PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah kota menyimpan sejuta kisah. Ia merupakan satu tempat bagi sebuah drama kehidupan berlangsung. Dimana terdapat berbagai macam karakter
penghuninya manusia, yang memiliki keanekaragaman kelas sosial. Berbeda dengan desa, kota merupakan sebuah ruang lingkup yang menampung heterogenitas
gaya hidup. Penanda–penanda kekotaan secara fisik seperti adanya gedung–gedung perkantoran, gedung–gedung pendidikan, pusat perbelanjaan, kantor pemerintahaan
dan juga tampilan lain seperti kondisi jalan yang lebih bagus, akses informasi serta keanekaragaman lahan pekerjaan dan lai -lain, telah memberikan daya magnetis
kepada banyak manusia untuk ikut masuk meramaikannya. Kita ambil contoh Jakarta, kota super sibuk, di sanalah tempat bertemunya berbagai macam suku bangsa
Indonesia, tempat untuk mengadu nasib demi sebuah kata yaitu kelayakan hidup atau perbaikan taraf hidup. Sudah menjadi hal yang wajar jika manusia mendambakan
kualitas hidup yang semakin baik dari hari - ke hari. Bagi kebanyakan orang, Jakarta merupakan tempat untuk menjemput mimpi panjang tentang kehidupan yang layak,
sebab ada semacam gurauan bahwa “apapun bisa menjadi uang di Jakarta” , walaupun tidak punya kemampuan khusus yang cukup, maka hanya dengan berdiri di
perempatan jalan menjadi polisi “cepek” hasilnya juga lumayan. Begitulah sebuah elegi kota besar. Bagaimana dengan kota Solo? Ke depan kita akan meyaksikan
wajah kota Solo yang lain, indikasi yang cukup memberikan gambaran bagi kita adalah bermunculannya mall-mall yang menawarkan sebuah paradigma baru tentang
gaya hidup.
Hal menarik dari uraian tersebut adalah sebuah kata yaitu, perubahan. Manusia sekarang berada pada satu arus perubahan yang bergerak mengalir begitu
cepat. Kalau dalam sejarah peradaban manusia kita dulu mengenal istilah era berburu dan meramu, kemudian meningkat menjadi era bercocok tanam atau bertani,
lalu muncul era industri, era teknologi, lalu melompat lagi hingga sekarang kita telah berada di era informasi yang ditandai dengan semakin mudahnya perputaran
informasi sehingga kita bisa mengetahui kejadian yang jauh sekalipun. Pada kenyataannya pola atau gaya hidup manusia sudah mengalami proses
globalisasi. Dimana terjadi kecenderungan penyeragaman dalam menyikapi perubahan dalam artian moderenitas. Apa yang disebut moderenisasi adalah semua
yang serba cepat, mudah, menyenangkan instanable life style, hal ini terwujud dengan adanya perkembangan teknologi hasil reka daya manusia yang memberikan
kemudahan hidup. Kota merupakan sebuah simbol moderenitas. Mobilitas manusianya yang
bergerak dinamis, bahkan tanpa jeda, 24 jam non stop, telah membuat kota bagai mesin yang terus saja berdenyut. Dinamika kehidupan kota yang heterogen secara
sadar atau tidak telah membentuk suatu dikotomi kelas sosial, yaitu kelas atas dan kelas bawah. Dilihat dari segi ekonomi tentu saja dalam menyikapi arus perubahan
yang bergerak cepat, masyarakat kelas atas lebih punya keberuntungan untuk bertahan dan ikut mereguk nikmatnya perubahan itu, sementara yang lain hanya bisa gigit jari.
Adanya dikotomi kelas sosial ini merupakan salah satu penyebab dari timbulnya disorganisasi sosial. Yaitu suatu keadaan dimana terjadi proses melemahnya norma–
norma dalam masyarakat sehingga terjadi problem sosial. Bisa dikatakan juga bahwa disorganisasi sosial merupakan suatau keadaan
dimana telah terjadi ketidak harmonisan hubungan antara elemen–elemen sosial
kemasyarakatan. Disorganisasi sosial yang terjadi di masyarakat akan menjadi bibit bagi tumbuhnya pathologi sosial atau penyakit sosial masyarakat yang tercermin
dalam perilaku masyarakat yang menyimpang dari sifatnya sebagai manusia yang memiliki sifat kemanusiawian dalam aspek moralitas.
Fenomena kriminalitas dengan berbagai pola yang cenderung meningkat grafiknya merupakan satu indikasi bahwa telah terjadi pathologi sosial yang
disebabkan oleh disorganisasi sosial. Sebuah pertanyaan pantas timbul di benak kita tentang apa yang sedang terjadi pada kita manusia sekarang ini ? Kita manusia
barangkali telah kehilangan derajat kita sebagai manusia, kemanusiaan telah lama terkikis dari diri kita. Lalu tindakan kita manusia menjelma menjadi seperti
binatang atau lebih parah lagi, sebagaimana tampilan media massa yang memberitakan tentang peristiwa pembunuhan, prostitusi, perkosaan, korupsi, narkoba
dan seterusnya dengan berbagai alasan yang kadang tidak masuk akal bagi kita manusia sendiri. Manusia moderen dengan perubahan kehidupan yang
dikembangkannya sendiri telah menyisakan manusia yang terhempas di sisi lain dari hingar- bingar moderenitas itu. Ada yang peduli terhadap mereka yang terhempas,
tidak sedikit pula yang berpaling muka dan terbang bebas menikmati hidupnya dalam arus bernama moderenitas, mengikuti egonya. Seandainya kita ingat perkataan
Mahatma Gandhi : “Sumber–sumber dunia cukup untuk memuaskan kebutuhan manusia, tetapi tidak cukup memuaskan kerakusan manusia” .
B. Penegasan Judul