37
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Laju Konversi Lahan
Penelitian ini dilakukan pada tingkat makro dengan menggunakan data sekunder mengenai harga lahan rata-rata pada Kecamatan Cisarua dari tahun 2001
hingga 2010. Analisis dilakukan untuk mengetahui laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua secara parsial dan secara kontinu. Laju secara parsial
merupakan analisis yang memperlihatkan perubahan penggunaan lahan yang dari tahun ke tahun dimana perubahan tersebut mengacu pada penggunaan lahan di
tahun sebelumnya. Perubahaan laju tertinggi dapat dilihat pada laju parsial. Sedangkan laju secara kontinu merupakan analisis yang digunakan untuk melihat
perubahan laju secara keseluruhan dari tahun yang ada, sehingga perubahan yang terjadi pada daerah tersebut dapat diamati pada daerah tersebut. Laju konversi
lahan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan dan Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor Tahun 2011
Gambar 7.
Laju Luasan Lahan Pemukiman dan Lahan Pertanian di Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010
Secara parsial, laju konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan yang paling tinggi selama 10 tahun terakhir terjadi pada tahun 2006 dan tahun 2010.
Terdapat perambahan sawah, perkebunan, dan hutan yang terjadi pada tahun
1000 2000
3000 4000
5000
Lua s La
ha n Ha
Tahun
Lahan Hijau Sawah, Hutan,
Perkebunan Pemukiman
38
2006. Pembeli yang telah membeli lahan di Kecamatan Cisarua langsung membangun usaha di atas lahan yang dimiliki dan mengalihkan fungsi lahan
tersebut, baik dengan membangun vila maupun tempat usaha lainnya. Kurangnya kesadaran pembeli lahan akan fungsi lingkungan membuat pembeli lahan
langsung mendirikan bangunan di daerah resapan air tanpa berpikir tentang dampak yang akan ditimbulkan. Pembangunan yang dilakukan akan menyebabkan
penebangan dan pengurangan lahan sawah serta perkebunan. Penebangan dilakukan di wiilayah yang pada awalnya merupakan sawah, perkebunan, dan
hutan. Setelah fungsinya berubah segera didirikan bangunan untuk kepentingan pribadi masing-masing pemilik lahan.
Penurunan jumlah luasan lahan sawah, perkebunan, dan hutan diikuti dengan pertambahan luas pemukiman. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada tahun
2006 jumlah luasan pemukiman meningkat hingga 8.06 dari tahun sebelumnya. Selain itu terjadi perpindahan penduduk yang cukup besar pada tahun tersebut.
Hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan tempat tinggal seperti pemukiman dan vila di lokasi tersebut.
Pemerintah belum cukup memperhatikan penerapan regulasi mengenai kegiatan dan oknum pembangunan liar di wilayah Kecamatan Cisarua. Hal ini
dibuktikan dengan sekitar 1 300 bangunan tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan IMB. Lahan sawah, perkebunan, dan hutan juga berkurang drastis
pada tahun 2010. Selain disebabkan oleh tingginya pembangunan pemukiman, alih fungsi lahan dari lahan sawah, perkebunan, dan hutan menjadi lahan kedap air
juga disebabkan oleh pembangunan jalan yang tidak memperhatikan drainase.
39
Kecamatan Cisarua memiliki wilayah terbangun yang pada awalnya merupakan wilayah pertanian. Daerah sawah, perkebunan, dan hutan banyak
dihilangkan untuk tujuan para developer sebagai tempat penginapan, areal parkir, maupun areal rekreasi dengan tujuan mendapatkan pemandangan yang indah bagi
para wisatawan. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 yang mengatur penyusunan RTRW
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi masalah
pembangunan liar tersebut. Kebijakan tersebut antara lain seperti pembongkaran vila-vila yang berdiri pada wilayah lindung dan yang tidak memiliki IMB,
memperketat perizinan pembangunan wilayah di Kecamatan Cisarua, dan menetapkan pajak yang tinggi untuk pembangunan tempat wisata.
Besarnya pajak untuk tempat wisata tersebut mencapai 15 dari total jumlah pemasukan yang diperoleh tempat wisata tersebut. Meskipun pajak yang
berlaku terbilang tinggi, hal tersebut tidak menghalangi niat investor untuk membangun daerah wisata mengingat banyaknya wisatawan yang datang
berkunjung ke Kecamatan Cisarua. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak obyek wisata pada wailayah Kecamatan Cisarua seperti dibangunnya kawasan
obyek wisata Taman Wisata Matahari. Tempat ini merupakan objek wisata yang paling luas di Kecamatan Cisarua.
Keinginan investor menanamkan modalnya dengan membuka tempat wisata dilandasi karena motif keuntungan ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini
disebabkan karena Puncak merupakan wilayah yang mempunyai suasana pegunungan dengan infrastruktur yang baik seperti jalan dan sarana pendukung
40
lainnya. Kawasan Puncak merupakan kawasan yang bersuasana pegunungan yang dapat diakses dengan mudah oleh berbagai asal pengunjung terutama pengunjung
yang berasal dari wilayah Jabodetabek. Jarak yang relatif tidak terlalu jauh dari pusat ibu kota menimbulkan dampak kemacetan lalu lintas di hari libur.
Umumnya kendaraan yang memasuki kawasan puncak pada hari libur mencapai angka 40 000. Hal tersebut membuktikan bahwa puncak sebagai wilayah yang
baik dan tepat untuk pengmbangan pariwisata. Akibatnya, jumlah lahan pertanian berkurang dan pembangunan pemukiman semakin tinggi.
Selain pajak, kebijakan perizinan yang diterapkan oleh pemerintah berupa pembongkaran vila-vila yang berada pada kawasan lindung dan tidak memiliki
IMB menjadi suatu solusi. Namun masih terdapat banyak kekurangan yang mengakibatkan kebijakan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Kekurangan
tersebut meliputi tidak tegasnya pemerintah dalam mengeksekusi lahan. Hal ini tergambar pada masih banyaknya bangunan yang tidak memiliki IMB yang tidak
dibongkar oleh pemerintah. Sekitar 400 bangunan vila yang tidak memiliki IMB, dan baru 42 vila yang dibongkar pada tahun 2007.
Vila yang tidak dibongkar tersebut merupakan salah satu bukti ketidak tegasan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya secara baik. Namun lain hal
nya dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan pembongkaran bangunan liar lainnya yang luasannya relatif lebih kecil. Sebanyak
50 bangunan liar yang terletak sepanjang Jalan Cisarua-Puncak telah dibongkar oleh pemerintah. Padahal bangunan tersebut berdiri di sepanjang wilayah yang
memang bukan wilayah lindung. Prioritas pemerintah kurang tepat dalam hal
41
tersebut. Kebijakan lainnya adalah dengan penetapan pajak yang tinggi sebesar 10 dari harga beli bangunan tersebut.
Laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan tahun 2010. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembangunan
besar-besaran baik dari sektor pariwisata maupun tempat peristirahatan. Perkembangan jumlah vila sepanjang tahun 2001 hingga 2010 terus bertambah.
Jumlah vila di kawasan ini pada tahun 2002 yaitu sebanyak 112 unit, dan meningkat menjadi sekitar 400 vila pada tahun 2006. Laju konversi ini juga
diperparah dengan perkembangan jumlah obyek wisata di wilayah tersebut terus bertambah. Mulanya pada tahun 2001 hanya terdapat obyek wisata Puncak dan
Taman Safari Indonesia, namun pada tahun 2006 bertambah satu obyek wisata baru.
Salah satu contoh obyek wisata baru yaitu didirikannya obyek wisata Taman Wisata Matahari. Tempat tersebut dibangun sebelum tahun 2006 dan telah
selesai dibangun pada tahun 2007 dengan luas areal mencapai 30 ha. Saat ini obyek wisata tersebut menjadi obek wisata favorit wisatawan yang datang dan
menjadi salah satu obyek wisata andalan di daerah tersebut. Perubahan alih fungsi lahan yang biasanya dijadikan lahan
terbangunpemukiman ini akan sulit ditata ulang karena pelestarian fungsi lingkungannya yang tidak tergantikan. Konversi lahan bisa mempengaruhi kadar
buangan air yang seharusnya bisa terserap tanah. Misalnya yang tadinya lahan pertanian dapat menyerap 70 air hujan, karena beralih menjadi pemukiman,
bisa berkurang daya penyerapannya hingga 30 Arsyad 2010. Hal ini dibuktikan dengan adanya kejadian banjir yang terjadi pada wilayah Jakarta pada
42
tahun 2007. Tingginya tingkat pembangunan pemukiman di wilayah Cisarua menyebabkan rendahnya resapan air pada kantung-kantung resapan yang ada pada
wilayah Cisarua. Peristiwa banjir di Jakarta tahun 2007 merupakan bencana banjir yang
terparah sepanjang 10 tahun terakhir. Hal ini selain disebabkan oleh sistem drainase yang buruk pada wilayah Jakarta dan juga disebabkan oleh banjir kiriman
dari wilayah Bogor Puncak Cianjur yang mengalir melalui DAS Ciliwung. Banjir kiriman ini mengakibatkan 60 wilayah Jakarta tergenang dengan kedalaman
banjir hingga lima meter di beberapa titik. Pantauan di 11 pos pengamatan hujan milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG menunjukkan
hujan yang terjadi mencapai 235 mm, hal ini merupakan tingkat curah hujan tertinggi selama kurun waktu 10 tahun. Banjir kiriman ini memakan korban
sedikitnya 80 orang tewas baik karena terseret arus, tersengat listrik maupun sakit. Kerugian materi mencapai 4.3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai
320 000 orang. Hal ini lebih parah dibandingkan dengan kejadian banjir yang terjadi pada tahun 2002
2
. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat alih fungsi lahan merupakan salah satu penyebab rendahnya daya resap air yang dapat
memicu terjadinya banjir kiriman dari daerah puncak. Tahun 2007 ditemukan berbagai penyimpangan yang terjadi di Kecamatan
Cisarua. Wilayah Desa Tugu Utara terdapat 400 vila liar yang seharusnya sudah diratakan dengan tanah. Namun pada saat itu hanya kurang dari 70 vila yang
sudah dibongkar. Hal ini tidak sesuai dengan keputusan wakil presiden Jusuf
2
id.wikipedia.orgwikibanjir_Jakarta_2007 diakses 28 Mei 2011
43
Kalla pada saat itu
3
. Pemerintah mengharapkan agar bangunan yang tidak memiliki izin dapat dibongkar karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Laju konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan berkurang akibat adanya penghijauan di wilayah tersebut. Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Indonesia KNLH menggagas penghijauan untuk menyelamatkan bumi pada tahun 2004. Salah satu tempat yang menjadi sasaran penghijauan adalah kawasan
hulu Sungai Ciliwung yang terletak di Kecamatan Cisarua
4
. Seiring dengan dilakukannya penghijauan, maka pada tahun 2004 luasan wilayah pertanian
menjadi bertambah yang pada mulanya seluas 1 986 ha menjadi 2 126 ha. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya karena pohon yang ditanam dapat membentuk
resapan air untuk mencegah risiko curah hujan yang berlebih di wilayah hulu. Analisis laju konversi lahan selain diperoleh dengan cara parsial dapat
juga dilakukan secara kontinu. Sepanjang tahun 2001 hingga 2010 laju secara kontinu konversi dari lahan sawah, perkebunan, dan hutan menjadi wilayah
terbangun terjadi penurunan sebesar 2.28 dari kondisi awal pada tahun 2001. Hal ini berarti pada Kecamatan Cisarua telah terjadi perubahan fungsi tata guna
lahan akibat perambahan maupun penebangan liar sebanyak 2.28 dari luasan lahan tahun 2001 hingga 2010. Konversi lahan tersebut tidak hanya diakibatkan
oleh pembangunan pemukiman namun juga bisa terjadi akibat pembangunan materi-materi non pemukiman lainnya, seperti jalan, lapangan, dan lain-lain. Hasil
analisis laju konversi lahan pertanian dapat dilihat pada persamaan berikut ini. Ln Y = 54.1 – 0,0228 t…………………………………………………..…….6.2
3
http:majalah.tempointeraktif.comidarsip20070521LUmbm.20070521.LU124012.id.html diakses tanggal 4 Mei 2011
4
www1.menlh.go.idserasiserasi2009_edisi_2.pdf diakses tanggal 27 Mei 2011
44
Laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman secara kontinu terjadi sebesar 3.94 . Hal ini berarti selama 10 tahun terakhir telah terjadi penambahan
wilayah terbangun pemukiman sebesar 3.94 . Hasil analisis laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman dapat dilihat pada persamaan berikut ini.
Ln Y = -71.5 + 0.0394 t……………………………...………………………...6.3 Penambahan wilayah pemukiman tersebut dipicu oleh peningkatan jumlah
penduduk yang berlangsung secara terus-menerus. Tahun 2001 jumlah penduduk Kecamatan Cisarua adalah sebanyak 86 758 jiwa dan meningkat mencapai 113
833 jiwa pada tahun 2010. Peningkatan ini terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk dari luar yang datang untuk mencari mata pencaharian di wilayah
tersebut. Tren pertumbuhan jumlah penduduk dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
Sumber: BPS, 2010
Gambar 8. Tren Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010
Jumlah penduduk Kecamatan Cisarua mengalami pertambahan yang signifikan pada tahun 2005 hingga 2006, yaitu mencapai 21 054 jiwa. Hal ini
diakibatkan oleh tingginya angka kelahiran dan pendatang yang berasal dari luar wilayah Kecamatan Cisarua. Tingginya angka kelahiran tersebut dapat dilihat dari
perubahan angka rata rata pertambahan penduduk yaitu sebanyak 3 000 jiwa per
20000 40000
60000 80000
100000 120000
140000
Ji w
a
Tahun
jumlah penduduk
45
tahun. Tingginya pertambahan penduduk tahun 2005 hingga tahun 2006 merupakan salah satu dampak dari meningkatnya wilayah obyek wisata pada
daerah Cisarua. Peningkatan obyek wisata ini membuka peluang pekerjaan baru sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan ini
diakibatkan oleh adanya pendatang baru yang bekerja pada obyek wisata tersebut maupun di luar obyek wisata tersebut, seperti pedagang kaki lima dan pemandu
wisata, serta tempat jajanan dan sarana pendukung lainnya yang banyak menyerap tenaga kerja. Penyebab lain adalah pemikiran penduduk yang mempunyai
pemahaman banyak anak banyak rezeki menjadi salah satu penyebab tingginya angka pertambahan penduduk.
Penurunan jumlah penduduk terjadi pada tahun 2004 hingga 2005. Penurunan jumlah penduduk terjadi akibat kematian dan perpindahan penduduk
keluar wilayah baik untuk kepentingan pekerjaan maupun pindah permanen. Menurut data yang diperoleh melalui Kecamatan Cisarua, pada tahun tersebut
banyak penduduk yang keluar dari wilayah tersebut untuk mencari pekerjaan baru seperti menjadi Tenaga Kerja Indonesia TKI dengan kontrak kerja selama dua
tahun. Peningkatan jumlah penduduk terjadi kembali pada tahun 2006. Peningkatan penduduk ini merupakan salah satu dampak dari kembalinya
penduduk yang menjadi TKI ke wilayah tersebut setelah memenuhi kontrak kerja yang sudah disepakati.
Pertambahan obyek wisata juga mendorong keinginan para investor untuk membangun daerah peristirahatan yang lebih banyak yang tentu memicu
pengurangan lahan lebih banyak pula. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak yang buruk pada wilayah resapan daerah hulu Sungai Ciliwung.
46
Peningkatan luas jalan bertambah seiring dengan meningkatnya luas pemukiman yang dibangun. Penambahan pemukiman atau tempat tinggal
membutuhkan penambahan sarana dan prasarana yang mempermudah akses masyarakat berupa jalan. Ada pun luas pemukiman dan luas jalan di Kecamatan
Cisarua tahun 2001-2010 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Luas Pemukiman dan Jalan di Kecamatan Cisarua Tahun 2001- 2010
Tahun Pemukiman
Ha Jalan Ha
Total Ha Luas Kecamatan
Cisarua Ha
2001 1 717.488
90.883 1 808.371
6 373.620 2002
1 816.896 91.581
1 908.477 6 373.620
2003 1 951.271
92.392 2 043.663
6 373.620 2004
1 954.229 92.392
2 046.621 6 373.620
2005 1 968.287
92.392 2 060.679
6 373.620 2006
2 126.917 93.274
2 220.191 6 373.620
2007 2 287.500
94.161 2 381.661
6 373.620 2008
2 383.021 94.845
2 477.866 6 373.620
2009 2 366.970
94.845 2 461.815
6 373.620 2010
2 425.752 95.382
2 521.134 6 373.620
Sumber: Pemerintah Kecamatan Cisarua, 2011
Salah satu bentuk nyata adalah pembangunan sarana penginapan yang bertempat pada daerah pelosok di kecamatan tersebut yang belum ada akses jalan
arteri, maka untuk mempermudah akses menuju lokasi penginapan dibangun jalan pendukung yang bisa dilalui kendaraan. Penambahan tersebut tentu akan
menambah tingkat wilayah terbangun non perumahan. Jalan untuk kendaraan roda empat dengan dua arah paling tidak membutuhkan lebar jalan 7 m, sehingga
pembangunan jalan sepanjang 500 m jalan akan menambah daerah terbangun seluas 3 500 m
2
.
47
Pertambahan jalan tertinggi terjadi pada tahun 2005 hingga 2006. Hal ini sejalan dengan pertambahan pemukiman. Pertumbuhan pemukiman pada tahun
2005 hingga 2006 juga meningkat tinggi. Infrastruktur berupa jalan sering kali tidak dapat berkurang luasannya. Hal ini disebabkan karena jalan merupakan
sarana yang dimanfaatkan tidak hanya untuk akses terhadap pemukiman namun juga untuk kebutuhan lainnya. Luasan jalan dapat bertambah seiring dengan
pertambahan pemukiman maupun sarana lainnya karena sarana-sarana tersebut membutuhkan jalan sebagai kebutuhan utama untuk melakukan kegiatan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, laju konversi, baik untuk lahan pemukiman maupun sawah, perkebunan, dan hutan secara parsial yang tertinggi
terjadi pada tahun 2006. Laju konversi lahan yang dikonversi untuk pemukiman yang tertinggi juga terjadi pada tahun 2006. Jumlah penduduk yang tinggi pada
tahun 2006 menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal dan bangunan lainnya juga bertambah, sehingga lahan pertanian banyak yang dikonversi pada tahun
tersebut.
6.2. Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian