barthes dipotong-potong dan disusun kembali dalam suatu sistem baru dalam jumlah tak terbatas. Dengan metode ini peran pembaca begitu besar dalam menentukan sistem makna baru yang terbentuk.65

Di mata Barthes, suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan bacaan tertentu. Dengan memenggal teks itu maka pengarang tak lagi menjadi perhatian. Maksud dari pengarang yang selama ini dijadikan pusat perhatian dalam upaya menginterpretasikan suatu teks sudah ditinggalkan.66

Metode dalam mendekati suatu teks atau dilihat dari bagaimana pembaca memproduksi makna (tingkat kedua). Barthes mengajak untuk menilai suatu teks dengan dua cara: writerly dan readerly. Kedua cara ini menghasilkan dua teks, writerly text dan readerly text. Writerly text adalah apa yang dapat ditulis pembaca sendiri terlepas dari apa yang ditulis pengarangnya.67

Sedangkan readerly text adalah apa yang dapat dibaca, tetapi tidak dapat ditulis, yakni teks terbaca yang merupakan nilai reaktif dari writerly

65 Ibid, hal. 115

66 Ibid, hal. 93

67


(50)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

text. Barthes sendiri memilih writerly text sebagai penilaian. Karena Barthes beralasan bahwa: karena tujuan dari karya sastra (tujuan sastra sebagai karya) adalah untuk membuat pembaca tak selamanya seorang konsumen, tapi seorang produsen teks.68

Teks kemudian menjadi terbuka terhadap segala kemungkinan. Pembaca akan berhadapan dengan pluralitas signifikasi. Pergeseran pusat dari perhatian kepada pengarang (author) kepada pembaca merupakan konsekuensi logis dari semiologi Barthes yang menekankan semiologi derajat kedua yang memberi peran besar bagi pembaca untuk memperoduksi makna. Pembaca kemudian dapat melakukan interpretasi terhadap suatu karya.69

Teks itu bukan lagi milik pengarang, tetapi sudah menjadi milik pembaca. Produksi maksa dari pembaca itu sendiri akan menghasilkan kejamakan. Pembaca kemudian aktif menghasilkan tulisan, dalam istilah Barthes sebagai writerly text, yakni teks yang kita tulis sendiri. Semiologi dengan kata lain, berupaya melakukan “pembebasan makna”, karena selama ini makna telah dijajah oleh sistem-sistem yang telah mapan yang hanya menghasilkan interpretasi tunggal yang dianggap benar dan tuntas.70

Penerapan analisis semiologi membuka peluang untuk

menyingkapkan lebih banyak arti yang mendasari teks, yang diambil secara keseluruhan, ketimbang yang akan mungkin dilakukan dengan hanya mengikuti kaidah tata bahasa atau berpedoman pada arti kamus dari

68 Ibid.

69 Ibid., hal. 91-92

70


(51)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kata-kata yang terpisah. Cara ini mengandung manfaat khusus yang dapat diterapkan pada ‘teks’ yang mencakup lebih dari satu sistem tanda dan tanda (misalnya kesan visual dan bunyi) untuk mana tidak ada ‘tata bahasa’ yang ditetapkan dan kamus juga tidak tersedia.71

Dengan semiologi Barthes, simbol-simbol dalam fashion Punk modis diuraikan secara bertahap. Mulai dari first order signification

(denotasi) lalu dijabarkan dalam second order signification (konotasi). Terakhir, mitos digunakan untuk mendeformasi kenyataan sehingga bisa diperoleh makna di balik fashion Punk modis. Melalui semiologi, bentuk-bentuk mitos dan muatan ideologis di balik fashion Punk modis bisa ditemukan melalui serangkaian proses analisis sebagai berikut:

Makna

Bagan 3. Langkah-langkah Analisis Fashion Punk Modis

71

Dennis McQuail, Op. Cit., hal. 182

fashion:

1. gaya rambut 2. gaya riasan 3. pakaian 4. sepatu 5. asesoris 6. piercings

signifikasi tahap 1 (denotasi) Semiologi

Roland signifikasi tahap 2

Barthes (konotasi)

mitos (myth) fashion

Punk modis

Simbol-simbol visual fashion


(52)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3. Subkultur

Dalam sosiologi, antropologi, dan studi kebudayaan, ”Subkultur adalah sekelompok orang dengan budaya (apakah terang-terangan atau tersembunyi) yang membedakan mereka dari budaya yang lebih luas di mana mereka berada.”72 Subkultur ini berbeda karena usia anggota, ras, gender, serta berbagai kualitas yang menentukan suatu subkultur berbeda dari sisi estetis, politis, seksual, atau kombinasi dari faktor-faktor ini.

”Budaya dalam subkultur mengacu kepada ‘seluruh cara hidup’ atau ‘peta makna’ yang menjadikan dunia ini dapat dipahami oleh anggotanya.”73 Kata ‘sub’ mengandung konotasi suatu kondisi khas dan berbeda dari masyarakat dominan atau mainstream. Subkultur dipandang rendah dan suatu kesadaran akan perbedaan.

Subkultur dilihat sebagai solusi simbolis atas persoalan struktural kelas. Sebagaimana dikemukakan Brake, “Subkultur memunculkan suatu upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami secara kolektif yang muncul dari kontradiksi berbagai struktur sosial. Ia membangun suatu bentuk identitas kolektif dimana identitas individu bisa diperoleh di luar identitas yang melekat pada kelas, pendidikan, dan pekerjaan.”74

Menurut Brake, ada lima fungsi subkultur bagi para anggotanya:75 a. menyediakan solusi ajaib atas berbagai masalah sosio-ekonomi dan

struktural;

72 http://wiki.media-culture.org.au/

73 Chris Barker, Op. Cit., hal. 337

74 Ibid, hal. 339

75


(53)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

b. menawarkan suatu bentuk identitas kolektif yang berbeda dari sekolah dan kerja;

c. memperoleh suatu ruang bagi pengalaman dan gambaran alternatif realitas sosial;

d. menyediakan berbagai aktivitas hiburan bermakna yang bertentangan dengan sekolah dan kerja;

e. melengkapi solusi bagi dilema identitas eksistensial.

Subkultur terdiri dari ekspresi perbedaan dan identifikasi dengan budaya orang tua dan budaya dominan. Pemuda memiliki kesadaran dan kehidupan generasi yang spesifik dengan seperangkat institusi dan pengalaman yang berbeda dengan budaya orang tua dan budaya dominan. Oleh karena itu, subkultur sering mendefinisikan dirinya sebagai perlawanan terhadap budaya orang tua dan nilai-nilai budaya dominan. ”Karya subkultur yang kreatif, ekspresif dan simbolis bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan.”76

Menurut Dick Hebdige, anggota subkultur sering menunjukkan keanggotaannya melalui penggunaan gaya yang berbeda dan simbolik. Hal ini merupakan suatu bentuk deviasi sebagai tindakan penyimpangan perilaku yang bertentangan dengan masyarakat, dan digunakan sebagai perjuangan melawan budaya dominan atau kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, atau negara).

76


(54)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Subkultur remaja ditandai dengan perkembangan fashion tertentu. Gaya mereka menjelaskan sumber daya yang terkandung dalam kolektivitas dan teritorialitas kelas pekerja melalui koherensi dan loyalitas geng tersebut terhadap kawan-kawannya. Subkultur pemuda berusaha menanamkan ulang nilai-nilai kelas pekerja yang hilang melalui stilisasi. Perpaduan stilistik adalah satu bentuk perlawanan simbolis.

Fashion adalah sebuah praktek penandaan, sebuah arena penciptaan makna. Fashion merupakan pembentuk identitas kelompok. Dalam subkultur remaja, fashion dijadikan alat perlawanan terhadap nilai-nilai dominan dengan cara penataan secara aktif sejumlah objek dengan aktivitas serta sikap melalui fashion. Ini merupakan bentuk bricolage, dimana objek mengalami proses penemuan makna baru dengan cara rekontekstualisasi yang dilakukan oleh subkultur tertentu. Mereka mencuri gaya dari kebudayaan atau subkultur lain untuk ditransformasikan ke dalam gaya hidup mereka. Jadi, objek yang membawa makna simbolis dimaknai ulang terkait dengan artefak lain dalam suatu konteks baru.

Tidak semua subkultur demikian agresif dalam hubungan pers, tetapi kekuatan kumulatifnya dalam masyarakat menakjubkan. Kekuatan ini bersumber pada kedambaan manusia universal untuk menjadi bagian dari kelompok. Kompleksitas masyarakat begitu jauh di luar jangkauan pengertian individu manapun, sehingga remaja hanya mungkin mengaitkan diri pada salah satu atau lebih subkulturnya agar dapat mempertahankan sedikit rasa identitas dan kontak dengan keseluruhannya.


(55)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Sekali remaja berafiliasi secara psikologis dengan suatu subkultur, mereka akan mulai merasakan tekanannya. Remaja akan mengalami bahwa memang menguntungkan untuk mengikuti kelompok. Hal itu

mendatangkan kehangatan, persahabatan, dan pengakuan, jika

menyesuaikan diri dengan model gaya hidup mereka. Tetapi kelompok dapat menghukum seseorang tanpa ampun dengan penghinaan, pemboikotan, atau taktik lain jika seseorang menyimpang dari mereka.

Dengan menawarkan model fashion, berbagai subkultur mencuri perhatian remaja. Subkultur langsung menyerang sisi psikologis remaja yang paling rawan yaitu citra diri (self-image). Subkultur tidak menawarkan produk tunggal atau gagasan tunggal, tetapi suatu cara pengorganisasian semua produk dan gagasan; bukan sepotong komoditi tetapi seluruh gaya seutuhnya, seperangkat garis pedoman yang membantu mengurangi kompleksitas pilihan. Kebanyakan remaja justru sangat mendambakan garis pedoman demikian.

”Redhead menyatakan bahwa konsep subkultur tidak lagi sesuai. ‘Akhir subkultur’ dibicarakan bukan karena budaya pemuda yang khas tidak pernah terjadi, namun karena mereka semakin terfragmentasi, dan gagasan tentang subkultur autentik akar-rumput yang bebas-media tidak bisa lagi dipertahankan.”77

77


(56)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4. Fashion

Fashion dapat diartikan sebagai kata kerja dan kata benda. Sebagai kata benda, fashion berarti sesuatu seperti bentuk dan jenis atau buatan atau bentuk tertentu. Sebagai kata kerja, fashion memiliki arti kegiatan membuat atau melakukan. Polhemus dan Procter menunjukkan bahwa, “Dalam masyarakat kontemporer Barat, istilah ‘fashion’ kerap digunakan sebagai sinonim dari istilah ‘dandanan’, ‘gaya’, dan ‘busana.’” 78

Seperti halnya kata “fashion”, kata “dandanan”, “gaya”, “busana”, dan “pakaian” juga bisa digunakan baik sebagai kata benda maupun kata kerja. Semuanya mengacu pada kegiatan yang digunakan dalam kegiatan maupun produk dari kegiatan tersebut.79 Meski semua pakaian adalah dandanan, tetapi tidak semua dandanan itu fashion. Meski semua pakaian adalah dandanan, tetapi tidak semua fashion adalah pakaian. Meski semua fashion itu dandanan, tak semua fashion itu pakaian.

Meski semua butir busana itu akan tampil dalam gaya tertentu, tak setiap gaya akan menjadi fashion, begitu gaya itu berlalu lintas menjadi ketinggalan jaman alias tidak fashion lagi. Dan, meski setiap butir busana itu akan berlalu dalam fashion tertentu, tak semua fashion bisa dimasukkan sebagai anti gaya. Bisa dinyatakan, meski semua fashion itu gaya namun tak semua fashion itu merupakan busana. Beberapa fashion terkait dengan perubahan warna dan bentuk tubuh. Di sini tak ada arti atau makna tunggal yang menyeluruh untuk setiap kata-kata yang digunakan.

78 Malcolm Barnard, Op. Cit., hal. 12-13

79


(57)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

”Busana, pakaian, kostum, dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual (artifactual communication).80 Komunikasi artifaktual didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan berbagai artefak, misal: pakaian, dandanan, perhiasan, kancing baju, dan lain-lain.”

Douglas menunjukkan, ”Manusia membutuhkan barang-barang untuk berkomunikasi dengan manusia lain dan untuk memahami apa yang terjadi di sekelilingnya.”81 Fashion dan pakaian bisa digunakan untuk memahami dunia serta benda-benda dan manusia yang ada di dalamnya, sehingga fashion dan pakaian merupakan fenomena komunikatif.

Sistem makna yang terstruktur, yaitu budaya, memungkinkan individu untuk mengonstruksi suatu identitas melalui sarana komunikasi. Dalam artian fashion, model ini memiliki beberapa hal yang bisa dipahami. Misal, rambut mohawk, peniti, celana jeans sobek-sobek, kaos lusuh, sepatu boot, atau sneakers, menunjukkan orang itu anggota Punk.

Seorang individu bukan pertama-tama seorang berkepala mohawk lalu mengenakan fashion seperti itu, melainkan fashion itulah yang membuat individu menjadi Punk. Itulah interaksi sosial dengan menggunakan fashion, yang membuat individu sebagai anggota dari suatu kelompok dan bukan sebaliknya, orang itu anggota dari suatu kelompok dulu baru kemudian berinteraksi secara sosial.

80 Ibid, hal. vii

81


(1)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kehidupan yang suram, dan apa adanya. Sedangkan warna menyala cenderung menarik perhatian, perasaan beda dari masyarakat dominan.

b. Celana

Remaja punk modis menyukai celana jeans atau kargo. Celana jeans yang dirobek-robek mempunyai makna protes terhadap kondisi masyarakat dominan. Sedangkan celana kargo model baggy atau pensil mempunyai filosofi cara melepaskan diri dari kesulitan hidup. Celana sengaja dipakai agak melorot sehingga boxer terlihat, mempunyai makna kemerosotan moral, nilai-nilai kesopanan semakin luntur.

c. Jaket

Remaja punk modis menyukai jaket jeans atau jumper. Jaket jeans yang lusuh dan kotor dengan coretan mempunyai makna agar mengingat dosa atau kelakuan buruk diri sendiri. Sedangkan jumper dengan desain cut-up mempunyai makna anarki, agresi, dan rasa frustrasi akan kehidupan.

d. Boxer

Remaja punk modis memakai celana pendek atau boxer yang sengaja diperlihatkan mempunyai makna pemberontakan akan kondisi masyarakat yang seolah baik-baik saja padahal kemerosotan moral baik individu maupun pemerintah semakin merajalela. Selain itu juga bisa diartikan sebagai sikap acuh tak acuh akan norma, nilai, dan tata tertib sosial.


(2)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Remaja punk modis menggemari sepatu kanvas atau sneakers dan sepatu boots. Sneakers melambangkan jiwa muda, tidak hanya sekedar terinspirasi musisi punk yang mengenakan sepatu tersebut. Sedangkan sepatu boots sebagai simbol maskulinitas sekaligus mempunyai makna perlawanan terhadap represi aparat.

5. Asesoris

a. Ikat pinggang

Ikat pinggang mempunyai makna terkekang atau terfragmentasi akan rutinitas kehidupan sehari-hari yang monoton dan membosankan.

b. Gelang

Remaja punk modis menyukai gelang rantai, yang mempunyai makna perbudakan, perlawanan dan pemberontakan terhadap kapitalisme dan kemapanan masyarakat. Di sisi lain, rantai juga mempunyai makna ikatan erat dengan teman satu komunitas.

c. Kalung

Kalung mempunyai makna pengekangan diri.

6. Piercings

Piercings atau tindik mempunyai makna penyiksaan diri, dan penderitaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Betapapun ganjil cara subkultur punk menyusun pernyataan

perlawanannya melalui fashion, ia mengacu kepada bahasa yang biasanya berlaku atau sudah tersedia di masyarakat. Inilah yang membuat keberhasilan subkultur punk mampu menarik anggota baru dan menyebabkan ditanggapi


(3)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dengan berang oleh orang tua, guru, pegawai, dan masyarakat, yang menciptakan kepanikan moral terhadap mereka.

B. SARAN

1. Saran bagi Komunitas Punk Modis

Melalui fashion, remaja mentransformasikan dan mengkode ulang makna objek sehari-hari. Ironisnya, kapitalismelah yang menyediakan suplai sumber daya simbolis bagi karya kreatif remaja. Penyesuaian yang dilakukan kapitalisme dikhawatirkan sebagai akhir dari punk. Akan tetapi tidak ada satu pun yang menghentikan laju punk. Sebagai subkultur yang diimpor dari Barat, punk lokal terus tumbuh dengan jumlah pengikut yang beraneka ragam dan menemukan perjalanannya sendiri.

Setiap aspek dari subkultur punk telah mengalami evolusi yang drastis ketika atribut fashion punk dibawa dari golongan minoritas ke masyarakat dominan. Meskipun makna pemberontakan dari punk melemah dengan tampilan yang cenderung manis, namun makna pemberontakan itu tetap dihayati oleh remaja-remaja yang baru mengenal punk.

Hanya saja, penelitian mengenai komunitas punk, baik modis maupun jalanan kadang terasa sulit karena subkultur tersebut cenderung tertutup terhadap orang di luar komunitas mereka. Sebaiknya komunitas punk lebih membuka diri sehingga berbagai penelitian mengenai mereka dapat lebih banyak dilakukan. Dengan adanya penelitian, maka masyarakat dapat memahami makna di balik fashion punk, baik modis


(4)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

maupun jalanan. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan suatu saat punk dapat diterima seutuhnya oleh masyarakat.

2. Saran bagi Jurusan Ilmu Komunikasi

Ilmu komunikasi merupakan studi yang cukup kompleks dalam ranah ilmu sosial. Ilmu komunikasi mengkaji tentang penyampaian pesan yang dilakukan manusia dalam kehidupan sosialnya. Fashion merupakan salah satu bentuk komunikasi non-verbal untuk menyampaikan makna pesan dan identitas seseorang baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat sosial. Berbagai analisis mengenai bentuk-bentuk komunikasi non-verbal perlu lebih dikembangkan sehingga memperkaya khasanah keilmuan bagi perkembangan ilmu komunikasi.

Keanekaragaman interpretasi dalam melihat suatu teks sangatlah terbuka, tergantung latar belakang pengalaman, pengetahuan, budaya, dan keyakinan. Demikian pula belum tentu makna yang ditangkap oleh peneliti dalam fashion komunitas punk modis akan sama dengan yang dimaksudkan oleh si pemakai. Interpretasi-interpretasi tersebut kemudian akan rentan terhadap subyektivitas orang per orang. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan adanya penelitian lain yang senada dengan tema penelitian ini untuk mereduksi subyektivitas yang mungkin terjadi.

3. Saran bagi penelitian selanjutnya

Penelitian ini masih menyisakan beberapa kekurangan dan keterbatasan oleh karena itu penulis sangat berharap akan ada penelitian


(5)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

serupa yang menggunakan pendekatan semiologi dalam usaha menyingkap makna suatu obyek secara lebih mendalam. Sebuah teks, apapun bentuknya, tidak hanya menyimpan makna secara denotatif yang tampak di permukaan tetapi juga makna konotatif yang terkandung secara implisit. Kemerdekaan dalam memberi tafsir makna harus dibudidayakan terutama di era yang memberi kebebasan berpikir, berargumentasi, dan berekspresi.

Bagaimanapun pendekatan semiologi yang diterapkan dalam sebuah penelitian tetap memiliki kelemahan. Dalam setiap penafsiran akan selalu ada perbedaan atau ketimpangan dalam pemaknaan suatu tanda. Ini tidak bisa dihindarkan karena akan selalu ada prinsip polisemi atau makna jamak dalam setiap teks. Berbagai perspektif, latar belakang pendidikan, dan pengalaman hidup seseorang memicu adanya perbedaan sudut pandang yang berpengaruh pula dalam proses pemaknaan tanda. Oleh karenanya, agar sebuah teks dapat diinterpretasikan secara obyektif dan mendalam, unsure konteks tak dapat ddipisahkan dari sebuah teks.

Penangkapan makna-makna pesan perlawanan atau pemberontakan remaja dalam fashion punk modis ini berkaitan dengan konteks sosial yang terjadi di masyarakat. Oleh karenanya, pengetahuan mengenai latar belakang, situasi dan kondisi suatu kelompok sosial atau masyarakat amat penting. Tanpa pemahaman mengenai keadaan masyarakat dominan, maka hampir tidak mungkin interpretasi terhadap fashion punk modis yang dianggap menyimpang dapat dilakukan dengan baik.


(6)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id