Latar Belakang Masalah BAB I sampai habis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 ayat 1 : Bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Sehubungan dengan pemahaman tersebut mata pelajaran kewirausahaan diajarkan pada sekolah menengah kejuruan mempunyai tujuan agar peserta didik dapat mengaktualisasikan diri dalam perilaku wirausaha. Materi pembelajaran kewirausahaan difokuskan pada perilaku wirausaha sebagai fenomena empiris yang terjadi di lingkungan peserta didik. Secara normatif berkaitan dengan indikator mata pelajaran kewirausahaan tersebut, dalam proses pembelajaran peserta didik dituntut lebih aktif untuk mempelajari peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di lingkungannya. Dengan pemahaman tersebut keberhasilan pendidikan dan pembelajaran kewirausahaan di SMK muaranya terletak kepada ketrampilan guru dalam mengelola kelas melaksanakan pembelajaran kewirausahaan. Kenyataan di lapangan berdasarkan hasil pengamatan penulis selaku guru kewirausahaan dan hasil refleksi dengan rekan profesi, persoalan yang dirasakan banyak faktor yang turut berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan dalam mengimplementasikan bahan ajar kewirausahaan. Faktor-faktor yang dimaksudkan antara lain lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan UKM, situasi dan kondisi pembelajaran, guru peserta didik dan sebagainya. Dari sekian banyak faktor yang ada, faktor guru dan peserta didik yang dominan. Guru dalam menerapkan ketrampilan mengelola kelas melaksanakan pembelajaran fokusnya pada penggunaan metode dan media pembelajaran yang kurang tepat. Bentuk pembelajaran pada umumnya masih konsvensional, 1 belum memberikan kesempatan secara proporsional kepada peserta didik untuk pro aktif baik secara individu maupun kelompok dalam mengkaitkan berbagai peristiwa ekonomi yang terjadi di lingkungannya sebagai media belajar kewirausahaan. Mencermati proses pembelajaran yang terjadi dalam setiap kelas, akan diperoleh pemahaman bahwa dalam setiap kelas, akan diperoleh pemahaman bahwa dalam setiap kelas yang berjumlah 32 peserta didik mempunyai berbagai macam latar belakang karakter, motivasi, dan kemampuan belajar yang berbeda-beda. Dari hasil belajar yang selama ini dilakukan di dalam kelas secara teoritis, baik dari pengetahuan, ketrampilan serta sikap yang ditunjukkan oleh peserta didik belum memperlihatkan hasil yang optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari motivasi belajar di dalam kelas yang kurang, juga dapat dilihat dari hasil belajar peserta didik yang masih rendah, nilai yang diperoleh masih jauh dari kriteria kululusan minimal KKM 65. Peserta didik yang memperoleh nilai kurang dari KKM masih 40 dari 32 peserta didik kelas II Teknik Otomotif. Rendahnya motivasi belajar kewirausahaan ini disebabkan karena metode pembelajaran selama ini diterapkan guru kurang variatif. Penggunaan ceramah, tanya jawab, observasi, diskusi tidak berlangsung berjalan satu arah, dari guru ke peserta didik, sehingga menjadikan peserta didik cenderung bersifat pasif. Lingkungan usaha belum dioptimalkan menjadi mediasumber belajar kewirausahaan. Proses pembelajaran yang masih konvensional ini turut menjadi pemicu rendahnya motivasi belajar dan hasil belajar memperoleh nilai kurang dari KKM 65. Rendahnya konsentrasi mengikuti pelajaran dapat pula terkait dengan tingkat perkembangan usia peserta didik yang relatif masih remaja. Pada masa remaja tingkat kebergantungan pada orang tua masih tinggi, sehingga segala sesuatu yang menjadi kebutuhannya masih dipenuhi oleh orang tua. Menurut Dr.Zakiah Darajat yang dikutip oleh Drs. Sofyan S. Wilis 1983 : 22 bahwa usia remaja antara 13-21 tahun merupakan masa transisi. Seorang individu telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh ketergantungan, 2 akan tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat. Anak remaja merasa bukan kanak-kanak lagi akan tetapi belum mampu memegang tugas sebagai orang dewasa. Hal ini dapat menjadi penyebab tingkah lakunya labil, tidak mampu menyesuaikan diri secara sempurna terhadap tugas-tugas belajar. Timbulnya aktivitas yang menyimpang selama proses pembelajaran perlu memperoleh penanganan yang serius, pertama perlunya peningkatan strategi pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik lebih aktif dan kreatif dalam mengikuti pembelajaran. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Winarno Surahmat 1984 : 23, guru dituntut mampu mengajar dengan berbagai metode yang penerapannya didasari oleh pemahaman yang mendalam pada pihak guru sehingga akan memperbesar minat belajar peserta didik dan mempertinggi hasil belajar. Sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan peran guru yang semula sebagai penyampaitransfer ilmu harus berganti peran sebagai fasilitator. Kedua, perlu adanya perubahan sikap dan perilaku peserta didik untuk memiliki motivasi belajar yang kuat. Motivasi belajar merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang diinginkan tercapai. Menurut W.S Wingkel 1983 : 30 motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual memiliki peranan menumbuhkan gairahsemangat belajar. Peserta didik yang bermotivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Selain adanya motivasi belajar yang kuat peserta didik juga harus memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya belajar bagi perkembangan dirinya. Dengan menyadari pentingnya belajar akan mendorong dan menjadi wahana tercapainya tujuan yang diharapkan. Ingin menjadi orang terdidik, yang berpengetahuan, yang aktif dalam bidang otomotif atau ingin menjadi pengusaha dan sebagainya, satu-satunya jalan orang perlu belajar. Tanpa belajar orang tidak mungkin menjadi ahli. Oleh karena itu dorongan yang menggerakkan harus menjadi kebutuhan. Dan kebutuhan kali ini adalah menjadi orang terdidik. 3 Dalam upaya menciptakan iklim belajar yang lebih kondusif dan mendorong keaktifan belajar peserta didik yang tinggi serta keinginan untuk meraih hasil belajar yang optimal penulis menggunakan solusi pembelajaran dengan “Penerapan Cooperatif Learning Cooperative Learning Student Team Achievement Division STAD” untuk memotivasi belajar peserta didik. Pada pembelajaran Cooperative STAD peserta didik berada dalam kelompok kecil 4- 5 orang. Dalam belajar Cooperative ini terjadi interaksi antar anggota kelompok untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pembelajaran guna mencapai hasil belajar maksimal. Semua anggota harus terlibat karena keberhasilan belajar ditunjang oleh aktivitas anggotanya sehingga anggota kelompok saling membantu dalam menguasai materi pembelajaran guna mencapai prestasi. Penerpaan Cooperative Learning Student Team Achievement Division STAD sebagai salah satu model pembelajaran penulis anggap paling tepat sebab peserta didik akan memperoleh kesempatan belajar bertanggung jawab secara individu maupun kelompok sehingga tercipta perilaku saling ketergantungan positif. Dengan penerapan Cooperatve Learning Student Team Achievement Division STAD dapat menimbulkan suasana positif yang mendorong untuk belajar dan berpikir. Dengan pemahaman tersebut penerpaan pembelajaran cooperative akan mengubah belajar kewirausahaan menjadikegiatan yang menyenangkan.

B. Tujuan Penulisan