Kajian Numerik Dan Eksperimental Proses Perpindahan Panas Dan Perpindahan Massa Pada Pengeringan

(1)

KAJIAN NUMERIK DAN EKSPERIMENTAL PROSES

PERPINDAHAN PANAS DAN PERPINDAHAN MASSA

PADA PENGERINGAN

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

ARY SANTONY NIM. 090401003

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan sebaik mungkin.

Skripsi ini berjudul “KAJIAN NUMERIK DAN EKSPERIMENTAL PROSES PERPINDAHAN PANAS DAN PERPINDAHAN MASSA PADA PENGERINGAN”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata-1 (S1) pada Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Proses penyusunan skripsi dari awal hingga selesai yang penulis lakukan dapat terlaksana berkat bantuan dan dukungan dari semua pihak. Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam dan setulusnya kepada :

1. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan rasa cinta dan kasih sayangnya yang sangat besar kepada penulis sehingga pengerjaan skripsi ini dapat berjalan dengan baik.

2. Bapak Dr. Eng. Himsar Ambarita, ST. MT, selaku dosen pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan ilmu kepada penulis

3. Bapak Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri selaku Ketua Departemen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Ir. Syahril Gultom, MT selaku Sekertaris Departemen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara

5. Seluruh staf pengajar dan staf tata usaha Departemen Teknik Mesin yang telah membimbing, membantu dan mengajari penulis selama kuliah serta dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Seluruh teman–teman stambuk 2009, khusunya Indro, Juliono, Tri Septian, Ramadhan, Rian, Zuhdi, Chabib, Stefanus dan semua teman– teman stambuk 09 yang telah memberikan ilmu, motivasi dan dorongan kepada penulis .


(8)

motivasi kepada penulis.

8. Seluruh pihak yang banyak membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini .

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan ilmu bagi penulis– penulis khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca .

Medan, Juli 2014

ARY SANTONY 090401003


(9)

ABSTRAK

Pengeringan merupakan proses perpindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air dari bahan yang akan dikeringkan. Penelitian ini dilakukan dengan cara eksperimen dan simulasi. Produk hasil pertanian, yaitu kentang dipilih sebagai objek penelitian ini. Penelitian secara eksperimen dilakukan dengan mengalirkan udara panas ke arah kentang dengan kecepatan, temperatur dan RH konstan. Kemudian data temperatur serta massa yang berubah pada kentang diukur dan dicatat secara otomatis menggunakan Agilent dan Load Cell. Selain melakukan eksperimen, penelitian ini juga melakukan simulasi untuk menampilkan distribusi temperatur yang terjadi pada kentang selama pengeringan dan membandingkan hasil yang diperoleh secara numerik dengan hasil yang diperoleh secara eksperimen. Simulasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak CFD yaitu Ansys Fluent 14.5. Pada hasil eksperimen, diperoleh bahwa temperatur cenderung meningkat apabila waktu pengeringan bertambah. Temperatur awal kentang adalah 301,11K. Temperatur tertinggi setelah dua jam melakukan pengeringan terletak pada permukaan kentang, yaitu 316,304 K. Sedangkan temperatur pada titik tersebut yang diperoleh dari hasil simulasi adalah 316,972 K. Pada eksperimen, massa kentang cenderung berkurang apabila waktu pengeringan bertambah. Massa awal kentang sebelum dikeringkan adalah 75 gr. Hasil pengukuran massa kentang setelah dua jam melakukan pengeringan adalah 63 gr. Sedangkan massa kentang yang diperoleh dari hasil simulasi adalah 66,58 gr. Sehingga diperoleh ralat antara hasil eksperimen dan numerik berturut-turut pada pengukuran temperatur dan massa adalah 0,21% dan 5,09%.


(10)

ABSTRACT

Drying is simultaneously heat and vapor transfer process that needed heat energy to evaporate the moisture from the object that needed to be dried. This research is done by experiment and simulation. The agriculture product, i.e potato is chosen as the object for research. The experiment does by flowing hot air to the potato with fix velocity, temperature and RH. Then, the change of temperature and mass data will be measured and recorded automatically with Agilent and Load Cell. Beside of experiment, simulation also done to show the temperature distribution on potato during drying and compare the result that obtained from numeric and result that obtained from experiment. Simulation is done by CFD software, it is Ansys Fluent 14.5. For experiment result, temperature increase when drying time increase. The initial temperature of potato is 301,11 K. The highest temperature after two hours drying process locates at potato surface, it is 316,304 K. Whereas the temperature that obtained from simulation is 316,972 K. In experiment, the mass of potato decrease when drying time increase. The initial mass of potato before drying is 75 gr. The result mass of potato after two hours drying process is 63 gr. While the mass of potato that obtained from simulation result is 66,58 gr. So the error of experiment result and numeric in order for temperature measurement and mass is 0,21% and 5,09%.


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR SIMBOL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Batasan Masalah ... 2

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penulisan ... 3

1.6 Sistematika Penulisan ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Prinsip Pengeringan ... 5

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan ... 6

2.3 Jenis-jenis Alat Pengeringan ... 8

2.4 Tinjauan Perpindahan Panas ... 13

2.4.1 Konduksi ... 13

2.4.2 Konveksi ... 14

2.4.3 Radiasi ... 20

2.5 Analogi Perpindahan Massa (Difusi) dan Perpindahan Panas .. 20

2.5.1 Konsentrasi ... 22


(12)

2.6.1 Perpindahan Massa Konduksi ... 24

2.4.2 Perpindahan Massa Konveksi ... 29

2.7 Psikometrik ... 34

2.7.1 Rasio Humiditas (Humidity Ratio) ... 34

2.7.2 Humiditas Relatif (Relative Humidity, RH) ... 35

2.7.3 Humiditas Spesifik ... 36

2.8 Computational Fluid Dynamics (CFD) ... 36

2.8.1 Penggunaan CFD ... 36

2.8.2 Manfaat CFD ... 37

2.8.3 Metode Diskritisasi CFD ... 37

2.9 Persamaan Umum untuk Aliran Fluida ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1 Tempat dan Waktu ... 46

3.2 Bahan ... 46

3.3 Alat Ukur ... 47

3.4 Alat ... 49

3.5 Variabel Penelitian ... 52

3.5.1 Variabel Terikat ... 52

3.5.2 Variabel Bebas ... 52

3.6 Prosedur Penelitian dan Simulasi ... 52

3.6.1 Studi Literatur ... 54

3.6.2 Eksperimen dan Pengumpulan Data ... 54

3.6.3 Simulasi Secara CFD ... 54

3.6.4 Analisa Data ... 54

3.6.5 Penarikan Kesimpulan ... 54


(13)

3.8 Prosedur Numerik ... 59

3.8.1 Pemodelan Geometri ... 59

3.8.2 Pembentukan mesh ... 59

3.8.3 Penentuan Boundary Condition ... 60

3.8.4 Simulasi FLUENT ... 62

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68

4.1 Analisa Perpindahan Panas dan Perpindahan Massa pada Kentang ... 69

4.1.1 Sifat Udara ... 69

4.1.2 Temperatur pada Kentang ... 70

4.1.3 Perubahan Massa pada Kentang ... 72

4.2 Validasi Terhadap Eksperimen ... 74

4.3 Analisis Perpindahan Panas dan Perpindahan Massa Teoritis . 85 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

5.1 Kesimpulan ... 88

5.2 Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... xiii

LAMPIRAN 1 DATA PERUBAHAN MASSA KENTANG SELAMA PROSES PENGERINGAN PADA TANGGAL 12 MEI 2014 LAMPIRAN 2 DATA PERHITUNGAN PERUBAHAN MASSA KENTANG

SECARA TEORITIS SELAMA DUA JAM PROSES PENGERINGAN PADA TANGGAL 12 MEI 2014

LAMPIRAN 3 DATA PERUBAHAN TEMPERATUR KENTANG

SELAMA PROSES PENGERINGAN PADA TANGGAL 12 MEI 2014


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tray Dryer ... 8

Gambar 2.2 Solar Dryer ... 9

Gambar 2.3 Cara kerja Solar Dryer ... 10

Gambar 2.4 Spray Dryer ... 12

Gambar 2.5 Conveyor Dryer ... 12

Gambar 2.6 Perpindahan panas secara konduksi ... 13

Gambar 2.7 Proses perpindahan panas konveksi ... 14

Gambar 2.8 Daerah batas laminar dan turbulen suatu aliran plat ... 15

Gambar 2.9 Grafik yang menunjukkan koefisien perpindahan panas rata-rata untuk plat datar dengan campuran antara aliran laminar dan turbulen ... 17

Gambar 2.10 Konveksi natural yang terjadi pada telur panas ... 18

Gambar 2.11 Perpindahan massa air secara konduksi melalui benda padat ... 21

Gambar 2.12 Perpindahan massa uap air secara konveksi dari permukaan ke aliran udara ... 21

Gambar 2.13 Zat A berdifusi dalam zat B (sebagai medium) dalam satuan volume... 22

Gambar 2.14 Perpindahan massa secara konduksi ... 25

Gambar 2.15 Temperatur dan konsentrasi pada bidang batas dua medium ... 27

Gambar 2.16 Uap cairan berdifusi ke dalam gas ... 28

Gambar 2.17 Kekekalan massa pada elemen dua dimensi ... 39

Gambar 2.18 Komponen gaya sejajar sumbu-x pada elemen 2 dimensi 41 Gambar 2.19 Komponen kerja dan panas pada sebuah elemen ... 42

Gambar 3.1 Kentang sebelum dipotong ... 46

Gambar 3.2 Kentang setelah dipotong dan dibentuk ... 46

Gambar 3.3 Agilent ... 47

Gambar 3.4 Aluminium S Type Load Cell ... 47


(15)

Gambar 3.6 Electric Hot Air Generation TSK-10 ... 49

Gambar 3.7 Stabilizer ... 50

Gambar 3.8 Drying Chamber ... 51

Gambar 3.9 Sterefoam yang sudah dibentuk ... 51

Gambar 3.10 Diagram Alir Pengerjaan Penelitian... 53

Gambar 3.11 Penyambungan blower, stabilizer, drying chamber dan Load cell ... 55

Gambar 3.12 Pengaturan interval waktu RH meter di komputer ... 55

Gambar 3.13 Pemasangan RH meter di drying chamber... 56

Gambar 3.14 Pemasangan termokopel pada kentang ... 56

Gambar 3.15 Pengaturan interval waktu load cell di komputer ... 57

Gambar 3.16 Blower diaktifkan selama 10 menit... 57

Gambar 3.17 Kentang digantungkan pada Load cell ... 58

Gambar 3.18 Pengambilan data RH meter di komputer ... 58

Gambar 3.19 Pemodelan geometri dengan software Gambit 2.4 ... 59

Gambar 3.20 Tampilan mesh yang telah dibuat dengan software Gambit 2.4 ... 60

Gambar 3.21 Letak kondisi batas pada model ... 60

Gambar 3.22 Dinding kopel antara fluida dan solid ... 61

Gambar 3.23 Mengaktifkan tipe time transient dan gravitasi ... 62

Gambar 3.24 Mengaktifkan species transport ... 63

Gambar 3.25 Penentuan jenis model aliran ... 63

Gambar 3.26 Pengaturan material mixture ... 64

Gambar 3.27 Penentuan RH fluida masuk dari perhitungan fraksi massa ... 65

Gambar 3.28 Penentuan jenis solution method ... 66

Gambar 3.29 Proses iterasi ... 66

Gambar 4.1 Drying chamber dan kentang ... 68

Gambar 4.2 Titik termokopel pada kentang... 68

Gambar 4.3 Sifat udara pada tanggal 12 Mei 2014... 69

Gambar 4.4 Perubahan temperatur pada titik termokopel yang berbeda ... 70


(16)

Gambar 4.5 Distribusi kontur temperatur awal pada kentang ... 71 Gambar 4.6 Kontur temperatur pada kentang yang diperoleh dari

hasil simulasi setelah 600 detik proses pengeringan ... 71 Gambar 4.7 Kontur temperatur pada kentang yang diperoleh dari

hasil simulasi setelah 3600 detik proses pengeringan ... 72 Gambar 4.8 Kontur temperatur pada kentang yang diperoleh dari

hasil simulasi setelah 7200 detik proses pengeringan ... 72 Gambar 4.9 Perubahan massa kentang selama proses pengeringan .... 73 Gambar 4.10 Hasil akhir kentang yang dikeringkan... 73 Gambar 4.11 Grafik perbandingan temperatur antara hasil dari analisa

numerik dan hasil eksperimen yang dilakukan pada

tanggal 12 Mei 2014 ... 74 Gambar 4.12 Grafik perbandingan massa antara hasil dari analisa

teoritis dan hasil eksperimen yang dilakukan pada


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Konstanta untuk persamaan Hyland dan Wexler ... 36 Tabel 3.1 Kondisi Batas ... 61 Tabel 4.1 Perbandingan Data Temperatur Hasil Eksperimen dan

Hasil Numerik pada Tanggal 12 Mei 2014 ... 76 Tabel 4.2 Perbandingan Data Massa Hasil Eksperimen dan


(18)

DAFTAR SIMBOL

SIMBOL

ARTI

SATUAN

kon

Q Laju perpindahan panas konduksi W

k Konduktivitas thermal bahan W/m.K

A Luas penampang perpindahan panas m2

T Temperatur K

L Ketebalan dinding benda m

konv

Q Laju perpindahan panas konveksi W

h Koefisien konveksi W/m2.K

Re Bilangan Reynold -

ρ Massa jenis fluida kg/m3

U Kecepatan fluida mengalir m/det

µ Viskositas fluida N.det/m2

v Viskositas kinematik fluida m2/det

Pr Bilangan Prandtl -

Ra Bilangan Rayleigh -

L Dimensi geometri m

Gr Bilangan Grashof m/det2

g Percepatan gravitasi m/det2

p

c Panas spesifik kJ/kg.K

r

Q Laju perpindahan panas W

ε Emisivitas bahan -

σ Konstanta Boltzman (5,67 x 10-8) W/m2K4

ρ Kerapatan atau density kg/m3

m Massa kg

V Volume m3

w Fraksi massa -


(19)

N Jumlah mol mol

y Fraksi mol -

MR Berat molekul kg/mol

N Laju perpindahan massa mol/det

D Koeffisien difusi massa suatu zat m2/det

m Laju perpindahan massa kg/det

udara air

D Koefisien difusi massa air pada udara m2/det

P Tekanan Pa (atm)

α Difusivitas thermal m2/det

Sc Bilangan Schmidt -

Le Bilangan Lewis -

h Koefisien konveksi perpindahan massa m/det

u

m Laju penguapan kg/det

µ Viskositas fluida N.det/m2

L

Q Panas laten W

fg

h Panas laten penguapan air J/kg

w Humidity Ratio kg uap air/kg udara

w

m Jumlah massa uap air kg uap air

a

m Jumlah massa udara kg udara


(20)

ABSTRAK

Pengeringan merupakan proses perpindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air dari bahan yang akan dikeringkan. Penelitian ini dilakukan dengan cara eksperimen dan simulasi. Produk hasil pertanian, yaitu kentang dipilih sebagai objek penelitian ini. Penelitian secara eksperimen dilakukan dengan mengalirkan udara panas ke arah kentang dengan kecepatan, temperatur dan RH konstan. Kemudian data temperatur serta massa yang berubah pada kentang diukur dan dicatat secara otomatis menggunakan Agilent dan Load Cell. Selain melakukan eksperimen, penelitian ini juga melakukan simulasi untuk menampilkan distribusi temperatur yang terjadi pada kentang selama pengeringan dan membandingkan hasil yang diperoleh secara numerik dengan hasil yang diperoleh secara eksperimen. Simulasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak CFD yaitu Ansys Fluent 14.5. Pada hasil eksperimen, diperoleh bahwa temperatur cenderung meningkat apabila waktu pengeringan bertambah. Temperatur awal kentang adalah 301,11K. Temperatur tertinggi setelah dua jam melakukan pengeringan terletak pada permukaan kentang, yaitu 316,304 K. Sedangkan temperatur pada titik tersebut yang diperoleh dari hasil simulasi adalah 316,972 K. Pada eksperimen, massa kentang cenderung berkurang apabila waktu pengeringan bertambah. Massa awal kentang sebelum dikeringkan adalah 75 gr. Hasil pengukuran massa kentang setelah dua jam melakukan pengeringan adalah 63 gr. Sedangkan massa kentang yang diperoleh dari hasil simulasi adalah 66,58 gr. Sehingga diperoleh ralat antara hasil eksperimen dan numerik berturut-turut pada pengukuran temperatur dan massa adalah 0,21% dan 5,09%.


(21)

ABSTRACT

Drying is simultaneously heat and vapor transfer process that needed heat energy to evaporate the moisture from the object that needed to be dried. This research is done by experiment and simulation. The agriculture product, i.e potato is chosen as the object for research. The experiment does by flowing hot air to the potato with fix velocity, temperature and RH. Then, the change of temperature and mass data will be measured and recorded automatically with Agilent and Load Cell. Beside of experiment, simulation also done to show the temperature distribution on potato during drying and compare the result that obtained from numeric and result that obtained from experiment. Simulation is done by CFD software, it is Ansys Fluent 14.5. For experiment result, temperature increase when drying time increase. The initial temperature of potato is 301,11 K. The highest temperature after two hours drying process locates at potato surface, it is 316,304 K. Whereas the temperature that obtained from simulation is 316,972 K. In experiment, the mass of potato decrease when drying time increase. The initial mass of potato before drying is 75 gr. The result mass of potato after two hours drying process is 63 gr. While the mass of potato that obtained from simulation result is 66,58 gr. So the error of experiment result and numeric in order for temperature measurement and mass is 0,21% and 5,09%.


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengeringan merupakan proses mengurangi kadar air dari objek yang dikeringkan. Proses ini sudah dikenal dan digunakan manusia sejak jaman dahulu. Pengeringan adalah proses perpindahan massa air dari suatu zat padat atau semi padat dengan melalui proses penguapan. Dalam industri, proses pengeringan sering kali merupakan tahap akhir proses produksi sebelum dikemas atau dijual ke konsumen.

Dalam proses pengeringan konveksi, gas (misalnya udara) dialirkan ke bahan yang akan dikeringkan sehingga gas tersebut akan membawa uap air yang terkandung di dalam objek yang dikeringkan.

Pada awalnya proses pengeringan hanya ditujukan untuk mengawetkan makanan. Tetapi, saat ini proses pengeringan telah berkembang luas pada bidang-bidang lain seperti agroindustri, kimia, biokimia, farmasi, dan industri kertas. Metode pengeringan juga semakin berkembang, yaitu tidak hanya sekedar mengurangi kadar air tetapi juga mengontrol proses pengeringan untuk mendapatkan kualitas produk pengeringan yang lebih baik.

Selama beberapa dekade terakhir, penelitian telah banyak dilakukan untuk menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan proses pengeringan dan perubahan-perubahan yang terjadi selama proses pengeringan. Tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan proses-proses pengeringan yang lebih efektif dan efisien. Diperkirakan kurang lebih 250 paten Amerika dan 80 paten Eropa telah diterbitkan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan pengeringan merupakan salah satu bidang ilmu yang sedang berkembang dengan pesat.

Salah satu tantangan yang saat ini masih terus mendapat perhatian adalah bagaimana memodelkan proses pengeringan. Dengan mengetahui model pengeringan yang baik, diharapkan dapat melakukan perbaikan pada desain mesin pengering dan penentuan proses pengeringan yang lebih baik dan efisien.

Sementara, penelitian dalam pengembangan proses pengeringan memerlukan waktu yang sangat lama dan memerlukan biaya yang sangat besar.


(23)

Untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam pengembangan dan mengurangi biaya pengembangan diperlukan teknologi simulasi. Karena melibatkan aliran fluida, bidang CFD (Computational Fluid Dynamics) dapat digunakan untuk membantu pemodelan proses pengeringan. Akhir-akhir ini, CFD semakin banyak dilibatkan untuk memodelkan proses pengeringan. Program CFD merupakan salah satu teknologi simulasi yang digunakan dalam penelitian pengembangan dalam menganalisis permasalahan pada proses pengeringan.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam skripsi ini, permasalahan yang akan diselesaikan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana memperoleh nilai koefisien perpindahan panas konveksi dan koefisien perpindahan massa konveksi pada bidang batas fluida-padat secara numerik.

2. Memodelkan keadaan perpindahan panas transient yang terjadi pada objek yang dikeringkan dengan menggunakan software.

1.3 Batasan Masalah

Dalam perancangan dan penelitian ini perlu diberikan beberapa batasan permasalahan dengan tujuan agar pembahasan tidak meluas dan menyimpang dari tujuan. Adapun batas permasalahan dari perancangan alat pengering dan permodelan proses pengeringan dengan bantuan software pada skripsi ini yaitu :

1. Aliran fluida diselesaikan dengan menggunakan software CFD yang sudah ada.

2. Model yang digunakan dalam bentuk dua dimensi (2D).

3. Produk yang dikeringkan berupa benda padat yang memiliki kandungan air.

4. Aliran fluida diasumsikan turbulen.

5. Perpindahan panas terjadi secara konveksi paksa. 6. Kondisi simulasi yang dilakukan adalah transient.

7. Perubahan bentuk atau penyusutan pada produk diabaikan. 8. Perhitungan perpindahan massa dilakukan secara manual.


(24)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Memodelkan dan membandingkan temperatur hasil eksperimen dengan hasil analisa secara numerik pada proses pengeringan.

2. Memodelkan dan membandingkan massa hasil eksperimen dengan hasil analisa secara numerik pada pengeringan.

1.5 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan skripsi ini adalah : 1. Aspek keilmuan dan akademis

Penelitian ini berhubungan dengan mata kuliah Computational Fluid

Dynamic (CFD), Metode Elemen Hingga, serta Perpindahan Panas,

sehingga dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang luas bagi peneliti seta mengembangkan pengetahuan dibidang pengeringan.

2. Aspek praktek dan implementasi

Berfokus pada permodelan kasus pengeringan pada software CFD yang kemudian dibandingkan dengan hasil eksperimen.

3. Analisa dengan menggunakan software akan menghemat biaya penelitian apabila dibandingkan dengan menggunakan peralatan yang akan menghabiskan biaya lebih mahal.

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini menjelaskan teori-teori yang mendukung dan menjadi pedoman dalam penyusunan skripsi.


(25)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini membahas mengenai metode pelaksanaan penelitian, tempat, bahan dan alat serta prosedur simulasi yang digunakan dalam penelitian.

BAB IV HASIL PENGUJIAN DAN ANALISA

Pada bab ini membahas mengenai data yang diperoleh dari hasil simulasi dan perbandingan data pengujian dengan analisa numerik hasil simulasi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini membahas mengenai kesimpulan yang diperoleh dari pengujian skripsi dan saran-saran yang diperlukan untuk memperbaiki hasil penelitian selanjutnya.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Prinsip Pengeringan

Pengeringan (drying) merupakan proses perpindahan panas dan uap air secara secara simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas.

Pengeringan dapat diartikan memindahkan atau mengambil kandungan zat cair dari benda padatnya, zat cair yang biasa kita pindahkan dari zat padat adalah air. Sedangkan zat padat biasanya bermacam-macam, contohnya pada pabrik pengolahan makanan, khususnya pabrik yang mengolah manisan buah-buahan kering, maka proses pengeringan akan aplikasikan untuk mengurangi kandungan air yang ada pada buah-buahan tersebut, maka yang bertindak sebagai zat padat adalah buah tersebut, sedangkan yang menjadi zat cairnya adalah air yang berada dalam buah tersebut.

Pengeringan merupakan suatu proses penting yang terjadi dalam industri pangan. Hal ini disebabkan karena pengeringan dapat digunakan untuk mengawetkan bahan pangan yang mudah rusak ataupun busuk saat penyimpanan, sehingga secara tidak langsung pengeringan dapat memperpanjang umur simpan suatu produk. Pengeringan memiliki pengertian yaitu aplikasi panas di bawah kondisi terkontrol yang berfungsi untuk mengeluarkan sebagian besar air dalam bahan pangan melalui penguapan. Keuntungan dari pengeringan adalah dapat meningkatkan stabilitas penyimpanan. Hal ini dikarenakan terjadinya pengurangan berat dan volume produk akibat dari pengurangan kandungan air. Keuntungan lainnya adalah pengemasan menjadi lebih mudah serta biaya untuk pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutan menjadi lebih murah.

Pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk memperpanjang umur simpan produk melalui pengurangan water activity. Pengurangan ini dilakukan dengan cara menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim, tanpa harus menginaktifkannya. Proses pengeringan mempunyai kelemahan yaitu kualitas dan nilai nutrisi dalam pangan menjadi rusak.


(27)

2.2. Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan

Pada pengeringan selalu diinginkan kecepatan pengeringan yang maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk mempercepat perpindahan panas dan perpindahan massa (perpindahan massa dalam hal ini adalah perpindahan air keluar dari bahan yang dikeringkan dalam proses pengeringan tersebut).[7]

Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk memperoleh kecepatan pengeringan maksimum, yaitu :

(a) Luas permukaan

Semakin luas permukaan bahan maka semakin cepat bahan menjadi kering Air menguap melalui permukaan bahan, sedangkan air yang ada di bagian tengah akan merembes ke bagian permukaan dan kemudian menguap. Untuk mempercepat pengeringan umumnya bahan pangan yang akan dikeringkan dipotong-potong atau diiris-iris terlebih dulu. Hal ini terjadi karena pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluas permukaan bahan dan permukaan yang luas dapat berhubungan dengan medium pemanasan sehingga air mudah keluar, potongan-potongan kecil atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana panas harus bergerak sampai ke pusat bahan pangan. Potongan kecil juga akan mengurangi jarak melalui massa air dari pusat bahan yang harus keluar ke permukaan bahan dan kemudian keluar dari bahan tersebut. [7]

(b) Suhu

Semakin besar perbedaan suhu (antara medium pemanas dengan bahan bahan) maka akan semakin cepat proses perpindahan panas berlangsung sehingga mengakibatkan proses penguapan semakin cepat pula. Atau semakin tinggi suhu udara pengeringan maka akan semakin besar energi panas yang dibawa ke udara yang akan menyebabkan proses perpindahan panas semakin cepat sehingga perpindahan massa akan berlangsung dengan cepat juga. [7]

(c) Kecepatan udara

Umumnya udara yang bergerak akan lebih banyak mengambil uap air dari permukaan bahan yang dikeringkan. Udara yang bergerak adalah udara yang


(28)

mempunyai kecepatan gerak yang tinggi, berguna untuk mengambil uap air dan menghilangkan uap air dari permukaan bahan yang dikeringkan, sehingga dapat mencegah terjadinya udara jenuh yang dapat memperlambat penghilangan air. [7]

(d) Kelembaban udara (Relative Humidity)

Semakin lembab udara di dalam ruang pengering dan sekitarnya maka akan semakin lama proses pengeringan berlangsung kering, begitu juga sebaliknya. Karena udara kering dapat mengabsorpsi dan menahan uap air. Setiap bahan mempunyai keseimbangan kelembaban nisbi (RH keseimbangan) masing- masing, yaitu kelembaban pada suhu tertentu dimana bahan tidak akan kehilangan air (pindah) ke atmosfir atau tidak akan mengambil uap air dari atmosfir.

1. Jika RH udara < RH keseimbangan maka benda masih dapat dikeringkan. 2. Jika RH udara > RH keseimbangan maka benda akan menarik uap air dari

udara. [7] (e) Tekanan udara

Semakin kecil tekanan udara akan semakin besar kemampuan udara untuk mengangkut air selama pengeringan, karena dengan semakin kecilnya tekanan berarti kerapatan udara makin berkurang sehingga uap air dapat lebih banyak tetampung dan disingkirkan dari bahan pangan. Sebaliknya jika tekanan udara semakin besar maka udara disekitar pengeringan akan lembab, sehingga kemampuan menampung uap air terbatas dan menghambat proses atau laju pengeringan.

Misalnya pada tekanan udara atmosfir 1 atm, air akan mendidih pada suhu 100ºC. Pada tekanan udara lebih rendah dari 1 atm air akan mendidih pada suhu lebih rendah dari 100°C. [7]

(f) Waktu

Semakin lama waktu (batas tertentu) pengeringan maka akan semakin cepat proses pengeringan selesai. Dalam pengeringan diterapkan konsep HTST

(High Temperature Short Time). Waktu yang singkat dalam proses

pengeringan dapat menghemat biaya khususnya biaya listrik untuk menjalankan mesin pengering. [7]


(29)

2.3. Jenis-jenis Alat Pengeringan

Ada beberapa jenis alat pengeringan, dijelaskan sebagai berikut :

a. Tray Dryer

Gambar 2.1 Tray Dryer [6]

Tray dryer merupakan salah satu alat pengeringan yang tersusun dari beberapa buah tray atau talam di dalam satu rak yang terbuat dari kayu atau logam-logam tertentu. Tray/talam yang telah dimasukkan material yang ingin dikeringkan kemudian diletakkan secara bersusun dalam kolom. Setelah ruangan ditutup, maka udara panas dialirkan ke dalam ruang pemanas hingga semua bahan menjadi kering. Namun alat ini membutuhkan tenaga kerja dalam proses produksinya, biaya operasi yang agak mahal, sehingga alat ini sering digunakan pada pengeringan bahan-bahan yang bernilai tinggi. [6]

Udara panas yang masuk dari sebelah bawah ruang menyebabkan material yang ada kolom yang paling bawah menjadi yang paling pertama kering. Setelah tenggat waktu tertentu, talam akan dikeluarkan dan material yang telah kering diambil. Material lain yang ingin dikeringkan dimasukkan dan prosedur terjadi berulang-ulang. [6]

Tray dryer termasuk kedalam sistem pengering konveksi menggunakan

aliran udara panas untuk mengeringkan produk. Alat ini dapat dilihat pada gambar 2.1. Proses pengeringan terjadi saat aliran udara panas ini bersinggungan langsung dengan permukaan produk yang akan dikeringkan. Produk ditempatkan pada setiap rak yang tersusun sedemikan rupa agar dapat dikeringkan degan sempurna.


(30)

Udara panas sebagai fluida kerja bagi model ini diperoleh dari pembakaran bahan bakar, panas matahari atau listrik.[6]

Pengering talam digunakan untuk mengeringkan bahan-bahan yang tidak boleh diaduk dengan cara thermal, sehingga didapatkan hasil berupa zat padat yang kering. Alat ini biasanya digunakan untuk pengeringan bahan-bahan bernilai tinggi seperti zat warna, bahan-bahan farmasi. Produk yang dikeringkan juga dapat berupa umbi-umbian, sayur-sayuran dan buah-buahan. [6]

b. Solar Dryer

Metode ini bersifat ekonomis pada skala pengeringan besar karena biaya operasinya lebih murah dibandingkan dengan pengeringan dengan mesin. Prinsip dari solar dryer ini adalah pengeringan dengan menggunakan bantuan sinar matahari. Perbedaan dari pengeringan dengan sinar matahari biasa adalah solar dryer dibantu dengan alat sederhana sedemikian rupa sehingga pengeringan yang dihasilkan lebih efektif, dapat dilihat pada gambar 2.2. [6]

Gambar 2.2 Solar Dryer [6]

Cara kerja solar dryer dapat dilihat pada gambar 2.3. Bahan yang ingin dikeringkan dimasukkan ke dalam bilik yang berada pada ketinggian tertentu dari permukaan tanah. Udara sekitar masuk melalui saluran yang dibuat lebih rendah daripada bilik pemanasan dan secara otomatis terpanaskan oleh sinar matahari secara konveksi pada saat udara tersebut mengalir menuju bilik pemanasan. Udara yang telah terpanaskan oleh sinar matahari kemudian masuk kedalam bilik


(31)

pemanas dan memanaskan bahan makanan. Pengeringan bahan makanan jadi lebih efektif karena pemanasan yang terjadi berasal dari dua arah, yaitu dari sinar matahari secara langsung (radiasi) dan aliran udara panas dari bawah (konveksi).[6]

Gambar 2.3 Cara kerja Solar Dryer [6]

Keterangan dari gambar 2.3 adalah :

1. Solar collector

2. Aliran udara panas

3. Talam tempat meletakkan produk

Solar drying merupakan metode pengeringan yang saat ini sering

digunakan untuk mengeringkan bahan-bahan makanan hasil panen. Metode solar

drying sering digunakan untuk mengeringkan padi. Namun karena pada

prinsipnya pengeringan adalah untuk mengurangi jumlah air (kelembaban) bahan, maka metode ini juga bisa diaplikasikan untuk bahan makanan lain. [6]

c. Spray Dryer

Spray dryer adalah unit peralatan untuk memproduksi tepung atau bubuk dari bahan cair yang disemprotkan (hingga membentuk partikel halus) ke dalam ruang yang telah dialiri udara panas. Sementara produk akhir yang dihasilkan dapat berupa bubuk, maupun granula. Susu, jus buah dan kopi bubuk merupakan produk yang menggunakan proses pengeringan metode spray drying. [6]


(32)

diuapkan menggunakan atomizer. Air dari bahan yang telah berbentuk tetesan-tetesan tersebut kemudian dialirkan dengan udara panas. Peristiwa ini menyebabkan air dalam bentuk tetesan-tetesan tersebut mengering dan berubah menjadi serbuk. Selanjutnya proses pemisahan antara uap panas dengan serbuk dilakukan dengan cyclone atau penyaring. Setelah dipisahkan, serbuk kemudian kembali diturunkan suhunya sesuai dengan kebutuhan produksi. [6]

Komponen dari spray dryer adalah sebagai berikut : 1. Atomizer

Atomizer merupakan bagian terpenting pada spray dryer dimana memiliki fungsi untuk menghasilkan droplet dari cairan yang akan dikeringkan. Droplet yang terbentuk akan didistribusikan (disemprotkan) secara merata pada alat pengering agar terjadi kontak dengan udara panas. Ukuran droplet yang dihasilkan tidak boleh terlalu besar karena proses pengeringan tidak akan berjalan dengan baik. Disamping itu ukuran droplet juga tidak boleh terlalu kecil karena menyebabkan terjadinya terlalu panas. [6]

2. Chamber

Chamber merupakan ruang dimana terjadi kontak antara droplet cairan yang dihasilkan oleh atomizer dengan udara panas untuk pengeringan. Kontak udara panas dengan droplet akan menghasilkan bahan kering dalam bentuk bubuk. Bubuk yang terbentuk akan turun ke bagian bawah chamber dan akan dialirkan dalam bak penampung. [6]

3. Heater

Heater berfungsi sebagai pemanas udara yang akan digunakan sebagai pengering. Panas yang diberikan harus diatur sesuai dengan karakteristik bahan, ukuran droplet yang dihasilkan dan jumlah droplet. Suhu udara pengering yang digunakan diatur agar tidak menyebabkan terlalu panas. [6]

4. Cyclone

Cyclone berfungsi sebagai bak penampung hasil proses pengeringan. Bubuk yang dihasilkan akan dipompa menuju Bag Filter. [6]

5. Bag Filter

Bag Filter berfungsi untuk menyaring atau memisahkan udara setelah digunakan pengeringan dengan bubuk yang terbawa setelah proses. [6]


(33)

Gambar 2.4 Spray Dryer [6]

d. Conveyor Dryer

Pengeringan jenis ini merupakan pengeringan kontiniu yang dilengkapi oleh ban berjalan yang membawa produk melalui terowongan pengering dengan udara panas yang bersirkulasi. Mesin ini dapat dilihat pada gambar 2.5. [6]

Gambar 2.5 Conveyor Dryer [6]

Mekanisme kerja mesin pengering ini adalah proses pengeringan dapat diatur dengan membagi sistem pengeringan menjadi beberapa bagian. Kelembaban, kecepatan aliran, dan suhu tiap bagian dapat diatur. Metode pengeringan ini sangat sesuai untuk mengeringkan bahan pangan dalam jumlah besar. Produk yang dikeringkan dapat berupa pasta, butiran, irisan maupun lempengan. Kerupuk dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering ini. [6]


(34)

2.4. Tinjauan Perpindahan Panas

Perpindahan panas terjadi karena ada perbedaan temperatur. Perpindahan panas dapat terjadi melalui 3 cara yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Konduksi adalah perpindahan panas yang tidak melibatkan aliran mediumnya, sementara perpindahan panas konveksi melibatkan aliran mediumnya, dan radiasi tidak melibatkan medium perantara tetapi secara langsung menggunakan perambatan elektromagnetik. [2]

2.4.1. Konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas dari partikel bersuhu tinggi ke partikel bersuhu rendah sebagai hasil dari interaksi antara partikel tersebut. Konduksi dapat terjadi pada benda padat, cair dan gas. Pada konduksi, perpindahan panas terjadi akibat interaksi antar partikel tanpa diikuti perpindahan partikelnya. [2]

Gambar 2.6 Perpindahan panas secara konduksi[2]

Pada gambar 2.6 perpindahan panas dapat dihitung dengan menggunakan hukum Fourier, persamaannya adalah sebagai berikut [2] :

(

)

L T T kA dx dT kA

Q A B

kon

− =

− =

(2.1) Dimana :

kon

Q = Laju perpindahan panas konduksi (W)

k = Konduktivitas thermal bahan (W/m.K)

A = Luas penampang perpindahan panas (m2) A

T = Temperatur pada titik A (K) B

T = Temperatur pada titik B (K)


(35)

2.4.2. Konveksi

Perpindahan panas konveksi adalah perpindahan panas antara permukaan padat yang berbatasan dengan fluida yang mengalir. Fluida ini bisa dalam fasa cair atau fasa gas. Syarat utama mekanisme perpindahan panas konveksi adalah adanya aliran fluida. Mekanisme ini secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.7. Pada gambar tersebut dianggap temperatur permukaan (Ts) masih lebih tinggi daripada temperatur lingkungan (T∞). Anggap udara lingkungan mengalir menuju

ke permukaan plat. Partikel udara yang tepat bersentuhan dengan plat akan menerima perpindahan panas secara konduksi dari plat, akibatnya temperaturnya akan naik. Kemudian aliran udara akan mengangkut udara yang lebih panas ini untuk digantikan oleh udara berikutnya. Fakta ini menunjukkan bahwa didalam perpindahan panas konveksi, sebenarnya terdapat perpindahan panas konduksi antar partikelnya. [3]

Kecepatan variasi fluida V

As

Benda Panas Aliran

fluida

Ts

Temperatur variasi fluida

T T∞

Gambar 2.7 Proses perpindahan panas konveksi[3]

Secara matematis, perpindahan panas konveksi pada permukaan benda dapat dirumuskan sebagai berikut [3]:

(

− ∞

)

=hA T T

Qkonv s s (2.2)

Dimana : konv

Q = Laju perpindahan panas konveksi (W)


(36)

s

A = Luas penampang perpindahan panas (m2)

s

T = Temperatur permukaan benda (K)

T = Temperatur fluida yang mengalir (K)

Konveksi terbagi atas dua, yaitu : 1. Konveksi Paksa

Konveksi paksa merupakan konveksi yang diakibatkan oleh fluida yang terdapat pada permukaan plat. Pada konveksi paksa fluida dipaksa untuk mengalir dengan bantuan alat tertentu, misalnya kipas angin dan blower. Aliran fluida pada plat dengan panjang L pada suatu arah aliran seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.8. [3]

Laminar

Turbulen

Xcr

L

Ts

T V

Gambar 2.8 Daerah batas laminar dan turbulen suatu aliran pada plat

Koordinat x dihitung sepanjang permukaan plat dari sisi terdepan pada arah aliran. Fluida mengenai permukaan plat dalam arah x dengan kecepatan v dan temperatur T yang seragam. Awalnya kecepatan bermula dengan batas aliran laminar, tetapi jika plat cukup panjang, aliran menjadi turbulen pada jarak xcr dari permukaan depan dimana bilangan Reynold memperoleh nilai kritis untuk daerah transisi.

Transisi dari aliran laminar ke turbulen bergantung pada geometri permukaan, kecepatan, temperatur permukaan, jenis fluida dan lainnya yang menjadi karakter penentu bilangan Reynold. Bilangan Reynold pada jarak x dari sisi terdepan plat datar dinyatakan sebagai berikut :


(37)

v Ux Ux = = µ ρ Re (2.3) Dimana :

Re = Bilangan Reynold

ρ = Massa jenis fluida (kg/m3)

U = Kecepatan fluida mengalir (m/det)

x = Jarak yang dihitung dari sisi terdepan sampai titik x (m) µ = Viskositas fluida (N.det/m2)

v = Viskositas kinematik fluida (m2/det)

Dicatat bahwa nilai bilangan Reynold bervariasi pada sebuah plat datar sepanjang aliran. Untuk aliran transisi, transisi dari laminar ke turbulen diperoleh dengan persamaan sebagai berikut :

5

10 5 Recr = Vxµcr = x

ρ

(2.4)

Dimana : cr

Re = Bilangan Reynold yang dihitung dari sisi terdepan sampai titik cr

cr

x = Jarak yang dihitung dari sisi terdepan sampai titik cr (m)

Bilangan Nusselt lokal pada lokasi x untuk aliran laminar sepanjang plat datar ditentukan dengan turunan persamaan energi yaitu :

3 1 5 , 0 Pr Re 332 , 0 x x x k x h

Nu = = (2.5)

Dimana : x

Nu = Bilangan Nusselt lokal

x

h = Koefisien perpindahan panas konveksi lokal pada titik x (W/m2.K)

k = Konduktivitas thermal bahan (W/m.K)

x = Jarak yang dihitung dari sisi terdepan sampai titik x (m) x

Re = Bilangan Reynold lokal Pr = Bilangan Prandtl


(38)

Sedangkan bilangan Nusselt lokal pada lokasi x untuk aliran turbulen sepanjang plat datar dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

3 1 8 , 0 Pr Re 0296 , 0 x x x k x h

Nu = = (2.6)

Untuk aliran laminar, bilangan Nusselt rata-rata dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

3 1 5 , 0 Pr Re 664 , 0 L L L k L h

Nu = = (2.7)

Dimana :

L

Nu = Bilangan Nusselt rata-rata

L

h = Koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata (W/m2.K) L = Panjang plat (m)

L

Re = Bilangan Reynold rata-rata

Sedangkan untuk aliran turbulen, bilangan Nusselt rata-rata dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

3 1 8 , 0 Pr Re 037 , 0 L L L k L h

Nu = = (2.8)

Persamaan laminar digunakan apabila bilangan Re dibawah 5x105 dengan nilai Pr > 0,6. Hubungan antara koefisien rata-rata perpindahan panas terhadap jenis aliran dapat dilihat pada gambar 2.9.

Laminar

Xcr

Ts

Turbulen

hx, laminar

h rata-rata

hx, turbulen

Gambar 2.9 Grafik yang menunjukkan koefisien perpindahan panas rata-rata untuk plat datar dengan campuran antara aliran laminar dan turbulen


(39)

2. Konveksi Bebas

Konveksi natural atau konveksi bebas terjadi karena fluida yang berubah densitasnya dikarenakan proses pemanasan sehingga fluida dapat bergerak naik. Radiator panas yang digunakan untuk memanaskan ruang merupakan suatu contoh peranti praktis yang memindahkan kalor dengan konveksi bebas. Gerakan fluida dalam konveksi bebas, baik fluida gas maupun cair, terjadi karena gaya apung (bouyancy force) yang dialami apabila densitas fluida di dekat permukaan perpindahan kalor berkurang sebagai akibat proses pemanasan. Gaya apung ini tidak akan terjadi apabila fluida tidak mengalami suatu gaya dari luar yang dapat menghasilkan arus konveksi bebas lihat gambar 2.10. Gaya apung yang menyebabkan arus konveksi bebas disebut gaya badan (body forces). [3]

Gambar 2.10 Konveksi natural yang terjadi pada telur panas[4]

Untuk menentukan laju perpindahan panas konveksi dapat dilakukan berdasarkan teori perpindahan panas, dapat dituliskan sebagai berikut [3]:

n

L CRa

k hL

Nu = = (2.9)

Dimana :

L

Nu = Bilangan Nusselt

h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2.K)

k = Konduktivitas thermal bahan (W/m.K) L = Dimensi dari struktur (m)

Ra = Bilangan Rayleigh

n =

4 1

untuk aliran laminar dan 3 1


(40)

Ra adalah bilangan Rayleigh yang ditentukan dari hasil perhitungan Grashof dan Prandtl.

Pr

L Gr

Ra= (2.10)

Nilai rata-rata koefisien konveksi natural perpindahan panas diperoleh dari pengembangan governing equation untuk konveksi bebas, dituliskan sebagai berikut :

(

)

2 3 v L T T g

GrL = β s − ∞ (2.11)

k cpµ

=

Pr (2.12)

Dimana :

L

Gr = Bilangan Grashof (m/det2)

g = Percepatan gravitasi (m/det2)

β = Koefisien ekspensi volume, 1/K (β=1/T untuk gas ideal) p

c = Panas spesifik (kJ/kg.K)

s

T = Temperatur permukaan (K)

T = Temperatur fluida ruangan (K)

L = Dimensi geometri (m)

v = Viskositas kinematic fluida (m2/det)

Bilangan Grashof merupakan bilangan tak berdimensi yang menggambarkan rasio gaya apung (buoyancy force) terhadap gaya kekentalan (viscous force) yang bekerja pada fluida.

Kemudian, koefisien perpindahan panas konveksi bebas dapat diperoleh dari hubungan antara persamaan (2.9) dan (2.10) :

n T L g L k C h       ∆ = . . . . .Pr.

2 3 2 µ β ρ (2.13)

Pada persamaan (2.9) dapat dikembangkan khusus untuk plat vertikal. Hubungan yang dapat dipakai untuk seluruh nilai Ra direkomendasikan oleh Churchill dan Chu dalam bentuk persamaan berikut :


(41)

2 27 8 16 9 6 1 Pr 492 , 0 1 . 387 , 0 825 , 0                               + + = L L Ra Nu (2.14)

Persamaan (2.14) lebih kompleks, tetapi menghasilkan nilai yang lebih akurat. Untuk plat vertikal miring, maka nilai g dalam persamaan (2.11) adalah g.cosθ , dimana nilai θ adalah sudut kemiringan dari sumbu y.

2.4.3. Radiasi

Perpindahan panas radiasi adalah panas yang dipindahkan dengan cara memancarkan gelombang elektromagnetik. Berbeda dengan mekanisme konduksi dan konveksi, radiasi tidak membutuhkan medium perpindahan panas. Sampainya sinar matahari ke permukaan bumi adalah contoh yang paling jelas dari perpindahan panas radiasi. Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung laju perpindahan panas radiasi antara permukaan plat dan lingkungannya adalah sebagai berikut [3]:

) (

.

. 4 − 4

= AT T

Qr εσ s (2.15)

Dimana : r

Q = Laju perpindahan panas radiasi (W) ε = Emisivitas permukaan plat, nilainya 0 - 1 σ = Konstanta Boltzman 5,67 x 10-8 (W/m2K4)

A = Luas penampang perpindahan panas (m2) s

T = Temperatur permukaan benda (K)

T = Temperatur lingkungan (K)

2.5. Analogi Perpindahan Massa (Difusi) dan Perpindahan Panas

Perpindahan massa dapat dianalogikan dengan perpindahan panas. Massa yang berpindah (biasa disebut berdifusi) dapat dianggap sebagai panas dan tempat massa berdifusi akan disebut medium. Tidak seperti perpindahan panas, perpindahan massa hanya dibagi atas perpindahan massa konduksi dan


(42)

perpindahan panas konveksi, dengan kata lain tidak ada perpindahan massa radiasi. [3]

Misalnya ada dinding bata yang membatasi kolam yang berisi air dan udara kering di sisi lainnya, seperti pada gambar 2.11. Zat yang berdifusi disini adalah air dan mediumnya adalah dinding yang terbuat dari batu bata. Pada gambar 2.11, sejumlah massa air dari permukaan kiri akan mengalir ke permukaan kanan tanpa diikuti aliran medium yaitu partikel-partikel batu bata sebagai mediumnya. Perpindahan massa ini persis seperti perpindahan panas konduksi yang diantara dinding logam yang berbeda suhunya. [3]

Gambar 2.11 Perpindahan massa air secara konduksi melalui benda padat[3]

Jika medium tempat berdifusi ikut mengalir akan disebut perpindahan massa konveksi. Salah satu bentuk perpindahan massa konveksi dapat dilihat pada gambar 2.12.

Gambar 2.12 Perpindahan massa uap air secara konveksi dari permukaan ke aliran udara[3]


(43)

Pada gambar 2.12, sejumlah massa air akan mengalami evaporasi dan berdifusi ke dalam udara kering yang mengalir. Karena udara kering mengalir perpindahan massa ini disebut konveksi. Fenomena ini persis sama dengan proses perpindahan panas konveksi dari permukaan datar yang didinginkan dengan aliran udara luar. [3]

2.5.1. Konsentrasi

Telah disebutkan bahwa sebagai gaya pendorong (driving force) terjadinya perpindahan massa adalah konsentrasi. Ada beberapa cara mendefinisikan konsentrasi. Misalkan dalam sebuah ruang volume V hanya terdapat dua jenis zat A dan zat B. masing-masing massanya disebut madan mb dan jika dijumlahkan disebut m. Massa dan volume masing-masing zat ditampilkan pada gambar 2.13. Sebagai contoh jika udara dianggap hanya terdiri dari udara kering dan uap air atau komponen lainnya diabaikan. Maka zat A dapat dimisalkan sebagai udara dan zat B adalah uap air yang terkandung dalam udara. [3]

Gambar 2.13 Zat A berdifusi dalam zat B (sebagai medium) dalam satuan volume[3]

Pada gambar 2.13, konsentrasi dapat dinyatakan dalam dua jenis, yaitu konsentrasi dengan basis massa dan konsentrasi dengan basis mol, dijelaskan sebagai berikut :

a. Konsentrasi Basis Massa

Jika dinyatakan dengan basis massa, konsentrasi zat A di dalam ruang tersebut dapat dituliskan sebagai berikut [3] :

V mA A =


(44)

Dimana :

ρ = Kerapatan atau density (kg/m3)

m = Massa (kg)

V = Volume (m3)

Dengan cara yang sama, konsentrasi untuk zat B juga dapat dirumuskan. Sementara konsentrasi total dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

B A V

m ρ ρ

ρ = = + (2.17)

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari persamaan (2.17) adalah konsentrasi zat merupakan penjumlahan konsentrasi masing-masing komponennya.

Konsentrasi massa juga dapat dinyatakan dengan fraksi massa. Pada gambar (2.13), konsentrasi zat A dalam bentuk fraksi massa dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut [3] :

ρ ρA A A

m m

w = = (2.18)

Dimana :

w = Fraksi massa

m = Massa (kg)

ρ = Kerapatan atau density (kg/m3)

b. Konsentrasi Basis Mol

Adakalanya konsentrasi tidak dinyatakan dengan basis massa, tetapi dengan jumlah mol. Pada gambar 2.13, mol zat A, mol zat B, dan mol total masig-masing dinyatakan dengan NA, NBdan N . Maka konsentrasi masing-masing dalam basis mol dapat dinyatakan dengan persamaan berikut [3] :

N N

C A

A = dan

N N

C B

B = (2.19)

Dimana :

C = Konsentrasi mol (mol/m3)


(45)

Konsentrasi juga dapat dinyatakan dengan fraksi mol dan dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut [3] :

C C N N

yA = A = A (2.20)

Dimana :

y = Fraksi mol

N = Jumlah mol (mol)

C = Konsentrasi mol (mol/m3)

Kedua besaran yang disebutkan ini, konsentrasi basis massa dan konsentrasi basis mol, dapat dihubungkan dengan menggunakan parameter berat molekul, yang disimbolkan dengan MR. Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut [3] :

MR m

N = (2.21)

Dimana :

N = Jumlah mol (mol)

m = Massa (kg)

MR = Berat molekul (kg/mol)

2.6. Tinjauan Perpindahan Massa

Perpindahan massa terjadi karena adanya perbedaan konsenrasi pada suatu medium. Proses perpindahan massa dan biasa disebut difusi massa (mass diffusion) sangat mirip dengan proses perpindahan panas, jika pada perpindahan panas dapat dijelaskan dengan hukum Fourier dimana perbedaan temperatur sebagai gaya pendorong (driving force), maka perpindahan massa dijelaskan dengan hukum Fick dengan perbedaan konsentrasi sebagai gaya pendorong. [3]

2.6.1. Perpindahan Massa Konduksi

Pada permukaan plat yang masing-masing mempunyai temperatur constant yang berbeda, permukaan A dan permukaan B, seperti yang ditampilkan pada gambar 2.6, perpindahan panas akan terjadi dari permukaan yang bertemperatur


(46)

lebih rendah. Hal yang sama akan terjadi pada plat yang mempunyai konsentrasi yang berbeda pada masing-masing permukaannya. Perpindahan massa akan terjadi dari permukaan yang mempunyai konsentrasi tinggi ke permukaan yang mempunyai konsentrasi lebih rendah. [3]

Gambar 2.14 Perpindahan massa secara konduksi[3]

Pada gambar 2.14, maka perpindahan massa dapat dihitung dengan menggunakan hukum difusi Fick atau biasa disebut Fick’s Law of Diffusion, dalam basis mol dirumuskan dengan :

(

)

L C C DA dx dC DA

N =− = AB

(2.22) Dimana :

N = Laju perpindahan massa (mol/det)

D = Koeffisien difusi massa suatu zat pada mediumnya (m2/det)

A = Luas penampang perpindahan massa (m2) A

C = Konsentrasi pada titik A (mol/m3) B

C = Konsentrasi pada titik B (mol/m3)

L = Ketebalan dinding benda (m)

Bentuk persamaan laju perpindahan panas pada persamaan (2.2) dan laju perpindahan massa pada persamaan (2.22) adalah sama persis. Maka dapat disebutkan persamaan menghitung laju perpindahan massa sama bentuknya dengan persamaan menghitung laju perpindahan panas. [3]

Karena konsentrasi dapat dinyatakan dengan beberapa bentuk, maka persamaan menghitung laju aliran massa dapat dinyatakan dalam beberapa bentuk. Variasi bentuk persamaan (2.22) jika dinyatakan dalam basis massa persamaannya menjadi [3] :


(47)

(

)

L DA dx d DA

m A B

evap ρ ρ ρ − = − =  (2.23)

Dalam bentuk fraksi massa dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

dx dw DA

mevap =−ρ (2.24)

Dan dalam bentuk fraksi mol dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

dx dy CDA

N =− (2.25)

Dimana : evap

m = Laju penguapan (kg/det)

D = Koeffisien difusi massa suatu zat pada mediumnya (m2/det)

A = Luas penampang perpindahan panas (m2) ρ = Massa jenis (kg/m3)

w = Fraksi massa

y = Fraksi mol

N = Laju perpindahan massa (kmol/det)

2. Koefisien Difusi Massa

Salah satu pasangan zat yang paling banyak aplikasinya adalah uap air dan udara. Secara khusus persamaan koefisien difusi massa pasangan ini telah dirumuskan oleh Marrero dan Mason (1972). Persamaan ini hanya berlaku untuk interval suhu 280K < T < 450K dan dapat dituliskan sebagai berikut [3] :

P T x Dair udara

072 , 2 10 10 87 , 1 −

− = (2.26)

Dimana : udara air

D = Koeffisien difusi massa air pada udara dan sebaliknya (m2/s)

T = Temperatur (K)

P = Tekanan (atm)

3. Konsentrasi di Bidang Batas

Meskipun bentuk persamaan dan teknik-teknik penyelesaian kasus perpindahan massa sama dengan perpindahan panas, tetapi jika dibandingkan,


(48)

analisis kasus perpindahan massa lebih rumit daripada kasus pepindahan panas. Hal ini dikarenakan teknik menentukan nilai konsentrasi di bidang batas berbeda. Pada kasus-kasus perpindahan panas yang melibatkan dua medium, temperatur pada bidang batas bersifat kontinu. Artinya tepat di bidang batas temperatur pada kedua medium bernilai sama. Misalnya ada dua medium seperti yang ditampilkan pada gambar 2.15, medium 1 adalah udara, dan medium 2 adalah air. Pada pertemuan bidang, misalkan temperaturnya adalah temperatur batas disimbolkan dengan T. Maka T1 adalah temperatur batas di sisi medium 1 dan T2 adalah

temperatur batas di sisi medium 2. Maka, pada bidang batas ini T1 pasti sama

dengan T2, atau T1 = T2. Dengan fakta ini, menentukan nilai temperatur bidang

batas tidak ada masalah karena temperatur bersifat kontinu. [3]

Pada kasus perpindahan massa hal ini tidak berlaku dan perlu penanganan khusus untuk menentukannya. Sebagai ilustrasi, pada gambar 2.15 ditampilkan konsentrasi di bidang batas C1 dan C2, artinya masing-masing adalah konsentrasi

uap air di bidang batas sisi udara dan konsentrasi air di bidang batas sisi air. Pada kasus ini, nilai C1 dan C2 tidak sama (C1C2). Grafik yang menyatakan

hubungan antara konsentrasi dan posisi vertikal pada pertemuan medium ditampilkan pada gambar 2.15, dapat dilihat adanya lompatan konsentrasi di permukaan dari C1 menjadi C2 . Jika hanya zat 2 yang ada air, atau kandungan zat

lain yang terlarut di dalam air diabaikan, maka konsentrasi dipermukaan (C1)

harus menggunakan kesetimbangan termodinamika. [3]

Gambar 2.15 Temperatur dan konsentrasi pada bidang batas dua medium[3]

4. Kasus Perpindahan Massa Uap Cairan Berdifusi ke Gas.

Salah satu kasus difusi yang banyak aplikasinya adalah, suatu zat berubah fasa dari fasa cair dan berdifusi ke dalam gas. Misalkan cairan zat 2 menguap dan


(49)

berdifusi ke medium 1, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.16. Variasinya, bisa saja zat 2 cairan murni atau campuran dengan cairan lainnya. Kasus yang sedang dibahas disini adalah uap zat 2 berdifusi pada medium 1. Maka agar bisa melakukan perhitungan nilai batas konsentrasi uap zat 2 di permukaan medium 1 yang berbatasan dengan zat 2 harus ditentukan. Kasus ini dapat digunakan memodelkan proses penguapan dari permukaan air dan uap yang terbentuk berdifusi ke udara. [3]

Gambar 2.16 Uap cairan berdifusi ke dalam gas[3]

Perhitungan konsentrasi di bidang batas disini akan dimulai dengan tekanan parsial. Misalkan tekanan parsial uap zat 2 dipermukaan medium 1 yang berbatasan dengan zat 2 adalah P2. Tekanan ini dapat dihitung dengan

menggunakan hukum Raoult, yaitu : sat

P x

P2 = 2 2, (2.27)

Dimana : sat

P2, = Tekanan uap saturasi medium 2 (Pa)

2

x = Fraksi mol zat 2 di larutan dimana zat 2 berada. = 1 apabila zat 2 adalah zat murni.

2

P = Tekanan parsial uap zat 2 (Pa)

Dengan mengetahui tekanan parsial uap zat 2 (P2), maka fraksi massa atau

fraksi mol zat 2 dipermukaan medium 1 yang berbatasan dengan zat 2 dapat dihitung dengan persamaan berikut [3] :

P P y

ws s 2

1 , 1


(50)

Dimana :

1 ,

s

w = Fraksi massa dipermukaan pada medium 1

1 ,

s

y = Fraksi mol dipermukaan pada medium 1

P = Tekanan total permukaan

2.6.2. Perpindahan Massa Konveksi

Persamaan perpindahan massa akibat adanya aliran mediumnya dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum kekekalan massa. Untuk kasus 2 dimensi tidak ada sumber massa dapat dituliskan dengan persamaan berikut [3] :

      ∂ ∂ ∂ ∂ +       ∂ ∂ ∂ ∂ = ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ y C D y x C D x y C v x C u t C (2.29)

Dimana u dan v, masing-masing adalah kecepatan fluida/medium tempat berdifusi searah sumbu-x dan sumbu-y. [3]

Persamaan (2.29) ini dan persamaan momentum harus diselesaikan secara simultan untuk mendapatkan parameter yang diinginkan. Jika dilakukan perbandingan dengan persamaan energi, persamaan ini mempunyai bentuk yang sama. Maka metode penyelesaian yang sama dapat dilakukan dan bentuk hasilnya akan sama. Perbedaannya hanya pada parameter tanpa dimensi yang digunakan. Misalnya pada persamaan energi dikenal bilangan Prandtl.

α v =

Pr (2.30)

Dimana v=µ ρ [m2/det] adalah viskositas kinematik dan α =k ρ.c adalah difusivitas thermal. Sementara pada perpindahan massa bilangan ini diganti dengan bilangan Schmidt.

D v

Sc= (2.31)

Dimana D [m2/det] adalah difusivitas massa. Bilangan tanpa dimensi yang digunakan untuk menghubungkan persamaan energi dan persamaan difusivitas adalah bilangan Lewis.

D Sc

Le= =α


(51)

Kemudian jika pada perpindahan panas konveksi bilangan Nusselt untuk merumuskan koefisien perpindahan panas, maka pada perpindahan massa menggunakan bilangan Sherwood. Rumus bilangan Nusselt adalah :

k L h

Nu= (2.33)

Dimana h [W/m2.K] adalah koefisien perpindahan panas konveksi, k[W/m.K] adalah koefisien konduksi dan L [m] adalah panjang karakteristik. Maka rumus bilangan Sherwood akan mempunyai bentuk yang sama , yaitu :

D L h

Sh= m (2.34)

Dimana hm[m/s] adalah koefisien perpindahan massa konveksi, L [m] adalah panjang karakteristik dan D [m2/det] adalah difusivitas massa.

Bilangan tanpa dimensi berikutnya yang dapat digunakan adalah bilangan Stanton, untuk kasus perpindahan panas didefinisikan sebagai berikut :

Pr . Re . Nu Uc h

St= =

ρ (2.35)

Dengan menggunakan analogi yang sama, untuk kasus perpindahan massa bilangan Stanton adalah :

Sc Sh U h St m m . Re = = (2.36)

1. Rumus-rumus konveksi perpindahan massa dan perpindahan panas Persamaan menghitung laju perpindahan panas konveksi dari suatu permukaan seluas A dengan temperatur Ts ke lingkungan yang mempunyai

temperatur T∞dapat dirumuskan dengan persamaan [3] :

(

− ∞

)

=hAT T

Qs (2.37)

Dengan analogi yang sama, perpindahan massa dapat dirumuskan dengan persamaan :

(

− ∞

)

= m ρs ρ evap h A

m (2.38)

Dimana :


(52)

m

h = Koefiesien perpindahan massa konveksi (m/det)

A = Luas penampang perpindahan panas (m2) s

ρ = Massa jenis pada permukaan benda (kg/m3)

ρ

= Massa jenis fluida yang mengalir (kg/m3)

Seperti yang telah dirumuskan pada persamaan-persamaan menghitung bilangan

Nu dapat diambil kesimpulan bahwa :

Nu = f (Re, Pr)

(2.39) Maka persamaan bilangan Sherwood adalah :

Sh = f (Re,Sc)

(2.40)

Untuk beberapa kasus, analogi ini dapat dituliskan sebagai berikut : Konveksi paksa melalui plat datar sepanjang L

(a) Aliran laminar (Re<5x105)

3 1 5 , 0 Pr Re 664 , 0 L

Nu= Pr > 0,6 (2.41)

3 1 5 , 0 Re 664 , 0 Sc

Sc= L Sc > 0,5 (2.42)

(b) Aliran turbulen (5x105 ≤Re<107)

3 1 7 , 0 Pr Re 037 , 0 L

Nu= Pr > 0,6 (2.43)

3 1 8 , 0 Re 037 , 0 Sc

Sc= L Sc > 0,5 (2.44)

2. Perpindahan Massa Konveksi natural

Seperti sudah disebutkan, jika konveksi paksa didorong oleh bilangan Reynolds maka konveksi natural oleh bilangan Grashof. Pada kasus perpindahan massa dengan cara konveksi natural, bilangan Grashof dirumuskan sebagai berikut [3] :

(

)

2 3 v L g

Gr = ρ∞ −ρs c

(2.45) Beberapa hubungan bilangan Nu dan bilangan Sh pada perpindahan massa konveksi natural adalah sebagai berikut :


(53)

(a) Plat vertikal

Untuk 105 ≤GrPr<109berlaku Nu=0,59

(

GrPr

)

0,25, maka dengan syarat yang sama berlaku :

(

)

0,25

59 ,

0 GrSc

Sh= (2.46)

Untuk 109 ≤GrPr<1013berlaku, Nu=0,1

(

GrPr

)

13, maka dengan syarat yang sama berlaku :

(

)

13

1 ,

0 GrSc

Sh= (2.47)

(b) Permukassn panas pada bagian atas pada bidang horizontal

Untuk 104 ≤GrPr <107berlaku Nu=0,54

(

GrPr

)

0,25, maka dengan syarat yang sama berlaku :

(

)

0,25

54 ,

0 GrSc

Sh= (2.48)

Untuk 107 ≤GrPr <1011berlaku, Nu =0,15

(

GrPr

)

13, maka dengan syarat yang sama berlaku :

(

)

13

15 ,

0 GrSc

Sh= (2.49)

3. Analogi Reynold (Pr≈Sc≈1)

Sebagai catatan, pada kasus perpindahan panas konveksi, penyelesaian persamaan pembentuk aliran dan persamaan energi menghasilkan dua parameter yang saling terpisah. [3]

Parameter pertama adalah faktor gesekan (f) yang befungsi menghitung gaya gesek/drag pada permukaan yang mengalami konveksi. Parameter yang kedua adalah koefisien perpindahan panas konveksi (h) untuk menghitung laju perpindahan panas. Selalu ada usaha untuk mnggabungkan kedua parameter ini, tujuannya adalah jika f sudah didapat maka dapat dikonversikan menjadi h. Pada bagian ini, parameter berikutnya yang akan digabungkan adalah hm. [3]

Usaha menggabungkan ketiga parameter ini untuk fluida khusus 1

Pr≈Sc≈ disebut analogi Reynolds. Fluida khusus ini berlaku untuk fluida seperti udara dimana bilangan Pr = 0,7 atau bisa dianggap dekat dengan 1. Dengan syarat khusus ini, maka akan berlaku :

D


(54)

Arti fisik dari persamaan (2.50) adalah lapisan batas hidrodinamik, lapisan batas termal, dan lapisan batas massa akan berimpit. Persamaan yang berlaku adalah :

Sh Nu f = = Re

2 atau D

L h k hL v UL

f = = m

2 (2.51)

Atau dapat juga dituliskan dengan persamaan berikut :

Sc Sh Nu f Re Pr Re

2 = = atau St Stm

f

= =

2 (2.52)

4. Analogi Chilton Colburn (Pr ≠Sc≠1)

Bagi fluida yang mempunyai sifat Pr≠Sc≠1, Chilton dan Colburm (1943) mengajukan persamaan berikut [3] :

3 2 3

2

Pr

2 St St Sc

f

m =

= (2.53)

Dengan menggunakan analogi ini, maka koefisien perpindahan massa dan perpindahan panas dapat dihubungkan menjadi persamaan berikut :

3 2

Pr     = Sc St St m (2.54)

Atau jika dikembangkan lagi, maka persamaan (2.52) menjadi sebagai berikut :

3 2 3 2 3 2 . . . . Pr

. cpLe

D cp Sc c h h m ρ α ρ

ρ  =

     =       = (2.55) Dimana :

ρ = Massa jenis fluida kerjanya (kg/m3) cp = Kapasitas panas (J/kg.K)

Le = Bilangan Lewis

Persamaan (2.55) sering digunakan untuk menghitung perpindahan massa dengan mengambil parameter dari perpindahan panas.

Laju penguapan dapat dihitung dengan menggunakan konveksi massa dari permukaan ke udara yang dirumuskan sebagai berikut [3] :

(

− ∞

)

= m v,s v,

evap h A

m ρ ρ (2.56)

Dimana :

evap


(55)

A = Luas permukaan terjadi penguapan (m2) s

v,

ρ = Massa jenis permukaan benda (kg/m3)

,

v

ρ = Massa jenis fluida yang mengalir (kg/m3)

Sedangkan setiap proses penguapan air pasti menyerap sejumlah panas, dapat dihitung dengan persamaan sebgai berikut [3] :

fg evap

l m h

Q =  . (2.57)

Dimana :

Q = Panas laten (W) fg

h = Panas laten penguapan air (J/kg)

2.7. Psikometrik

Psikometrik merupakan sub-bidang yang khusus mempelajari tentang sifat-sifat thermofisik campuran udara dan uap air. Dikarenakan pada penelitian ini menggunakan udara sebagai medium perpindahan panas, maka sifat-sifat termodinamik pada udara harus diperhitungkan. [1]

2.7.1. Rasio Humiditas (Humidity Ratio)

Karena udara adalah gabungan udara kering dan uap air yang terkandung pada udara, maka humidity ratio adalah perbandingan massa uap air (mw) dan

massa udara (ma), yang dirumuskan sebgai berikut [1] :

a w m m

w= (2.58)

Dimana :

w = Humidity Ratio (kg uap air/kg udara) w

m = Jumlah massa uap air (kg uap air)

a

m = Jumlah massa udara (kg udara)

Dengan menggunakan persamaan gas ideal dan hukum Dalton, yang merumuskan hubungan antara kandungan gas dengan tekanan parsial gas, maka rasio humiditas dapat juga dinyatakan dengan persamaan berikut [1] :


(56)

w atm w p p p w

=0,62198 (2.59)

Dimana :

w = Humidity Ratio (kg uap air/kg udara) w

p = Tekanan parsial uap air (Pa)

atm

p = Tekanan atmosfer (Pa)

2.7.2. Humiditas Relatif (Relative Humidity, RH)

RH adalah perbandingan fraksi mol uap air pada udara dengan fraksi mol uap air saat jika udara tersebut mengalami saturasi. Berdasarkan defenisi ini, persamaan untuk menghitung RH adalah [1] :

sat uap uap mol mol RH , = (2.60)

Dengan menguraikan defenisi fraksi mol dan persamaan gas ideal, RH dapat juga didefinisikan sebagai berikut [1] :

ws w p

p

RH = (2.61)

Dimana :

RH = Relative Humidity

w

p = Tekanan parsial uap air (Pa)

ws

p = Tekanan uap saat terjadi saturasi (Pa)

Pada penelitian ini, tekanan uap saturasi merupakan fungsi temperatur dan dapat dihitung dengan persamaan yang diusulkan oleh Hyland dan Wexler, dapat dituliskan sebagai berikut [1] :

) ln( )

ln( 1 C2 C3T C4T 2 C5T3 C6 T

T C

pws = + + + + + (2.62)

Dimana : ws

p = Tekanan uap saat terjadi saturasi (Pa)


(57)

Konstanta pada persamaan (2.62) dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Konstanta untuk persamaan Hyland dan Wexler [1]

1

C -5,800220 x 103

2

C -1,3914993

3

C -4,8640239 x 10-2

4

C 4,1764768 x 10-5

5

C -1,4452093 x 10-8

6

C 6,5459673

2.7.3. Humiditas Spesifik

Humiditas spesifik merupakan jumlah kandungan uap air yang terdapat pada udara dalam campuran. Dapat dirumuskan sebagai berikut [1] :

w w wh O

+ =

1

2 (2.63)

2.8. Computational Fluid Dynamics (CFD)

Computational Fluid Dynamics (CFD) adalah suatu cabang dari mekanika fluida yang menggunakan metode numerik untuk menyelesaikan dan menganalisa elemen-elemen yang akan disimulasikan. Pada proses ini, komputer diminta untuk menyelesaikan perhitungan-perhitungan numerik dengan cepat dan akurat. Prinsip kerja pada CFD adalah model yang akan kita simulasikan berisi fluida akan dibagi menjadi beberapa bagian atau elemen. Elemen-elemen yang terbagi tersebut merupakan sebuah kontrol perhitungan yang akan dilakukan oleh software

selanjutnya elemen diberi batasan domain dan boundry condition. Prinsip ini lah yang banyak digunakan pada proses perhitungan dengan menggunakan bantuan komputasi. [3]

2.8.1. Penggunaan CFD

CFD dalam aplikasinya dipergunakan diberbagai bidang antara lain : 1. Pada bidang teknik


(58)

a. Mendesain ruang atau lingkungan yang aman dan nyaman.

b. Mendesain aerodinamis kendaraan agar menghemat konsumsi bahan bakar c. Mendesain performa pembakaran pada piston kendaraan

2. Pada bidang olahraga

a. Menghitung kekuatan dan kecepatan pada tiap cara tendangan pada sepakbola

b. Menganalisa aerodinamis pada sepatu bola 3. Pada bidang kedokteran

a. Menganalisa peredaran udara pada pasien yang mengalami penyakit sinusitis

2.8.2. Manfaat CFD

Terdapat tiga hal yang menjadi alasan kuat menggunakan CFD, yakni :

1. Insight-Pemahaman mendalam

Ketika melakukan desain pada sebuah sistem atau alat yang sulit untuk dibuat

prototype-nya atau sulit untuk dilakukan pengujian, analisis CFD

memungkinkan untuk menyelinap masuk secara virtual ke dalam alat/sistem yang akan dirancang tersebut.

2. Foresight-Prediksi menyeluruh

CFD adalah alat untuk memperidiksi apa yang akan terjadi pada alat/sistem, dan CFD dapat mengubah-ubah kondisi batas (variasi kondisi batas).

3. Efficiency-Efisiensi waktu dan biaya

Foresight yang diperoleh dari CFD sangat membantu untuk mendesain lebih cepat dan hemat uang. Analisis/simulasi CFD akan memperpendek waktu riset dan desain sehingga juga akan mempercepat produk untuk sampai pasaran.

2.8.3. Metode Diskritisasi CFD

Secara matematis CFD mengganti persamaan-persamaan diferensial parsial dari kontinuitas, momentum dan energi dengan persamaan-persamaan aljabar linear. CFD merupakan pendekatan dari persoalan yang asalnya kontinum (memiliki jumlah sel tak terhingga) menjadi model yang diskrit (jumlah sel terhingga). [3]


(59)

Perhitungan/komputasi aljabar untuk memecahkan persamaan-persamaan diferensial parsial ini ada beberapa metode (metode diskritisasi), diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Finite Volume Method (FVM)

Metode ini adalah pendekatan yang umum digunakan dalam CFD, persamaan yang mengatur diselesaikan melalui volume kontrol diskrit. Metode volume terbatas menyusun kembali persamaan diferensial parsial yang mengatur (biasanya persamaan Navier-Stokes) dalam bentuk konservatif, dan kemudian discretize persamaan baru.[3]

2. Finite Element Method (FEM)

Digunakan dalam analisis struktural dari padatan, tetapi juga berlaku untuk cairan. Namun, formulasi FEM membutuhkan perawatan khusus untuk memastikan solusi konservatif. Perumusan FEM telah diadaptasi untuk digunakan dengan dinamika fluida yang mengatur persamaan. Meskipun FEM harus hati-hati dirumuskan untuk menjadi konservatif, jauh lebih stabil dibandingkan dengan pendekatan volume terbatas. [3]

3. Finite Difference Method (FDM)

Memiliki sejarah penting dan sederhana untuk program. Hal ini hanya digunakan dalam beberapa kode khusus. Modern Kode beda hingga menggunakan sebuah batas tertanam untuk menangani geometri yang kompleks, membuat kode-kode yang sangat efisien dan akurat. Cara lain untuk menangani geometri termasuk penggunaan tumpang tindih grid, dimana solusinya adalah interpolated di jaringan masing-masing. [3]

Metode diskritisasi yang dipilih umumnya menentukan kestabilan dari program numerik/CFD yang dibuat atau program software yang ada. Oleh karenanya, diperlukan kehati-hatian dalam cara mendiskritkan model khususnya cara mengatasi bagian yang kosong atau diskontinu. [3]

2.9. Persamaan Umum untuk Aliran Fluida

Persamaan pembentuk aliran fluida dikenal dengan istilah governing


(1)

4.3. Analisis Perpindahan Panas dan Perpindahan Massa Teoritis

Perpindahan massa yang terjadi pada kentang dapat dihitung berdasarkan persamaan perpindahan panas dengan menggunakan analogi Chilton-Colburn. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan pada tanggal 12 Mei 2014, bahwa temperatur rata-rata permukaan kentang adalah 30,02oC (303,17 K) dan sifat udara yang digunakan untuk melakukan proses pengeringan adalah 57,5oC (330,65 K) dan RH 20%. Maka untuk menyelesaikan kasus perpindahan massa dapat dilakukan sebagai berikut :

Sifat udara 2 65 , 330 17 , 303 2 K K T T T s f + = +

= ∞ = 316,91 K

RH = 20%

ρ = 1,107157 kg m3

Cp= 1024,586

J

kg

.

K

µ = 1,78008.10-5 N.s m2

α

= 2,15.10-5 m2 s

Diffusivitas massa uap air pada udara dapat dihitung dengan persamaan 2.24 sebagai berikut :

air O H

AB D

D =

2 = 1,87.10 -10

P T2,072

= 1,87.10-10

(

)

atm K 1 91 ,

316 2,072

= 2,84.10-5 m2 s

Untuk menghitung massa jenis pada permukaan kentang dan udara dapat dihitung dengan persamaan gas ideal sebagai berikut :

(

kPam kgK

)

(

K

)

kPa T R P f v s v s v 91 , 316 . . 4615 , 0 528 , 8 3 , , = =

ρ = 0,061 kg/m3

( )(

)

(

kPam kgK

)

(

K

)

kPa T R P v v v 65 , 330 . . 4615 , 0 746 , 17 . 2 , 0 3 , , = = ∞ ∞ ∞


(2)

Luas permukaan perpindahan panas pada kentang adalah sebagai berikut : l

p As = .

(

0

,

052

m

)(

.

0

,

05

m

)

=

= 0,0026 m2

Dan perimeternya dapat dihitung sebagai berikut :

( )

p

l

P

=

2

.

+

(

0

,

052

m

0

,

05

m

)

.

2

+

=

= 0,204 m

Maka panjang karakteristik dihitung sebagai berikut :

P A

L s

c =

m m 204 , 0

0026 ,

0 2

= = 0,0127 m

Bilangan Reynold untuk aliran di atas permukaan kentang dapat dihitung dengan persamaan 2.3 sebagai berikut :

µ ρVLc

=

Re

=

(

)

(

5

)(

2

)

3

. 10 . 78008 , 1

0127 , 0 35 , 0 107157

, 1

m s N

m s

m m

kg

− = 276,466

Koefisien perpindahan panas dapat dihitung dengan persamaan 2.39 sebagai berikut :

3 1 5 , 0

Pr Re 664 ,

0 L

Nu=

= 0,664

(

276,466

) (

0,5 0,7523

)

13 = 10,041

c

L k Nu h= .


(3)

Dengan menggunakan analogi Chilton-Colburn pada persamaan 2.53, maka dapat dihitung koefisien perpindahan massa sebagai berikut :

3 2 . .CpLe

h hm

ρ

= 3 2 . .       = AB D Cp h α ρ

(

)

(

)

23

5 5 3 2 10 . 84 , 2 10 . 15 , 2 . . 705 , 1023 . 111204 , 1 . 165 , 19       = − − K kg J m kg K m W

= 0,0154 m/s

Kemudian untuk menghitung laju perpindahan massa dihitung dengan persamaan 2.54 sebagai berikut :

(

vs s

)

s m

evap h A

m = ρ , −ρ,

(

)

(

2

)(

3 3

)

02326 , 0 / 061048 , 0 . 0026 , 0 . 0154 ,

0 m s m kg mkg m

=

= 2,06.10-6kg/s

Maka diperoleh laju perpindahan massa adalah 0,1236 g/min.

Laju perpindahan massa yang diperoleh diatas adalah merupakan hasil perhitungan berdasarkan koefisien konveksi pada temperatur awal, dikarenakan temperatur pada permukaan kentang akan berubah dari waktu ke waktu, maka nilai koefisien konveksi perpindahan panas akan berubah pula. Perubahan pada nilai koefisien konveksi perpindahan panas akan menyebabkan perubahan pada laju perpindahan massa. Nilai koefisien konveksi yang berubah setiap menit dapat dilihat di lampiran 2.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari pengujian ini adalah sebagai berikut :

1. Temperatur pada objek yang dikeringkan semakin meningkat apabila waktu pengeringan bertambah. Laju peningkatan temperatur pada setiap permukaan objek yang dikeringkan berbeda-beda. Laju rata-rata peningkatan temperatur yang terjadi pada titik 112, 113, 114, 119 dan 120 adalah 0,110 K, 0,114 K, 0,073 K, 0,086 K, 0,128 K.

2. Massa objek yang dikeringkan semakin menurun apabila waktu pengeringan bertambah diakibatkan oleh air dalam kandungan objek yang dikeringkan mengalami penguapan secara terus menerus. Penguapan rata-rata yang terjadi adalah 0,0000014 kg/s.

3. Hasil pengukuran temperatur setelah dua jam proses pengeringan pada permukaan objek yang dikeringkan dimana merupakan sisi yang bersentuhan dengan aliran udara secara langsung berdasarkan hasil eksperimen pada point 112, 113 dan 120 berturut-turut adalah 314,723 K, 315,038 K dan 316,304 K, sedangkan hasil pengukuran berdasarkan simulasi adalah 315,172 K, 315,834 K dan 316,972 K. Perbedaan ralat yang terjadi adalah 0,14%, 0,25% dan 0,21%.

4. Hasil pengukuran temperatur setelah dua jam proses pengeringan pada sisi tegak lurus aliran udara terhadap objek yang dikeringkan dimana merupakan sisi yang tidak bersentuhan dengan aliran udara berdasarkan hasil eksperimen pada point 114 dan 119 berturut-turut adalah 309,787 K dan 311,320 K, sedangkan hasil pengukuran berdasarkan simulasi adalah 312,681 K dan 314,203 K. Perbedaan


(5)

adalah 66,58 gr. Perbandingan hasil pengukuran massa pada eksperimen dan teoritis mengalami perbedaan ralat 5,09%.

5.2. Saran

1. Pada saat melakukan eksperimen, seluruh jendela ditutup agar sifat udara tidak berubah.

2. Produk yang dikeringkan sebaiknya memiliki massa yang lebih besar, agar pada saat blower dihidupkan tidak menimbulkan goncangan yang besar pada produk yang digantung.

3. Simulasi ini dilakukan secara 2D mengingat kemampuan untuk mensimulasikan secara 3D tidak dapat dilakukan karena keterbatasan peralatan, yaitu spesifikai pada komputer yang digunakan. Metode yang digunakan pada simulasi 2D hampir sama dengan simulasi 3D. Untuk itu diperlukan komputer yang lebih tinggi spesifikasinya agar simulasi 3D dapat dilakukan dengan lancar.

4. Menambahkan beberapa faktor yang telah diabaikan saat melakukan simulasi, seperti melakukan perhitungan perpindahan massa secara simultan dengan bantuan software lain.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Ambarita, H. 2011. Buku Kuliah Pendingin (Komponen SKU). Medan : Departemen Teknik Mesin FT USU

2. Ambarita, H. 2011. Buku Kuliah Perpindahan Panas Konduksi (penyelesaian analitik dan numerik). Medan : Departemen Teknik Mesin FT USU 3. Ambarita, H. 2011. Perpindahan Panas Konveksi dan Pengantar Alat

Penukar Kalor. Medan : Departemen Teknik Mesin FT USU

4. Cengel, Y.A. Heat Transfer A Practical Approach, Second Edition. Mc Graw-Hill, Book Company, Inc : Singapore

5. Corrales, L.V, Prieto, J.J.R, Hernandez, E.G. 2009. Numerical and Experimental Analysis of Heat and Moisture Transfer During Drying of Ataulfo Mango. Journal of Food Engineering : Elsevier

6.

7.

9. Incropera, F.P, David P. De Witt. 1985. Fundamentals of Heat and Mass Transfer, Second Edition. John Wiley & Sons Inc. : New York

10.Kaya, A., et al. 2005. Numerical Modeling of Heat and Mass Transfer During Forced Convection Drying of Rectangular Moist Object. Journal of Heat and Mass Transfer : Elsevier