2.1.1 Tanaman Tebu
Menurut Djoehana 1992 tebu Saccharum officunarum L. termasuk dalam family Andropogonae dan genus Saccharum. Dalam genus Saccharum
termasuk lima spesies tebu yaitu S. officunarum, S. sinese, S. berberi, S. spontaneum
dan S. robustun. Diantara lima spesies ini, Saccharum officunarum merupakan penghasil gula utama, sedangkan yang lainnya mengandung kadar
gula sedang sampai rendah. Nama latin Saccharum yang diberikan oleh Linnacus tahun 1953 berasal dari kata Karkara dan Sakkara dalam bahasa Sansekerta dan
Prakrit yang berarti kristal gula atau sirup yang berwarna gelap. Penelitian terakhir menyimpulkan bahwa tanaman tebu berasal dari pulau Irian, lalu sejak 3000 tahun
yang lalu menyebar ke kepulauan Indonesia dan Malaysia, dan kemudian menyebar ke Indocina dan India. India adalah negara pertama yang membuat gula
tebu. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatera Puspitasari 2010.
Tebu Saccharum officunarum L. merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis, termasuk salah
satunya di Indonesia. Perkebunan tebu di Indonesia tersebar di Medan, Lampung, Jawa dan Makassar, dengan luas area sekitar 232.000 hektar. Menurut Marradjo
1977 tumbuh dengan baik pada ketinggian sekitar 900 sampai 1100 meter diatas permukaan laut dengan pertumbuhan lebat dan rapat. Menurut Sutjahjo 1992
tanaman tebu ini umumnya diperbanyak dengan cara stek. Menurut Marradjo 1977 adapun morfologi tebu sebagai bahan baku utama dalam pembuatan gula
adalah sebagai berikut : tebu adalah jenis tanaman yang tumbuh tegak, tinggi tanaman tebu 2-6 meter dengan ruas batang 5-15 cm, berbentuk buku-buku,
berdaun lebar dan panjang dengan tulang daun sejajar dan keras serta memiliki akar serabut dengan perakaran yang tidak terlalu dalam Simangunsong 2012.
2.1.2 Pengertian Blotong
Pada pemrosesan gula dari tebu menghasilkan limbah atau hasil samping, antara lain ampas, blotong dan tetes. Blotong atau filter cake adalah endapan dari
nira kotor pada proses pemurnian nira yang di saring di rotary vacuum filter. Rata- rata blotong dihasilkan sebanyak 3.8 tebu atau sekitar 1.1 juta ton blotong per
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
tahun produksi tebu tahun 2011 sekitar 28 juta ton. Blotong dari stasiun sulfitasi rata-rata berkadar air 67 dan kadar pol 3 , Kuswurj 2012.
Produksi blotong mencapai 3,5-7,5 dari berat tebu giling. Menurut Triwahyuningsih dan Muhammad, sifat blotong yang mendukung perbaikan sifat
tanah antara lain daya menahan air tinggi, berat volume rendah, porous dan KTK tinggi. Blotong menunjukkan potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai
sumber bahan organik tanpa mengganggu pertumbuhan tanaman Rajiman 2008. Blotong keluar dari proses dalam bentuk padat mengandung air dan masih ber
temperatur cukup tinggi panas, berbentuk seperti tanah, blotong sebenarnya adalah serat tebu yang bercampur kotoran yang dipisahkan dari nira. Komposisi
blotong terdiri dari sabut, wax dan fat kasar, protein kasar, gula, total abu, SiO
2
, CaO, P
2
O
5
dan MgO. Komposisi ini berbeda prosentasenya dari satu PG dengan PG lainnya, bergantung pada pola prodkasi dan asal tebu Kurnia 2010. Berikut
dapat dilihat kandungan dari blotong pada tabel 2.1 di bawah ini Kuswurj 2012 : Tabel 2.1 Komposisi dari blotong
Komponen Zat Kering
Wax dan Fat kasar 5
– 14 Protein kasar
5 – 15
Sabut 15
– 30 Gula
5 – 15
Total abu 9
– 20 SiO
2
4 – 10
CaO 1
– 4 Komponen
Zat Kering P
2
O
5
1 – 3
MgO 0,5
– 1,5 Berdasarkan hasil penelitian Mudhoo et al 2011 yang mencampurkan
blotong dengan sampah sayuran dan ampas tebu untuk dijadikan pupuk, ternyata blotong menunjukkan potensi untuk dijadikan bahan pembuatan pupuk organik
serta blotong dapat dikombinasikan dengan bahan lain seperti ampas tebu, sampah
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
sayuran dan sampah lainnya yang mengandung selulosa dan lignin. Berdasarkan penelitian Bhosale 2012 yang mempelajari tentang karakter fisika
– kimia materi organik dalam blotong dan pengaruhnya terhadap kapasitas atau daya tanah dalam
menahan air, menunjukkan bahwa blotong segar tidak dapat langsung digunakan sebagai pupuk karena akan membuat sifat fisik tanah menjadi lebih buruk maka
diperlukannya proses ekstraksi atau proses pengomposan. Hasil dari pembelajaran bahwa ekstraksi bahan organik dalam blotong terlihat secara nyata terhadap
struktur fisik dan kualitas blotong serta membantu menambah kapasitas tanah dalam menahan air. Berdasarkan penelitian Nurawan 2008 blotong yang
diaplikasikan sebagai pupuk pada lahan tanam padi di lokasi prima tani kabupaten Cirebon menunjukkan dampak terhadap peningkatan produksi padi juga dapat
memperlambat penuaan daun padi.
2.2 Sampah