Pada gambar 2.12, sejumlah massa air akan mengalami evaporasi dan berdifusi ke dalam udara kering yang mengalir. Karena udara kering mengalir
perpindahan massa ini disebut konveksi. Fenomena ini persis sama dengan proses perpindahan panas konveksi dari permukaan datar yang didinginkan dengan aliran
udara luar.
[3]
2.5.1. Konsentrasi
Telah disebutkan bahwa sebagai gaya pendorong driving force terjadinya perpindahan massa adalah konsentrasi. Ada beberapa cara mendefinisikan
konsentrasi. Misalkan dalam sebuah ruang volume V hanya terdapat dua jenis zat A dan zat B. masing-masing massanya disebut
a
m dan
b
m dan jika dijumlahkan disebut m . Massa dan volume masing-masing zat ditampilkan pada gambar 2.13.
Sebagai contoh jika udara dianggap hanya terdiri dari udara kering dan uap air atau komponen lainnya diabaikan. Maka zat A dapat dimisalkan sebagai udara
dan zat B adalah uap air yang terkandung dalam udara.
[3]
Gambar 2.13 Zat A berdifusi dalam zat B sebagai medium dalam satuan volume
[3]
Pada gambar 2.13, konsentrasi dapat dinyatakan dalam dua jenis, yaitu konsentrasi dengan basis massa dan konsentrasi dengan basis mol, dijelaskan
sebagai berikut :
a. Konsentrasi Basis Massa
Jika dinyatakan dengan basis massa, konsentrasi zat A di dalam ruang tersebut dapat dituliskan sebagai berikut
[3]
:
V m
A A
=
ρ 2.16
Universitas Sumatera Utara
Dimana : ρ
= Kerapatan atau density kgm
3
m = Massa kg
V = Volume m
3
Dengan cara yang sama, konsentrasi untuk zat B juga dapat dirumuskan. Sementara konsentrasi total dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :
B A
V m
ρ ρ
ρ
+ =
=
2.17 Kesimpulan yang dapat diperoleh dari persamaan 2.17 adalah konsentrasi zat
merupakan penjumlahan konsentrasi masing-masing komponennya.
Konsentrasi massa juga dapat dinyatakan dengan fraksi massa. Pada gambar 2.13, konsentrasi zat A dalam bentuk fraksi massa dapat ditulis dengan
persamaan sebagai berikut
[3]
: ρ
ρ
A A
A
m m
w =
= 2.18
Dimana : w
= Fraksi massa m
= Massa kg ρ
= Kerapatan atau density kgm
3
b. Konsentrasi Basis Mol
Adakalanya konsentrasi tidak dinyatakan dengan basis massa, tetapi dengan jumlah mol. Pada gambar 2.13, mol zat A, mol zat B, dan mol total masig-
masing dinyatakan dengan
A
N
,
B
N
dan N . Maka konsentrasi masing-masing dalam basis mol dapat dinyatakan dengan persamaan berikut
[3]
:
N N
C
A A
=
dan
N N
C
B B
=
2.19 Dimana :
C = Konsentrasi mol molm
3
N = Jumlah mol mol
Universitas Sumatera Utara
Konsentrasi juga dapat dinyatakan dengan fraksi mol dan dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut
[3]
:
C C
N N
y
A A
A
= =
2.20 Dimana :
y = Fraksi mol
N = Jumlah mol mol
C = Konsentrasi mol molm
3
Kedua besaran yang disebutkan ini, konsentrasi basis massa dan konsentrasi basis mol, dapat dihubungkan dengan menggunakan parameter berat
molekul, yang disimbolkan dengan MR. Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut
[3]
:
MR m
N =
2.21 Dimana :
N = Jumlah mol mol
m = Massa kg
MR = Berat molekul kgmol
2.6. Tinjauan Perpindahan Massa
Perpindahan massa terjadi karena adanya perbedaan konsenrasi pada suatu medium. Proses perpindahan massa dan biasa disebut difusi massa mass
diffusion sangat mirip dengan proses perpindahan panas, jika pada perpindahan panas dapat dijelaskan dengan hukum Fourier dimana perbedaan temperatur
sebagai gaya pendorong driving force, maka perpindahan massa dijelaskan dengan hukum Fick dengan perbedaan konsentrasi sebagai gaya pendorong.
[3]
2.6.1. Perpindahan Massa Konduksi
Pada permukaan plat yang masing-masing mempunyai temperatur constant yang berbeda, permukaan A dan permukaan B, seperti yang ditampilkan pada
gambar 2.6, perpindahan panas akan terjadi dari permukaan yang bertemperatur
Universitas Sumatera Utara
lebih rendah. Hal yang sama akan terjadi pada plat yang mempunyai konsentrasi yang berbeda pada masing-masing permukaannya. Perpindahan massa akan
terjadi dari permukaan yang mempunyai konsentrasi tinggi ke permukaan yang mempunyai konsentrasi lebih rendah.
[3]
Gambar 2.14 Perpindahan massa secara konduksi
[3]
Pada gambar 2.14, maka perpindahan massa dapat dihitung dengan menggunakan hukum difusi Fick atau biasa disebut Fick’s Law of Diffusion,
dalam basis mol dirumuskan dengan :
L C
C DA
dx dC
DA N
B A
− =
− =
2.22 Dimana :
N = Laju perpindahan massa moldet
D = Koeffisien difusi massa suatu zat pada mediumnya m
2
det A
= Luas penampang perpindahan massa m
2
A
C
= Konsentrasi pada titik A molm
3
B
C
= Konsentrasi pada titik B molm
3
L = Ketebalan dinding benda m
Bentuk persamaan laju perpindahan panas pada persamaan 2.2 dan laju perpindahan massa pada persamaan 2.22 adalah sama persis. Maka dapat
disebutkan persamaan menghitung laju perpindahan massa sama bentuknya dengan persamaan menghitung laju perpindahan panas.
[3]
Karena konsentrasi dapat dinyatakan dengan beberapa bentuk, maka persamaan menghitung laju aliran massa dapat dinyatakan dalam beberapa
bentuk. Variasi bentuk persamaan 2.22 jika dinyatakan dalam basis massa persamaannya menjadi
[3]
:
Universitas Sumatera Utara
L DA
dx d
DA m
B A
evap
ρ ρ
ρ
− =
− =
2.23 Dalam bentuk fraksi massa dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
dx dw
DA m
evap
ρ
− =
2.24 Dan dalam bentuk fraksi mol dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :
dx dy
CDA N
− =
2.25 Dimana :
evap
m
= Laju penguapan kgdet D
= Koeffisien difusi massa suatu zat pada mediumnya m
2
det A
= Luas penampang perpindahan panas m
2
ρ
= Massa jenis kgm
3
w = Fraksi massa
y = Fraksi mol
N = Laju perpindahan massa kmoldet
2. Koefisien Difusi Massa
Salah satu pasangan zat yang paling banyak aplikasinya adalah uap air dan udara. Secara khusus persamaan koefisien difusi massa pasangan ini telah
dirumuskan oleh Marrero dan Mason 1972. Persamaan ini hanya berlaku untuk interval suhu 280K T 450K dan dapat dituliskan sebagai berikut
[3]
: P
T x
D
udara air
072 ,
2 10
10 87
, 1
− −
= 2.26
Dimana :
udara air
D
−
= Koeffisien difusi massa air pada udara dan sebaliknya m
2
s T
= Temperatur K P
= Tekanan atm
3. Konsentrasi di Bidang Batas
Meskipun bentuk persamaan dan teknik-teknik penyelesaian kasus perpindahan massa sama dengan perpindahan panas, tetapi jika dibandingkan,
Universitas Sumatera Utara
analisis kasus perpindahan massa lebih rumit daripada kasus pepindahan panas. Hal ini dikarenakan teknik menentukan nilai konsentrasi di bidang batas berbeda.
Pada kasus-kasus perpindahan panas yang melibatkan dua medium, temperatur pada bidang batas bersifat kontinu. Artinya tepat di bidang batas temperatur pada
kedua medium bernilai sama. Misalnya ada dua medium seperti yang ditampilkan pada gambar 2.15, medium 1 adalah udara, dan medium 2 adalah air. Pada
pertemuan bidang, misalkan temperaturnya adalah temperatur batas disimbolkan dengan T. Maka T
1
adalah temperatur batas di sisi medium 1 dan T
2
adalah temperatur batas di sisi medium 2. Maka, pada bidang batas ini T
1
pasti sama dengan T
2
, atau T
1
= T
2
. Dengan fakta ini, menentukan nilai temperatur bidang batas tidak ada masalah karena temperatur bersifat kontinu.
[3]
Pada kasus perpindahan massa hal ini tidak berlaku dan perlu penanganan khusus untuk menentukannya. Sebagai ilustrasi, pada gambar 2.15 ditampilkan
konsentrasi di bidang batas C
1
dan C
2
, artinya masing-masing adalah konsentrasi uap air di bidang batas sisi udara dan konsentrasi air di bidang batas sisi air. Pada
kasus ini, nilai C
1
dan C
2
tidak sama C
1
≠ C
2
. Grafik yang menyatakan hubungan antara konsentrasi dan posisi vertikal pada pertemuan medium
ditampilkan pada gambar 2.15, dapat dilihat adanya lompatan konsentrasi di permukaan dari C
1
menjadi C
2
. Jika hanya zat 2 yang ada air, atau kandungan zat lain yang terlarut di dalam air diabaikan, maka konsentrasi dipermukaan C
1
harus menggunakan kesetimbangan termodinamika.
[3]
Gambar 2.15 Temperatur dan konsentrasi pada bidang batas dua medium
[3]
4. Kasus Perpindahan Massa Uap Cairan Berdifusi ke Gas.
Salah satu kasus difusi yang banyak aplikasinya adalah, suatu zat berubah fasa dari fasa cair dan berdifusi ke dalam gas. Misalkan cairan zat 2 menguap dan
Universitas Sumatera Utara
berdifusi ke medium 1, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.16. Variasinya, bisa saja zat 2 cairan murni atau campuran dengan cairan lainnya. Kasus yang
sedang dibahas disini adalah uap zat 2 berdifusi pada medium 1. Maka agar bisa melakukan perhitungan nilai batas konsentrasi uap zat 2 di permukaan medium 1
yang berbatasan dengan zat 2 harus ditentukan. Kasus ini dapat digunakan memodelkan proses penguapan dari permukaan air dan uap yang terbentuk
berdifusi ke udara.
[3]
Gambar 2.16 Uap cairan berdifusi ke dalam gas
[3]
Perhitungan konsentrasi di bidang batas disini akan dimulai dengan tekanan parsial. Misalkan tekanan parsial uap zat 2 dipermukaan medium 1 yang
berbatasan dengan zat 2 adalah P
2
. Tekanan ini dapat dihitung dengan menggunakan hukum Raoult, yaitu :
sat
P x
P
, 2
2 2
=
2.27 Dimana :
sat
P
, 2
= Tekanan uap saturasi medium 2 Pa
2
x
= Fraksi mol zat 2 di larutan dimana zat 2 berada. = 1 apabila zat 2 adalah zat murni.
2
P
= Tekanan parsial uap zat 2 Pa
Dengan mengetahui tekanan parsial uap zat 2 P
2
, maka fraksi massa atau fraksi mol zat 2 dipermukaan medium 1 yang berbatasan dengan zat 2 dapat
dihitung dengan persamaan berikut
[3]
: P
P y
w
s s
2 1
, 1
,
= =
2.28
Universitas Sumatera Utara
Dimana :
1 ,
s
w
= Fraksi massa dipermukaan pada medium 1
1 ,
s
y
= Fraksi mol dipermukaan pada medium 1 P
= Tekanan total permukaan
2.6.2. Perpindahan Massa Konveksi
Persamaan perpindahan massa akibat adanya aliran mediumnya dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum kekekalan massa. Untuk kasus 2
dimensi tidak ada sumber massa dapat dituliskan dengan persamaan berikut
[3]
:
∂
∂ ∂
∂ +
∂ ∂
∂ ∂
= ∂
∂ +
∂ ∂
+ ∂
∂ y
C D
y x
C D
x y
C v
x C
u t
C 2.29
Dimana u dan v , masing-masing adalah kecepatan fluidamedium tempat
berdifusi searah sumbu-x dan sumbu-y.
[3]
Persamaan 2.29 ini dan persamaan momentum harus diselesaikan secara simultan untuk mendapatkan parameter yang diinginkan. Jika dilakukan
perbandingan dengan persamaan energi, persamaan ini mempunyai bentuk yang sama. Maka metode penyelesaian yang sama dapat dilakukan dan bentuk hasilnya
akan sama. Perbedaannya hanya pada parameter tanpa dimensi yang digunakan. Misalnya pada persamaan energi dikenal bilangan Prandtl.
α
v =
Pr
2.30 Dimana
ρ µ
= v
[m
2
det] adalah viskositas kinematik dan
c k
.
ρ α
=
adalah difusivitas thermal. Sementara pada perpindahan massa bilangan ini diganti
dengan bilangan Schmidt.
D v
Sc =
2.31 Dimana D
[m
2
det] adalah difusivitas massa. Bilangan tanpa dimensi yang digunakan untuk menghubungkan persamaan energi dan persamaan difusivitas
adalah bilangan Lewis.
D Sc
Le
α
= =
Pr
2.32
Universitas Sumatera Utara
Kemudian jika pada perpindahan panas konveksi bilangan Nusselt untuk merumuskan koefisien perpindahan panas, maka pada perpindahan massa
menggunakan bilangan Sherwood. Rumus bilangan Nusselt adalah : k
L h
Nu =
2.33 Dimana h [Wm
2
.K] adalah koefisien perpindahan panas konveksi, k [Wm.K] adalah koefisien konduksi dan L
[m] adalah panjang karakteristik. Maka rumus bilangan Sherwood akan mempunyai bentuk yang sama , yaitu :
D L
h Sh
m
=
2.34 Dimana
m
h [ms] adalah koefisien perpindahan massa konveksi, L [m] adalah
panjang karakteristik dan D [m
2
det] adalah difusivitas massa.
Bilangan tanpa dimensi berikutnya yang dapat digunakan adalah bilangan Stanton, untuk kasus perpindahan panas didefinisikan sebagai berikut :
Pr .
Re .
Nu Uc
h St
= =
ρ 2.35
Dengan menggunakan analogi yang sama, untuk kasus perpindahan massa bilangan Stanton adalah :
Sc Sh
U h
St
m m
. Re
= =
2.36
1. Rumus-rumus konveksi perpindahan massa dan perpindahan panas
Persamaan menghitung laju perpindahan panas konveksi dari suatu permukaan seluas A dengan temperatur T
s
ke lingkungan yang mempunyai temperatur
∞
T
dapat dirumuskan dengan persamaan
[3]
:
∞
− =
T T
hA Q
s
2.37
Dengan analogi yang sama, perpindahan massa dapat dirumuskan dengan persamaan :
∞
− =
ρ ρ
s m
evap
A h
m
2.38 Dimana :
evap
m
= Laju penguapan kgdet
Universitas Sumatera Utara
m
h = Koefiesien perpindahan massa konveksi mdet
A = Luas penampang perpindahan panas m
2 s
ρ
= Massa jenis pada permukaan benda kgm
3 ∞
ρ
= Massa jenis fluida yang mengalir kgm
3
Seperti yang telah dirumuskan pada persamaan-persamaan menghitung bilangan Nu dapat diambil kesimpulan bahwa :
Nu = f Re, Pr 2.39
Maka persamaan bilangan Sherwood adalah : Sh = f Re,Sc
2.40
Untuk beberapa kasus, analogi ini dapat dituliskan sebagai berikut : Konveksi paksa melalui plat datar sepanjang L
a Aliran laminar
5
10 5
Re x
3 1
5 ,
Pr Re
664 ,
L
Nu =
Pr 0,6 2.41
3 1
5 ,
Re 664
, Sc
Sc
L
=
Sc 0,5 2.42
b Aliran turbulen
7 5
10 Re
10 5
≤ x
3 1
7 ,
Pr Re
037 ,
L
Nu =
Pr 0,6 2.43
3 1
8 ,
Re 037
, Sc
Sc
L
=
Sc 0,5 2.44
2. Perpindahan Massa Konveksi natural
Seperti sudah disebutkan, jika konveksi paksa didorong oleh bilangan Reynolds maka konveksi natural oleh bilangan Grashof. Pada kasus perpindahan
massa dengan cara konveksi natural, bilangan Grashof dirumuskan sebagai berikut
[3]
:
2 3
v L
g Gr
c s
ρ ρ
− =
∞
2.45 Beberapa hubungan bilangan Nu dan bilangan Sh pada perpindahan massa
konveksi natural adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a Plat vertikal Untuk
9 5
10 Pr
10 ≤ Gr
berlaku
25 ,
Pr 59
, Gr
Nu =
, maka dengan syarat yang sama berlaku :
25 ,
59 ,
GrSc Sh
=
2.46 Untuk
13 9
10 Pr
10 ≤ Gr
berlaku,
3 1
Pr 1
, 0 Gr
Nu =
,
maka dengan syarat yang sama berlaku :
3 1
1 ,
0 GrSc Sh
=
2.47 b Permukassn panas pada bagian atas pada bidang horizontal
Untuk
7 4
10 Pr
10 ≤ Gr
berlaku
25 ,
Pr 54
, Gr
Nu =
, maka dengan syarat yang sama berlaku :
25 ,
54 ,
GrSc Sh
=
2.48 Untuk
11 7
10 Pr
10 ≤ Gr
berlaku,
3 1
Pr 15
, Gr
Nu =
,
maka dengan syarat yang sama berlaku :
3 1
15 ,
GrSc Sh
=
2.49
3. Analogi Reynold
1 Pr
≈ ≈ Sc
Sebagai catatan, pada kasus perpindahan panas konveksi, penyelesaian persamaan pembentuk aliran dan persamaan energi menghasilkan dua parameter
yang saling terpisah.
[3]
Parameter pertama adalah faktor gesekan f yang befungsi menghitung gaya gesekdrag pada permukaan yang mengalami konveksi. Parameter yang
kedua adalah koefisien perpindahan panas konveksi h untuk menghitung laju perpindahan panas. Selalu ada usaha untuk mnggabungkan kedua parameter ini,
tujuannya adalah jika f sudah didapat maka dapat dikonversikan menjadi h. Pada bagian ini, parameter berikutnya yang akan digabungkan adalah h
m
.
[3]
Usaha menggabungkan ketiga parameter ini untuk fluida khusus 1
Pr ≈
≈ Sc disebut analogi Reynolds. Fluida khusus ini berlaku untuk fluida
seperti udara dimana bilangan Pr = 0,7 atau bisa dianggap dekat dengan 1. Dengan syarat khusus ini, maka akan berlaku :
D v
= =
α dan Pr = Sc = Le = 1
2.50
Universitas Sumatera Utara
Arti fisik dari persamaan 2.50 adalah lapisan batas hidrodinamik, lapisan batas termal, dan lapisan batas massa akan berimpit. Persamaan yang berlaku adalah :
Sh Nu
f =
= Re
2
atau
D L
h k
hL v
UL f
m
= =
2
2.51 Atau dapat juga dituliskan dengan persamaan berikut :
Sc Sh
Nu f
Re Pr
Re 2
= =
atau
m
St St
f =
= 2
2.52
4. Analogi Chilton Colburn
1 Pr
≠ ≠ Sc
Bagi fluida yang mempunyai sifat 1
Pr ≠
≠ Sc , Chilton dan Colburm
1943 mengajukan persamaan berikut
[3]
:
3 2
3 2
Pr 2
Sc St
St f
m
= =
2.53 Dengan menggunakan analogi ini, maka koefisien perpindahan massa dan
perpindahan panas dapat dihubungkan menjadi persamaan berikut :
3 2
Pr
=
Sc St
St
m
2.54 Atau jika dikembangkan lagi, maka persamaan 2.52 menjadi sebagai berikut :
3 2
3 2
3 2
. .
. .
Pr .
Le cp
D cp
Sc c
h h
m
ρ α
ρ ρ
=
=
= 2.55
Dimana :
ρ
= Massa jenis fluida kerjanya kgm
3
cp
= Kapasitas panas Jkg.K Le
= Bilangan Lewis Persamaan 2.55 sering digunakan untuk menghitung perpindahan massa dengan
mengambil parameter dari perpindahan panas.
Laju penguapan dapat dihitung dengan menggunakan konveksi massa dari permukaan ke udara yang dirumuskan sebagai berikut
[3]
:
∞
− =
, ,
v s
v m
evap
A h
m
ρ ρ
2.56 Dimana :
evap
m = Laju penguapan kgdet
Universitas Sumatera Utara
A
= Luas permukaan terjadi penguapan m
2
s v,
ρ = Massa jenis permukaan benda kgm
3
∞ ,
v
ρ = Massa jenis fluida yang mengalir kgm
3
Sedangkan setiap proses penguapan air pasti menyerap sejumlah panas, dapat dihitung dengan persamaan sebgai berikut
[3]
:
fg evap
l
h m
Q .
=
2.57 Dimana :
Q = Panas laten W
fg
h
= Panas laten penguapan air Jkg
2.7. Psikometrik
Psikometrik merupakan sub-bidang yang khusus mempelajari tentang sifat-sifat thermofisik campuran udara dan uap air. Dikarenakan pada penelitian
ini menggunakan udara sebagai medium perpindahan panas, maka sifat-sifat termodinamik pada udara harus diperhitungkan.
[1]
2.7.1. Rasio Humiditas Humidity Ratio
Karena udara adalah gabungan udara kering dan uap air yang terkandung pada udara, maka humidity ratio adalah perbandingan massa uap air m
w
dan massa udara m
a
, yang dirumuskan sebgai berikut
[1]
:
a w
m m
w =
2.58 Dimana :
w = Humidity Ratio kg uap airkg udara
w
m = Jumlah massa uap air kg uap air
a
m = Jumlah massa udara kg udara
Dengan menggunakan persamaan gas ideal dan hukum Dalton, yang merumuskan hubungan antara kandungan gas dengan tekanan parsial gas, maka
rasio humiditas dapat juga dinyatakan dengan persamaan berikut
[1]
:
Universitas Sumatera Utara
w atm
w
p p
p w
− = 62198
,
2.59 Dimana :
w = Humidity Ratio kg uap airkg udara
w
p = Tekanan parsial uap air Pa
atm
p = Tekanan atmosfer Pa
2.7.2. Humiditas Relatif Relative Humidity, RH
RH adalah perbandingan fraksi mol uap air pada udara dengan fraksi mol uap air saat jika udara tersebut mengalami saturasi. Berdasarkan defenisi ini,
persamaan untuk menghitung RH adalah
[1]
:
sat uap
uap
mol mol
RH
,
= 2.60
Dengan menguraikan defenisi fraksi mol dan persamaan gas ideal, RH dapat juga didefinisikan sebagai berikut
[1]
:
ws w
p p
RH =
2.61 Dimana :
RH = Relative Humidity
w
p = Tekanan parsial uap air Pa
ws
p = Tekanan uap saat terjadi saturasi Pa
Pada penelitian ini, tekanan uap saturasi merupakan fungsi temperatur dan dapat dihitung dengan persamaan yang diusulkan oleh Hyland dan Wexler, dapat
dituliskan sebagai berikut
[1]
: ln
ln
6 3
5 2
4 3
2 1
T C
T C
T C
T C
C T
C p
ws
+ +
+ +
+ =
2.62 Dimana :
ws
p = Tekanan uap saat terjadi saturasi Pa
T = Temperatur udara K
Universitas Sumatera Utara
Konstanta pada persamaan 2.62 dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Konstanta untuk persamaan Hyland dan Wexler
[1]
1
C
-5,800220 x 10
3
2
C
-1,3914993
3
C -4,8640239 x 10
-2
4
C
4,1764768 x 10
-5 5
C -1,4452093 x 10
-8 6
C 6,5459673
2.7.3. Humiditas Spesifik
Humiditas spesifik merupakan jumlah kandungan uap air yang terdapat pada udara dalam campuran. Dapat dirumuskan sebagai berikut
[1]
:
w w
w
O h
+ =
1
2
2.63
2.8. Computational Fluid Dynamics CFD
Computational Fluid Dynamics CFD adalah suatu cabang dari mekanika fluida yang menggunakan metode numerik untuk menyelesaikan dan menganalisa
elemen-elemen yang akan disimulasikan. Pada proses ini, komputer diminta untuk menyelesaikan perhitungan-perhitungan numerik dengan cepat dan akurat. Prinsip
kerja pada CFD adalah model yang akan kita simulasikan berisi fluida akan dibagi menjadi beberapa bagian atau elemen. Elemen-elemen yang terbagi tersebut
merupakan sebuah kontrol perhitungan yang akan dilakukan oleh software selanjutnya elemen diberi batasan domain dan boundry condition. Prinsip ini lah
yang banyak digunakan pada proses perhitungan dengan menggunakan bantuan komputasi.
[3]
2.8.1. Penggunaan CFD
CFD dalam aplikasinya dipergunakan diberbagai bidang antara lain : 1.
Pada bidang teknik
Universitas Sumatera Utara
a. Mendesain ruang atau lingkungan yang aman dan nyaman. b. Mendesain aerodinamis kendaraan agar menghemat konsumsi bahan bakar
c. Mendesain performa pembakaran pada piston kendaraan 2. Pada bidang olahraga
a. Menghitung kekuatan dan kecepatan pada tiap cara tendangan pada sepakbola
b. Menganalisa aerodinamis pada sepatu bola 3. Pada bidang kedokteran
a. Menganalisa peredaran udara pada pasien yang mengalami penyakit sinusitis
2.8.2. Manfaat CFD
Terdapat tiga hal yang menjadi alasan kuat menggunakan CFD, yakni : 1. Insight-Pemahaman mendalam
Ketika melakukan desain pada sebuah sistem atau alat yang sulit untuk dibuat prototype-nya atau sulit untuk dilakukan pengujian, analisis CFD
memungkinkan untuk menyelinap masuk secara virtual ke dalam alatsistem yang akan dirancang tersebut.
2. Foresight-Prediksi menyeluruh CFD adalah alat untuk memperidiksi apa yang akan terjadi pada alatsistem,
dan CFD dapat mengubah-ubah kondisi batas variasi kondisi batas. 3. Efficiency-Efisiensi waktu dan biaya
Foresight yang diperoleh dari CFD sangat membantu untuk mendesain lebih cepat dan hemat uang. Analisissimulasi CFD akan memperpendek waktu riset
dan desain sehingga juga akan mempercepat produk untuk sampai pasaran.
2.8.3. Metode Diskritisasi CFD
Secara matematis CFD mengganti persamaan-persamaan diferensial parsial dari kontinuitas, momentum dan energi dengan persamaan-persamaan
aljabar linear. CFD merupakan pendekatan dari persoalan yang asalnya kontinum memiliki jumlah sel tak terhingga menjadi model yang diskrit jumlah sel
terhingga.
[3]
Universitas Sumatera Utara
Perhitungankomputasi aljabar untuk memecahkan persamaan-persamaan diferensial parsial ini ada beberapa metode metode diskritisasi, diantaranya
adalah sebagai berikut :
1.
Finite Volume Method FVM Metode ini adalah pendekatan yang umum digunakan dalam CFD,
persamaan yang mengatur diselesaikan melalui volume kontrol diskrit. Metode volume terbatas menyusun kembali persamaan diferensial parsial yang mengatur
biasanya persamaan Navier-Stokes dalam bentuk konservatif, dan kemudian discretize persamaan baru.
[3]
2.
Finite Element Method FEM Digunakan dalam analisis struktural dari padatan, tetapi juga berlaku untuk
cairan. Namun, formulasi FEM membutuhkan perawatan khusus untuk memastikan solusi konservatif. Perumusan FEM telah diadaptasi untuk digunakan
dengan dinamika fluida yang mengatur persamaan. Meskipun FEM harus hati-hati dirumuskan untuk menjadi konservatif, jauh lebih stabil dibandingkan dengan
pendekatan volume terbatas.
[3]
3.
Finite Difference Method FDM Memiliki sejarah penting dan sederhana untuk program. Hal ini hanya
digunakan dalam beberapa kode khusus. Modern Kode beda hingga menggunakan sebuah batas tertanam untuk menangani geometri yang kompleks, membuat kode-
kode yang sangat efisien dan akurat. Cara lain untuk menangani geometri termasuk penggunaan tumpang tindih grid, dimana solusinya adalah interpolated
di jaringan masing-masing.
[3]
Metode diskritisasi yang dipilih umumnya menentukan kestabilan dari program numerikCFD yang dibuat atau program software yang ada. Oleh
karenanya, diperlukan kehati-hatian dalam cara mendiskritkan model khususnya cara mengatasi bagian yang kosong atau diskontinu.
[3]
2.9. Persamaan Umum untuk Aliran Fluida
Persamaan pembentuk aliran fluida dikenal dengan istilah governing equations. Untuk dapat membangun persamaan aliran fluida ini, maka fluida
Universitas Sumatera Utara
harus dibagi atas sejumlah elemen elemen kecil yang pergerakkannya harus memenuhi hukum hukum fisika.
[3]
Hukum hukum fisika yang menjelaskan aliran fluida dan distribusi temperatur ada 3 yaitu:
1. Hukum kekekalan massa 2. Hukum kekekalan momentum
3. Hukum kekekalan energi
1. Hukum kekekalan massa The conservation of mass Pada prinsipnya fluida dan aliran fluida dapat dianggap tersusun atas
elemen elemen kecil. Misalkan dari fluida,satu elemen yang ukurannya x δ dan
y
δ
pada kasus 2 dimensi z δ = 1 diambil untuk dianalisis dan ditampilkan pada
gambar 2.17. Jika massa jenis fluida adalah ρ kgm
3
dan kecepatan fluida sejajar sumbu-x adalah u, maka massa fluida yang masuk pada permukaan elemen
disebelah kiri dapat dituliskan : y
u δ
ρ . Sementara yang keluar dar permukaan
kanan menjadi : y
x x
u u
δ δ
ρ ρ
∂ ∂
+ . Hal yang sama juga dapat dibuat untuk
permukaan sebelah bawah dan atas elemen. Selengkapnya ditunjukkan pada gambar 2.17.
Gambar 2.17 Kekekalan massa pada elemen dua dimensi
[3]
Hukum kelestarian massa dapat didefenisikan sebagai berikut :
Hukum ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Laju pertambahan massa
di permukaan elemen Massa yang masuk di
permukaan elemen Massa yang keluar di
permukaan elemen =
-
Universitas Sumatera Utara
∑ ∑
− =
∂ ∂
out in
m m
t M
2.64 Jika masing masing dijabarkan menurut simbol yang ditampilkan pada gambar,
maka akan diperoleh persamaan sebagai berikut :
x y
y v
v y
x x
u u
x v
y u
y x
t
δ δ
ρ ρ
δ δ
ρ ρ
δ ρ
δ ρ
δ ρδ
∂ ∂
+ −
∂ ∂
+ −
+ =
∂ ∂
2.65 Penyederhanaan persamaan ini akan menjadi :
= ∂
∂ +
∂ ∂
+ ∂
∂ y
v x
u t
ρ ρ
ρ 2.66
Persamaan 2.66 masih dapat disederhanakan lagi dengan menggunakan asumsi. Asumsi pertama adalah kondisi aliran yang dibahas apakah steadi atau
transien. Jika aliran masih berubah terhadap perubahan waktu akan disebut sebagai aliran transien sementara jika sudah tidak berubah lagi akan disebut
sebagai aliran steadi. Dengan kata lain parameter tidak berubah lagi terhadap waktu. Asumsi berikutnya yang biasa digunakan adalah fluida inkompressibel
yaitu massa jenisnya tidak berubah didalam fluida =
∂ ∂
t
ρ
. Untuk kasus steadi dan inkompressible, persamaan ini akan menjadi :
= ∂
∂ +
∂ ∂
y v
x u
2.67 Persamaan yang dihasilkan dari hukum kekekalan massa ini sering juga
disebut dengan persamaan kontinuitas. Persamaan ini sangat jarang digunakan secara terpisah, tetapi harus bersama-sama dengan persamaan momentum dan
persamaan energi.
[3]
2. Hukum Kekekalan Momentum Hukum ini sering juga disebut dengan hukum kedua Newton dan untuk
kasus 2 dimensi harus dijabarkan pada masing masing sumbu-x dan sumbu–y. Hukum kedua Newton pada arah sumbu-x dapat dituliskan dengan persamaan
berikut :
∑
=
x x
a m
F .
2.68 Dimana :
Universitas Sumatera Utara
x
F = Resultan gaya-gaya N
x
a = Percepatan yang sejajar sumbu x m
2
det
Untuk kasus dua dimensi, gaya-gaya yang terdapat pada elemen fluida antara lain akibat tegangan normal, tegangan geser, tekanan dan gaya badan body
force ditampilkan pada gambar 2.18.
Gambar 2.18 Komponen gaya sejajar sumbu-x pada elemen 2 dimensi
[3]
Dengan mensubstitusi semua gaya pada gambar dan menggunakan defenisi percepatan
Dt Du
a
x
= , persamaan 2.68 dapat dijabarkan sebagai berikut :
− ∂
∂ +
+
−
∂ ∂
+ +
∂ ∂
+ −
yx yx
yx x
x
y y
y x
x x
y x
x p
p p
τ δ
τ τ
δ σ
δ σ
σ δ
δ
Dt Du
m y
x f
x
= +
δ ρδ
2.69
Persamaan ini dapat disederhanakan lagi dan massa dapat diganti dengan persamaan
y x
m δ
ρδ =
, dan hasilnya adalah :
x yx
x
f y
x x
p Dt
Du ρ
τ σ
ρ +
∂ ∂
+ ∂
∂ +
∂ ∂
− =
2.70 Untuk fluida Newtonian, persamaan 2.70 dapat disederhanakan menjadi sebagai
berikut :
∂
∂ +
∂ ∂
+ ∂
∂ −
= ∂
∂ +
∂ ∂
+ ∂
∂
2 2
2 2
y u
x u
x p
y uv
x uu
t u
µ ρ
ρ ρ
2.71
Universitas Sumatera Utara
Jika fluida yang dianalisis dalam kondisi steadi dan sifat fisik konstan, persamaan momentum ini dapat ditulis lebih sederhana lagi yaitu sebagai berikut :
∂ ∂
+ ∂
∂ +
∂ ∂
− =
∂ ∂
+ ∂
∂
2 2
2 2
1 y
u x
u x
p y
v v
x u
u ρ
µ ρ
2.72 Dan dengan cara yang sama untuk sumbu y, dapat diturunkan dan hasilnya adalah:
∂ ∂
+ ∂
∂ +
∂ ∂
− =
∂ ∂
+ ∂
∂
2 2
2 2
1 y
v x
v y
p y
v v
x u
u ρ
µ ρ
2.73 Dimana :
p = Tekanan Pa
µ
= Viskositas N.detm
2
3. Hukum kekekalan energi Defenisi hukum kelestarian energi dituliskan sebagai berikut:
Bentuk matematis dari hukum kelestarian energi dituliskan sebagai berikut : W
Q E
+
= 2.74
Dimana :
E
= Laju perubahan energi W Q = Selisih laju perpindahan panas W
W = Kerja W Komponen-komponen kerja dan panas pada satu elemen fluida ditampilkan pada
gambar 2.19.
Gambar 2.19 Komponen kerja dan panas pada sebuah elemen
[3]
Laju perubahan energi dalam suatu elemen fluida
Laju selisih panas masuk dan keluar
Kerja yang dilakukan pada elemen
= +
Universitas Sumatera Utara
Pada gambar 2.19, hanya gaya-gaya sejajar sumbu x yang digambarkan. Gaya-gaya tersebut adalah : tekanan
p , tegangan normal
σ
, tegangan geser
τ
dan gaya badanbody force
x
f . Dengan cara yang sama, gaya-gaya yang
sejajar sumbu y dapat digambarkan. Tetapi untuk menyederhanakan penampilan, gaya-gaya ini tidak digambarkan. Sementara, semua aliran perpindahan panas
yang sejajar sumbu x dan sumbu y digambarkan secara lengkap pada gambar tersebut.
[3]
Dengan menggunakan defenisi bahwa laju kerja adalah gaya dikalikan dengan kecepatan,
∑
= u
F W
x s
, maka akan didapatkan persamaan berikut :
y u
x x
u u
y x
x up
up up
W
xx xx
xx x
δ σ
δ σ
σ δ
δ
−
∂ ∂
+ +
∂ ∂
+ −
=
y x
f u
x u
y y
u u
x yx
yx yx
δ δ
ρ δ
τ δ
τ τ
+
−
∂ ∂
+ +
2.75
Volume dari elemen tersebut dapat dirumuskan dengan y
x V
δ δ
δ
= . Jika
dioperasikan dan disederhanakan, akan didapatkan persamaan berikut : V
f u
y u
x u
x up
W
x yx
xx x
δ ρ
τ σ
+ ∂
∂ +
∂ ∂
+ ∂
∂ −
=
2.76 Dengan cara yang sama, laju kerja oleh gaya-gaya yang sejajar dengan sumbu y
dapat dirumuskan dengan persamaan berikut : V
f v
y v
x v
y vp
W
y yy
xy y
δ ρ
σ τ
+ ∂
∂ +
∂ ∂
+ ∂
∂ −
=
2.77
Langkah selanjutnya adalah mendefenisikan aliran panas pada masing- masing permukaan elemen. Ada dua sumber panas yang mungkin pada elemen
fluida, yaitu : pertama, panas yang dibangkitkan di dalam elemen, misalnya jika ada pemanas listrik atau reaksi kimia di dalam elemen dan kedua, perpindahan
panas akibat konduksi dari masing-masing permukaan. Jika dijabarkan, maka akan didapatkan persamaan berikut :
Universitas Sumatera Utara
y x
y q
x q
q Q
y x
δ δ
ρ
∂ ∂
+ ∂
∂ −
=
2.78
Perpindahan panas konduksi di permukaan dapat dijabarkan dengan menggunakan persamaan Fourier. Untuk masing-masing sumbu adalah :
x T
k q
x
∂ ∂
− =
dan
y T
k q
y
∂ ∂
− =
. Dengan menggunakan defenisi ini, persamaan 2.78 menjadi :
V y
T k
y x
T k
x q
Q δ
ρ
∂
∂ ∂
∂ +
∂ ∂
∂ ∂
+ =
2.79
Komponen terakhir dari persamaan 2.72 yang harus dijabarkan adalah perubahan energi didalam elemen atau E . Energi disini adalah penjumlahan
energi dalam dan energi kinetik. Menurut Termodinamika, energi dalam elemen adalah penjumlahan energi kinetik translasi ditambah rotasi dan energi listrik dari
molekul molekulnya. Pada tulisan ini, semua komponen energi dalam diwakili oleh i dan energi akibat kecepatan diwakili oleh V
2
2 dimana V
2
= u
2
+ v
2
. Maka energi dalam dapat dirumuskan sebagai berikut :
y x
V i
Dt D
E δ
δ ρ
+ =
2
2
2.80
Dengan menggabungkan semua komponen energi ini dan defenisi energi dalam fluida dapat dinyatakan dengan i = cT, maka persamaan energi atau
persamaan 2.74 dapat disederhanakan menjadi : Φ
+ ∇
− +
∂ ∂
∂ ∂
+ ∂
∂ ∂
∂ =
∂ ∂
+ ∂
∂ +
∂ ∂
µ ρ
ρ ρ
ρ V
p q
y T
k y
x T
k x
y cvT
x cuT
t cT
.
2.81
Dimana c JkgK adalah panas jenis fluida yang dibahas dan adalah fungsi disipasi, yang dirumuskan dengan persamaan berikut :
2 2
2
2
∂
∂ +
∂ ∂
+
∂
∂ +
∂ ∂
= Φ
y v
x u
y v
x u
2.82
Universitas Sumatera Utara
Persamaan 2.81 masih berlaku umum dan dapat disederhanakan dengan menggunakan beberapa asumsi. Misalnya asumsi yang umum digunakan adalah
aliran yang terjadi steadi, tidak ada sumber panas, pengaruh disipasi dan kerja akibat tekanan diabaikan dan sifat fisik konstan, maka persamaan energi akan
menjadi sangat sederhana, dituliskan sebagai berikut :
∂
∂ +
∂ ∂
= ∂
∂ +
∂ ∂
2 2
2 2
x T
x T
c k
y T
v x
T u
ρ 2.83
Persamaan inilah yang sering dipakai untuk mendapatkan distribusi temperatur pada aliran fluida. Dari semua persamaan pembentuk ini, persamaan
2.67, persamaan 2.72, persamaan 2.73 dan persamaan 2.83 inilah yang disebut governing equations.
[3]
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pendingin, gedung Fakultas Teknik, Magister Teknik Mesin USU Lt. III. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan
Desember 2013 sampai dengan Mei 2014.
Pengujian secara CFD dilakukan di Laboratorium Teknik Pendingin, gedung Fakultas Teknik, Magister Teknik Mesin USU Lt. III dari Januari 2014 sampai
dengan Juni 2014.
3.2. Bahan
Objek yang menjadi penelitian ini adalah produk hasil pertanian, yaitu kentang. Kentang dipilih karena tidak memiliki biji dan dimensi yang diperoleh setelah
dipotong dan dibentuk mencukupi untuk dimasukkan pada sterefoam yang sudah dbentuk. Adapun spesifikasi kentang tersebut adalah sebagai berikut :
Dimensi setelah dipotong dan dibentuk : 52 x 50 x 24 mm
Gambar 3.1 Kentang sebelum dipotong
Gambar 3.2 Kentang setelah dipotong dan dibentuk
Universitas Sumatera Utara