Unsur-unsur Puisi KARAKTERISTIK PUISI SISWA SMP NEGERI KELAS VIII DI KABUPATEN SLEMAN.
Berikut contoh puisi yang di dalamnya terdapat diksi berjudul “Karawang Bekasi”
karya Chairil Anwar dalam Waluyo, 1987: 75.
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi Tidak bisa teriak Merdeka dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan
harapan Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir Kami sekarang mayat
Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
b. Pengimajian Menurut Waluyo 1987: 78, pengimajian adalah kata atau susunan kata-
kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Pengimajian disebut juga pencitraan. Sejalan dengan
pendapat Effendi dalam Waluyo, 1987: 80-81, menyatakan bahwa pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau
menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk melihat benda-benda, warna, dengan telinga
hati mendengar bunyi-bunyian, dan dengan perasaan hati dapat menyentuh kesejukkan dan keindahan benda dan warna.
Berikut contoh puisi yang di dalamnya terdapat imaji visual dan auditif
berjudul “Malam dalam Lamunan” karya Amie ES dalam Sarumpaet,
2002: 143.
Di langit bintang bertebaran di ujungnya bulan tampak segelintir
membisikkan sekelumit resahku mengulir kataku dalam bisu
mendera sebuah angan-angan jengkerik menembang di balik rumput
suara khas malam sunyi di batas lamunan
kucari lagi rindu terpisah tak pernah ada dalam lamunan
Pada kutipan puisi di atas, imaji penglihatan terdapat pada baris pertama dan imaji pendengaran terdapat pada baris keenam dan kedelapan. Menurut
Waluyo 1987: 79, ada tiga macam imaji yang ditimbulkan, yaitu imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil cita rasa.
c. Kata Konkret Kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk
menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca. Disini kata-kata konkrit dimaksudkan untuk
menyaran kepada arti menyeluruh. Hubungannya dengan pengimajian, kata konkret merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian.
Waluyo 1987: 81, mengatakan bahwa dengan kata yang diperkonkret, dapat membuat seorang pembaca membayangkan secara jelas peristiwa atau
keadaan yang dilukiskan oleh penyair. Sebagai contoh dikemukakan oleh Waluyo 1987: 81 tentang bagaimana penyair melukiskan seorang gadis yang benar-benar
pengemis gembel. Penyair mempergunakan kata-
kata “gadis peminta
-
minta”
contoh lainnya, untuk melukiskan dunia pengemis yang penuh kemayaan, penyair menulis: Hidup dari kehidupan angan-angan yang gembira dari kemayaan ruang.
Untuk melukiskan kedukaa
nnya, penyair menulis “bulan di atas tidak ada yang punyakotaku hidupnya tak punya tanda”. Untuk mengkonkretkan gambaran jiwa
yang penuh dosa digunakan; aku hilang bentukremuk. Berikut contoh puisi yang
di dalamnya terdapat kata konkret berjudul “Doa” ka
rya Amir Hamzah dalam Waluyo, 1987: 82.
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku? Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu. Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu,
biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu
d. Majas Kehadiran majas dalam sebuah puisi menjadikan sajak-sajak dalam puisi
menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan. Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun
atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Menurut Waluyo 1987: 83, majas atau figurative language merupakan bahasa yang digunakan penyair untuk
mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Bahasa figuratif terdiri atas pengiasan yang
menimbulkan makna kias dan pelambangan yang menimbulkan makna lambang. Kiasan atau gaya bahasa memiliki beberapa jenis, di antaranya metafora, simile,
personifikasi, hiperbola, sinekdoce, dan ironi, sedangkan yang termasuk pelambangan, yakni lambang warna, lambang benda, lambang bunyi, dan
lambang suasana Waluyo, 1987: 84-89. 1 Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan tidak disebutkan jadi ungakpannya langsung berupa kiasan Waluyo, 1987: 84. Kiasan
ini dapat dilihat dari kutipan puisi berjudul “Padamu Jua” karya Amir Hamzah
dalam Sayuti, 2010: 198.
Habis kikis Segala cintaku terbang hilang
Pulang kembali aku padamu Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan Sabar, setia selalu
Pada kutipan puisi di atas, upaya mengonkretkan Engkau Ilahiah dapat dicermati pada bait II. Di sana dimunculkan pembanding: kandil kemerlap, yaitu
pelita yang menyala kelap-kelip. Perbandingan tersebut membuat sifat Tuhan Yang Maha Penerang menjadi lebih nyata dalam rongga imajinasi pembaca, sebab
yang terlihat dan terasakan dalam diri pembaca adalah kandil yang kemerlap. 2 Simile
Kiasan yang tidak langsung disebut perbandingan atau simile. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata seperti,
laksana, bagaikan, bagai, bak, seumpama Waluyo, 1987: 84. Kiasan ini dapat
dilihat dari kutipan puisi yang berjudul “Kampung” karyaSubagio Sastrowardojo
dalam Sayuti, 2010: 196.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik Karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
Di mana setiap orang ikin bikin peraturan mengenai lalu lintas di gang, jaga malam
dan daftar diri di kemantren
Pemakaian kiasan simile dalam kutipan di atas, tampak pada unit sintaksis
“hidup di negeri ini seperti di dalam kampung”
, yang kemudian diikuti oleh unit-unit sintaksis yang terdapat pada bait-bait berikutnya sebagai penjelas
pemakaian simile tersebut:
“Di mana setiap orang ikin bikin peraturan mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan daftar diri di kemantren”
. Pemanfaatan kiasan ini menjadi lebih jelas apa yang hendak diungkapkan dalam
puisi tersebut,
yakni tentang
ketidakbetahan seseorang
menghadapi lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun psikis.
3 Personifikasi Personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam yang dikiaskan sebagai
keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia, benda mati dianggap sebagai
manusia Waluyo, 1987: 85. Kiasan ini dapat dilihat dari puisi berjudul “Surat Untuk Ayah” yang diunduh melalui
http:www.duniapuisi.com .
Ayah, air mataku bermain-main di atas kertas Ditemani pena yang menari-nari
Meninggalkan jejak tinta di kertas berhelai Aku rindu padamu Ayah.
Mengapa waktu tak kunjung menyerah Sehingga takdir memberikan keindahan pertemuan
Bukankah tak semua harta membahagiakan Terlebih ketika kesepian merajut sendu
Ayah, jangan biarkan aku sendiri Karena memang aku tak sanggup sunyi
Menerkam hampa Di dalam jiwa tanpa sang Imam keluarga
Puisi di atas, personifikasinya berupa pemberian sifat-sifat manusia terdapat pada bait pertama. Pada baris pertama Ayah, air mataku bermain-main di
atas kertas dan pada baris kedua Ditemani pena yang menari-nari. Ungkapan personifikatif tersebut berperan dalam membangun keseluruhan dan keutuhan
ekspresi puitik. 4 Hiperbola
Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan, penyair merasa melebih- lebihkan hal yang dibandingkan agar mendapatkan perhatian dari pembaca
Waluyo, 1987: 85. Berikut contoh kutipan puisi yang menggunakan kiasan hiperbola berjudul Kepada Peminta-minta karya Chairil Anwar dalam Pradopo,
2007: 97-98.
Baik-baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau dating Sembarang kau merebah.
Puisi di atas, kiasan hiperbola terdapat pada bait I baris ketiga dan keempat. Bait II dan III dikombinasi dengan penjumlahan, maksudnya untuk lebih
mengintensifkan pernyataan. Dengan demikian, lukisan tersebut menjadi sangat mengerikan dan menakutkan, perasaan dosa menjadi sangat terasa.
5 Sinekdoce Sinekdoce merupakan kiasan yang menyebutkan sebagian untuk maksud
keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian Waluyo, 1987: 85. Sinekdoce dibagi menjadi dua jenis yaitu totem pro parte dan part pro
toto. Disebut totem pro parte apabila menyebut keseluruhan untuk maksud sebagian. Sinekdoce part pro toto apabila menyebutkan sebagian untuk
keseluruhan. 6 Ironi
Ironi adalah pernyataan yang maknanya bertentangan dengan apa yang dinyatakan atau bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran Waluyo, 1987:
86. Berikut contoh kutipan puisi berjudul Sajak Seonggok Jagung karya W.S. Rendra dalam Waluyo, 1987: 85.
Apakah gunanya pendidikan Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang Menjadi laying-layang di ibu kota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Kutipan puisi di atas bermaksud penyair ingin menggambarkan kehidupan seorang guru dengan tujuan untuk menyindir guru-guru yang
menyelewengkan wewenangnya demi memenuhi kebutuhannya dan melalaikan tugasnya sebagai pendidik generasi muda.
e. Versifikasi Rima, Ritma, dan Metrum Menurut Waluyo 1987: 90, bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan
ritma. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Digunakan kata rima untuk mengganti istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan penempatan
bunyi dan pengulangannya tidak hanya pada akhir setiap baris, namun juga untuk keseluruha baris dan bait. Dalam ritma pemotongan-pemotongan baris menjadi
frasa yang berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah puisi. 1 Rima
Rima adalah pengulangan bunyi puisi untuk membentuk musikalitas dan orkestrasi. Pengulangan bunyi bertujuan agar puisi menjadi merdu jika dibaca.
Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, dan pengulangan kataungkapan. Pertama, onomatope merupakan tiruan terhadap bunyi-bunyi yang
ada. Menurut Sutradji dalam Waluyo, 1987: 91, contoh penggunaan kata-kata onomatope pada puisi seperti: ngiau, huss, puss, wau, haha, dan lain sebagainya.
Kedua, bentuk intern pola bunyi. Menurut Boulton dalam Waluyo, 1987: 92, yang dimaksud bentuk internal ini adalah aliterasi, asonansi, persamaan awal, dan
persamaan bunyi pada akhir baris sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk. Alietrasi merupakan persamaan bunyi konsonan pada suku kata
pertama. Asonansi merupakan ulangan bunyi vokal pada kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi konsonan. Sajak berselang ialah persamaan bunyi dengan pola
ab, ab, cd, ef, ef. Sajak berangkai ialah persamaan bunyi dengan pola aa, bb, cc, dd. Sajak berpeluk ialah persamaan bunyi dengan pola abba, cddc, baab.
Ketiga, pengulangan kataungkapan. Menurut Boulton dalam Waluyo, 1987: 93,
menyatakan bahwa pengulangan bunyikatafrasa memberikan efek intelektual dan efek magis yang murni.
2 Ritma Ritma berhubungan dengan bunyi dan pengulangan bunyi, kata, frasa,
dan kalimat. Menurut Muljana dalam Waluyo. 1987: 94, ritma merupakan pertentangan bunyi tinggirendah, panjangpendek, keraslemas, yang mengalun
dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Ritma puisi berbeda dengan metrum mantra. Berikut adalah contoh puisi yang di dalamnya
terdapat p
erulangan bunyi berjudul “Salju” karya Wing Kardjo dalam
Aminuddin, 2009: 136-137.
Ke manakah pergi mencari matahari
ketika salju turun pohon kehilangan daun
Ke manakah jalan mencari lindungan
ketika tubuh kuyup dan pintu tertutup
Ke manakah lari mencari api
ketika bara api padam tak berarti
Ke manakah pergi selain mencuci diri
Pada contoh puisi di atas, terdapat perulangan bunyi asonansi atau bunyi vokal e seperti pada baris pertama bait I ke manakah pergi. Perulangan bunyi
aliterasi atau perulangan bunyi konsonan n terdapat pada baris keempat bait I pohon kehilangan daun. Puisi tersebut juga terdapat perpaduan bunyi-bunyi antara
setiap akhir bait, sehingga menimbulkan pola persajakan aa, bb, cc, dd yang biasa disebut sajak berangkai.
f. Tata Wajah Tipografi
Menurut Waluyo 1987: 97, tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi membentuk bait. Baris
puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, yang
biasa disebut sebagai ciri eksistensi sebuah puisi. Berikut adalah contoh tipografi
yang terdapat pada puisi berjudul “Pergi” karya Ayudya W. dalam
puisi terbaik siswa
SMPN 9
Semarang yang
diunduh melalui
http:anitamisriyahmissy.blogspot.co.id .
Aku ingin pergi Pergi sejauh planet berputar
Aku ingin pergi Dari semua hal menyakitkan
Aku ingin pergi Walau hanya sekejap
Aku ingin pergi Walau masalah dating tiba-tiba
Aku ingin pergi Merasakan hawa sejuk kedamaian
Aku ingin pergi Untuk lebih bahagia
Menurut Wiyatmi 2008: 71, bentuk visual merupakan salah satu unsur puisi yang paling mudah dikenal. Bentuk visual meliputi penggunaan tipografi
dan susunan baris bait. Bait dalam puisi tidak terikat oleh aturan-aturan paragraf. Peranan bait adalah untuk menciptakan tipografi puisi dan penekanan gagasan
serta loncatan gagasan.
2. Struktur Batin Puisi Menurut Waluyo 2002: 17, struktur batin mencakup tema, perasaan
penyair, nada dan suasana penyair, dan amanat. Keempat unsur tersebut menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.
a. Tema Tema adalah gagasan pokok subject-matter yang dikemukakan oleh
penyair melalui puisinya Waluyo, 2002: 17. Pembaca harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan tema puisi. Berikut contoh puisi
dari Gema Tanah Air dalam Sarumpaet, 2002: 35.
Rumput kering kemuning terhampar luas.
Gemetar tampak hawa panas atas padang sunyi.
Ah, rumput, akarmu jangan turut Mengering
Puisi di atas bertemakan tumbuhan. Tema bersifat khusus diacu dari penyair, objektif semua pembaca harus menafsirkan sama, dan lugas bukan
makna kias yang diambil dari konotasinya. Tema yang banyak terdapat dalam puisi adalah tema ketuhanan religius, tema kemanusiaan, cinta, patriotisme,
perjuangan, kegagalan hidup, alam, keadilan, kritik sosial, demokrasi, dan tema kesetiakawanan.
b. Nada dan Suasana Puisi Selain tema, puisi juga mengungkapkan nada dan susasana kejiwaan.
Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca Waluyo, 2002: 37. Ada puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius,
patriotik, belas kasih, takut, mencekam, santai, masa bodoh, pesimis, humor
bergurau, mencemooh, karismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya. Nada
patriotik misalnya terdapat dalam puisi “Diponegoro” kar
ya Chairil Anwar.
Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti Sudah itu mati.
MAJU Bagimu Negeri
Menyediakan api. Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai Maju
Serbu Serang
Terjang
c. Perasaan dalam Puisi Puisi mengungkapkan perasaan penyair. Pembacaan puisi dengan suara
keras akan lebih membantu kita menemukan perasaan penyair yang melatarbelakangi terciptanya puisi. Perasaan yang menjiwai puisi bisa perasaan
gembira, sedih, terharu, patah hati, tercekam, takut, dan menyesal Waluyo, 2002: 40. Perasaan terharu terhadap suatu peristiwa terdapat dalam puisinya Hartoyo
Andangjaya yang berjudul “Dari Seorang Guru kepada Muridnya”. Adakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu sumber pengabdianku kepadamu.
Kalau hari Minggu kau datang ke rumahku aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga
Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
horison yang selalu biru bagiku karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua
d. Amanat Puisi Amanat, pesan, atau nasihat merupakan kesan yang ditangkap pembaca
setelah membaca puisi Waluyo, 2002: 40. Sikap dan pengalaman pembaca sangat berpengaruh kepada amanat puisi. Cara menyimpulkan amanat puisi sangat
berkaitan dengan cara pandang pembaca terhadap suatu hal. Meskipun ditentukan berdasarkan cara pandang pembaca, amanat tidak dapat lepas dari tema dan isi
puisi yang dikemukakan penyair.
Puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul “Dari Seorang Guru kepada
Murid-
muridnya” menampilkan kemiskinan hidup
seorang guru. Keceriaan di kelas tidak tergambar di rumahnya yang miskin dengan jendela-jendela yang tak
pernah diganti kainnya, kursi-kursi tua, dan meja tulis sederhana yang tidak pernah diceritakan oleh guru itu di depan kelas. Tema puisi tersebut adalah kritik
sosial terhadap pemerintah yang tidak memperhatikan nasib guru. Amanat dari puisi tersebut adalah perbaikilah nasib guru, muliakanlah guru sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa, hormatilah guru yang hidupnya menderita namun tetap berbakti dengan penuh semangat, dan jangan menilai harkat guru dari harta kekayaan
tetapi dari keseluruhan martabatnya.