Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013

(1)

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GAMBOK KAB.

SIJUNJUNG PRONVISI SUMATERA BARAT TAHUN 2013

SKRIPSI

OLEH:

OLYVIA GLANTIKA NIM. 101000234

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GAMBOK KAB.

SIJUNJUNG PRONVISI SUMATERA BARAT TAHUN 2013

Skripsi ini diajukam Sebagai

Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

OLYVIA GLANTIKA NIM. 101000234

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul

“FAKTOR

-FAKTOR

YANG

BERHUBUNGAN

DENGAN

KEJADIAN FILARIASIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

GAMBOK KAB.SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT

TAHUN 2013” ini beserta seluruh isinya adalah benar karya saya

sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan

dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang

berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini saya siap

menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila

kemungkinan adanya ditemukan pelanggaran terhadap etika

keilmuan dalam karya saya ini atau klaim dari pihak lain terhadap

karya saya ini

Medan, Oktober 2015


(4)

(5)

ABSTRAK

Penyakit Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria, vektor perantara ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex. Penyakit filariasis dapat menimbulkan stigma sosial. Species cacing filariasis yang sering menginfeksi manusia adalah Wuchereria bancrofti. Tingkat endemisitas filariasis di Indonesia tahun 1999 masih tinggi dengan microfilaria (MF) rate 3,1%. Kabupaten Sijunjung merupakan daerah endemis filariasis pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 terjadi peningkatan kasus filariasis. Dengan kasus tahun 2010 ada 24 kasus dan tahun 2012 meningkat menjadi 70 kasus.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan case series. Populasi adalah seluruh penderita filariasis tercatat di Puskesmas Gambok yang berjumlah 100 orang. Sampel adalah total populasi. Data univariat dianalisis secara deskriptif menggunakan bantuan komputer yaitu program SPSS (Statistical Product and Service Solustion).

Hasil Proporsi tertinggi responden yang mengalami filariasis di Puskesmas Gambok Kabupaten Sijunjung berada pada kelompok umur diatas 30 tahun (79%), jenis kelamin laki-laki (72%), Tidak ada saluran pembuangan air limbah (61%), ada tempat perkembangbiakan nyamuk (58%), ada tempat peristirahatan nyamuk (73%), ada ,rusak kawat kasa pada ventilasi (45%), tidak ada pencahayaan (58%), kebiasaan keluar rumah malam hari (47%), tidak menggunakan kelambu insektisida (45%), tidak pernah menggunakan anti nyamuk bakar (43%), tidak pernah memakai repellent (39%).

Untuk masyarakat, pengendalian filariasis dapat dilakukan dengan, meminimalkan tempat perkembangbiakan dan tempat peristirahatan nyamuk yang ada pada lingkungan rumah dengan menjaga kebersihan lingkungan dan menggunakan kelambu insektisida pada saat tidur agar terhindar dari gigitan nymuk.


(6)

ABSTRACT

Filariasis disease is an infectious disease caused by a filarial worm infections, is transmitted by mosquito vectors intermediary Mansonia, Anopheles, Culex. Filariasis can lead to social stigma. Species of filaria worm that infect the human being is wucherexia bancrofii. Filariasis endemicity level in Indonesia in 1999 was still high by microfilaria (MF) rate of 3.1%. Sijunjung is endemic filariasis in 2010 up to 2012 there was an increase of cases of filariasis. With the case in 2010 there were 24 cases and in 2012 increased to 70 cases.

This research was done as descriptive study by using case series design. Population was all patients with filariasis was recorded in Health Centers of Gambok totalling 100 people. Univariate data were analyzed descriptively using computer-assisted program that SPSS (Statistical Product and Service Solustion).

The highest proportion of respondents who experienced filariasis in Health Centers of Gambok Sijunjung, The highest proportion of respondents who are obese are in the age group above 30 years (79%), male (72%), there is no waste drainage system (61%),there are mosquitos breeding sites (58%), there are mosquitos resting place (73%), there are ventilation with insect-proof gauze (45%), and there are nothing room lighting (584%), usually out of home at night (47%), never slept without bed net insenticide (45%), never using anti mosquitoes (43%), never wearing repellent (39%).

For community, filariasis control can be done by to minimizethe breeding sites and resting places of mosquitoes that exist in the home environment by keeping the environment and use mosquito net during sleep to avoid mosquito bites.


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Olyvia Glantika

Tempat : Dumai

Tanggal lahir : 01 Oktober 1991 Suku Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Nama Ayah : H. Arisman

Suku Bangsa Ayah : Indonesia

Nama Ibu : Hj. Yasnibarti

Suku Bangsa Ibu : Indonesia

Pendidika Formal

1. TK : TK Aisyah Dumai Tahun 1997

2. SD : SD Negeri no. 002 Dumai Tahun 2003

3. SMP : SMP Negeri 2 Bangkinang Tahun 2006

4. SMA : SMA Negeri 4 Medan Tahun 2009


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul, “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Filariasis di wilayah kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung Provinsi Sumatera Barat tahun 2013” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai

pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Ketua Departemen Epidemiologi FKM USU.

3. Ibu drh. Hiswani, M.Kes selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan..

4. Bapak Dr. dr. Taufik Ashar, MKM selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.


(9)

5. Bapak dr. Mhd. Makmur Sinaga, MS selaku Dosen Penguji I dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Drs. Jemadi, M.Kes selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu Ratna yang banyak membantu dalam proses administrasi.

8. Kepala Puskesmas Gambok dan seluruh pegawai yang ada di Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian, serta masyarakat yang ada di wilayah kerja Puskesmas Gambok yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

9. Orangtuaku tercinta, H. Arisman dan Hj. Yasnibarti yang telah memberikan motivasi serta dukungan doa kepada penulis dan juga kepada adik-adikku, Lovia Arisca, Muhammad Arya Ihsan, Muhammad Rizki Adha atas semangat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Kakak sepupu Edra Yunita, SKM dan Hadi Zulfitri, SKM yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman seperjuangan di peminatan epidemiologi 2010 yang telah membantu penulis dalam penyelesain skripsi ini, , serta teman – teman stambuk 2010 terima kasih atas dukungan, doa, semangat, dan kebersamaan selama ini.


(10)

12.Serta semua pihak yang telah berjasa, yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini

Penulis menyadari masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan

skripsi ini. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun agar kedepannya bisa menjadi lebih baik. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, Juni 2015


(11)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Daftar Riwayat Hidup ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis ... 6

2.1.1 Pengertian Filariasis ... 6

2.1.2 Nyamuk sebagai vektor Filariasis ... 7

2.1.3 Gejala Klinis ... 10

2.1.4 Penetapan Stadium Limfedema ... 13

2.1.5 Patogenesis Filariasis ... 14

2.1.6 Rantai Penularan Filariasis ... 16

2.1.7 Diagnosis Filariasis ... 20

2.2 Epidemiologi Filariasis ... 22

2.2.1 Distribusi Menurut Orang ... 22

2.2.2 Distribusi Menurut Tempat ... 22

2.2.3 Distribusi Menurut Waktu ... 23

2.3 Determinan Filariasis ... 23

A. Faktor Agent ………... ... 23

B. Faktor Host ... 27

C. Faktor Lingkungan ... 28


(12)

b. Lingkungan Biologik ... 32

c. Lingkungan Kimia ... 34

d. Lingkungan Sosial, ekonomi, budaya ... 34

2.4 Penetapan Endemisistas ... 36

2.5 Pencegahan dan Pengobatan Filariasis ... 37

2.5.1 Pencegahan Filariasis ... 37

2.5.2 Pengobatan Filariasis ... 38

2.6 Kerangka Konsep ... 39

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 40

3.2.2 Waktu Peneltian ... 40

3.3 Populasi dan Sampel ... 40

3.3.1 Populasi ... 40

3.3.2 Sampel ... 40

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.4.1 Data Primer ... 41

3.4.2 Data Sekunder ... 41

3.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 41

3.6 Definisi Operasional ... 41

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian………. ... 45

4.2 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Sosiodemografi ... 45

4.3 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Lingkungan Fisik ... 47

4.4 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Lingkungan Sosial……….. ... 50

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Sosiodemografi di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung………...54

5.2 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Lingkungan Fisik di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung………..58


(13)

5.3 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Lingkungan Sosial di

Wilayah Kerja Kab. Sijunjung………....65

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan……….72

6.2 Saran………73

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Lampiran I Master Data Lampiran II Output Data

Lampiran III Surat Izin Penelitian Lampiran IV Surat Selesai Penelitian


(14)

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 4.1 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Sosiodemografi di

Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 46 Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Ketersediaan

Saluran Pembuangan Air Limbah Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 47 Tabel 4.3 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Tempat

Perkembangbiakan Nyamuk Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 48 Tabel 4.4 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Tempat

Peristirahatan nyamuk Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 48 Tabel 4.5 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Kawatn Kasa Pada

Ventilasi Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 49 Tabel 4.6 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Pencahayaan Pada

Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.

Sijunjung……… 50

Tabel 4.7 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari Pada Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 51 Tabel 4.8 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Pemakaian

Kelambu Pada Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 51 Tabel 4.9 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Kebiasaan

Memakai Obat Anti Bakar Pada Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 52 Tabel 4.10 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Kebiasaan

Memakai Repellent Pada Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 53


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Umur

di Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 54 Gambar 5.2 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Jenis

Kelamin di Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 56 Gambar 5.3 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Pekerjaan di Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 57 Gambar 5.4 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Ketersediaan Saluran Pembuangan Air Limbah Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung…... 58 Gambar 5.5 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung` ... 59 Gambar 5.6 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Tempat Peristirahatan Nyamuk Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 61 Gambar 5.7 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Kawat Kasa Ventilasi Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 62 Gambar 5.8 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Pencahayaan Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 64 Gambar 5.9 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari Pada Penderita Filariasis di Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 65 Gambar 5.10 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Pemakaian Kelambu Pada Penderita Filariasis di Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 67 Gambar 5.11 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk Bakar Pada Penderita Filariasis di Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 69 Gambar 5.12 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan

Kebiasaan Memakai Repellent Pada Penderita Filariasis di Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung ... 70


(16)

ABSTRAK

Penyakit Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria, vektor perantara ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex. Penyakit filariasis dapat menimbulkan stigma sosial. Species cacing filariasis yang sering menginfeksi manusia adalah Wuchereria bancrofti. Tingkat endemisitas filariasis di Indonesia tahun 1999 masih tinggi dengan microfilaria (MF) rate 3,1%. Kabupaten Sijunjung merupakan daerah endemis filariasis pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 terjadi peningkatan kasus filariasis. Dengan kasus tahun 2010 ada 24 kasus dan tahun 2012 meningkat menjadi 70 kasus.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan case series. Populasi adalah seluruh penderita filariasis tercatat di Puskesmas Gambok yang berjumlah 100 orang. Sampel adalah total populasi. Data univariat dianalisis secara deskriptif menggunakan bantuan komputer yaitu program SPSS (Statistical Product and Service Solustion).

Hasil Proporsi tertinggi responden yang mengalami filariasis di Puskesmas Gambok Kabupaten Sijunjung berada pada kelompok umur diatas 30 tahun (79%), jenis kelamin laki-laki (72%), Tidak ada saluran pembuangan air limbah (61%), ada tempat perkembangbiakan nyamuk (58%), ada tempat peristirahatan nyamuk (73%), ada ,rusak kawat kasa pada ventilasi (45%), tidak ada pencahayaan (58%), kebiasaan keluar rumah malam hari (47%), tidak menggunakan kelambu insektisida (45%), tidak pernah menggunakan anti nyamuk bakar (43%), tidak pernah memakai repellent (39%).

Untuk masyarakat, pengendalian filariasis dapat dilakukan dengan, meminimalkan tempat perkembangbiakan dan tempat peristirahatan nyamuk yang ada pada lingkungan rumah dengan menjaga kebersihan lingkungan dan menggunakan kelambu insektisida pada saat tidur agar terhindar dari gigitan nymuk.


(17)

ABSTRACT

Filariasis disease is an infectious disease caused by a filarial worm infections, is transmitted by mosquito vectors intermediary Mansonia, Anopheles, Culex. Filariasis can lead to social stigma. Species of filaria worm that infect the human being is wucherexia bancrofii. Filariasis endemicity level in Indonesia in 1999 was still high by microfilaria (MF) rate of 3.1%. Sijunjung is endemic filariasis in 2010 up to 2012 there was an increase of cases of filariasis. With the case in 2010 there were 24 cases and in 2012 increased to 70 cases.

This research was done as descriptive study by using case series design. Population was all patients with filariasis was recorded in Health Centers of Gambok totalling 100 people. Univariate data were analyzed descriptively using computer-assisted program that SPSS (Statistical Product and Service Solustion).

The highest proportion of respondents who experienced filariasis in Health Centers of Gambok Sijunjung, The highest proportion of respondents who are obese are in the age group above 30 years (79%), male (72%), there is no waste drainage system (61%),there are mosquitos breeding sites (58%), there are mosquitos resting place (73%), there are ventilation with insect-proof gauze (45%), and there are nothing room lighting (584%), usually out of home at night (47%), never slept without bed net insenticide (45%), never using anti mosquitoes (43%), never wearing repellent (39%).

For community, filariasis control can be done by to minimizethe breeding sites and resting places of mosquitoes that exist in the home environment by keeping the environment and use mosquito net during sleep to avoid mosquito bites.


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat yang menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara, dan alat kelamin. (Chin, 2006)

Filariasis di Indonesia pertama kali di laporkan oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889 di Jakarta yaitu dengan di temukannya penderita filariasis skrotumt. Pada saat itu pula Jakarta diketahui endemik limfatik yang disebabkan oleh Brugia malayi. Pada tahun 1937 Brug membuat suatu rangkuman tentang laporan filariasis di seluruh Indonesia pada waktu itu telah diketahui dan spesies cacing filaria sebagai penyebabnya yaitu Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi. (Depkes RI, 2009)

Selanjutnya pada tahun 1997 WHO membuat resolusi tengtang eliminasi penyakit kaki gajah, pada tahun 2000 WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (The Global Goal Of Elimination Of Limphatik Year 2020), menyusul kesepakatan global tersebut pada tahun 2002 Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah yang disingkat ELKAGA pada tahun 2020. Eliminasi filariasis bertujuan untuk menurunkan prevalensi (MF – rate) hingga


(19)

dibawah 1% sehingga filariasis tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat. (Depkes RI, 2009)

Pada tahun 2004 filariasis telah menginfeksi 14,45% penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis seperti India, Bangladesh, Taiwan, China, Philipina, Afrika, Amerika Latin, daerah pasifik dan negara-negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, berdasarkan survei yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004 terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis (elephantiasis) yang tersebar diseluruh provinsi. Secara epidemiologi data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada yang berisiko tinggi tertular filariasis dengan 6 juta penduduk diantaranya telah terinfeksi. (Depkes RI, 2007)

Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa tenggara, dan Papua baik di perkotaan maupun pedesaan. Kasus di pedesaan banyak di temukan di kawasan Indonesia bagian timur, sedangkan untuk di perkotaan banyak di temukan di daerah seperti Bekasi, Tanggerang, Pekalongan, dan Lebak (Banten). (Depkes RI, 2006)

Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya di laporkan oleh 42% Puskesmas dari 7.221 Puskesmas. Tingkat endemisitas filariasis di Indonesia tahun 1999 masih tinggi dengan microfilaria (MF) rate 3,1% (0,5-19,64%). Berdasarkan survei untuk pemeriksaan mikroskopis pada desa dengan jumlah penderita terbanyak


(20)

pada tahun 2002-2005 terutama di Sumatera dan Kalimantan telah terindentifikasi 84 Kabupaten/Kota dengan microfilaria rate 1% atau lebih. Data tersebut menggambarkan bahwa seluruh daerah di Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah endemis filariasis. (Nasri Noor, 2006)

Menurut Depkes Mei tahun 2009 tercatat 11.189 kasus kronis filariasis yang di laporkan daerah yang tersebar di 378 Kabupaten/Kota di Indonesia tergolong daerah endemis filariasis. Dari jumlah penduduk di daerah endemis yang berisiko tertular filariasis 150 juta jiwa (Depkes RI, 2007). Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Sijunjung tahun 2012, Kabupaten Sijunjung merupakan daerah endemis filariasis pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 terjadi peningkatan kasus filariasis. Dengan kasus tahun 2010 ada 24 kasus dan tahun 2012 meningkat menjasi 70 kasus. (Dinkes Kab. Sijunjung, 2012)

Lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat. Kabupaten Sijunjung merupakan daerah sepanjang pesisir Sumatera Barat yang terdiri dari rawa-rawa dataran rendah dan bebukitan yang berpenghuni. Banyak diantara, masyarakatnya yang memiliki kolam di belakang rumah serta adanya rawa-rawa disekitar rumahnya. (Dinkes Kab.Sijunjung, 2012)

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu di lakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Gambok Kabupaten Sijunjung.


(21)

1.2Rumusan Masalah

Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Gambok Kabupaten Sijunjung.

1.3Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Gambok Kabupaten Sijunjung Tahun 2013.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui distribusi proporsi responden berdasarkan sosiodemografi, yang meliputi : umur, jenis kelamin dan pekerjaan b. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita filariasis menurut

lingkungan fisik rumah penderita filariasis meliputi ketersediaan saluran pembuangan air limbah, tempat perkembangbiakan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kawat kasa pada ventilasi, dan pencahayaan c. Untuk mengetahui proporsi penderita filariasis menurut lingkungan

sosial penderita filariasis meliputi kebiasaan keluar malam hari, pemakaian kelambu, pemakaian obat anti nyamuk bakar, kebiasaan memakai repellent.

1.4Manfaat a. Bagi Mahasiswa

Dengan penelitian ini, mahasiswa dapat menerapkan ilmu dan teori yang telah diperoleh, juga dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai


(22)

filariasis serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Gambok.

b. Bagi Puskesmas Gambok

Hasil penelitian dapat dijadikan bahan masukan dan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan filariasis di Puskesmas Gambok agar tidak mengalami masalah kesehatan dikemudian hari akibat filariasis.

c. Bagi Peneliti Lain

Sebagai informasi kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian selanjutnya.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis

2.1.1 Pengertian Filariasis

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit yang disebabkan karena cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfe) serta menyebabkan gejala akut dan kronis dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Secara klinis, penyakit menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan getah bening (adenomalimfangitis) terutama di daerah pangkal, paha, dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali, dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan meninggalkan parut. Dapat terjadi limfedema dan hidrokel yang berlanjut menjadi stadium kronis yang berupa elenfantiasis yang menetap yang sukar disembuhkan berupa pembasaran kaki (seperti kaki gajah) lengan, payudara, buah zakar (scrotum) dan kelamin wanita. (Depkes RI, 2006)

Filariasis telah dikenal di Indonesia sejak 1889 (Depkes RI, 2006). Filariasis hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Walaupun penyakit ini tidak mematikan namun dapat mengakibatkan kecacatan sehingga memberikan dampak yang cukup besar bagi penderita maupun masyarakat, antara lain menurunnya produktivitas penderita dan memberikan beban sosial bagi penderita keluarga maupun masyarakat. (Nasri Noor, 2006)


(24)

2.1.2 Nyamuk sebagai vektor Filariasis a. Siklus hidup nyamuk

Dalam siklus hidup nyamuk terdapat 4 stadium dengan 3 stadium berkembang di dalam air dari satu stadia hidup dialam bebas:

1) Nyamuk Dewasa

Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1 : 1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara lain temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk. (Nurmaini, 2003)

2) Telur Nyamuk

Nyamuk biasanya meletakkan telur di tempat yang berair, pada tempat yang keberadanya kering telur akan rusak dan mati. Kebiasaan meletakkan telur dari nyamuk berbeda -beda tergantung dari jenisnya :

- Nyamuk Mansonia meletakkan telurnya menempel pada tumbuhan-tumbuhan air, dan diletakkan secara bergerombol berbentuk karangan bunga. Telur nyamuk Mansonia uniformis biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok pada permukaan bawah daun tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa yang banyak tumbuhan air.


(25)

- Nyamuk Culex akan meletakkan telur diatas permukaan air secara bergerombolan dan bersatu berbentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung.

3) Jentik nyamuk

Pada perkembangan stadium jentik adalah pertumbuhan dan melengkapi bulu-bulunya, stadium jentik mermerlukan waktu 1 minggu. Pertumbuhan jentik dipengaruhi faktor temperatur, nutrien, ada tidaknya binatang predator.

4) Kepompong

Merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada stadium ini memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga dapat terbang, stadium kepompong memakan waktu lebih kurang 1 -2 hari.

b. Tempat Berkembangbiak (Breeding Places)

Dalam perkembangbiakan nyamuk selalu memerlukan tiga macam tempat yaitu tempat berkembangbiak (breeding places), tempat untuk mendapatkan umpan/darah (feeding places) dan tempat untuk beristirahat (resting places). (Nurmaini, 2003)

Nyamuk mempunyai tipe breeding places yang berlainan seperti Mansonia senang berkembang biak di kolam-kolam, rawa-rawa danau yang banyak tanaman airnya (Nurmaini, 2003). Tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis digolongkan dalam tiga tipe dasar yaitu : (1) daerah rawa-rawa terbuka yang mana tumbuhan yang dominan adalah Isachene


(26)

globosa dan Panicum amplixicaule. Daerah tipe ini sangat disenangi dan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes, (2) daerah yang merupakan batas hutan dan merupakan tempat/rawa dengan hutan terbuka. Daerah ini disenangi oleh nyamuk Mansonia annulata, (3) daerah hutan yang berawa dengan segala macam keanekaragaman tumbuhan yang dapat memberi kemungkinan tempat berkembangbiak jenis nyamuk seperti Mansonia dives, Mansonia bonneae, dan Mansonia nigrossignata. Kolam atau sawah terbuka yang banyak ditumbuhi tanaman air karena kurang digarap, dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia, apalagi jika kolam tersebut mempunyai kedalaman 15-100 cm. Culex dapat berkembang di sembarangan tempat air. (Nurmaini, 2003)

c. Kebiasaan Menggigit

Waktu keaktifan mencari darah dari masing -masing nyamuk berbeda-beda, nyamuk Mansonia uniformis tempat beristirahat pada umumnya di luar rumah dan aktif pada malam hari. Aktifitas Mansonia uniformis menggigit di luar rumah dimulai pada pukul 18.00 sampai pukul 19.00, kemudian menurun pada pukul 19.00 sampai pukul 20.00. Pada pukul 20.00 sampai pukul 21.00 intensitas menggigitnya kembali meningkat dan dengan kepadatan yang sama pada pukul 21,00 sampai pukul 22.00. Nyamuk yang aktif pada malam hari menggigit adalah Anopheles dan Culex, Pada umumnya nyamuk yang menghisap darah adalah nyamuk betina.


(27)

d. Kebiasaan Beistirahat (Resting Places)

Biasanya setelah nyamuk betina menggigit orang/hewan, nyamuk tersebut akan beristirahat selama 2 -3 hari, misalnya pada bagian dalam rumah sedangkan diluar rumah seperti gua, lubang lembab, tempat yang berwarna gelap dan lain lain merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk berisitirahat. (Nurmaini, 2003)

Penelitian dan pengamatan perilaku dan kebiasaan istirahat nyamuk Mansonia menurut Krafsur dalam Boesri (2012) di Gambela (Ethiopia) mendapatkan kepadatan populasi Mansonia uniformis dan Mansonia africanus yang istirahat dalam rumah sangat rendah dan bersifat antropofilik. Smith dalam Boesri (2012) dengan penelitian di Afrika menemukan Mansonia uniformis dan Mansonia africanus selalu mengisap darah dan istirahat di luar rumah. Siklus gonotropik dari kedua nyamuk ini adalah 3,3 - 4,1 hari untuk Mansonia uniformis dan 3,4 – 3,8 hari untuk Mansonia Indiana. (Nurmaini, 2003)

2.1.3 Gejala klinis

Ada dua macam gejala klinis filariasis, yaitu gejala klinis akut dan gejala klinis kronis (Depkess RI, 2006):

a. Gejala klinis Akut

Keadaaan terlihat pada kondisi gejala klinis akut adalah berupa pandangan kelenjar limfe (limfadenitis) atau saluran limfe (limfangitis) sedangkan untuk pandangan yang terjadi pada kelenjar dan saluran limfe sekaligus disebut adenomalimfangitis. Pada umumnya gejala klinis akut yang terjadi adalah disertai dengan demam, sakit kepala, rasa lemah atau


(28)

kelelahan dan dapat pula disertai abses (bisul) yang kemudian pecah dan sembuh. Biasanya abses yang sembuh akan meninggalakn bekas parut. Bekas dalam bentuk parut sering kita lihat dan di temukan di daerah lipatan paha dan ketiak. Keadaan ini banyak terdapat di daerah penularan filariasis dengan golongan species cacing filaria Brugia malayi dan Brugia timori. (Dinkes SUMUT, 2011)

Kemudian untuk gejala species filaria Wuchereria bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis).

a. Gejala klinis Kronis

Pembagian gejala klinis kronis secara umum dapat dibagi empat kelompok, yaitu:

1. Limfedema

Pada infeksi Wuchereria bancrofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan dibawah siku dimana siku dan lutut masih normal.

2. Lymph Scrotum

Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi terjadinya infeksi ualang oleh bakteri dan


(29)

jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfeda scrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal, kadang-kadang besar. 3. Kiluria

Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filarial dewasa species Wuchereria bancrofti sehingga cairan limfe dan darah masuk kedalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut:

- Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung lemak, dan kadang-kadang disertai (haematuria).

- Sukar kencing - Kelelahan tubuh - Kehilangan berat badan 4. Hydrocele

Adalah pelebaran kantong buah zakar karena tertumpuknya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hydrocele dapat terjadi pada satu atau dua kantong buah zakar dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut:

- Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan bersembunyi.

- Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus

- Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi yantu komplikasi dengan Chycle (Chylocele), darah (Haematocele) atau nanah (Pyocele). Uji transiluminasi dapat di gunakan untuk


(30)

membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat di kerjakan oleh dokter puskesmas yang telah di latih.

- Hydrocele banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria bancrofti dan di gunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria bancrofti. (Dinkes SUMUT, 2011)

2.1.4 Penetuan Stadium Limfedema

Limfedema terbagi dalam 7 stadium (table 1.1) menggambarkan akan tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan) mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita. (Depkes RI, 2006)

Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut (Depkes RI, 2006):

1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai

2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi dibuat dalam satu stadium limfedema.

3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. 5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan


(31)

Tabel 2.1 Stadium limfedema/Tanda Kejadian bengkak, Lipatan Dan Benjolan Pada Penderita Kronis Filariasis

Gejala Stadium 1

Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Bengkak dikaki Menghilang waktu bangun tidur pagi

Menetap Menetap Menetap Menetap, meluas Menetap, meluas Menetap, meluas Lipatan kulit

Tidak ada Tidak ada

Dangkal Dangkal Dalam, kadang dangkal Dangkal, dalam Dangkal, dalam Nodul Tidak ada Tidak

ada

Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Ada Kadang-kadang Mossy

lessions

Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Ada Kadang-kadang Hambatan

berat

Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya

Sumber: Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, Depkes RI 2006

2.1.5 Patogenesis Filariasis

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk kedalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat di bagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil terdapat di kulit. (Depkes RI, 2006)

Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan


(32)

pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi) sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik:

1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekana hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk kejaringan menimbulkan odema jaringan. Adanya odema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES) bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 3. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang

(recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:

a. Gejala peradangan lokal berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri yaitu:

- Limfangitis : peradangan di saluran limfe - Limfadenitis : peradangan di kelenjar limfe

- Adeno limfangitis (ADL) : peradangan saluran dan kelenjar limfe - Abses (lanjutan ADL)

- Peradangan oleh species Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis, dan orkitis


(33)

b. Gejala peradangan umum berupa demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah.

4. Kerusakan sisitem limfatik termasuk kerusakan saluran limfa kecil yang ada di kulit, menyebabkan kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema. 5. Pada penderita limfedema serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pergesaran kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis, dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (piting) akan menjadi pembengkakan menetap (non piting). (Oemijati, 2006)

2.1.6 Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu (Depkes RI, 2006): 1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang

mengandung mikrofilaria dalam darahnya a. Manusia

Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang


(34)

terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya.

b. Hewan

Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua species cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia. 2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.

3. Manusia yang rentan terhadap filariasis

Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapa dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.


(35)

Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan.

Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembapan sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembapan berpengaruh terhadap umur nyamuk. Sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari.

Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodic nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. (Depkes RI, 2006)


(36)

2.1.7 Diagnosis Filariasis

Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan (Depkes RI, 2006): 1. Diagnosis Parasitologi

a. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsetrasi Knott, membrane filtrasi. Pengembilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00 wib) mengingat periodiditas mikrofilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan hispatologi kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat ditemukan di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang di curigai sebagai tumor.

b. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasite dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (polymerase Chain Reaction/PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection.

2. Radiodiagnosis

a. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan infeksi filaria oleh Wuchereria bancrofti.


(37)

b. Pemeriksaan Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.

3. Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang menggunakan antibody monoclonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen Wuchereria bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah.

Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk deteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif.

Pada stadium obstruktif mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi dalam darah kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.

2.2Epidemiologi Filariasis

2.2.1 Distribusi Menurut Orang (Person)

Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010). Penelitian Juriastuti dkk (2010) di kelurahan Jatisempurna ditemukan penderita


(38)

filariasis proporsi terbesar berjenis kelamin laki-laki (58,1%) berada pada kelompok usia produktif (71%) dan berjenis pekerjaan tidak berisiko (71%). 2.2.2 Distribusi Menurut Tempat (Place)

Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di perkotaan, pantai, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis Wuchereria bancrfti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan bebrapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di Kepulauan Flores, alor, Rote, Timor, dan Sumba, umumnya endemic di daerah persawahan (Depkes, 2009). Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nangroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku utara (27 orang) dan Sulawesi Utara (30 orang) (Kemenkes RI, 2010). Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) responden tinggal di perkotaan sebesar 0,03% pernah terkena filariasis dan tinggal di pedesaan pernah terkena filariasis sebesar 0,05%, probabilitas risiko terjadinya filariasis 2,44 kali lebih besar pada orang yang tinggal di perkotaan.


(39)

2.2.2 Distribusi Menurut Waktu (Time)

Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisiotas yang cukup tinggi. Pada tahun 2007 kasus filariasis dilaporkan sebanyak 11.473 kasus, tahun 2008 sebanyak 11.699 kasus dan tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus (proporsi sebesar 0,005% dari jumlah penduduk) (Kemenkes RI, 2010). 2.3 Determinan Filariasis

A. Faktor agent (Penyebab Filariasis)

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu (Depkes RI, 2003):

a. Wuchereria bancrofti (Cobbold 1877) b. Brugia malayi (Lichtenstein 1927) c. Brugia timori (Partono et al 1977)

Cacing filaria (Nematoda: Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthopoda (nyamuk). Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berda di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nocturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pda malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal (periodik diurnal). Varian subperiodik baik nocturnal maupun diurnal dijumpai pada filarial


(40)

limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filariasis. (Depkes RI, 2006)

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu (Depkes RI, 2006):

1. Wuchereria bancrofti tipa perkotaan (urban)

Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan, dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Cx.quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.

2.Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)

Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagi spesies nyamuk Anopheles dan Culex

3. Brugia malayi tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.

4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.


(41)

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba.

6. Brugia timori tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah An.barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara.

Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.

a. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang bewarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar. (Notoadmojo S, 1997)

b. Mikrofilaria

Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan

jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200 – 600 µm

x 8 µm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan: ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor. (Notoadmojo S, 1997)


(42)

Tabel 2.2 Jenis Mikrofilaria Yang Terdapat di Indonesia Dalam Sediaan Darah Dengan Pewarnaan Giemsa

no Morfologi/Karakteristik Wuchereria bancrofti

Brugia malayi

Brugia timori

Gambaran umum dalam sediaan darah

Melengkung mulus Melengkun g kaku & patah

Melengkung kaku & patah Perbandingan lebar dan

panjang ruang kepala

1 : 1 1 : 2 1 : 3

Warna sarung Tidak berwarna Merah

muda

Tidak berwarna Ukuran panjang (µm) 240-300 175-230 265-325 Inti badan Halus tersusun rapi Kasar,

berkelompo k

Kasar, berkelompok Jumlah inti di ujung

Gambaran ujung ekor Seperti pita kea rah ujung

Ujung agak tumpul

Ujung agak tumpul Sumber: Depkes RI Dirjend P2-PI, Epidemiologi Filariasis, Jakarta, 2006

c. Larva Dalam Tubuh Nyamuk

Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan melepaskan dan bergerak menuju oto atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 µm x 15-30 µm, dengan ekor tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau hari 10-14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh


(43)

menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif. (Depkes RI, 2006)

B. Faktor Host 1) Umur

Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali. (Depkes RI, 2006) 2) Jenis kelamin

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya. (Depkes RI, 2006)

3) Imunitas

Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filarial demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis adan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetepi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan-perubahan patologis dalam tubuhnya. (Depkes RI, 2006)


(44)

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar disbanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau dsedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat. (Depkes RI, 2006)

C. Faktor lingkungan

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx.quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis Brugia malayi. (Depkes RI, 2007)

Lingkungan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, dimana secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. (Depkes RI, 2007)

a) Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu, kelembapan, dan


(45)

sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannnya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk (Notoadmojo S, 1997). Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik. (Depkes RI, 2006)

1. Suhu udara

Suhu udara berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Menurut Chwatt (1980), suhu udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25-30oC.

2. Kelembapan udara

Kelembapan berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Kelembapan yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Kelembapan mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat, dan lain-lain dari nyamuk. Tingkat kelembapan 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembapan yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan.


(46)

Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk kedalam atau keluar rumah, adalah salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (fight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak terbang nyamuk Anopheles bias terbawa sampai 30 km. (Depkes RI, 2007)

4. Hujan

Hujan berhunbungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan jenis vektor dan jenis tempat perkembangbiakan (breeding place).

5. Sinar matahari

Sinar matahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada species nyamuk. Nyamuk An.aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembang biak dalam air yang ada sinar matahari dan adanya peneduh. Spesies lain tidak menyukai air dengan sinar matahari yang cukup tetapi lebih menyukai tempat yang rindang, pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An.sundaicus lebih suka tempat yang teduh, An.hycranus spp dan An.barbirostris dapat hidup baik ditempat teduh maupun yang terang. (Depkes RI, 2007)


(47)

6. Arus air

An.barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis / mengalir lambat, sedangkan An.minimus menyukai aliran air yang deras dan An.letifer menyukai air yang tergenang. An.maculatus berkembang biak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti. Beberapa spesies mampu untuk berkembang biak di air tawar dan air asin seperti di laporkan di kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTT bahwa An.subpictus air payau ternyata di laboratorium mampu bertelur dan berkembang biak sampai menjadi nyamuk dewasa di air tawar seperti nyamu Anopheles lainnya.

7. Tempat perkembangbiakan nyamuk

Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah genangan-genangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar harus selalu berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi gengan air dibedakan atas genangan air besar dan genangan air kecil.

8. Keadaan dinding

Keadaan rumah, khususnya dinding rumah berhubungan dengan kegiatan penyemprotan rumah (indoor residual spraying) karena insektisida yang disemprotkan ke dinding akan menyerap ke dinding rumah sehingga saat nyamuk hinggap akan mati akibat


(48)

kontak dengan insektisida tersebut. Dinding rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan lebih banyak lagi lubang untuk masuknya nyamuk.

9. Pemasangan kawat kasa

Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk kedalam rumah. Menurut Davey (1965), penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia. (Depkes RI, 2007)

b) Lingkungan Biologik

Lingkungan biologik dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penularan filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air, genangan air, rawa-rawa dan semak-semak sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair, dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan


(49)

tidak jauh dari rumah, hal ini tergantung pada kesukaan menggigit nyamuknya. (Depkes RI, 2009)

Telur Mansonia ditemukan melekat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang dalm bentuk kelompok yang terdiri dari 10-16 butir. Telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing. Lalu, larva dan pupanya melekat pada akar atau batang tumbuhan air dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut, kalu pada larva terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan terompet. Sehingga, dengan alat kait itu, baik siphon maupun terompet dapat berhubungan langsung dengan udara (Oksigen) yang ada di jaringan udara tumbuhan air. Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk Mansonia, dan kita tahu bersama kalau spesies nyamuk ini merupakan salah satu vektor penularan dari penyakit kaki gajah. Adapun tumbuhan air yang dijadikan sebagai inang Mansonia spp, antara lain eceng gondok, kayambang, dan lainnnya. Akhirnya, untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit filariasis ini, selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakitnya. Caranya, bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya. Atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang di jadikan inang oleh nyamuk Mansonia sp. (Depkes RI, 2006)


(50)

c) Lingkungan Kimia

Dari lingkungan ini baru di ketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18% dan tidak dapat berkembang biak pada kadar garam 40% ke atas, meskipun di beberapa tempat di Sumatera Utara An.sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar. An.letifer dapat hidup ditempat yang asam/pH yang rendah. (Depkes RI, 2003) d) Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Lingkungan social, ekonomi dan kultur adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karenaberkaitan dengan intensitas kontak vektor (bila vektornya menggigit pada malam hari). Insiden laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya. (Notoadmojo S, 1997)

1) Kebiasaan keluar rumah

Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Menurut hasil penelitian Kadarusman (2003)


(51)

diketahui bahwa kebiasaan keluar pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,002). (Kadarusman, 2003)

2) Pemakaian kelambu

Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunakan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadian filariasis (OR=8,09). (Notoadmojo S, 1997)

3) Obat anti nyamuk

Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat seperti berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk. Menurut Astri (2006) di ketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,004).

4) Pekerjaan

Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat berisiko untuk terkena filariasis, diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. Menurut Astri (2006) di ketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,003)


(52)

5) Pendidikan

Tingkat pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian filarial tetapi pada umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan perilaku kesehatan seseorang.

2.4Penetapan Endemisistas

Microfilaria rate (Mf rate) adalah indicator yang digunakan untuk menentukan endemisistas suatu daerah yang diperoleh melalui survey darah jari pada suatua populasi. Survey darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi, yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas infeksinya. Bila pada pemeriksaan darah tepi terdapat mikrofilaria dalam darah seseorang, maka seseorang tersebut dinyatakan mikrofilaria positif. Mf rate bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.

Jumlah sediaan darah mikrofilaria

Mf Rate = x 100%

Jumlah sediaan darah diperiksa

Bila Mf Rate >1% disalah satu atau lebih lokasi survey maka kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan pengobatan massal. Mf Rate < 1% pada semua lokasi survey, maka kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan pengobatan selektif, yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif mikrofilaria beserta anggota


(53)

2.5Pencegahan dan Pengobatan Filariasis 2.5.1Pencegahan Filariasis

Indonesia menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu priorirtas nasional pemberantasan penyakit menular dengan menerapkan dua strategi utama yaitu memutuskan rantai penularan dengan pengobatan massal di daerah endemis dan upaya pencegahan dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus filariasis. Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan memutuskan mata rantai antara sumber penular dengan media transmisi. Contonya dapat dilakukan dengan membersihkan tempat-tempat perindukan nyamuk, menutup barang-barang bekas, menguras tempat-tempat penampungan air, penyemprotan massal agar dapat mencegah penyebarluasan penyakit, menggunakan pelindung diri disaat bekerja di kebun misalnya menggunakan baju lengan panjang, menggunakan obat anti nyamuk, menggunakan kelambu disaat tidur, tidak keluar disaat malam hari dan lain-lain. (Depkes RI, 2006)

2.5.2Pengobatan Filariasis

Pengobatan filariasis dilakukan dengan cara pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6 mg/kgBB, Albendazol 400 mg dan Paracetamol 500 mg. pengobatan massal bertujuan untuk mematikan semua mikrofilaria yang ada didalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan, sehingga memutuskan rantai penularannya. Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap


(54)

semua penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi pengobatan untuk sementara di tunda bagi anak berusia kurang dari 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit berat, penderita kasus kronis filariasis sedang dalam serangan akut, anak berusia kurang dari 5 tahun dengan marasmus dan kwashiorkor. Pemberian obat menggunakan Diethylcarbamazine Citrate (DEC), Albendazol dan Paracetamol diberikan sekali setahun selama 5 tahun. Sebaiknya obat diberikan sesudah makan dan didepan petugas kesehatan. (Depkes RI, 2006)


(55)

2.6Kerangka Konsep 1. Sosiodemografi

 Umur

 Jenis kelamin

 Pekerjaan

2. Lingkungan Fisik

 Ketersediaan saluran pembuangan air limbah

 Tempat perindukan nyamuk

 Tempat peristirahatan nyamuk

 Kawat kasa pada ventilasi

 Pencahayaan

3. Lingkungan Sosial

 Kebiasaan keluar pada malam hari

 Kebiasaan memakai kelambu


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah bersifat deskriptif melalui pendekatan case series. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Gambok Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian di lakukan mulai bulan Februari 2015 – Juli 2015. 3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung tahun 2009-2014 yang berjumlah 100 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah orang yang menderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung tahun 2009-2014. Besar sampel sama dengan populasi (total sampling).

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer


(57)

Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan kuesioner untuk mengetahui lingkungan fisik rumah meliputi: ketersediaan saluran pembuangan air limbah, tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kawat kasa pada ventilasi, kerapatan dinding dan pencahayaan, lingkungan social meliputi: kebiasaan keluar rumah pada malam hari, kebiasaan memakai kelambu, kebiasaan memakai obat anti nyamuk.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekuder terdiri dari data nama yang berobat di Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung, umur, jenis kelamin, pekerjaan.

3.5Pengolahan dan Analisa data

Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan bantuan computer yaitu program SPSS ( Statistical Product and Service Solustion). Data univariat dianalisis secara deskriptif. Hasil disajikan dalam bentuk narasi, tabel distribusi frekuensi, diagram bar dan diagram pie.

3.6 Definisi Operasional

3.7.1 Umur adalah usia dari lahir sampai pengumpulan data, Dikelompokkan atas:

1. < 30 tahun 2. > 30 tahun

2.7.2Jenis kelamin adalah ciri khas (organ reproduksi) penderita Filariasis yang di catat dalam rekam medis Puskesmas Gambok tahun 2013.


(58)

1. Laki-laki 2. Perempuan

3.7.2Pekerjaan adalah kegiatan utama atau tambahan responden, dikelompokkan atas:

1. Petani 2. Buruh 3. Pedagang 4. Pegawai swasta 5. PNS/TNI/POLRI

6. Tidak bekerja/ibu rumah tangga

3.7.4 Ketersediaan saluram pembuangan air limbah adalah adanya atau tidaknya saluran pembuangan air limbah yang sesuai dengan Pedoman Teknis Penelitian Rumah Sehat untuk setiap Rumah Tangga.

1. Ada, jika pada saluran pembuangan air limbah

2. Tidak ada, jika tidak ada saluran pembuang air limbah

3.7.5 Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah habitat nyamuk untuk berkembang biak yang berada sekitar rumah responden

1. Ada, jika pada sekitar rumah terdapat rawa-rawa, kolam/tambak.

2. Tidak ada, jika pada sekitar rumah tidak terdapat rawa-rawa, kolam/tambak.

3.7.6 Tempat peristirahatan nyamuk adalah tempat istirahat sementara nyamuk. 1. Ada, jika dalam rumah terdapat gantungan baju


(59)

3.7.7Ventilasi adalah luas penghawaan atau ventilasi yang permanen minimal 10% dari luas lantai menurut PerMenKes No: 829/MenKes/SK/VII/1999

1. Ada, jika tidak rusak kawat kasa nyamuk 2. Ada, jika rusak kawat kasa nyamuk

3. Tidak ada, jika pada ventilasi rumah tidak terdapat kawat kasa pada nyamuk.

3.7.8Pencahayaan adalah keadaan pnerangan dalam ruangan baik yang bersumber alami maupun buatan yaitu terang dan tidak silau sehingga dapat digunakan untuk membaca dengan normal.

1. Masuk cahaya, apabila terang, tidak silau dan bisa digunakan untuk membaca normal.

2. Tidak masuk cahaya apabila tidak terang, silau dan tidak bisa digunakan untuk membaca dengan normal.

3.7.9 Kebiasaan keluar rumah pada malam hari adalah kebiasaan untuk berada di luar rumah.

1. Selalu keluar rumah pada malam hari 2. Kadang-kadang keluar pada malam hari 3. Tidak pernah keluar rumah pada malam hari

3.7.10 Pemakaian kelambu berguna untuk mencegah kontak dengan nyamuk. 1. Selalu memakai kelambu pada saat tidur

2. Kadang-kadang memakai kelambu pada saat tidur 3. Tidak pernah memakai kelambu pada saat tidur


(60)

3.7.11 Kebiasaan memakai obat anti nyamuk bakar adalah kegiatan yang di lakukan oleh masyarakat itu sendiri untuk berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk.

1. Selalu memakai obat anti nyamuk bakar dirumah

2. Kadang-kadang memakai obat anti nyamuk bakar di rumah 3. Tidak pernah memaki obat anti nyamuk bakar dirumah

3.7.12 Kebiasaan menakai repellent di rumah adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri untuk menghidari gigitan nyamuk dan hewan lainnya. 1. Selalu memakai repellent

2. Kadang-kadang memakai repellent 3. Tidak pernah memakai repellent


(61)

BAB 4

HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada penderita filariasis yang tercatat di rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung. Puskesmas Gambok terletak di Jalan Jenderal Sudirman no 17 Nagari Muaro Kec. Sijunjung Provinsi Sumatera Barat. Penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis di Puskesmas Gambok dari tahun 2009-2014 berjumlah 100 orang.

Visi dari Puskesmas Gambok : “Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Yang Profesional, Komunikatif Untuk Mencapai Masyarakat Sehat Di Wilayah Puskesmas Gambok”

Misi dari Puskesmas Gambok :

a. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan Dasar Yang Bermutu, Aman, Memuaskan, Profesional, Komunikatif, Merata Dan Terjangkau. b. Mendorong Kemandirian Masyarakat Untuk Berperan Aktif Dalam

MembudayakanPerilaku Hidup Bersih Dan Sehat.

c. Meningkatkan Kemampuan Sumber Daya Manusia Dengan Pelatihan Dan d. Mendorong Terwujudnya Kemandirian Masyarakat Untuk Hidup Sehat 4.2 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Sosiodemografi

Penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Tahun 2009-2014 diperoleh distribusi proporsi berdasarkan umur, jenis kelamin, dan pekerjaan. Data selengkapnya dapat dilihat pada table 4.1.


(62)

Tabel 4.1 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Sosiodemografi di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab.Sijunjung

No Karakteristik f %

1. Umur (Tahun) >30 tahun <30 tahun 79 21 79 21 2. Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan 72 28 72 28 3. Pekerjaan

Petani Buruh

Pns/tni/polri Pegawai Swasta Pedagang

Tidak Bekerja/Ibu Rumah Tangga 36 17 14 13 10 9 36 17 14 13 10 9

Total 100 100

Berdasarkan tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Pukesmas Gambok Kab. Sijunjung berdasarkan umur, paling banyak ditemukan pada golongan umur > 30 tahun yaitu 79 orang (79%), kemudian pada golongan umur < 30 tahun yaitu 21 orang (21%),


(63)

Proporsi penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Pukesmas Gambok Kab. Sijunjung berdasarkan jenis kelamin, lebih banyak ditemukan pada laki-laki yaitu 72 orang (72%), sedangkan pada perempuan yaitu 28 orang (28%). Proporsi penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Pukesmas Gambok Kab. Sijunjung berdasarkan pekerjaan, paling banyak ditemukan pada Petani yaitu 36 orang (36%), Buruh yaitu 17 orang (17%), Pns/tni/polri yaitu 14 orang (14%), Pegawai swasta yaitu 13 orang (13%), Pedagang yaitu 10 orang (10%) sedangkan yang paling sedikit adalah Tidak bekerja/Ibu rumah tangga yaitu 9 orang (9%).

4.2 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Lingkungan Fisik

Penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang penderia filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung tahun 2009-2014, diperoleh distribusi proporsi filariasis berdasarkan lingkungan fisik rumah. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Ketersediaan Saluran Pembuangan Air Limbah Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung

No Ketersediaan Saluran Pembuangan Air Limbah f %

1. Ada 39 39

2. Tidak ada 61 61


(64)

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung berdasarkan ketersediaan saluran pembuangan air limbah, paling banyak ditemukan tidak ada saluran pembuangan air limbah yaitu 61 rumah (61%), kemudian ada saluran pembuangan air limbah yaitu 39 rumah (39%).

Tabel 4.3 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung

No Tempat Perkembangbiakan Nyamuk f %

1. Ada 58 58

2. Tidak ada 42 42

Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung berdasarkan tempat perkembangbiakan nyamuk, paling banyak ditemukan ada tempat perkembangbiakan nyamuk yaitu 58 rumah (58%), kemudian tidak ada tempat perkembangbiakan nyamuk yaitu 42 rumah (42%).


(65)

Tabel 4.4 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Tempat Peristirahatan Nyamuk Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung

No Tempat Peristirahatan Nyamuk f %

1. Ada 73 73

2. Tidak ada 27 27

Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung berdasarkan tempat peristirahatan nyamuk, paling banyak ditemukan ada tempat peristirahatan nyamuk yaitu 73 rumah (73%), kemudian tidak ada tempat peristirahatan nyamuk yaitu 27 rumah (27%).

Tabel 4.5 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Kawat Kasa Pada Ventilasi Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung

No Kawat Kasa Pada Ventilasi f %

1. 2. 3.

Ada, jika tidak rusak Ada, jika rusak

Tidak ada

37 45 18

37 45 18


(66)

Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung berdasarkan kawat kasa pada ventilasi, paling banyak ditemukan ada kawat kasa jika rusak pada ventilasi yaitu 45 rumah (45%), kemudian tidak ada kawat kasa pada ventilasi yaitu 18 rumah (18%).

Tabel 4.6 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Pencahayaan Pada Rumah Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung

No Pencahayaan f %

1. Ada 42 42

2. Tidak ada 58 58

Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung berdasarkan pencahayaan, paling banyak ditemukan tidak ada masuk cahaya yaitu 58 rumah (58%), kemudian ada masuk cahaya yaitu 42 rumah (42%).

4.4 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Lingkungan Sosial Penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok Tahun 2009-2014 diperoleh


(67)

distribusi proporsi filariasis berdasarkan lingkungan sosial. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.7.

Tabel 4.7 Distribusi Proporsi Penderita Filariasis Berdasarkan Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari Pada Penderita Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kab. Sijunjung

No Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari f %

1. 2. 3.

Selalu

Kadang-kadang Tidak pernah

47 26 27

47 26 27 Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa proporsi penderita filariasis yang tercatat dalam rekam medis Puskesmas Gambok berdasarkan kebiasaan keluar rumah pada malam hari, paling banyak ditemukan selalu keluar rumah pada malam hari yaitu 47 orang (47%), tidak pernah keluar rumah pada malam hari yaitu 27 orang (27%), kadang-kadang keluar rumah pada malam hari yaitu 26 orang (26%).


(1)

LAMPIRAN II OUTPUT DATA

Frequency Table

Umurk

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid <30 21 21.0 21.0 21.0

>30 79 79.0 79.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

JK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 72 72.0 72.0 72.0

Perempuan 28 28.0 28.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Kerja

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid petani 37 37.0 37.0 37.0

Buruh 17 17.0 17.0 54.0

Pedagang 10 10.0 10.0 64.0

Pegawai swasta 13 13.0 13.0 77.0

Pns/tni/polri 14 14.0 14.0 91.0

Tidak bekerja/ibu rumah tangga 9 9.0 9.0 100.0


(2)

Frequency Table

spal

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ada 39 39.0 39.0 39.0

tidak ada 61 61.0 61.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

kembang

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ada 58 58.0 58.0 58.0

tidak ada 42 42.0 42.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

istirahat

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ada 73 73.0 73.0 73.0

tidak ada 27 27.0 27.0 100.0


(3)

ventilasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ada tidak rusak 37 37.0 37.0 37.0

ada, rusak 45 45.0 45.0 82.0

tidak ada 18 18.0 18.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

cahaya

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ada 42 42.0 42.0 42.0

tidak ada 58 58.0 58.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Frequency Table

keluar

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid selalu 47 47.0 47.0 47.0

kadang-kadang 26 26.0 26.0 73.0

tidak pernah 27 27.0 27.0 100.0


(4)

kelambu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid selalu 26 26.0 26.0 26.0

kadang-kadang 29 29.0 29.0 55.0

tidak pernah 45 45.0 45.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

obat

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid selalu 25 25.0 25.0 25.0

kadang-kadang 32 32.0 32.0 57.0

tidak pernah 43 43.0 43.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

repellent

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid selalu 24 24.0 24.0 24.0

kadang-kadang 37 37.0 37.0 61.0

tidak pernah 39 39.0 39.0 100.0


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT CHIKUNGUNYA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Chikungunya Di Wilayah Kerja Puskesmas Jaten Kabupaten Karanganyar.

0 2 17

FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT CHIKUNGUNYA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Chikungunya Di Wilayah Kerja Puskesmas Jaten Kabupaten Karanganyar.

0 3 16

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUNAN Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabunan Kabupaten Pemalang.

0 1 16

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUNAN Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabunan Kabupaten Pemalang.

0 1 14

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT CAMPAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Campak Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali.

0 1 18

FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN TAHUN 2010-2013.

0 0 9

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WARA UTARA KOTA PALOPO | Karya Tulis Ilmiah

7 25 46

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WARA UTARA KOTA PALOPO | Karya Tulis Ilmiah

0 0 13

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013

0 1 2

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Gambok Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013

0 0 6