Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Pegawai Perpustakaan

(1)

PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PERILAKU

CYBERLOAFING PADA PEGAWAI PERPUSTAKAAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

LILIYANA SARI

101301029

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2013/2014


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA PEGAWAI PERPUSTAKAAN

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalan penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 25 April 2014

Liliyana Sari


(3)

Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Pegawai Perpustakaan

Liliyana Sari dan Siti Zahreni

ABSTRAK

Perilaku cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan pribadi di saat jam kerja. Perilaku ini dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik yang dapat berasal dari perusahaan atau milik pribadi. Munculnya perilaku cyberloafing dapat berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing, salah satunya adalah kontrol diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah 90 orang pegawai di salah satu perpustakaan negeri. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala cyberloafing yang disusun berdasarkan teori Blanchard dan Henle (2008) dan skala kontrol diri yang disusun berdasarkan teori kontrol diri rendah oleh Gottfredson dan Hirschi (1990). Analisis data penelitian dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan bahwa kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing (r = -0.510, r2 = 0.26, dan p = 0,000). Artinya kontrol diri memberikan sumbangan efektif sebesar 26% dalam mengurangi perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan organisasi dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan penggunaan internet di tempat kerja agar menghindari munculnya

cyberloafing.

Kata Kunci : cyberloafing, kontrol diri, pegawai perpustakaan, penggunaan internet pribadi


(4)

The Influence of Self Control Toward Cyberloafing Among Library Employees

Liliyana Sari dan Siti Zahreni

ABSTRACT

Cyberloafing is any behaviors of employees that using their companies’

internet for personal purpose during work time. This behavior is done by using electronic devices that can be derived from companies or private property. The emergence of cyberloafing can affect the performances of employees. Many factors influence cyberloafing, one of them is self control. This study aimed to determine the influence of self control toward cyberloafing. This study used quantitative method. Subjects in this study were 90 employees of a state library. Measuring instruments used in this study were cyberloafing scale based on Blanchard and Henle theory (2008) and self control scale based on low self control theory by Gottfredson and Hirschi (1990). Data analysis was using simple regression showed that self control negatively affect cyberloafing (r = -0.510, r2 = 0.26, and p = 0,000). It means, self control contributes effectively 26% in reducing cyberloafing among library employees. Results of this study could be a reference for the organization to create policies related to internet using in workplace to avoid cyberloafing.


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, serta kekuatan sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kontrol Diri terhadap Perilaku

Cyberloafing pada Pegawai Perpustakaan”. Shalawat dan salam senantiasa

dicurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Dalam proses menyelesaikan skripsi ini, peneliti mendapatkan banyak dukungan, bantuan, serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Kak Siti Zahreni, M.Psi, psikolog sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan waktu, tenaga, dan pemikirannya untuk membimbing saya dimulai dari menyusun proposal hingga menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Zulkarnain, Ph.D, psikolog dan Ibu Vivi Gusrini Pohan M.Sc., M.A.,

psikolog yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai dosen penguji pada sidang skripsi saya. Terima kasih atas saran dan masukan yang Bapak dan Ibu berikan sehingga penelitian saya menjadi lebih baik.

4. Kedua orang tua saya, Dr. Mulyadi, M.Hum dan Dra. Rumnasari Siregar, M.Si, serta kedua orang adik saya, Nurmala Fitri dan Andika Aulia. Terima kasih atas doa, kasih sayang, serta dukungan secara fisik, moral, dan finansial. Terima kasih Papa dan Mama yang sudah banyak disusahkan oleh


(6)

saya selama mengerjakan skripsi ini. Saya persembahkan skripsi ini untuk kalian. Semoga saya bisa menjadi anak yang membanggakan. Amin.

5. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si selaku pembimbing akademik. Terima kasih banyak atas bimbingan dan arahan Ibu selama saya menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Rizal yang telah membantu saya selama proses uji coba skala di tempat Bapak bekerja. Kemudian Bapak Jonner, Bapak Irwan, Bapak Rasiman, Bu Tuti, dan Pak Joko atas bantuannya dalam penelitian saya. Bantuan Bapak dan Ibu sangat berharga untuk penelitian saya.

7. Teman-teman terbaik saya selama berkuliah di Fakultas Psikologi USU,

PAPers yaitu Kak Nisa, Numu, Sela, Desy, Fitri, dan Rini. Terima kasih sudah bersedia jadi tempat berbagi suka dan duka selama 4 tahun. Terima kasih juga kepada Ririn, teman sharing skripsi yang sudah mau mendengarkan segala unek-unek saya. You guys are the best!

8. Senior angkatan 2009 yang selalu menjawab pertanyaan saya terkait dengan skripsi, yaitu Kak Dilla, Kak Risky, dan Kak Mifta. Terima kasih banyak atas waktu dan kesabaran membimbing saya.

9. Keluarga INSOS Kece, kelompok yang dibentuk karena tugas Intervensi Sosial, tapi kemudian menjadi keluarga baru saya. Kangen ngumpul lagi sama kalian, Papi Weillun, Cici Vera, Teteh Irene, Butet Anggun, dan tiga anggota PAPers (Bundo Numu, Ahjumma Sela, dan Kak Nisa).


(7)

10. Angkatan 2010, tempat di mana saya bernaung selama 4 tahun. Terima kasih atas kenangan dan pembelajaran yang saya dapatkan selama berada di kelas bersama kalian. Semoga kita semua sukses ke depannya.

11. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada saya.

12. FORMASI Al Qalb USU sebagai tempat belajar dan berbagi tentang hal-hal baru. Tempat yang mengajarkan pentingnya menjaga ukhuwah.

FORMASIners, semoga ukhuwah ini dapat terus terjalin selamanya. Amin. 13. Seluruh partisipan dalam penelitian ini yang telah bersedia meluangkan

waktunya untuk mengisi skala saya.

Akhir kata, peneliti memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini. Peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Terima kasih.

Medan, Mei 2014


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN ABSTRAK ... iii

HALAMAN ABSTRAK INGGRIS ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI ... 13


(9)

1. Definisi Cyberloafing ... 14

2. Tipe-Tipe Cyberloafing ... 15

3. Faktor-Faktor Penyebab Cyberloafing ... 17

a. Faktor Individual... .. 17

b. Faktor Organisasi... ... 19

c. Faktor Situasional... ... 22

B. Kontrol Diri ... 22

1.Definisi Kontrol Diri ... 23

2.Elemen-Elemen Kontrol Diri ... 24

3.Tipe-Tipe Kontrol Diri ... 26

C. Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Pegawai Perpustakaan ... 28

D. Hipotesis Penelitian ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

A. Identifikasi Variabel ... 33

B. Definisi Operasional ... 33


(10)

C. Subjek Penelitian ... 35

D. Metode Pengumpulan Data ... 35

1. Skala Cyberloafing ... 36

2. Skala Kontrol Diri ... 37

E. Uji Coba Alat Ukur ... 40

1. Validitas Alat Ukur ... 40

2. Uji Daya Beda Aitem ... 41

3. Reliabilitas Alat Ukur ... ... 41

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 42

1. Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing ... 43

2. Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri ... 44

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 45

1. Tahap Persiapan Penelitian... ... 45

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian... .. 47

3. Tahap Pengolahan Data... 47

H. Metode Analisis Data ... ... 47


(11)

2. Uji Linieritas ... ... 48

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 49

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 49

2. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 50

3. Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 51

4. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja ... 51

B. Hasil Penelitian ... 52

1. Hasil Uji Asumsi ... 53

a. Uji Normalitas ... 53

b. Uji Linearitas ... 54

2. Hasil Utama Penelitian ... 54

a. Hasil Analisis Data... ... 54

b. Nilai Empirik dan Hipotetik Data Penelitian ... 57

c. Kategorisasi Data Penelitian ... 59

3. Hasil Tambahan Penelitian... 61


(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran... .... 72

1. Saran Metodologis ... 72

2. Saran Praktis ... 73


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Blue Print Skala Cyberloafing Sebelum Uji Coba 37 Tabel 2 Blue Print Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba 39 Tabel 3 Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing 43 Tabel 4 Blue Print Skala Cyberloafing Setelah Uji Coba 43 Tabel 5 Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri 44 Tabel 6 Blue Print Skala Kontrol Diri Setelah Uji Coba 45 Tabel 7 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin 49 Tabel 8 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia 50 Tabel 9 Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan 51 Tabel 10 Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja 52

Tabel 11 Hasil Uji Normalitas 53

Tabel 12 Hasil Uji Linearitas 54

Tabel 13 Hasil Perhitungan Analisa Regresi 55 Tabel 14 Sumbangan Efektif Variabel Kontrol Diri 55

Tabel 15 Koefisien Regresi 56

Tabel 16 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kontrol Diri 57 Tabel 17 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Cyberloafing 58 Tabel 18 Norma Kategorisasi Data Penelitian 59


(14)

Tabel 21 Perbandingan Mean Berdasarkan Jenis Kelamin 61 Tabel 22 Perbandingan Mean Berdasarkan Usia 62 Tabel 23 Perbandingan Mean Berdasarkan Tingkat Pendidikan 62 Tabel 24 Perbandingan Mean Berdasarkan Masa Kerja 63


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A Skala Try Out 83

Lampiran B Reliabilitas dan Daya Beda Aitem 92

Lampiran C Skala Penelitian 107

Lampiran D Data Mentah Subjek Penelitian 114

Lampiran E Uji Asumsi dan Analisis 127

Lampiran F Data Demografik 131


(16)

Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Pegawai Perpustakaan

Liliyana Sari dan Siti Zahreni

ABSTRAK

Perilaku cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan pribadi di saat jam kerja. Perilaku ini dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik yang dapat berasal dari perusahaan atau milik pribadi. Munculnya perilaku cyberloafing dapat berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing, salah satunya adalah kontrol diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah 90 orang pegawai di salah satu perpustakaan negeri. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala cyberloafing yang disusun berdasarkan teori Blanchard dan Henle (2008) dan skala kontrol diri yang disusun berdasarkan teori kontrol diri rendah oleh Gottfredson dan Hirschi (1990). Analisis data penelitian dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan bahwa kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing (r = -0.510, r2 = 0.26, dan p = 0,000). Artinya kontrol diri memberikan sumbangan efektif sebesar 26% dalam mengurangi perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan organisasi dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan penggunaan internet di tempat kerja agar menghindari munculnya

cyberloafing.

Kata Kunci : cyberloafing, kontrol diri, pegawai perpustakaan, penggunaan internet pribadi


(17)

The Influence of Self Control Toward Cyberloafing Among Library Employees

Liliyana Sari dan Siti Zahreni

ABSTRACT

Cyberloafing is any behaviors of employees that using their companies’

internet for personal purpose during work time. This behavior is done by using electronic devices that can be derived from companies or private property. The emergence of cyberloafing can affect the performances of employees. Many factors influence cyberloafing, one of them is self control. This study aimed to determine the influence of self control toward cyberloafing. This study used quantitative method. Subjects in this study were 90 employees of a state library. Measuring instruments used in this study were cyberloafing scale based on Blanchard and Henle theory (2008) and self control scale based on low self control theory by Gottfredson and Hirschi (1990). Data analysis was using simple regression showed that self control negatively affect cyberloafing (r = -0.510, r2 = 0.26, and p = 0,000). It means, self control contributes effectively 26% in reducing cyberloafing among library employees. Results of this study could be a reference for the organization to create policies related to internet using in workplace to avoid cyberloafing.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan internet merupakan perubahan paling signifikan yang membuka jalan bagi manusia untuk mendapatkan berbagai keuntungan dan kemudahan dalam kehidupan (Ozler & Polat, 2012). Internet kini dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan. Layanan internet juga dapat digunakan pada berbagai bidang, seperti bidang pendidikan, perbankan, kesehatan, serta pekerjaan atau bisnis (Maryono & Istiana, 2007).

Pengguna internet di seluruh dunia berkisar 2,4 milyar (Meeker, 2013). Angka ini meningkat 8% dari tahun sebelumnya. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) (2013) mengungkapkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2013 berjumlah 63 juta orang. Dari jumlah tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.

Dalam bidang pekerjaan atau bisnis, perkembangan internet ini telah mengubah cara perusahaan dalam menjalankan bisnis, baik pada tingkat lokal maupun global. Internet memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi, berinteraksi dengan klien atau konsumen, melakukan promosi produk atau jasa, hingga perekrutan karyawan. Selain itu, dalam meningkatkan performa karyawan, banyak perusahaan juga telah memanfaatkan fasilitas internet (Lim, 2002). Performa karyawan dapat meningkat melalui berbagai fasilitas yang diberikan internet dalam mempermudah kinerja karyawan.


(19)

Di saat akses internet telah menjadi hal yang biasa, maka kecenderungan karyawan untuk menggunakan internet sebagai tujuan hiburan dan tidak berkaitan dengan pekerjaan juga akan semakin meningkat (Blanchard & Henle, 2008). Hal ini dapat mengarah kepada perilaku kerja yang bersifat counterproductive (Dalal, 2005), di mana loafing (kemalasan) merupakan salah satu masalah utama di dalam perusahaan (Lim, 2002). Salah satu jenis kemalasan yang dapat dilakukan karyawan adalah perilaku cyberloafing.

Cyberloafing merupakan tindakan karyawan yang disengaja berupa penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing situs-situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (Lim, 2002). Tindakan ini dilakukan selama jam kerja untuk kepentingan pribadi karyawan. Teknologi yang digunakan ketika browsing

ini dapat berasal dari perusahaan atau milik pribadi karyawan yang dibawanya saat bekerja (misalnya, smartphone, iPad, atau laptop).

Berbeda dari bentuk kemalasan lain yang muncul di tempat kerja,

cyberloafing memungkinkan karyawan menggunakan internet untuk kepentingan pribadi namun tetap terlihat bekerja dengan semangat. Rata-rata karyawan di Amerika mengakui telah menghabiskan waktu kerja lebih dari dua jam setiap hari dengan penggunaan internet pribadi sebagai pengalih perhatian utama (Fox, 2007). Selain itu, 90% karyawan diperkirakan menghabiskan waktu kerja untuk mengunjungi situs hiburan dan 84% karyawan mengirimkan email pribadi atau


(20)

Hal ini juga terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Australian National University pada tahun 2012 yang menemukan bahwa antara 30% hingga 65% penggunaan internet di tempat kerja tidak berkaitan dengan pekerjaan. Beberapa contoh perilaku cyberloafing karyawan adalah belanja online, browsing situs-situs hiburan, terlibat dalam jejaring media sosial, mencari pekerjaan, mengirim dan menerima email pribadi, serta mengunduh file (berkas) yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Karyawan di Amerika Serikat diperkirakan menghabiskan waktu untuk cyberloafing antara 3 jam per minggu (Greenfield & Davis, 2002) hingga 17,5 jam per minggu (Mills, Hu, Beldona & Clay, 2001).

Sedangkan sejumlah studi di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata karyawan menghabiskan waktu hingga satu jam per hari untuk akses internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Aktivitas yang dilakukan ini seperti browsing

Facebook atau Kaskus. Hal ini berarti bahwa dalam waktu sebulan seorang karyawan bisa mengkorupsi waktu kerjanya hingga 20 jam lebih (1 jam dikali 20 hari kerja), atau sama dengan 2,5 hari kerja penuh (Antariksa, 2012).

Cyberloafing dianggap sebagai suatu perilaku kerja yang counterproductive

oleh beberapa penelitian (Lim, 2002; Beugre, 2003). Oleh karena itu, bukan hal yang mengejutkan apabila penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan serta penundaan pekerjaan ini akan mengarah kepada penurunan produktivitas bagi organisasi (Debt Cubed, 2006). Sebagai contoh, karyawan lebih memilih menghabiskan waktu kerja dengan browsing situs hiburan dibandingkan menyelesaikan tugas yang diberikan perusahaan sesuai dengan standar performa yang ditentukan. Hal ini tentunya dapat merugikan perusahaan.


(21)

Akan tetapi, meskipun cyberloafing dianggap sebagai suatu perilaku

counterproductive, dalam beberapa hal, cyberloafing dapat juga dianggap sebagai suatu perilaku yang konstruktif (Beugre & Daeryong, 2006). Online di saat jam kerja bersifat konstruktif karena dapat memberikan waktu bagi karyawan untuk istirahat sejenak dari pekerjaannya (Ovarec, 2002). Apabila perusahaan memberikan sejumlah waktu bagi karyawan untuk menggunakan komputer untuk hal-hal pribadi dalam situasi yang tepat, hal itu dapat mengarah pada proses pembelajaran yang mungkin bermanfaat bagi organisasi (Belanger & Van Slyke, 2002).

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya cyberloafing pada karyawan, yaitu faktor organisasi, faktor situasional, dan faktor individual (Ozler & Polat, 2012). Faktor organisasi adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam perusahaan di mana karyawan tersebut bekerja. Faktor ini meliputi ada atau tidaknya peraturan perusahan mengenai penggunaan internet, ada atau tidaknya konsekuensi tertentu dari perusahaan jika terjadi cyberloafing, norma sosial dalam perusahaan, dukungan manajerial (memberitahu karyawan mengenai penggunaan internet di tempat kerja), dan karakteristik pekerjaan yang dimiliki oleh karyawan. Faktor situasional juga akan mempengaruhi munculnya cyberloafing. Perilaku cyberloafing biasanya terjadi apabila individu memiliki akses internet di tempat kerja, hal inilah yang memediasi munculnya perilaku tersebut (Weatherbee, 2010). Salah satu faktor situasional adalah kedekatan jarak (seperti jarak ruangan karyawan) dengan atasan. Kedekatan jarak dengan atasan di kantor secara tidak langsung akan mempengaruhi cyberloafing. Hal ini tergantung pada


(22)

persepsi karyawan mengenai kontrol perusahaan terhadap perilakunya, termasuk ada atau tidaknya sanksi dan peraturan perusahaan (Ozler & Polat, 2012).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi cyberloafing adalah faktor individual. Faktor ini mencakup banyak hal yaitu persepsi dan sikap karyawan terhadap internet, habbits (kebiasaan), faktor demografis, dan trait (sifat) personal karyawan. Ditinjau dari persepsi dan sikap karyawan terhadap internet, karyawan yang memiliki persepsi dan sikap positif terhadap internet cenderung menggunakan komputer untuk alasan pribadi (Liberman, Gwendolyn, Katelyn & Laura, 2011). Karyawan yang merasa bahwa penggunaan internet mereka bermanfaat bagi performansi kerja juga akan lebih mungkin terlibat dalam

cyberloafing dibandingkan karyawan lain (Vitak, Crouse & Larouse, 2011). Selain itu, dalam memprediksi munculnya perilaku cyberloafing, hubungan antara kebiasaan media (media habbit) dengan cyberloafing memiliki peran yang penting (Vitak, Crouse & Larouse, 2011). Apabila individu telah kecanduan internet, maka ia akan lebih mungkin melakukan cyberloafing di tempat kerja. Dan apabila ditinjau dari faktor demografis, Garrett dan Danziger (2008) menemukan bahwa status pekerjaan, persepsi otonomi di dalam tempat kerja, tingkat pemasukan (gaji), pendidikan, dan jenis kelamin menjadi prediktor penting terhadap perilaku cyberloafing.

Sedangkan apabila dilihat dari sifat karyawan, maka sifat seperti shyness

(perasaan malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), kontrol diri, harga diri, dan locus of control dapat mempengaruhi bentuk dari penggunaan internet karyawan. Sebuah studi eksploratori mengindikasikan bahwa apabila karyawan


(23)

memiliki sifat pemalu, kurang memiliki kesetiaan, memiliki keyakinan yang kuat terhadap kekuatan orang lain, dan memiliki keyakinan yang tinggi pada kesempatan untuk menentukan hidupnya, maka ia memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami adiksi terhadap internet (Chak & Leung, 2004).

Penelitian lain menemukan bahwa karyawan yang memiliki locus of control

eksternal (misalnya, percaya bahwa takdir mereka tergantung pada orang lain) dan karyawan yang memiliki harga diri rendah kurang memiliki kontrol terhadap penggunaan internet sehingga akan mempengaruhi tingkat penyalahgunaan internet saat bekerja (Vitak, Crouse & Larouse, 2011). Individu yang berorientasi eksternal juga ditemukan kurang berhasil dalam mengontrol penggunaan internet mereka (Chak & Leung, 2004).

Jika dilihat melalui kontrol diri, karyawan yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk terlibat dalam perilaku menyimpang di tempat kerja adalah karyawan yang memiliki kontrol diri rendah (Restubog, Garcia, Toledano, Amarnani, Tolentino & Tang, 2011). Nagin dan Paternoster (1993) memperkenalkan kontrol diri sebagai trait stabil yang mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas terlarang. Mereka mengindikasikan bahwa individu dengan kontrol diri rendah adalah individu yang merasa memiliki keperluan lebih kuat terhadap perilaku terlarang karena akan mendapat reward (hadiah) langsung, serta memiliki conscience (hati nurani) yang kurang berkembang. Sehingga mereka menemukan bahwa kontrol diri memiliki pengaruh terhadap niat individu untuk melakukan berbagai perilaku terlarang saat


(24)

bekerja, seperti perilaku cyberslacking, cyberloafing, atau junk computing (Nagin & Paternoster, 1993).

Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu dirinya dalam mengatur dan mengarahkan perilaku, yang disebut dengan kontrol diri. Menurut Goldfried & Marbaum (1973), kontrol diri diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Kontrol diri antara satu individu dengan individu yang lain berbeda-beda. Ada individu yang memiliki kontrol diri tinggi, sedang, atau bahkan rendah.

Sebuah penelitian dilakukan oleh Ugrin, Pearson, dan Odom (2008) menunjukkan bahwa kontrol diri memiliki hubungan negatif dengan cyber-slacking. Cyber-slacking merupakan kegiatan menghabiskan waktu tidak produktif dengan internet. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah ditemukan memiliki kecenderungan lebih besar untuk cyber-slacking.

Penelitian lain dilakukan oleh Swanepoel (2012) menunjukkan bahwa kekuatan karakter karyawan seperti kontrol diri dan integritas berhubungan negatif dengan perilaku menyimpang di tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki kontrol diri dan integritas yang tinggi lebih jarang terlibat dalam perilaku menyimpang di kantor. Kedua hasil penelitian tersebut mendukung bahwa kontrol diri dapat menentukan kecenderungan karyawan untuk terlibat dalam perilaku menyimpang di tempat kerja, seperti perilaku cyberloafing.


(25)

Salah satu jenis pekerjaan yang memanfaatkan internet dalam bekerja adalah pegawai perpustakaan. Selain digunakan sebagai alat bantu dalam bekerja, internet juga bermanfaat untuk mempermudah pelayanan kepada pengguna jasa perpustakaan. Menurut Basuki (1993), salah satu tujuan perpustakaan umum adalah menyediakan sumber informasi yang cepat, tepat, dan murah bagi masyarakat terutama topik yang hangat dalam masyarakat.

Siregar (1999) menyebutkan bahwa penggunaan internet di perpustakaan terbagi ke dalam dua jenis, yaitu (1) penyediaan akses yaitu penyediaan sarana dan prasarana di mana pustakawan dan pengguna perpustakaan dapat menggunakan internet. Penyediaan layanan akses ini bertujuan agar sivitas akademika dapat memperoleh informasi yang bersumber dari Web, yang diperlukan untuk mendukung kegiatan proses belajar-mengajar dan penelitian; dan (2) publikasi elektronik yaitu kegiatan untuk mempublikasikan berbagai informasi tentang dan oleh perpustakaan. Dalam hal ini, perpustakaan memiliki dan memelihara sendiri suatu situs Web. Oleh karena itu, penggunaan internet di perpustakaan dapat mempermudah pemberian informasi yang dibutuhkan oleh pengguna, seperti informasi mengenai buku, jurnal, atau referensi ilmiah lainnya.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Library Research Service (1997), empat dari sepuluh pegawai perpustakaan di Colorado mengakses internet dua sampai tiga kali dalam seminggu. Tiga di antaranya menghabiskan satu sampai dua jam setiap hari. Sedangkan satu orang menghabiskan waktu lebih dari dua jam setiap hari untuk online. Ketika ditanya mengenai aktivitas yang mereka


(26)

lakukan dengan internet, pegawai perpustakaan ini paling sering mengakses

World Wide Web, email, dan ACLIN (PAC dan database).

Wanucha dan Hofschire (2013) menganalisis munculnya beberapa website

yang diakses di perpustakaan Colorado. Hasilnya adalah peningkatan penggunaan teknologi dari tahun 2010 hingga tahun 2012, meliputi pendaftaran kartu perpustakaan secara online, online account access, email newsletter, text reference, dan chat reference. Hasil survey mereka juga menunjukkan bahwa dari 9 jaringan sosial, maka 51% dari akses internet perpustakaan digunakan untuk

Facebook, 21% untuk Twitter, dan beberapa website lainnya seperti Youtube,

Foursquare, dan Tumblr.

Berdasarkan hasil observasi ketika mendatangi sebuah perpustakaan negeri, beberapa pegawai terlihat menggunakan internet untuk bermain onlinegame atau membuka media sosial (Facebook). Namun, beberapa pegawai lain tetap terlihat fokus bekerja. Apabila pegawai tidak memiliki kontrol diri yang baik, maka perhatian mereka mudah beralih kepada hal-hal yang lebih menyenangkan, seperti membuka media sosial atau bemain online game.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing


(27)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah kontrol diri berpengaruh terhadap perilaku

cyberloafing pada pegawai perpustakaan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat yaitu: 1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya temuan pada bidang Psikologi Industri-Organisasi mengenai

cyberloafing di Indonesia dan kaitannya dengan kontrol diri. Hal ini dikarenakan sulitnya menemukan referensi jurnal penelitian maupun literatur yang membahas topik cyberloafing di Indonesia.

2. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu instansi perpustakaan untuk mengetahui tingkat kontrol diri yang dimiliki oleh pegawai perpustakaan, serta mengetahui frekuensi cyberloafing yang dilakukan oleh pegawai tersebut saat bekerja.


(28)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah yaitu mengenai perilaku cyberloafing di tempat kerja ditinjau dari kontrol diri, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Berisikan mengenai landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, yaitu landasan teori dari cyberloafing yang meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, serta landasan teori kontrol diri yang meliputi definisi, elemen-elemen, dan tipe-tipe kontrol diri. Bab ini juga berisi mengenai dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Berisikan mengenai metode-metode dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan data, instrumen dan alat ukur yang digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data.


(29)

Bab IV : Analisis data dan Pembahasan

Berisikan mengenai analisis data dan pembahasan yang berisikan gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian yang merupakan perbandingan hipotesis dengan teori-teori atau hasil penelitian terdahulu.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Berisikan mengenai kesimpulan dan saran dari peneliti. Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian dan saran yang diberikan, baik untuk penyempurnaan penelitian ini, penelitian yang berhubungan dengan variabel yang diteliti di masa mendatang, serta saran untuk organisasi.


(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini berisi mengenai landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, yaitu landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, serta landasan teori kontrol diri yang meliputi definisi, elemen-elemen, dan tipe-tipe kontrol diri. Bab ini juga berisi mengenai dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian.

A. CYBERLOAFING

Cyberloafing merupakan sebuah isu penting yang berkembang bersamaan dengan perkembangan penggunaan internet di bidang bisnis atau perusahaan. Tak dapat dipungkiri bahwa cyberloafing menjadi salah satu fokus perhatian pihak perusahaan karena dampaknya terhadap produktivitas karyawan. Terdapat banyak istilah dan konsep yang digunakan untuk menyebutkan penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan di tempat kerja. Beberapa konsep tersebut antara lain non-work related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging, on-line loafing, internet deviance, problematic internet use, personal web usage at work, internet dependency, internet abuse, serta internet addiction (Kim & Sahara, 2011).


(31)

1. Definisi Cyberloafing

Lim, Teo, dan Loo (2002) menyebutkan segala tindakan disengaja karyawan menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja untuk browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan untuk tujuan pribadi dan aktivitas memeriksa (termasuk menerima dan mengirim) email pribadi sebagai penyalahgunaan internet. Segala aktivitas tersebut disebut dengan istilah

cyberloafing. Kedua aktivitas itu (seperti browsing atau memeriksa email) merupakan penggunaan waktu yang tidak produktif karena menurunkan kinerja karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugas utama pekerjaan.

Perilaku cyberloafing ini dapat dikatakan sama dengan istilah personal web usage at work (penggunaan jaringan pribadi saat bekerja) yang diungkapkan oleh Anadarajan dan Simmers (2004). Personal web usage at work merupakan segala bentuk perilaku online web yang dilakukan oleh karyawan secara sengaja selama jam kerja dengan menggunakan berbagai sumber daya organisasi untuk aktivitas selain dari keperluan pekerjaan yang ditentukan. Sumber daya organisasi yang dimaksud tidak hanya berupa jaringan maupun server perusahaan, tetapi juga penggunaan komputer dan waktu karyawan yang seharusnya menjadi sumber daya milik perusahaan.

Sedangkan menurut Blanchard dan Henle (2008), cyberloafing merupakan penggunaan fasilitas internet dan email perusahaan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan secara disengaja oleh karyawan saat bekerja. Askew (2012) menyatakan bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang terjadi ketika karyawan menggunakan berbagai jenis komputer (seperti desktop, cell-phone, tablet) saat


(32)

bekerja untuk aktivitas non-destruktif di mana supervisor karyawan tidak menganggap perilaku itu berhubungan dengan pekerjaan.

Dari beberapa definisi yang diungkapkan tokoh di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) di saat jam kerja.

2. Tipe-Tipe Cyberloafing

Lim dan Teo (2005) membagi cyberloafing menjadi dua tipe aktivitas yaitu:

1. Emailing Activities (Aktivitas Email)

Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah memeriksa, membaca, maupun menerima email pribadi.

2. Browsing Activities (Aktivitas Browsing)

Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah browsing situs olahraga, situs berita, maupun situs khusus dewasa.


(33)

Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membagi cyberloafing ke dalam dua tipe yaitu:

1. Minor Cyberloafing

Minor cyberloafing merupakan tipe cyberloafing di mana karyawan terlibat dalam berbagai bentuk perilaku penggunaan internet umum yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Minor cyberloafing terdiri dari penggunaan

email atau browsing situs hiburan. Beberapa contoh minor cyberloafing

adalah mengirim dan menerima email pribadi, mengunjungi situs olahraga, memperbarui status jejaring sosial (seperti Twitter atau Facebook), serta berbelanja online. Dengan kata lain, minor cyberloafing mirip dengan perilaku umum lain yang tidak sepenuhnya ditoleransi di tempat kerja, seperti mengangkat telfon pribadi atau mengobrol hal-hal yang bersifat pribadi saat sedang bekerja.

2. Serious Cyberloafing

Serious cyberloafing merupakan tipe cyberloafing di mana karyawan terlibat dalam berbagai bentuk perilaku penggunaan internet yang bersifat lebih berbahaya karena bersifat melanggar norma perusahaan dan berpotensi ilegal. Beberapa contoh perilaku dari serious cyberloafing adalah judi

online, mengelola situs milik pribadi, serta membuka situs yang mengandung pornografi (Case & Young, 2002).


(34)

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan kedua tipe cyberloafing

dari Blanchard dan Henle (2008), baik minor cyberloafing maupun serious cyberloafing. Hal ini dikarenakan kedua tipe cyberloafing ini membagi perilaku

cyberloafing ke dalam beberapa aktivitas berdasarkan tingkat keparahannya.

3. Faktor-Faktor Penyebab Cyberloafing

Menurut Ozler dan Polat (2012), terdapat tiga faktor yang menyebabkan munculnya perilaku cyberloafing. Ketiga faktor itu adalah sebagai berikut :

1) Faktor Individual

Faktor individual berpengaruh terhadap muncul atau tidaknya perilaku

cyberloafing. Berbagai atribut dalam diri individu tersebut antara lain : a. Persepsi dan Sikap

Individu yang memiliki sikap positif terhadap komputer lebih mungkin menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi. Selain itu, terdapat hubungan yang positif antara sikap mendukung terhadap cyberloafing

dengan perilaku cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn & Laura, 2011). Individu yang merasa bahwa penggunaan internet mereka menguntungkan bagi performansi kerja lebih mungkin terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, Crouse & Larouse, 2011).

b. Sifat Pribadi

Perilaku individu pengguna internet akan menunjukkan berbagai motif psikologis yang dimiliki oleh individu tersebut. Trait pribadi seperti


(35)

shyness (rasa malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), kontrol diri, harga diri, dan locus of control mungkin dapat mempengaruhi bentuk penggunaan internet individu. Bentuk penggunaan internet yang dimaksud adalah kecenderungan individu mengalami kecanduan atau penyalahgunaan internet.

c. Kebiasaan dan Adiksi Internet

Kebiasaan mengacu pada serangkaian situasi-perilaku otomatis sehingga terjadi tanpa disadari atau tanpa pertimbangan untuk merespon isyarat-isyarat khusus di lingkungan (Woon & Pee, 2004). Lebih dari 50% perilaku media diperkirakan merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010).

d. Faktor Demografis

Beberapa faktor demografis seperti status pekerjaan, persepsi otonomi di dalam tempat kerja, tingkat gaji, pendidikan, dan jenis kelamin merupakan prediktor penting dari cyberloafing (Garrett & Danziger, 2008).

e. Keinginan untuk Terlibat, Norma Sosial, dan Kode Etik Personal

Persepsi individu mengenai larangan etis terhadap cyberloafing

berhubungan negatif dengan penerimaan terhadap cyberloafing itu sendiri. Namun sebaliknya, hal itu berhubungan positif dengan keinginan seseorang untuk melakukan cyberloafing. Selain itu, keyakinan normatif individu (misalnya, cyberloafing itu tidak benar secara moral) mengurangi keinginan untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, Crouse & Larouse, 2011).


(36)

2) Faktor Organisasi

Beberapa faktor organisasi juga dapat menentukan kecenderungan karyawan untuk melakukan cyberloafing. Beberapa faktor organisasi tersebut yaitu : a. Pembatasan Penggunaan Internet

Perusahaan dapat membatasi penggunaan komputer saat bekerja melalui kebijakan perusahaan atau pencegahan pengunaan teknologi di kantor. Hal ini dapat mengurangi kesempatan karyawan menggunakan internet untuk tujuan pribadi, sehingga perusahaan dapat meningkatkan regulasi diri karyawan (Garrett & Danziger, 2008).

b. Hasil yang Diharapkan

Ketika karyawan memilih online untuk tujuan pribadi saat bekerja, ia memiliki harapan tertentu bahwa perilaku itu dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat membuat dirinya terhindar dari konsekuensi negatif (Garrett & Danziger, 2008).

c. Dukungan Manajerial

Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja tanpa menjelaskan bagaimana menggunakan fasilitas tersebut malah dapat meningkatkan penggunaan internet untuk tujuan pribadi. Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai sebuah dukungan terhadap semua tipe penggunaan internet, sehingga memunculkan perilaku


(37)

d. Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing

Blau (2006) mengatakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai

role model (panutan) dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing ini dipelajari dengan mengikuti perilaku yang dilihatnya dalam lingkungan organisasi. Individu yang mengetahui bahwa rekan kerjanya juga melakukan cyberloafing, akan lebih mungkin untuk melakukan

cyberloafing (Weatherbee, 2010). e. Sikap Kerja Karyawan

Perilaku cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustrasi, sehingga dapat diterima bahwa sikap kerja mempengaruhi cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn & Laura, 2011). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa karyawan lebih mungkin terlibat dalam perilaku menyimpang ketika memiliki sikap kerja yang tidak menyenangkan (Garrett & Danziger, 2008). Sikap kerja karyawan ini terdiri dari tiga bagian yaitu :

e.1. Injustice (Ketidakadilan)

Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan mempersepsikan dirinya berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan melakukan cyberloafing.


(38)

e. 2. Komitmen Kerja

Dalam membentuk penggunaan internet di tempat kerja, komitmen memiliki peran penting karena dapat mempengaruhi dampak yang diharapkan. Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi dan pekerjaannya cenderung merasa bahwa cyberloafing

tidak sesuai dengan rutinitas kerja, sehingga mereka akan lebih jarang melakukan cyberloafing.

e. 3. Kepuasan Kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan lebih positif terhadap penyalahgunaan internet. Sedangkan Stanton (2002) menemukan bahwa karyawan yang cenderung menjadi sangat puas adalah karyawan yang sering menyalahgunakan internet.

f. Karakteristik Pekerjaan

Karakteristik pekerjaan tertentu akan mengarah pada perilaku cyberloafing

dengan tujuan untuk meningkatkan kreativitas atau melepas kebosanan. Dengan kata lain, pekerjaan yang kreatif akan memiliki lebih banyak tuntutan dan tidak membosankan, sehingga karyawan akan lebih jarang melakukan cyberloafing.


(39)

3) Faktor Situasional

Perilaku penyimpangan internet biasanya terjadi ketika karyawan memiliki akses terhadap internet di tempat kerja, sehingga hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor situasional yang memediasi perilaku ini (Weatherbee, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa kedekatan jarak secara fisik dengan

supervisor secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku

cyberloafing. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi karyawan terhadap kontrol organisasi. Lebih jauh lagi, adanya kebijakan formal organisasi dan sanksi atas perilaku cyberloafing juga dapat mengurangi perilaku cyberloafing.

Dari uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

cyberloafing di atas, maka penelitian ini hanya akan berfokus pada faktor individual yaitu sifat pribadi karyawan berupa kontrol diri sebagai salah satu variabel penelitian.

B. KONTROL DIRI

Kontrol diri merupakan salah satu fungsi pusat yang berada dalam diri individu. Kontrol diri dapat dikembangkan dan digunakan oleh individu untuk mencapai kesuksesan dalam proses kehidupan. Pengaruh kontrol diri terhadap timbulnya tingkah laku dianggap cukup besar, karena salah satu hasil proses pengontrolan diri seseorang adalah tingkah laku yang tampak (Zulkarnain, 2002).


(40)

1. Definisi Kontrol Diri

Goldfried & Marbaum (1973) menyatakan bahwa kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Hal ini sejalan dengan definisi yang diungkapkan oleh Rothbaum, Weisz, dan Snyder (1982) yang mendefinisikan kontrol diri sebagai sejauhmana individu mampu mengubah dan beradaptasi dengan lingkungan sehingga dapat sesuai dengan kebutuhan diri.

Kopp (1982) menyatakan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk memenuhi keinginan dengan memodifikasi perilaku sesuai dengan situasi, menyegerakan atau menunda tindakan, dan berperilaku sesuai dengan yang diterima secara sosial tanpa dibimbing atau diarahkan oleh hal lainnya. Sedangkan Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, atau dengan kata lain sebagai serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri sebagai individu.

Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi, afeksi, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu. Gottfredson dan Hirschi juga menyatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah adalah orang-orang yang cenderung memiliki orientasi “here and now”, lebih

memilih menyelesaikan sesuatu secara fisik daripada mengandalkan kognitif, senang terlibat dalam aktivitas berbahaya, kurang sensitif dengan kebutuhan orang lain, lebih memilih jalan pintas dibandingkan dengan hal-hal kompleks, serta memiliki toleransi yang rendah terhadap sumber-sumber frustasi.


(41)

Sedangkan menurut Bauimester (2002), kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah atau mengarahkan respon individu, termasuk pikiran, emosi, dan tindakan secara sadar, terutama mengendalikan impuls dan melawan godaan. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) mengartikan kontrol diri sebagai kemampuan individu untuk menyesuaikan tingkah laku dengan apa yang dianggap diterima secara sosial oleh masyarakat.

Dari beberapa definisi kontrol diri tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengatur dan mengarahkan pikiran, afeksi, dan perilaku agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan maupun melawan godaan tertentu.

2. Elemen-Elemen Kontrol Diri

Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan enam elemen yang menjadi ciri-ciri individu yang memiliki kontrol diri rendah. Melalui enam elemen ini, dapat dilihat tingkat kontrol diri individu. Enam elemen tersebut adalah :

1) Impulsiveness

Konsep ini mengacu pada kecenderungan seseorang untuk merespon stimulus nyata di lingkungan terdekat. Individu ini memiliki orientasi “here and now”.

Individu tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang akan dilakukannya. Individu mudah tergoda untuk sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, apabila individu memiliki kontrol diri yang tinggi cenderung menunda pemuasan kebutuhan.


(42)

2) Preference for Physical Activity

Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah lebih memilih kegiatan yang tidak membutuhkan keahlian tertentu dibandingkan mencari aktivitas yang membutuhkan pemikiran (kognitif). Individu ini senang melakukan aktivitas secara fisik dibandingkan aktivitas mental.

3) Risk-Seeking Orientation

Konsep ini menjelaskan bahwa individu dengan kontrol diri yang rendah suka terlibat dalam aktivitas-aktivitas fisik yang beresiko, menyenangkan, dan menegangkan. Mereka melakukan tindakan sembunyi-sembunyi, berbahaya, atau manipulatif. Oleh karena itu, individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung pemberani dan aktif. Sedangkan individu yang memiliki kontrol diri tinggi cenderung hati-hati, kognitif, dan verbal.

4) Self-Centeredness

Individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung mementingkan diri sendiri. Individu ini juga kurang peka terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain. Individu ini sering tidak bersikap ramah, atau dengan kata lain, cenderung kurang peduli dalam pembinaan hubungan dengan orang lain. Tindakan mereka merupakan refleksi dari self-interest (minat pribadi) atau untuk keuntungan pribadi.


(43)

5) Preference for Simple Tasks

Individu dengan kontrol diri yang rendah akan cenderung menghindari tugas-tugas sulit yang membutuhkan banyak pemikiran. Individu ini lebih menyukai tugas sederhana yang dapat diselesaikan dengan mudah. Dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung kurang rajin, gigih, atau tekun dalam melakukan suatu tindakan. Mereka lebih mencari kepuasan hasrat yang mudah dan sederhana.

6) Short-Tempered

Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung rentan mengalami frustasi, emosi mudah meledak, dan temperamental. Ketika terlibat permasalahan dengan orang lain, individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung kesulitan untuk menyelesaikannya secara verbal.

3. Tipe-Tipe Kontrol Diri

Averill (1973) menyebut kontrol diri sebagai personal control (kontrol personal). Berdasarkan konsep Averill, terdapat tiga tipe kontrol diri, yaitu

behaviour control (kontrol perilaku), cognitive control (kontrol kognitif), dan


(44)

a. Behavioral control

Kontrol perilaku merupakan adanya kesiapan dan penggunaan tindakan yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan atau mengancam.

b. Cognitive control

Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan.

c. Decisional control

Mengontrol keputusan merupakan kemampuan individu untuk memilih tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diinginkannya atau setuju dengan tindakan yang harus diambilnya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Dari uraian mengenai tipe-tipe kontrol diri yang dijelaskan di atas, peneliti akan berfokus pada kontrol perilaku.


(45)

C. PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA PEGAWAI PERPUSTAKAAN

Salah satu fenomena yang muncul bersamaan dengan penggunaan fasilitas internet di tempat kerja adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing

merupakan perilaku kerja karyawan yang bersifat counterproductive dan dapat merugikan perusahan. Hal ini dikarenakan cyberloafing memungkinkan karyawan untuk membuang-buang waktu kerja. Cyberloafing merupakan tindakan karyawan yang disengaja berupa penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing website yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (Lim, 2002). Tindakan ini dilakukan selama jam kerja untuk kepentingan pribadi karyawan.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah sifat pribadi karyawan (Ozler & Polat, 2012). Salah satu sifat pribadi tersebut adalah kontrol diri. Penelitian yang dilakukan oleh Restubog, Garcia, Toledano, Amarnani, Tolentino, dan Tang (2011) menunjukkan bahwa kontrol diri berhubungan negatif dengan perilaku cyberloafing pekerja. Hal ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perilaku

counterproductive seperti cyberloafing terjadi akibat kegagalan regulasi diri (Yellowees & Marks, 2007).

Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi, afeksi, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu. Dalam teori kontrol diri rendah yang mereka kembangkan, mereka mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah dikarakteristikkan dengan enam


(46)

elemen, yaitu impulsiveness, preference for physical activity, risk-seeking orientation, self-centeredness, preference for simple tasks, dan short-tempered.

Jika ditinjau dari elemen impulsiveness, maka pegawai yang impulsif cenderung tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang dilakukannya. Pegawai yang impulsif lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang di tempat kerja, seperti cyberloafing. Selain itu, mereka lebih mudah tergoda untuk melakukan sesuatu yang bersifat menyenangkan bagi dirinya (Gottfredson & Hirschi, 1990), seperti browsing situs hiburan atau media sosial

saat bekerja. Pegawai yang impulsif berorientasi “here and now” sehingga mereka

hanya berfokus pada kenikmatan sesaat dengan melakukan aktivitas browsing

internet untuk kepentingan pribadi tanpa mempedulikan dampaknya bagi tempat di mana ia bekerja.

Jika ditinjau dari elemen preference for physical activity, maka pegawai yang melakukan cyberloafing adalah pegawai yang senang melakukan aktivitas fisik dibandingkan aktivitas mental. Hal ini maksudnya adalah pegawai tidak suka melakukan aktivitas yang membutuhkan pemikiran maupun keahlian tertentu (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Cyberloafing merupakan salah satu perilaku yang tidak membutuhkan skill tertentu, karena yang dibutuhkan hanya perangkat elektronik (seperti komputer atau laptop) dan akses internet. Sedangkan pegawai yang rendah pada elemen ini cenderung lebih suka pada aktivitas yang membutuhkan pemikiran dan keahlian tertentu.


(47)

Apabila ditinjau dari elemen risk-seeking orientation, pegawai yang berorientasi mencari resiko lebih cenderung melakukan perilaku menyimpang saat bekerja (Gottfredson & Hirschi, 1990). Perilaku menyimpang ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan cukup berbahaya bagi dirinya dan orang lain. Dalam hal ini, salah satu perilaku menyimpang itu adalah perilaku cyberloafing. Perilaku

cyberloafing juga mengandung unsur manipulatif karena pegawai tetap dapat terlihat bekerja dengan semangat karena tidak meninggalkan meja kerja, meskipun sebenarnya mereka sedang melakukan aktivitas browsing internet untuk kepentingan pribadi (Lavoie & Pychyl, 2001). Oleh karena itu, pegawai yang memiliki elemen risk-seeking orientation rendah cenderung akan berhati-hati dalam bekerja, sehingga mereka akan mempertimbangkan segala konsekuensi dari suatu tindakan yang akan dilakukannya.

Jika ditinjau dari elemen self-centeredness, pegawai yang hanya berfokus pada kebutuhan diri sendiri akan lebih mungkin melakukan cyberloafing. Pegawai ini kurang peka terhadap kebutuhan orang lain (Gottfredson & Hirschi, 1990), seperti misalnya kebutuhan pengguna layanan perpustakaan. Dampak dari penggunaan internet pribadi saat bekerja tentu akan merugikan berbagai pihak, termasuk instansi di mana ia bekerja. Pegawai yang memiliki self-centeredness

tinggi juga akan kurang peka terhadap orang lain, sehingga mereka berperilaku hanya untuk keuntungan pribadi (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993).

Apabila dilihat dari elemen preference for simple tasks, pegawai yang lebih mungkin melakukan cyberloafing adalah pegawai yang kurang gigih atau tekun dalam bekerja. Fokus perhatian pegawai ini mudah beralih ke aktivitas-aktivitas


(48)

menyenangkan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Ia sulit untuk mengontrol dirinya dan fokus menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Pegawai yang tinggi pada elemen preference for simple tasks juga akan menghindari pekerjaan sulit yang membutuhkan banyak pemikiran (Gottfredson & Hirschi, 1990). Sebaliknya, pegawai yang memiliki elemen preference for simple tasks rendah cenderung lebih fokus pada pekerjaannya sehingga perhatiannya tidak mudah beralih ke hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.

Jika ditinjau dari elemen short-tempered, pegawai yang tinggi pada elemen ini cenderung rentan mengalami frustasi saat bekerja, sehingga mereka akan mudah mencari pelampiasan dari rasa frustasi yang dialami dengan aktivitas lain (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Aktivitas lain tersebut biasanya tidak berkaitan dengan pekerjaan, seperti cyberloafing. Selain itu, pegawai yang tinggi pada elemen ini memiliki emosi yang mudah meledak dan temperamental. Sebaliknya, pegawai yang rendah pada elemen ini cenderung lebih tenang dan mamp mengontrol emosinya dengan baik.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pegawai yang memiliki kontrol diri rendah berdasarkan teori Gottfredson dan Hirschi (1990) cenderung impulsif, lebih suka melakukan aktivitas fisik yang tidak membutuhkan skill

tertentu, suka melakukan aktivitas beresiko, hanya fokus pada kebutuhan diri sendiri, rentan mengalami frustasi dan temperamental, serta menghindari pekerjaan sulit yang membutuhkan pemikiran kognitif. Oleh karena itu, pegawai yang memiliki kontrol diri rendah cenderung lebih mungkin melakukan perilaku


(49)

tinggi cenderung mempertimbangkan konsekuensi dari perbuatan yang akan dilakukannya (tidak impulsif), berhati-hati dalam bekerja, lebih suka melakukan aktivitas mental, peka terhadap kebutuhan orang lain, mampu mengatur emosinya, serta gigih dan tekun dalam bekerja. Oleh sebab itu, pegawai yang memiliki kontrol diri tinggi cenderung lebih jarang melakukan perilaku menyimpang di tempat kerja, seperti cyberloafing.

Berdasarkan pemaparan dinamika kedua variabel di atas, dapat dilihat bagaimana keenam elemen dari kontrol diri rendah yang dikemukakan oleh Gottfredson dan Hirschi (1990) dapat mempengaruhi munculnya perilaku

cyberloafing. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat pengaruh dari kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan.

D. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing.” Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki individu, maka hal itu dapat mengurangi frekuensi perilaku cyberloafing yang dilakukannya.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan serangkaian prosedur sistematis yang perlu dicermati saat melaksanakan penelitian, agar hasil dari penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini metode kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2010). Adapun variabel yang akan diuji korelasinya adalah kontrol diri dan perilaku cyberloafing.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL

Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Bebas (Prediktor) adalah kontrol diri.

2. Variabel Tergantung adalah perilaku cyberloafing.

B. DEFINISI OPERASIONAL 1. Perilaku Cyberloafing

Perilaku cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan pribadi di saat jam kerja.


(51)

Variabel ini diukur dengan menggunakan tipe-tipe cyberloafing yang dikemukakan oleh Blanchard dan Henle (2008) yaitu minor cyberloafing

dan serious cyberloafing. Total skor yang dihasilkan dalam skala

cyberloafing menggambarkan frekuensi perilaku cyberloafing individu. Semakin tinggi total skor yang didapat pada skala cyberloafing

menunjukkan bahwa individu semakin sering melakukan cyberloafing. Sebaliknya, semakin rendah total skor pada skala ini menunjukkan bahwa individu semakin jarang melakukan cyberloafing.

2. Kontrol Diri

Kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengatur dan mengarahkan pikiran, afeksi, dan perilaku agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan maupun melawan godaan tertentu.

Variabel ini diukur dengan menggunakan elemen-elemen dari Low Self-Control Theory (teori kontrol diri rendah) yang dikemukakan oleh Gottfredson dan Hirschi (1990) yaitu impulsiveness, preference for physical activity, risk-seeking orientation, self-centeredness, preference for simple tasks, dan short-tempered. Total skor yang dihasilkan pada skala kontrol diri ini menggambarkan tingkat kontrol diri yang dimiliki individu. Semakin tinggi total skor pada skala ini menunjukkan bahwa individu memiliki kontrol diri yang tinggi. Sedangkan semakin rendah total skor pada skala ini menunjukkan bahwa individu memiliki kontrol diri yang rendah.


(52)

C. SUBJEK PENELITIAN

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain (Azwar, 2010). Ciri yang dimaksud tidak terbatas hanya sebagai ciri lokasi, akan tetapi dapat terdiri dari karakteristik individu.

Populasi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan objek penelitian apabila seseorang akan meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian. Apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya menjadi penelitian populasi (Arikunto, 2006). Peneliti akan meneliti 90 orang pegawai yang ada di salah satu perpustakaan negeri.

Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bekerja dengan menggunakan akses internet dari perusahaan.

2. Menggunakan perangkat elektronik saat bekerja yang dapat berasal dari perusahaan maupun milik pribadi.

3. Perusahaan di mana pegawai bekerja tidak membatasi penggunaan internet.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data mengenai subjek penelitian dari sebuah populasi. Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti. Metode pengumpulan data


(53)

yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Menurut Azwar (2010), skala merupakan suatu prosedur pengambilan data yang mengukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu.

Terdapat beberapa model penskalaan yang umumnya digunakan. Model skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penskalaan respon (Likert) yang bertujuan untuk meletakkan respon yang diberikan individu di dalam sebuah kontinum. Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala

cyberloafing dan skala kontrol diri. 1. Skala Cyberloafing

Skala cyberloafing ini menggunakan salah satu metode dari behavior checklist yang disebut dengan Likert method of summated ratings. Metode ini merupakan metode di mana pernyataan deklaratif diikuti dengan beberapa kategori respon. Skala ini digunakan untuk mengukur frekuensi cyberloafing

yang dilakukan oleh individu di tempat kerja. Skala ini disusun oleh peneliti dengan mengacu pada dua tipe cyberloafing yang dikemukakan oleh Blanchard dan Henle (2008). Dari kedua tipe cyberloafing tersebut, maka peneliti membuat blue print skala cyberloafing.

Skala ini terdiri dari 5 kategori respon sebagai berikut :

 Tidak Pernah (TP) : Bila individu merasa aktivitas itu tidak pernah ia

lakukan.


(54)

 Kadang-Kadang (KK) : Bila individu merasa aktivitas itu

kadang-kadang ia lakukan.

 Sering (SR) : Bila individu merasa aktivitas itu sering ia lakukan.  Selalu (SL) : Bila individu merasa aktivitas itu selalu ia lakukan.

Skala ini terdiri dari aktivitas-aktivitas yang mengacu pada perilaku

cyberloafing individu di tempat kerja. Individu diminta untuk memberi tanda (checklist) pada kategori respon yang paling sesuai mendeskripsikan dirinya. Pemberian skor untuk setiap respon adalah nilai 5 untuk jawaban Selalu (SL), nilai 4 untuk jawaban Sering (SR), nilai 3 untuk jawaban Kadang-Kadang (KK), nilai 2 untuk jawaban Jarang (JR), dan nilai 1 untuk jawaban Tidak Pernah (TP). Skor pada skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jawaban, maka semakin tinggi frekuensi cyberloafing yang dilakukan individu.

Tabel 1. Blue Print Skala Cyberloafing Sebelum Uji Coba

No. Tipe Nomor Aitem Jumlah %

1. Minor Cyberloafing

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)

(14) (15) (17) (21) (23)

18 78,3

2. Serious Cyberloafing (16) (18) (19) (20) (22) 5 21,7

Total 23 100

2. Skala Kontrol Diri

Skala kontrol diri ini menggunakan model Likert. Dalam skala ini, terdapat beberapa karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Azwar (2010) yaitu: (a) stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang mengungkap


(55)

indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan, sehingga jawaban subjek bergantung pada interpretasinya terhadap stimulus tersebut; (b) indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem; dan (c) respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah.

Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat kontrol diri individu. Skala ini dibuat sendiri oleh peneliti dengan mengacu kepada enam elemen kontrol diri rendah yang diungkapkan oleh Gottfredson dan Hirschi (1990). Dengan keenam elemen tersebut yaitu impulsiveness, preference for physical activity,

risk-seeking orientation, self-centeredness, preference for simple tasks, dan

short-tempered, makapeneliti membuat blue print skala kontrol diri.

Setiap elemen pada skala ini disusun berdasarkan aitem favourable dan

unfavourable dengan lima alternatif pilihan jawaban yaitu sebagai berikut :  Sangat Tidak Sesuai (STS) : Bila individu merasa kondisi dalam

pernyataan sangat tidak sesuai dengan dirinya.

 Tidak Sesuai (TS) : Bila individu merasa kondisi dalam pernyataan

tidak sesuai dengan dirinya.

 Netral (N) : Bila individu merasa kondisi dalam pernyataan berada di

antara sesuai dan tidak sesuai dengan dirinya.

 Sesuai (S) : Bila individu merasa kondisi dalam pernyataan sesuai

dengan dirinya.

 Sangat Sesuai (SS) : Bila individu merasa kondisi dalam pernyataan


(56)

Penilaian skala untuk aitem favorable adalah nilai 1 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), nilai 2 untuk jawaban Sesuai (S), nilai 3 untuk jawaban Netral (N), nilai 4 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan nilai 5 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). Sedangkan penilaian skala untuk aitem unfavorable adalah nilai 5 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), nilai 4 untuk jawaban Sesuai (S), nilai 3 untuk jawaban Netral (N), nilai 2 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan nilai 1 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala ini akan menunjukkan bahwa semakin tinggi skor akhir individu, maka semakin tinggi kontrol diri individu.

Tabel 2. Blue Print Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba

No. Elemen Nomor Aitem Jumlah %

Favorable Unfavorable

1. Impulsiveness (13) (25) (31) (1) (7) (19) 6 16,67 2. Preference for

physical activity

(2) (8) (14) (26)

(20) (32) 6 16,67

3. Risk-seeking orientation

(9) (21) (27) (3) (15) (33) 6 16,67

4. Self-centeredness (10) (22) (28) (34)

(4) (16) 6 16,67

5. Preference for simple tasks

(5) (23) (29) (35)

(11) (17) 6 16,67

6. Short-tempered (6) (18) (36) (12) (24) (30) 6 16,67


(57)

E. UJI COBA ALAT UKUR

Menurut Azwar (2010) tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran. Pengujian alat ukur ini dilihat melalui tiga hal, yaitu validitas, daya beda aitem, dan reliabilitas.

1. Validitas Alat Ukur

Untuk mengetahui apakah alat ukur mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas (Azwar, 2010). Validitas alat ukur mempunyai arti sejauh mana tes itu mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur, sehingga validitas alat ukur ini mengarah kepada derajat kecermatan ukur suatu tes (Suryabrata, 2010). Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003).

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi menunjukkan sejauh mana aitem-aitem dalam tes dapat mencakup keseluruhan kawasan isi yang akan diukur oleh tes tersebut (Azwar, 2003). Dalam hal ini, peneliti menyusun alat ukur berdasarkan tipe-tipe cyberloafing dan elemen-elemen kontrol diri. Teknik yang digunakan untuk menilai validitas isi alat ukur dalam penelitian ini adalah professional judgement. Penilaian profesional ini didapatkan melalui konsultasi dengan dosen pembimbing.


(58)

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem digunakan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2010). Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dapat dilakukan dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment.

Menurut Azwar (2010), semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 maka daya pembedanya dianggap memuaskan. Sedangkan apabila aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem kurang dari 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah (Azwar, 2010). Pengujian daya beda aitem ini menggunakan program SPSS for Windows 17.0 version.

3. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas merupakan sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya bila pengukuran pada subjek yang sama di waktu yang berbeda menunjukkan hasil yang relatif sama. Azwar (1999) mengungkapkan bahwa reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi di antara individu lebih ditentukan oleh faktor error (kesalahan) daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya.


(59)

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan teknik reliabilitas Alpha Cronbach. Prosedur dalam pendekatan ini hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek untuk melihat konsistensi antar aitem atau antar bagian dalam skala. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2003). Pengujian reliabilitas dilakukan dengan mengolah data pada program SPSS for Windows 17.0 version. Reliabilitas ini dinyatakan dalam koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00, maka semakin tinggi reliabilitas alat ukur tersebut. Sebaliknya, semakin koefisien reliabilitas mendekati angka 0, maka semakin rendah reliabilitas alat ukurnya.

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Uji coba alat ukur dalam penelitian ini dilakukan pada tanggal 05 Maret 2014. Uji coba dilakukan kepada 66 orang pegawai di salah satu perpustakaan di kota Medan. Setelah skala terkumpul, peneliti mengolah data uji coba untuk melihat daya beda aitem serta reliabilitas dari kedua skala tersebut dengan menggunakan program SPSS 17.0 version for Windows. Peneliti menggunakan kriteria pemilihan aitem berdasarkan nilai koefisien korelasi minimal 0,30 (rix ≥ 0.30). Hal ini dikarenakan semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 dianggap memiliki daya pembeda yang memuaskan (Azwar, 2010).


(60)

1. Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing

Hasil analisis skala cyberloafing menunjukkan bahwa dari 23 aitem, terdapat 17 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total minimal 0,30. Sedangkan jumlah aitem yang gugur sebanyak 6 aitem. Hasil perhitungan reliabilitas skala cyberloafing menghasilkan nilai koefisien alpha sebesar 0,882. Koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,390 hingga 0,612.

Tabel 3. Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing

No. Tipe Nomor Aitem Jumlah

1. Minor Cyberloafing

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14)

(15) (17) (21) (23)

15

2. Serious Cyberloafing (16) (18) (19) (20) (22) 2

Total 17

Skala cyberloafing ini direvisi dan diubah tata letak urutan dari nomor aitem. Hal ini dilakukan karena adanya aitem gugur yang tidak dimasukkan kembali ke dalam skala penelitian ini. Blue print skala cyberloafing yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4. Blue Print Skala Cyberloafing Setelah Uji Coba

No. Tipe Nomor Aitem Jumlah %

1. Minor Cyberloafing (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (17)

15 88

2. Serious Cyberloafing (9) (16) 2 12


(61)

2. Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri

Hasil analisis skala kontrol diri menunjukkan bahwa dari 36 aitem, terdapat 16 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total minimal 0,30 yaitu aitem nomor 4, 8, 14, 19, 22, 23, 27, 28, 29, 34, 35, dan 36. Sedangkan jumlah aitem yang gugur sebanyak 20 aitem. Skala kontrol diri ini memiliki nilai koefisien alpha sebesar 0,859. Koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,335 hingga 0,669.

Tabel 5. Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri

No. Elemen Nomor Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

1. Impulsiveness (13) (25) (31) (1) (7) (19) 2 2. Preference for

physical activity

(2) (8) (14) (26) (20) (32) 2

3. Risk-seeking orientation

(9) (21) (27) (3) (15) (33) 2

4. Self-centeredness (10) (22) (28) (34)

(4) (16) 3

5. Preference for simple tasks

(5) (23) (29) (35)

(11) (17) 3

6. Short-tempered (6) (18) (36) (12) (24) (30) 4

Total 14 2 16

Skala kontrol diri ini direvisi dan diubah tata letak urutan dari nomor aitem. Hal ini dilakukan karena adanya aitem gugur yang tidak dimasukkan kembali ke dalam skala penelitian. Blue print skala kontrol diri yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :


(1)

49. S49 Perempuan 40 tahun S1 13 tahun

50. S50 Perempuan 27 tahun S1 5 tahun

51. S51 Laki-laki 53 tahun SMA 27 tahun

52. S52 Perempuan 33 tahun S1 9 tahun

53. S53 Perempuan 32 tahun S1 9 tahun

54. S54 Perempuan 30 tahun D3 7 tahun

55. S55 Perempuan 28 tahun S1 7 tahun

56. S56 Perempuan 28 tahun S1 6 tahun

57. S57 Perempuan 35 tahun S1 8 tahun

58. S58 Laki-laki 33 tahun D3 7 tahun

59. S59 Perempuan 40 tahun SMA 18 tahun

60. S60 Perempuan 42 tahun SMA 15 tahun

61. S61 Perempuan 50 tahun S1 27 tahun

62. S62 Perempuan 40 tahun SMA 7 tahun

63. S63 Perempuan 30 tahun D3 3 tahun

64. S64 Perempuan 33 tahun S1 7 tahun

65. S65 Perempuan 53 tahun SMA 22 tahun

66. S66 Perempuan 50 tahun D3 20 tahun

67. S67 Perempuan 35 tahun SMK 9 tahun

68. S68 Laki-laki 38 tahun SMT 10 tahun

69. S69 Laki-laki 52 tahun S1 28 tahun

70. S70 Perempuan 39 tahun S1 17 tahun

71. S71 Laki-laki 28 tahun S1 6 tahun

72. S72 Perempuan 32 tahun S1 6 tahun


(2)

75. S75 Perempuan 33 tahun D3 4 tahun

76. S76 Perempuan 28 tahun S1 3 tahun

77. S77 Laki-laki 51 tahun SLTA 20 tahun

78. S78 Laki-laki 28 tahun S1 3 tahun

79. S79 Perempuan 56 tahun SMA 30 tahun

80. S80 Laki-laki 28 tahun S1 7 tahun

81. S81 Perempuan 44 tahun S1 21 tahun

82. S82 Laki-laki 37 tahun S1 4 tahun

83. S83 Perempuan 49 tahun S1 24 tahun

84. S84 Laki-laki 38 tahun S1 7 tahun

85. S85 Perempuan 52 tahun SMA 29 tahun

86. S86 Perempuan 30 tahun S1 1 tahun

87. S87 Perempuan 29 tahun D3 1 tahun

88. S88 Perempuan 24 tahun S1 3 tahun

89. S89 Perempuan 28 tahun D3 7 tahun


(3)

LAMPIRAN G


(4)

PROFIL PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

A. Gambaran Umum Perpustakaan USU

Perpustakaan USU didirikan pada tahun 1970. Sebelumnya selama 18 tahun, USU hanya mempunyai perpustakaan fakultas. Untuk peningkatan efisiensi, sejak tahun 1989 pengelolaan perpustakaan di lingkungan USU berubah menjadi terpusat. Perubahan tersebut ditandai dengan digunakannya sebuah gedung baru perpustakaan yang terletak di tengah kampus USU yang diresmikan pada tanggal 2 November 1987 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Gedung Perpustakaan dikelilingi areal taman dan parkir seluas sekitar 4 Ha. Gedung Perpustakaan Universitas dapat menampung sekitar 900 orang pembaca. Perpustakaan menyimpan lebih dari 120.000 judul atau 460.000 eksemplar bahan pustaka tercetak, dengan pertambahan setiap tahun sekitar 15.000 eksemplar. Selain itu, perpustakaan juga memiliki koleksi elektronik yang terdiri dari jurnal. Jumlah e-Journal lebih dari 5.000 judul dalam berbagai disiplin ilmu. Kedua jenis koleksi tersebut dapat diakses melalui jaringan kampus USUnet.

Katalog perpustakaan dapat diakses secara online melalui OPAC (Online Public Access Catalog), baik di dalam perpustakaan maupun melalui jaringan kampus dan internet. Informasi tentang perpustakaan dan berbagai sumber daya elektronik yang dimiliki oleh pepustakaan dapat dilihat dan diunduh dari situs perpustakaan USU yaitu www.library.usu.ac.id.


(5)

Perpustakaan sebagai fasilitas penunjang utama program Tridharma memiliki peranan yang besar dalam mendukung misi dan tujuan USU sebagai pusat pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas, pusat pendidikan yang mampu bersaing secara global dan mampu mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan lingkungan kerja, penelitian yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta sebagai pusat konsultasi dan rujukan bagi dunia usaha atau industri. Berkaitan dengan itu, Perpustakaan terus berupaya untuk menyelaraskan peranannya dalam mengikuti dinamika perkembangan USU.

B. Visi dan Misi Perpustakaan USU 1. Visi

“Menjadi suatu perpustakaan pendidikan tinggi terkemuka dalam pelayanan terhadap sivitas akademikanya.”

2. Misi

Misi yang diemban oleh perpustakaan adalah: “menyediakan akses terhadap

informasi dan layanan informasi secara tepat waktu, tepat guna dan efektif untuk mendukung fungsi Tridharma Universitas Sumatera Utara melalui pengadaan dan penyediaan bahan pustaka, serta membantu mahasiswa dan dosen sehingga menjadi terampil dalam menemukan informasi yang relevan


(6)

C. Struktur Perpustakaan USU

Struktur organisasi diperlukan untuk membedakan batas-batas wewenang dan tanggung jawab secara sistematis yang menunjukkan adanya hubungan antara setiap bagian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perpustakaan USU terdiri dari berbagai jabatan yaitu kepala perpustakaan, sekretaris perpustakaan, sub bagian tata usaha, divisi pengadaan, dan divisi layanan sirkulasi. Kelima jabatan tersebut memiliki deskripsi tugasnya masing-masing.