BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan internet merupakan perubahan paling signifikan yang membuka jalan bagi manusia untuk mendapatkan berbagai keuntungan dan
kemudahan dalam kehidupan Ozler Polat, 2012. Internet kini dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan. Layanan internet juga dapat digunakan
pada berbagai bidang, seperti bidang pendidikan, perbankan, kesehatan, serta pekerjaan atau bisnis Maryono Istiana, 2007.
Pengguna internet di seluruh dunia berkisar 2,4 milyar Meeker, 2013. Angka ini meningkat 8 dari tahun sebelumnya. Kementerian Komunikasi dan
Informatika Kemenkominfo 2013 mengungkapkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2013 berjumlah 63 juta orang. Dari jumlah tersebut, 95
persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Dalam bidang pekerjaan atau bisnis, perkembangan internet ini telah
mengubah cara perusahaan dalam menjalankan bisnis, baik pada tingkat lokal maupun global. Internet memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi,
berinteraksi dengan klien atau konsumen, melakukan promosi produk atau jasa, hingga perekrutan karyawan. Selain itu, dalam meningkatkan performa karyawan,
banyak perusahaan juga telah memanfaatkan fasilitas internet Lim, 2002. Performa karyawan dapat meningkat melalui berbagai fasilitas yang diberikan
internet dalam mempermudah kinerja karyawan.
Universitas Sumatera Utara
Di saat akses internet telah menjadi hal yang biasa, maka kecenderungan karyawan untuk menggunakan internet sebagai tujuan hiburan dan tidak berkaitan
dengan pekerjaan juga akan semakin meningkat Blanchard Henle, 2008. Hal ini dapat mengarah kepada perilaku kerja yang bersifat counterproductive Dalal,
2005, di mana loafing kemalasan merupakan salah satu masalah utama di dalam perusahaan Lim, 2002. Salah satu jenis kemalasan yang dapat dilakukan
karyawan adalah perilaku cyberloafing. Cyberloafing merupakan tindakan karyawan yang disengaja berupa
penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing situs-situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan Lim, 2002. Tindakan ini dilakukan selama jam kerja
untuk kepentingan pribadi karyawan. Teknologi yang digunakan ketika browsing ini dapat berasal dari perusahaan atau milik pribadi karyawan yang dibawanya
saat bekerja misalnya, smartphone, iPad, atau laptop. Berbeda dari bentuk kemalasan lain yang muncul di tempat kerja,
cyberloafing memungkinkan karyawan menggunakan internet untuk kepentingan pribadi namun tetap terlihat bekerja dengan semangat. Rata-rata karyawan di
Amerika mengakui telah menghabiskan waktu kerja lebih dari dua jam setiap hari dengan penggunaan internet pribadi sebagai pengalih perhatian utama Fox,
2007. Selain itu, 90 karyawan diperkirakan menghabiskan waktu kerja untuk mengunjungi situs hiburan dan 84 karyawan mengirimkan email pribadi atau
email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan Sharma Gupta, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini juga terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Australian National University pada tahun 2012 yang menemukan bahwa antara 30 hingga 65
penggunaan internet di tempat kerja tidak berkaitan dengan pekerjaan. Beberapa contoh perilaku cyberloafing karyawan adalah belanja online, browsing situs-situs
hiburan, terlibat dalam jejaring media sosial, mencari pekerjaan, mengirim dan menerima email pribadi, serta mengunduh file berkas yang tidak berhubungan
dengan pekerjaan. Karyawan di Amerika Serikat diperkirakan menghabiskan waktu untuk cyberloafing antara 3 jam per minggu Greenfield Davis, 2002
hingga 17,5 jam per minggu Mills, Hu, Beldona Clay, 2001. Sedangkan sejumlah studi di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata
karyawan menghabiskan waktu hingga satu jam per hari untuk akses internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Aktivitas yang dilakukan ini seperti browsing
Facebook atau Kaskus. Hal ini berarti bahwa dalam waktu sebulan seorang karyawan bisa mengkorupsi waktu kerjanya hingga 20 jam lebih 1 jam dikali 20
hari kerja, atau sama dengan 2,5 hari kerja penuh Antariksa, 2012. Cyberloafing dianggap sebagai suatu perilaku kerja yang counterproductive
oleh beberapa penelitian Lim, 2002; Beugre, 2003. Oleh karena itu, bukan hal yang mengejutkan apabila penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan
pekerjaan serta penundaan pekerjaan ini akan mengarah kepada penurunan produktivitas bagi organisasi Debt Cubed, 2006. Sebagai contoh, karyawan lebih
memilih menghabiskan waktu kerja dengan browsing situs hiburan dibandingkan menyelesaikan tugas yang diberikan perusahaan sesuai dengan standar performa
yang ditentukan. Hal ini tentunya dapat merugikan perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, meskipun cyberloafing dianggap sebagai suatu perilaku counterproductive, dalam beberapa hal, cyberloafing dapat juga dianggap sebagai
suatu perilaku yang konstruktif Beugre Daeryong, 2006. Online di saat jam kerja bersifat konstruktif karena dapat memberikan waktu bagi karyawan untuk
istirahat sejenak dari pekerjaannya Ovarec, 2002. Apabila perusahaan memberikan sejumlah waktu bagi karyawan untuk menggunakan komputer untuk
hal-hal pribadi dalam situasi yang tepat, hal itu dapat mengarah pada proses pembelajaran yang mungkin bermanfaat bagi organisasi Belanger Van Slyke,
2002. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya cyberloafing pada
karyawan, yaitu faktor organisasi, faktor situasional, dan faktor individual Ozler Polat, 2012. Faktor organisasi adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam
perusahaan di mana karyawan tersebut bekerja. Faktor ini meliputi ada atau tidaknya peraturan perusahan mengenai penggunaan internet, ada atau tidaknya
konsekuensi tertentu dari perusahaan jika terjadi cyberloafing, norma sosial dalam perusahaan, dukungan manajerial memberitahu karyawan mengenai penggunaan
internet di tempat kerja, dan karakteristik pekerjaan yang dimiliki oleh karyawan. Faktor situasional juga akan mempengaruhi munculnya cyberloafing.
Perilaku cyberloafing biasanya terjadi apabila individu memiliki akses internet di tempat kerja, hal inilah yang memediasi munculnya perilaku tersebut
Weatherbee, 2010. Salah satu faktor situasional adalah kedekatan jarak seperti jarak ruangan karyawan dengan atasan. Kedekatan jarak dengan atasan di kantor
secara tidak langsung akan mempengaruhi cyberloafing. Hal ini tergantung pada
Universitas Sumatera Utara
persepsi karyawan mengenai kontrol perusahaan terhadap perilakunya, termasuk ada atau tidaknya sanksi dan peraturan perusahaan Ozler Polat, 2012.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi cyberloafing adalah faktor individual. Faktor ini mencakup banyak hal yaitu persepsi dan sikap karyawan terhadap
internet, habbits kebiasaan, faktor demografis, dan trait sifat personal karyawan. Ditinjau dari persepsi dan sikap karyawan terhadap internet, karyawan
yang memiliki persepsi dan sikap positif terhadap internet cenderung menggunakan komputer untuk alasan pribadi Liberman, Gwendolyn, Katelyn
Laura, 2011. Karyawan yang merasa bahwa penggunaan internet mereka bermanfaat bagi performansi kerja juga akan lebih mungkin terlibat dalam
cyberloafing dibandingkan karyawan lain Vitak, Crouse Larouse, 2011. Selain itu, dalam memprediksi munculnya perilaku cyberloafing, hubungan
antara kebiasaan media media habbit dengan cyberloafing memiliki peran yang penting Vitak, Crouse Larouse, 2011. Apabila individu telah kecanduan
internet, maka ia akan lebih mungkin melakukan cyberloafing di tempat kerja. Dan apabila ditinjau dari faktor demografis, Garrett dan Danziger 2008
menemukan bahwa status pekerjaan, persepsi otonomi di dalam tempat kerja, tingkat pemasukan gaji, pendidikan, dan jenis kelamin menjadi prediktor
penting terhadap perilaku cyberloafing. Sedangkan apabila dilihat dari sifat karyawan, maka sifat seperti shyness
perasaan malu, loneliness kesepian, isolation isolasi, kontrol diri, harga diri, dan locus of control dapat mempengaruhi bentuk dari penggunaan internet
karyawan. Sebuah studi eksploratori mengindikasikan bahwa apabila karyawan
Universitas Sumatera Utara
memiliki sifat pemalu, kurang memiliki kesetiaan, memiliki keyakinan yang kuat terhadap kekuatan orang lain, dan memiliki keyakinan yang tinggi pada
kesempatan untuk menentukan hidupnya, maka ia memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami adiksi terhadap internet Chak Leung, 2004.
Penelitian lain menemukan bahwa karyawan yang memiliki locus of control eksternal misalnya, percaya bahwa takdir mereka tergantung pada orang lain dan
karyawan yang memiliki harga diri rendah kurang memiliki kontrol terhadap penggunaan internet sehingga akan mempengaruhi tingkat penyalahgunaan
internet saat bekerja Vitak, Crouse Larouse, 2011. Individu yang berorientasi eksternal juga ditemukan kurang berhasil dalam mengontrol penggunaan internet
mereka Chak Leung, 2004. Jika dilihat melalui kontrol diri, karyawan yang memiliki kecenderungan
lebih besar untuk terlibat dalam perilaku menyimpang di tempat kerja adalah karyawan yang memiliki kontrol diri rendah Restubog, Garcia, Toledano,
Amarnani, Tolentino Tang, 2011. Nagin dan Paternoster 1993 memperkenalkan kontrol diri sebagai trait stabil yang mempengaruhi
kecenderungan seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas terlarang. Mereka mengindikasikan bahwa individu dengan kontrol diri rendah adalah individu yang
merasa memiliki keperluan lebih kuat terhadap perilaku terlarang karena akan mendapat reward hadiah langsung, serta memiliki conscience hati nurani yang
kurang berkembang. Sehingga mereka menemukan bahwa kontrol diri memiliki pengaruh terhadap niat individu untuk melakukan berbagai perilaku terlarang saat
Universitas Sumatera Utara
bekerja, seperti perilaku cyberslacking, cyberloafing, atau junk computing Nagin Paternoster, 1993.
Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu dirinya dalam mengatur dan mengarahkan perilaku, yang disebut dengan kontrol diri.
Menurut Goldfried Marbaum 1973, kontrol diri diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk
perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Kontrol diri antara satu individu dengan individu yang lain berbeda-beda. Ada individu yang
memiliki kontrol diri tinggi, sedang, atau bahkan rendah. Sebuah penelitian dilakukan oleh Ugrin, Pearson, dan Odom 2008
menunjukkan bahwa kontrol diri memiliki hubungan negatif dengan cyber- slacking. Cyber-slacking merupakan kegiatan menghabiskan waktu tidak
produktif dengan internet. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah ditemukan memiliki kecenderungan lebih besar
untuk cyber-slacking. Penelitian lain dilakukan oleh Swanepoel 2012 menunjukkan bahwa
kekuatan karakter karyawan seperti kontrol diri dan integritas berhubungan negatif dengan perilaku menyimpang di tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa
karyawan yang memiliki kontrol diri dan integritas yang tinggi lebih jarang terlibat dalam perilaku menyimpang di kantor. Kedua hasil penelitian tersebut
mendukung bahwa kontrol diri dapat menentukan kecenderungan karyawan untuk terlibat dalam perilaku menyimpang di tempat kerja, seperti perilaku cyberloafing.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu jenis pekerjaan yang memanfaatkan internet dalam bekerja adalah pegawai perpustakaan. Selain digunakan sebagai alat bantu dalam bekerja,
internet juga bermanfaat untuk mempermudah pelayanan kepada pengguna jasa perpustakaan. Menurut Basuki 1993, salah satu tujuan perpustakaan umum
adalah menyediakan sumber informasi yang cepat, tepat, dan murah bagi masyarakat terutama topik yang hangat dalam masyarakat.
Siregar 1999 menyebutkan bahwa penggunaan internet di perpustakaan terbagi ke dalam dua jenis, yaitu 1 penyediaan akses yaitu penyediaan sarana
dan prasarana di mana pustakawan dan pengguna perpustakaan dapat menggunakan internet. Penyediaan layanan akses ini bertujuan agar sivitas
akademika dapat memperoleh informasi yang bersumber dari Web, yang diperlukan untuk mendukung kegiatan proses belajar-mengajar dan penelitian;
dan 2 publikasi elektronik yaitu kegiatan untuk mempublikasikan berbagai informasi tentang dan oleh perpustakaan. Dalam hal ini, perpustakaan memiliki
dan memelihara sendiri suatu situs Web. Oleh karena itu, penggunaan internet di perpustakaan dapat mempermudah pemberian informasi yang dibutuhkan oleh
pengguna, seperti informasi mengenai buku, jurnal, atau referensi ilmiah lainnya. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Library Research Service 1997,
empat dari sepuluh pegawai perpustakaan di Colorado mengakses internet dua sampai tiga kali dalam seminggu. Tiga di antaranya menghabiskan satu sampai
dua jam setiap hari. Sedangkan satu orang menghabiskan waktu lebih dari dua jam setiap hari untuk online. Ketika ditanya mengenai aktivitas yang mereka
Universitas Sumatera Utara
lakukan dengan internet, pegawai perpustakaan ini paling sering mengakses World Wide Web, email, dan ACLIN PAC dan database.
Wanucha dan Hofschire 2013 menganalisis munculnya beberapa website yang diakses di perpustakaan Colorado. Hasilnya adalah peningkatan penggunaan
teknologi dari tahun 2010 hingga tahun 2012, meliputi pendaftaran kartu perpustakaan secara online, online account access, email newsletter, text
reference, dan chat reference. Hasil survey mereka juga menunjukkan bahwa dari 9 jaringan sosial, maka 51 dari akses internet perpustakaan digunakan untuk
Facebook, 21 untuk Twitter, dan beberapa website lainnya seperti Youtube, Foursquare, dan Tumblr.
Berdasarkan hasil observasi ketika mendatangi sebuah perpustakaan negeri, beberapa pegawai terlihat menggunakan internet untuk bermain online game atau
membuka media sosial Facebook. Namun, beberapa pegawai lain tetap terlihat fokus bekerja. Apabila pegawai tidak memiliki kontrol diri yang baik, maka
perhatian mereka mudah beralih kepada hal-hal yang lebih menyenangkan, seperti membuka media sosial atau bemain online game.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing
pada pegawai perpustakaan.
Universitas Sumatera Utara
B. RUMUSAN MASALAH