tempat dimana larva berada. Pada pemeriksaan lab, eosinofilia mungkin ditemukan, namun tidak spesifik. Dalam sebuah penelitian di Jerman pada
wisatawan dengan CLM, hanya pada 8 20 dari 40 orang didapatkan eosinofilia. Namun, peningkatan kadar eosinofil dapat mengindikasikan
perpindahan larva cacing ke visceral, tetapi ini termasuk komplikasi yang jarang terjadi Heukelbach dan Feldmeier, 2008.
CLM yang disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan ELISA Enzyme-linked immunosorbent assay. Sekarang ini, mikroskop
epiluminesens telah digunakan untuk memvisualisasikan pergerakan larva, namun sensitivitas metode ini belum diketahui Heukelbach dan Feldmeier, 2008.
2.1.10. Diagnosis Banding
Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies. Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM.
Namun, apabila dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM berupa
papul, karena itu sering diduga dengan insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa papul-papul sering menyerupai herpes zoster stadium
awal Aisah, 2010. Diagnosis banding yang lain antara lain dermatitis kontak alergi,
dermatitis fotoalergi Robson dan Othman, 2008, loiasis, myasis, schistosomiasis, tinea korporis Heukelbach dan Feldmeier, 2008, dan ganglion kista serpiginius
Friedli et al, 2002. Kondisi lain yang bukan berasal dari parasit yang menyerupai CLM adalah tumbuhnya rambut secara horizontal di kulit Sakai et.al,
2006.
2.1.11. Pengobatan
Menurut Heukelbach dan Feldmeier 2008, obat pilihan utama pada CLM adalah ivermectin. Dosis tunggal 200 µgkg berat badan dapat membunuh larva
secara efektif dan menghilangkan rasa gatal dengan cepat. Angka kesembuhan dengan dosis tunggal berkisar 77 sampai 100. Dalam hal kegagalan
Universitas Sumatera Utara
pengobatan, dosis kedua biasanya dapat memberikan kesembuhan. Ivermectin kontradiksi pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg atau berumur kurang
dari 5 tahun dan pada ibu hamil atau wanita menyusui. Namun, pengobatan off- label
pada anak-anak dan ibu hamil sudah pernah dilakukan dengan tanpa adanya laporan kejadian merugikan yang signifikan Saez-de-Ocariz et al, 2002; Gyapong
et al , 2004 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008.
Dosis tunggal ivermectin lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol, tetapi pengobatan berulang dengan albendazol dapat dilakukan sebagai alternatif
yang baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia. Oral albendazol 400 mg setiap hari yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan tingkat
kesembuhan yang sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100. Karena dosis tunggal albendazol memiliki efikasi yang rendah, albendazol dengan
regimen tiga hari biasanya lebih direkomendasikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan pendekatan alternatif dengan dosis awal albendazol dan mengulangi
pengobatan Heukelbach dan Feldmeier, 2008. Tiabendazol 50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari telah digunakan
secara luas sejak laporan mengenai efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol yang diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk. Selain itu,
penggunaan tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping berupa pusing, mual muntah, dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin dan albendazol
secara oral menunjukkan hasil yang baik, penggunaan tiabendazol secara oral tidak direkomendasikan Heukelbach dan Feldmeier, 2008.
Penggunaan tiabendazol secara topikal pada lesi dengan konsentrasi 10- 15 tiga kali sehari selama 5-7 hari terbukti memiliki efektivitas yang sama
dengan pengguaan ivermectin secara oral. Penggunaan secara topikal didapati tidak memiliki efek samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang baik.
Tiabendazol topikal terbatas pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat digunakan pada folikulitis. Ivermectin dan albendazol adalah gabungan yang
menjanjikan untuk penggunaan topikal, terutama untuk anak-anak, namun data efikasi untuk penggunaan ini masih terbatas. Infeksi sekunder harus ditangani
dengan antiobiotik topikal Heukelbach dan Feldmeier, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO
2
snow dry ice dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-
turut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen liquid
dan penyemprotan kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit karena
sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva berada. Di samping itu, cara ini dapat menimbulkan nyeri dan ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama
ditinggalkan Aisah, 2010.
2.1.12. Pencegahan