Tegangan Antar Muka ANALISIS METIL ESTER

2. Tegangan Antar Muka

Pengujian tegangan antar muka dilakukan dengan menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer . Dalam pengujian ini, surfaktan yang sudah dilarutkan dalam air formasi 400 ppm diinjeksikan dengan cairan minyak bumi. Setelah itu, diuji nilai tegangan antar muka pada kecepatan rotasi 3000 rpm dan suhu 70°C. Menurut Lapedes 1978, tegangan antar muka merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fasa. Untuk menurunkan tegangan antar muka di antara dua cairan yang berbeda fasa tersebut perlu ditambahkan surfaktan. Surfaktan tersusun atas gugus hidrofilik dan hidrofobik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada bagian antar muka antara dua fasa yang berbeda polaritasnya sehingga surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fasa. Pembentukan film tersebut mengakibatkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan yang berbeda fasa tersebut, sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antar muka. Pada penelitian ini, MESA yang dihasilkan memiliki tegangan antar muka yang berkisar antara 2,57 – 46,88 dynecm. Semakin kecil nilai tegangan antar muka berarti semakin baik kualitas dari surfaktan yang dihasilkan. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil nilai tegangan antar muka MESA dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO 3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai tegangan antar muka Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi dapat menurunkan tegangan antar muka. Nilai penurunan tegangan antar muka kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah surfaktan yang terbentuk selama proses sulfonasi. Semakin banyak surfaktan yang dihasilkan, maka akan semakin besar kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka, sehingga nilai penurunan tegangan antar muka akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi laju alir reaktan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan semakin besar. Begitu pula halnya dengan suhu. Menurut Steinfeld 1989, peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi. Kondisi ini memungkinkan semakin besarnya peluang untuk terjadinya tumbukan dan mempercepat terjadinya reaksi. Oleh karena itu, peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi akan meningkatkan jumlah SO 3 yang terikat dengan metil ester membentuk surfaktan MESA. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan X dan suhu reaksi Y terhadap nilai tegangan antar muka. Pada selang kepercayaan 95 α=0,05, laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai tegangan antar muka. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi XY juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai tegangan antar muka. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan bahwa suhu reaksi 100°C dan 120°C tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan suhu 80°C. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO 3 0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kgjam berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai tegangan antar muka. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai tegangan antar muka dapat dilihat pada Lampiran 6. Kondisi proses yang mampu memberikan nilai tegangan antar muka paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO 3 1,1 kgjam dan suhu reaksi 100°C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai tegangan antar muka sebesar 2,57 dynecm. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain. Proses sulfonasi yang lebih baik akan menghasilkan molekul surfaktan yang lebih banyak. Gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik dari surfaktan inilah yang akan mampu menurunkan tegangan antar muka.

3. Bilangan Iod