C. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Penelitian ini membahas tentang pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah
“kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing”. Hasil analisis data mendukung hipotesis penelitian tersebut di mana didapatkan bahwa kontrol
diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing. Artinya adalah semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki oleh pegawai, maka hal itu dapat mengurangi
frekuensi perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh pegawai tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan pada populasi pegawai di salah satu
perpustakaan negeri menunjukkan bahwa kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing dengan R sebesar 0,510 dan p = 0,000. Sumbangan
efektif variabel kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing adalah sebesar 26. Sedangkan 74 lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak diteliti dalam
penelitian ini, seperti faktor organisasi maupun faktor situasional. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini sejalan dengan Ozler dan Polat
2012 yang mengatakan bahwa kontrol diri merupakan salah satu faktor individu yang menyebabkan munculnya perilaku cyberloafing. Kontrol diri sebagai salah
satu sifat personal individu berperan dalam memunculkan perilaku cyberloafing. Ada tiga alasan yang dapat menyebabkan pengaruh kontrol diri terhadap
perilaku cyberloafing. Pertama, ketika instansi maupun perusahaan tidak membatasi penggunaan internet pegawai, maka salah satu faktor yang paling
berpengaruh terhadap munculnya cyberloafing adalah faktor internal pada individu yaitu sifat personal, salah satunya kontrol diri Ozler Polat, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Alasan kedua adalah kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat
membawa ke arah konsekuensi positif Goldfried Marbaum, 1973. Oleh karena itu, kontrol diri berpengaruh dalam menentukan perilaku yang dilakukan
individu saat bekerja, apakah perilaku yang bersifat produktif atau sebaliknya. Tingkat kontrol diri individu menunjukkan kemampuannya dalam mengatur dan
mengarahkan perilakunya ke arah konsekuensi yang positif. Alasan ketiga adalah kegagalan dalam meregulasi diri atau rendahnya
kontrol diri dikatakan menjadi salah satu penyebab munculnya perilaku counterproductive seperti cyberloafing Yellowees Marks, 2007. Hal ini
dikarenakan individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi lebih mungkin menunda kepuasan yang didapatkan dari penggunaan internet prbadi saat bekerja.
Lebih jauh lagi, individu yang memiliki kontrol diri tinggi dapat lebih mampu untuk meninjau situasi, menahan godaan, dan mengalihkan perhatian mereka dari
perilaku merugikan seperti cyberloafing Willkowski Robinson, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Ugrin, Pearson Odom 2008 juga
menunjukkan hal yang serupa. Penelitian ini menemukan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah lebih besar kemungkinan melakukan cyberslacking.
Cyberslacking merupakan perilaku penggunaan internet yang tidak produktif di tempat kerja. Penelitian ini menunjukkan bahwa sumbangan efektif variabel
kontrol diri sebesar 31,7 terhadap cyberslacking. Lebih spesifik lagi, Ugrin menemukan bahwa pengaruh kontrol diri pada mahasiswa sebesar 35,8
sedangkan pada pekerja hanya berpengaruh 18 terhadap cyberslacking.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Prasad, Lim, dan Chen 2010 menemukan bahwa regulasi diri berpengaruh negatif terhadap cyberloafing.
Penelitian ini menunjukkan bahwa regulasi diri berkontribusi sebesar 14 terhadap cyberloafing. Prasad dkk 2010 menyatakan bahwa individu yang tidak
mampu mengatur perhatiannya atau menunjukkan kontrol diri diprediksi akan terlibat dalam perilaku yang bersifat counterproductive.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Restubog, Garcia, Toledano, Amarnani, Tolentino Tang 2011 menemukan bahwa kontrol diri memoderasi hubungan
antara organizational justice dan cyberloafing. Lebih jauh lagi, Restubog menemukan bahwa kontrol diri berhubungan negatif dengan cyberloafing.
Swanepoel 2012 menemukan bahwa kekuatan karakter seperti kontrol diri dan integritas berhubungan negatif dengan berbagai perilaku menyimpang di
tempat kerja. Martin, Rao, dan Sloan 2009 menyimpulkan bahwa individu yang memiliki kontrol diri dan integritas yang tinggi lebih kecil kemungkinan untuk
terlibat dalam perilaku menyimpang di tempat kerja, dan sebaliknya. Lebih jauh lagi, Marcus, Schuler, Quell, dan Humpfner 2002 menyatakan bahwa beberapa
perilaku menyimpang di tempat kerja seperti pencurian, absensi, dan pelecehan seksual terjadi karena faktor kontrol diri dan integritas individu.
Beberapa hasil penelitian yang diuraikan di atas sejalan dengan hasil penelitian ini. Meskipun memiliki sumbangan efektif variabel kontrol diri yang
berbeda-beda antar penelitian, akan tetapi kontrol diri dikatakan menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap berbagai perilaku menyimpang di tempat
kerja, salah satunya adalah perilaku cyberloafing.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengetahui tingkat kontrol diri maupun frekuensi cyberloafing subjek, maka dapat dilihat melalui perbandingan mean hipotetik dan mean
empirik. Tingkat kontrol diri subjek penelitian berada di atas rata-rata kontrol diri populasi pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dengan skor mean empirik yaitu
57,83 lebih besar daripada mean hipotetik yaitu 48. Hal tersebut dibuktikan oleh 55 orang subjek 61,1 berada dalam kategori
kontrol diri sedang. Sedangkan 35 orang lainnya 38,89 tergolong ke dalam kategori kontrol diri tinggi. Akan tetapi, tidak ada subjek yang termasuk ke dalam
kategori kontrol diri rendah. Dengan kata lain, pegawai perpustakaan yang menjadi subjek penelitian mampu mengatur dan mengarahkan pikiran, afeksi, dan
perilakunya agar tidak terpengaruh berbagai dorongan untuk melakukan perilaku menyimpang di tempat kerja Restubog et al, 2011.
Pada perbandingan mean hipotetik dan mean empirik variabel perilaku cyberloafing, dapat diketahui bahwa mean empirik subjek lebih kecil daripada
mean hipotetik 38,70 51. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku cyberloafing subjek berada di bawah rata-rata perilaku cyberloafing populasi pada umumnya.
Hal tersebut dibuktikan oleh 47 orang subjek 52,22 termasuk ke dalam kategori perilaku cyberloafing yang jarang. Sedangkan 42 orang subjek 46,67
termasuk dalam kategori kadang-kadang. Akan tetapi, ada satu orang subjek yang tergolong ke dalam kategori sering. Hasil dari kategorisasi ini menunjukkan
bahwa perilaku cyberloafing pada subjek penelitian berada di antara kategori jarang dan kadang-kadang. Apabila ditinjau dari mean total, maka perilaku
cyberloafing keseluruhan subjek berada pada kategori rendah.
Universitas Sumatera Utara
Selain hasil utama, terdapat hasil tambahan dalam penelitian ini yaitu ada perbedaan signifikan pada perilaku cyberloafing ditinjau dari usia. Subjek yang
berusia antara 20-40 tahun memiliki mean cyberloafing lebih tinggi daripada subjek yang berusia antara 40-60 tahun. Hal ini sesuai dengan studi yang
dilakukan oleh Ugrin, Pearson, dan Odom 2008 yang menunjukkan bahwa individu yang lebih muda cenderung lebih menerima dan menggunakan internet.
Individu yang lebih muda cenderung membawa kebiasaan menggunakan internet secara rutin ke tempat kerja sehingga menyebabkan penyalahgunaan internet
untuk urusan pribadi. Selain usia, terdapat juga perbedaan yang signifikan pada perilaku
cyberloafing ditinjau dari tingkat pendidikan. Subjek dengan tingkat pendidikan S2 memiliki mean cyberloafing paling tinggi, diikuti subjek dengan tingkat
pendidikan S1, D3, dan SMAsederajat. Hal ini dijelaskan oleh Chak dan Leung 2004 yang mengatakan bahwa individu yang berpendidikan tinggi akan lebih
sering menggunakan internet untuk mencari informasi. Oleh karena itu, penggunaan internet untuk tujuan pribadi merupakan aktivitas yang lebih sering
dilakukan oleh karyawan yang berpendidikan tinggi dan memiliki jabatan yang tinggi di tempat kerja.
Pekerjaan sebagai pegawai perpustakaan yang menuntut ketelitian dan konsentrasi terkadang menyebabkan individu mudah bosan dan lelah dalam
bekerja. Salah satu cara untuk beralih dari pekerjaan yang membosankan ini adalah perilaku cyberloafing. Dengan menggunakan akses internet tanpa batas
dari tempat kerja serta adanya laptop maupun komputer, pegawai dapat
Universitas Sumatera Utara
melakukan cyberloafing dengan leluasa tanpa ketahuan oleh atasan. Apabila pegawai tidak memiliki kontrol diri yang tinggi, fasilitas yang diberikan
perusahaan akan sering disalahgunakan saat bekerja. Seperti yang diungkapkan oleh Restubog 2011, kontrol diri rendah dapat
menjadi faktor rentan yang dapat menghasilkan perilaku counterproductive seperti perilaku cyberloafing, terutama apabila hadirnya faktor pemicu pada situasi kerja.
Bordia, Restubog, dan Tang 2008 mengatakan bahwa perilaku cyberloafing bisa saja dilakukan individu sebagai reaksi afeksi negatif atas hal-hal tertentu yang
membuat individu terprovokasi seperti suasana kantor yang tidak nyaman, diperlakukan tidak adil oleh atasan, atau level gaji yang rendah. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Lieberman 2011 yang menyatakan bahwa berbagai perilaku menyimpang di tempat kerja seperti cyberloafing dianggap sebagai respon
emosional terhadap pengalaman kerja yang membuat frustasi, sehingga sikap kerja mungkin saja mempengaruhi cyberloafing.
Selain faktor individual seperti kontrol diri, faktor lain yang berpengaruh terhadap munculnya perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan adalah
faktor organisasi dan situasional. Faktor organisasi seperti pembatasan penggunaan internet, kepuasan kerja, dan karakteristik pekerjaan juga turut
mempengaruhi kemungkinan munculnya cyberloafing Ozler Polat, 2012. Sedangkan Woon dan Pee 2004 menyatakan bahwa faktor situasional
seperti adanya fasilitas dari perusahaan yang memungkinkan munculnya cyberloafing berhubungan dengan perilaku cyberloafing karyawan. Jarak fisik
dengan atasan di kantor juga secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku
Universitas Sumatera Utara
cyberloafing. Apabila melihat kondisi perpustakaan yang luas dan terpisah antar ruangan, maka hal itu membuat pegawai leluasa melakukan cyberloafing tanpa
ketahuan oleh atasan. Kepada peneliti selanjutnya yang tertarik dengan topik cyberloafing, dapat
meninjau variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap cyberloafing, seperti kepuasan kerja, komitmen kerja, karakteristik pekerjaan, atau sikap kerja.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan dalam penelitian ini. Kemudian pada akhir bab, peneliti akan mengemukakan beberapa saran terkait
dengan organisasi maupun penelitian yang akan dilakukan di masa mendatang.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing pada
pegawai perpustakaan, artinya tingkat kontrol diri yang dimiliki pegawai dapat mengurangi frekuensi perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh
pegawai tersebut. 2.
Sumbangan efektif variabel kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing sebesar 26 yang mengindikasikan bahwa kontrol diri berpengaruh
sebesar 26 terhadap perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan. Sedangkan sisanya 74 dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak
diteliti dalam penelitian ini. 3.
Berdasarkan kategorisasi data hipotetik kontrol diri, terdapat 55 orang subjek 61,11 berada pada kategori kontrol diri sedang dan 35 orang
subjek 38,89 berada pada kategori kontrol diri tinggi.
Universitas Sumatera Utara