Gambaran Pewarnaan Imunohistokimia S100 Pada Meningioma Di RSUP. H. Adam Malik Medan
GAMBARAN PEWARNAAN IMUNOHISTOKIMIA S100
PADA MENINGIOMA DI RSUP. H. ADAM MALIK
MEDAN
TESIS
PENELITI : GATOT AJI PRIHARTOMO
NIM : 077102002
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP. H.ADAM MALIK MEDAN
2013
(2)
(3)
(4)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim, saya sampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik dalam bidang Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Dr. Sjahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) dan mantan rektor Prof. Dr. Chairuddin Panusunan Lubis, DTM&H, Sp.A(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. DR. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH yang telah memberikan kesempatan kepada penulis Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, dr. Lukmanul Hakim Nasution, SpKK yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.
Yang terhormat Prof. Dr. Iskandar Japardi, Sp.BS(K) sebagai Kepala Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU/RSUP. H. Adam Malik Medan.
Yang terhormat Prof. Dr. Abdul Gofar Sastrodingrat, Sp.BS(K) sebagai Ketua Program Studi Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
(5)
sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam keahlian, maupun pengetahuan umum lainnya.
Yang terhormat Prof. Dr. Abdul Gofar Sastrodingrat, Sp.BS(K) sebagai pembimbing utama tesis, Prof. Dr. Iskandar Japardi, Sp.BS(K) sebagai pembimbing kedua tesis yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Magister ini. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.
Yang terhormat, dr. Sufida, Sp.A sebagai pembimbing dalam bidang Patologi Anatomi tesis ini dan Laboratorium Patologi Anatomi Murni Teguh Memorial Hospital sebagai salah satu tempat penelitian tesis ini.
Yang terhormat, Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes. penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya atas bimbingan dan bantuan di bidang metodologi penelitian dalam pengolahan data tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, Prof. Dr. Adril Arsyad Hakim, Sp.S, Sp.BS(K), Dr. dr. Ridha Dharma Jaya, Sp.BS, Dr. dr. Rr. Suzy Indharthy, Sp.BS, M.Kes. yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang Ilmu Bedah Saraf yang bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.
Yang mulia dan tercinta Ayahanda dr. H. Suparmono Sjoekoer, SpB dan ibunda Hj. Lastini, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suru tauladan yang baik hingga menjadi landasan kokoh dalam menghadapi kehidupan. Yang tercinta ayah mertua, Ir. H. Abdullah dan Ibu mertua Hj. Soraya yang selama ini telah memberikan kasih sayang, bimbingan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya. Dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, Ya Allah,
(6)
ampunilah dosa kedua orang tua hamba serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi hamba sewaktu kecil, dan sayangi jualah kedua mertua hamba sebagaimana mereka menyayangi hamba. Amin, amin, ya rabbal ‘alamin.
Kepada istriku tercinta, dr. Sylvia Sahfitri dan buah hati kami Keisya Alika Syifa yang sangat kusayangi. Tiada kata yang lebih indah yang Papi sampaikan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan yang tiada tara, cinta, kasih sayang, kesabaran, ketabahan, pengertian, doa dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya kalian berikan untuk Papi, sehingga pendidikan magister ini dapat selesai pada waktunya.
Kepada adik-adikku tercinta, Dadi Pribadi, S.Kom, Sheila, S.Ked dan Alya Adelia, Mas mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan doa, bantuan serta dorongan semangat kepada Mas selama menjalani pendidikan ini.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan doa dan dorongan semangat, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Yang tercinta teman-teman sejawat residen yang mengikuti pendidikan Magister dan Spesialis yang telah bersama-sama, baik suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin persaudaraan yang erat. Saya doakan semoga kita semua diberikan kemudahan dan keberhasilan, sehingga ilmu yang kita dapat selama pendidikan ini bisa kita pergunakan untuk menolong orang banyak, amin.
Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini. Semoga segala doa, bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, amin, amin ya rabbal ‘alamin.
Hormat saya, Gatot Aji Prihartomo
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR SINGKATAN ... ix
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
ABSTRAK ... xii
ABSTRACT ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. LatarBelakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 2
1.3. Tujuan Penelitian ... 2
1.3.1. Tujuan Umum ... 2
1.3.2. Tujuan Khusus ... 2
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Meningioma ... 5
2.1.1.Sejarah dan Defenisi ... 5
2.1.2.Epidemiologi ... 6
2.1.3.Patologi ... 6
2.1.4.Klasifikasi ... 7
2.1.5.Radiologi ... 10
2.1.6. Terapi Pembedahan dan Rekurensi Tumor ... 11
2.1.7.Prognosis ... 11
2.2. Protein S100 ... 12
2.2.1 Struktur dan Fungsi Protein S100 ... 12 2.2.2 Anggota dari S100 Protein Family dan Lokasinya pada
(8)
Berbagai Gen Spesifik ... 13
2.2.3 Metode dan Pengukuran ... 16
2.2.4 S100 dan Meningioma ... 20
2.3. Kerangka Konseptual ... 22
BAB 3. METODOLOGI ... 23
3.1. Desain ... 23
3.2. Tempat dan Waktu ... 23
3.3. Populasi dan Sampel ... 23
3.3.1. Populasi ... 23
3.3.2. Sampel ... 23
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 24
3.4.1. Kriteria Inklusi ... 24
3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 24
3.5. Persetujuan / Inform Consent ... 24
3.6. Etika Penelitian ... 24
3.7. Cara Kerja dan Alur Penelitian ... 24
3.7.1.Cara Kerja ... 24
3.7.2.Alur Penelitian ... 26
3.8.Identifikasi Variabel ... 27
3.9.Defenisi Operasional ... 27
3.10.Rencana Pengolahan dan Analisa Data ... 28
BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29
4.1. Hasil Penelitian ... 29
4.1.1.Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 29
4.1.2.Distribusi Berdasarkan Usia ... 29
4.1.3.Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor ... 30
4.1.4.Distribusi Berdasarkan Grade WHO ... 31
4.1.5.Distribusi Berdasarkan Jenis Histopatologi Tumor ... 31
4.1.6.Distribusi Berdasarkan Rekurensi Tumor ... 32
(9)
4.1.8.Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 33
4.1.9. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Usia ... 33
4.1.10.Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Lokasi Tumor 34
4.1.11.Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Grade WHO ... 35
4.1.12. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Histopatologi ... 36
4.1.13.Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Rekurensi Tumor ... 37
4.2. Pembahasan ... 37
BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN ... 39
5.1. Simpulan ... 39
5.2. Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40 LAMPIRAN
(10)
DAFTAR SINGKATAN
SSP : Susunan Saraf Pusat WHO : World Health Organization EMA : Epithelial Membrane Antigen GFAP : Glial Fibrilary Acidic Protein MRI : Magnetic Resonance Imaging Zn2+ : Zinc 2+
Cu2+ : Cuprum 2+ Ca2+ : Calcium 2+
RAGE : Receptor for Advanced Glycation Endproduct IRMA : Immunoradiometric Assay
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay CNS : Central Nervous System
TBI : Traumatic Brain Injury CSF : Cerebro Spinal Fluid
(11)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Grading Meningioma Menurut WHO ... 8
Tabel 2.2. Simpson Grading Sistem ... 11
Tabel 2.3. Anggota S100 Protein Family dan Lokasinya pada Berbagai Gen Spesifik ... 14
Tabel 2.4. Hubungan Antara Anggota S100 Protein Family dan Beberapa Jenis Kanker ... 18
Tabel 4.1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 29
Tabel 4.2. Analisa Deskriptif Berdasarkan Usia ... 30
Tabel 4.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor ... 31
Tabel 4.4. Distribusi Berdasarkan Grade WHO ... 31
Tabel 4.5. Distribusi Berdasarkan JenisHistopatologi Tumor ... 32
Tabel 4.6. Distribusi Berdasarkan Rekurensi Tumor ... 32
Tabel 4.7. Distribusi Staining Intensity S100 dengan Meningioma ... 33
Tabel 4.8. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 33
Tabel 4.9. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Usia ... 34
Tabel 4.10. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Lokasi Tumor ... 35
Tabel 4.11. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Grade WHO ... 36
Tabel 4.12. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Histopatologi ... 36
(12)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Struktur Dimer Protein S100 ... 13
Gambar 2.2. Gen S100 yang Terdapat pada Kromosom 1q21 ... 15
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian ... 22
(13)
ABSTRAK
Tujuan: Studi ini menjelaskan dan mendeskripsikan ekspresi pewarnaan
imunohistokimia S100 pada meningioma.
Metode: Dari Pebruari 2010 sampai Pebruari 2013 diperoleh 31 spesimen sampel dari
31 pasien meningioma yang telah dilakukan operasi pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan. Spesimen ini sebelumnya telah dilakukan pewarnaan dasar hematoxylin eosin dan telah dikonfirmasi dengan pewarnaan imunohistokimia Epithelial Membrane Antigene(EMA) sebagai meningioma. Slide yang representatif dibuat parafin blok dan selanjutnya dilakukan pewarnaan imunohistokimia S100. Staining intensity (SI)
dihitung skornya dari skala 0-3 (dari yang tidak menyerap warna sampai yang paling kuat menyerap warna). Kemudian dilihat karakteristik jenis kelamin, usia, lokasi tumor, grading meningioma World Health Organization (WHO), jenis histopatologi, dan rekurensi tumor dari spesimen meningioma yang mengekspresikan pewarnaan imunohistokimia S100.
Hasil: Tiga puluh satu spesimen meningioma diklasifikasikan gradingnya menurut kriteria
WHO: benign 28/31 (90,3%), atypical 2/31 (6,5%) dan anaplastic 1/31 (3,2%). Ketiga kriteria ini diklasifikasikan lagi menurut jenis histopatologinya. Meningothelial
meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling banyak 17/31 (54,8%).Dari keseluruhan spesimen sampel, hanya 11/31 (35,5%) spesimen yang mengekspresikan pewarnaan S100, sisanya 20/31 (64,5%) tidak mengekspresikan pewarnaan S100. Dari 11 spesimen yang mengekspresikan pewarnaan S100, meningioma benign
mengekspresikan 8/28 (28,6%) dan fibroblastic meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling kuat mengekspresikan S100 (+3).
Kesimpulan: Secara umum, hasil yang diperoleh dari studi ini sesuai dengan yang
dijelaskan oleh literatur sebelumnya. Namun perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan merata dari setiap grading meningioma agar dapat dianalisis hubungan antara grading meningioma WHO dengan derajat ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100.
(14)
ABSTRACT
Objective: This study explores and describe the S100 immunohistochemical staining in meningioma.
Methods: From February 2010 to February 2013 obtained 31 sample specimens from 31
patients who had meningioma undergo tumor removal surgery in the Adam Malik General Hospital Medan. This specimen has previously been carried out basic hematoxylin eosin staining and was confirmed as meningioma by Epithelial Membrane Antigene (EMA) imunohystochemistry staining. Representative slides are made of paraffin blocks and then performed S100 immunohistochemical staining. Staining intensity (SI) was score on scale 0-3 (from no staining to strong staining). Then viewed the characteristics of gender, age, location of tumor, World Health Organization (WHO) meningioma grade, histopathologic type, and tumor recurrence of meningioma specimens that express S100 immunohistochemical staining.
Results: Thirty-one specimens of meningioma classified according to WHO criteria:
benign 28/31 (90.3%), atypical 2/31 (6.5%) and anaplastic 1/31 (3.2%). These three criteria are classified according to histopathologic type. Meningothelial meningioma is the most widely histopathological types 17/31 (54.8%). Of the overall sample specimens, only 11/31 (35.5%) specimens expressed S100 immunohistochemical staining, the remaining 20/31 (64.5%) did not express. Of the 11 specimens that express S100 staining, benign meningiomas express 8/28 (28.6%) and fibroblastic meningiomas are the most strong S100 immunohistochemical staining( +3) between all the
Conclusion: In general, the results obtained from this study correspond by previous
literature. However, further studies need to be conducted with a large sample and evenly from each meningioma grade in order to analyze the correlation between WHO grade of meningioma and the degree of S100 immunohistochemical staining expression. histopathologic type.
(15)
ABSTRAK
Tujuan: Studi ini menjelaskan dan mendeskripsikan ekspresi pewarnaan
imunohistokimia S100 pada meningioma.
Metode: Dari Pebruari 2010 sampai Pebruari 2013 diperoleh 31 spesimen sampel dari
31 pasien meningioma yang telah dilakukan operasi pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan. Spesimen ini sebelumnya telah dilakukan pewarnaan dasar hematoxylin eosin dan telah dikonfirmasi dengan pewarnaan imunohistokimia Epithelial Membrane Antigene(EMA) sebagai meningioma. Slide yang representatif dibuat parafin blok dan selanjutnya dilakukan pewarnaan imunohistokimia S100. Staining intensity (SI)
dihitung skornya dari skala 0-3 (dari yang tidak menyerap warna sampai yang paling kuat menyerap warna). Kemudian dilihat karakteristik jenis kelamin, usia, lokasi tumor, grading meningioma World Health Organization (WHO), jenis histopatologi, dan rekurensi tumor dari spesimen meningioma yang mengekspresikan pewarnaan imunohistokimia S100.
Hasil: Tiga puluh satu spesimen meningioma diklasifikasikan gradingnya menurut kriteria
WHO: benign 28/31 (90,3%), atypical 2/31 (6,5%) dan anaplastic 1/31 (3,2%). Ketiga kriteria ini diklasifikasikan lagi menurut jenis histopatologinya. Meningothelial
meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling banyak 17/31 (54,8%).Dari keseluruhan spesimen sampel, hanya 11/31 (35,5%) spesimen yang mengekspresikan pewarnaan S100, sisanya 20/31 (64,5%) tidak mengekspresikan pewarnaan S100. Dari 11 spesimen yang mengekspresikan pewarnaan S100, meningioma benign
mengekspresikan 8/28 (28,6%) dan fibroblastic meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling kuat mengekspresikan S100 (+3).
Kesimpulan: Secara umum, hasil yang diperoleh dari studi ini sesuai dengan yang
dijelaskan oleh literatur sebelumnya. Namun perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan merata dari setiap grading meningioma agar dapat dianalisis hubungan antara grading meningioma WHO dengan derajat ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100.
(16)
ABSTRACT
Objective: This study explores and describe the S100 immunohistochemical staining in meningioma.
Methods: From February 2010 to February 2013 obtained 31 sample specimens from 31
patients who had meningioma undergo tumor removal surgery in the Adam Malik General Hospital Medan. This specimen has previously been carried out basic hematoxylin eosin staining and was confirmed as meningioma by Epithelial Membrane Antigene (EMA) imunohystochemistry staining. Representative slides are made of paraffin blocks and then performed S100 immunohistochemical staining. Staining intensity (SI) was score on scale 0-3 (from no staining to strong staining). Then viewed the characteristics of gender, age, location of tumor, World Health Organization (WHO) meningioma grade, histopathologic type, and tumor recurrence of meningioma specimens that express S100 immunohistochemical staining.
Results: Thirty-one specimens of meningioma classified according to WHO criteria:
benign 28/31 (90.3%), atypical 2/31 (6.5%) and anaplastic 1/31 (3.2%). These three criteria are classified according to histopathologic type. Meningothelial meningioma is the most widely histopathological types 17/31 (54.8%). Of the overall sample specimens, only 11/31 (35.5%) specimens expressed S100 immunohistochemical staining, the remaining 20/31 (64.5%) did not express. Of the 11 specimens that express S100 staining, benign meningiomas express 8/28 (28.6%) and fibroblastic meningiomas are the most strong S100 immunohistochemical staining( +3) between all the
Conclusion: In general, the results obtained from this study correspond by previous
literature. However, further studies need to be conducted with a large sample and evenly from each meningioma grade in order to analyze the correlation between WHO grade of meningioma and the degree of S100 immunohistochemical staining expression. histopathologic type.
(17)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Meningioma adalah suatu tumor jinak yang terjadi pada selaput otak susunan saraf pusat. Meningioma berasal dari arachnoid cap cells, suatu lapisan neuroektodermal yang membentuk lapis luar dari selaput araknoid dan vili araknoid. Tumor ini terjadi sekitar 20% dari semua tumor primer intrakranial dengan insiden yang telah dilaporkan sebesar 4,4 per 100.000 orang per tahun dan terdiagnosis pada rata-rata penderita berumur 63 tahun (Marwin, 2010). Meningioma merupakan tumor jinak dengan prognosis yang baik, pemahaman akan sifat neurobiologis tumor akan mengakibatkan perbaikan umum pelayanan kesehatan.
Sampai saat ini, ekspresi protein S100 diyakini hanya terbatas pada sel glial dalam sistem saraf pusat (SSP). Namun, beberapa peneliti telah menunjukkan distribusi protein S100 diluar SSP yaitu, protein S100 secara immunohistokimia terlokalisasi dalam sel-sel stellata dari adenohipofisis, dalam sel-sel satelit dorsal root ganglion dan medula adrenal, dalam melanosit dan sel-sel di kulit, dalam sel-sel-sel-sel kondrosit dan sel-sel-sel-sel kelenjar getah bening retikular dan spleen. Disisi lain, melanoma ganas, granular sel myoblastoma dan malignant histiocytosis juga ditemukan mengandung protein S100 selain tumor glial dan
schwannoma. Dengan demikian, protein S100 tidak dianggap benar-benar sebagai protein spesifik pada SSP, tetapi umumnya dipercaya bahwa sel-sel yang disebutkan diatas, terlepas dari jaringan normal atau ganas, berasal dari neuroektoderm dan mesenkim.
Ekspresi pewarnaan histokimia S100 pada meningioma tertentu tidak terduga. Meningioma biasanya dianggap mewakili tumor yang timbul dari meningen. Para embriolog menjelaskan bahwa sel dari leptomening berasal dari
neural crest, sedangkan sel-sel lain dari meningen adalah sel fibroblas yang berasal dari jaringan mesenkim disekitarnya. Penjelasan ini membuat kita lebih
(18)
mudah untuk memahami mengapa meningioma memiliki berbagai penampilan histologis, dan mengapa meningioma sering merupakan bagian dari displasia herediter dari neural shets yang dikenal sebagai penyakit Von Recklinghausen
(Tabuchi, 1984).
Pewarnaan imunohistokimia S100 merupakan pewarnaan standar untuk melanoma dan schwannoma. Pewarnaan imunohistokimia S100 cukup jarang digunakan untuk menegakkan diagnosis meningioma. Penulis juga belum mendapatkan suatu literatur yang spesifik menggambarkan karakteristik meningioma (grade, jenis histopatologi dll.) dengan ekspresi pewarnaan S100.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut “Bagaimanakan gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 pada pasien meningioma di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan?”
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 pada meningioma
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik demografi (jenis kelamin dan usia) penderita meningioma di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
2. Untuk mengetahui karakteristik penderita meningioma (lokasi tumor, grade WHO, jenis histopatologi, rekurensi tumor) di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
(19)
3. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 pada penderita meningioma di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
4. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 dengan jenis kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
5. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 dengan usia di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
6. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 dengan lokasi tumor di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
7. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 dengan grade WHO di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
8. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 dengan jenis histopatologi di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
9. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 dengan PTEI di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
10. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 dengan rekurensi tumor di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Mendapatkan gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 pada pasien meningioma
(20)
2. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi ilmiah dalam penanganan meningioma dan akan bermanfaat untuk meningkatkan upaya peningkatan kesehatan masyarakat khususnya dalam bidang bedah saraf. 3. Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya mengenai pewarnaan
(21)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Meningioma
2.1.1. Sejarah dan Definisi
Meningioma adalah sebuah penamaan yang diberikan oleh Harvey Cushing pada tahun 1922 untuk mendeskripsikan suatu tumor jinak pada selaput otak susunan saraf pusat (Al-Rodhan dan Laws, 1991).
Pada abad 18 dan 19 meningioma hanya dapat terdiagnosa pada pasien bila pasien tersebut mengalami perubahan pada tulang tengkorak yang didekatnya, sehingga tampak pada inspeksi maupun palpasi. Hanya sedikit usaha pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat lesi ini, dan hanya sedikit saja yang menguntungkan pasien. Dari 13 operasi yang dilakukan antara tahun 1743 dan 1896, 9 pasien mengalami kematian.
Pada 1894 John Cleland, seorang profesor anatomy di Glasgow menemukan bahwa dua tumor meningioma yang ditemukannya di ruang diseksi, berasal dari arachnoid dan bukan duramater. Pada 1915 pendapat ini kembali ditegaskan oleh Cushing dan Weed (Louis et al, 2000).
Tumor ini kemudian telah mendapatkan berbagai penamaan termasuk fungoid tumor, sarcoma, cylindroma, endothelioma, dan fibroma. Cushing mengajukan nama mengiothelioma sebagai usaha untuk menjelaskan tumor ini berdasarkan jaringan yang terlibat. Cushing berusaha untuk menghindarkan nama histologis karena pada saat tersebut komposisi tumor masih belum jelas, dia juga berusahan menghindarkan penggunaan nama berdasar letak anatomis karena tumor ini dapat terdapat pada daerah yang sangat bervariasi. Kemudian Cushing lebih memilih untuk menggunakan nama meningioma (Chou dan Miles, 1991).
(22)
2.1.2. Epidemiologi
Pada penelitian di Rochester, Minnesota, Amerika Serikat, yang dilakukan pada tahun 1935 hingga 1977, meningioma terdistribusi sebanyak 40%, tetapi penelitian epidemiologi tahun 1985 di negara yang sama melaporkan 20% dari tumor intrakranial adalah meningioma dengan insiden kejadian meningioma yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia, sebesar 4,4 per 100.000 orang pertahun. Meningioma terdiagnosis pada rata-rata penderita berumur 63 tahun (Marwin et al, 2010) dengan predominasi perempuan terhadap laki-laki dengan rasio sebesar 2 : 1. Pada anak-anak, meningioma kerap terjadi 1% hingga 4% dari semua tumor otak. Umur rata-rata pada saat terdiagnosis adalah 11,6 tahun, dibandingkan dengan umur 6,3 tahun untuk tumor-tumor intrakranial lainnya pada anak (Otsuka et al, 2004; Al-Mefty et al, 2011).
2.1.3. Patologi
Meningioma biasanya berbentuk globular dan berkapsul. Tumor ini melekat pada dura dan dapat menekan jaringan otak yang berdekatan tanpa menginvasinya. Walaupun invasi dura dan sinus biasa terjadi, meningioma biasanya mudah dipisahkan dari pia mater (Al-Mefty et al, 2011). Meningioma berasal dari lapisan neuroektodermal yang membentuk arachnoid cap cells, yang membentuk lapisan luar dari selaput araknoid dan vili araknoid. Seiring dengan pertambahan umur, kelompok-kelompok arachnoid cap cell akan menjadi lebih jelas, membentuk whorls dan psammoma bodies yang identik dengan meningioma (Psammos dalam bahasa Yunani memiliki pengertian ‘pasir’). Meningioma memiliki tampilan mesenkimal (sel berbentuk spindle dan produksi stroma kolagen) dan epitelial (sitologi bulat atau poligonal, adanya sejumlah
intracellular junctions, ekspresi epithelial membrane antigen (EMA) dan fungsi-fungsi sekresi seperti kelenjar, yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis membedakan meningioma dengan arachnoid cap cells matur (Marwin et al, 2010).
(23)
Pada gambaran struktur ultra yang tampak pada mikroskop elektron, meningioma memiliki gambaran yang menyerupai vili arachnoid normal: interdigitasi yang prominen dari membran plasma, filamen intermediate sitoplasma yang sangat banyak dan secara imunohistokimia konsisten dengan vimentin, dijumpainya hemidesmosome, dan deposit interselular fokal yang terdiri dari material granular yang kaya elektron. Arachnoid dan sel meningioma terhubung oleh epithelial cadhenrins (E-cadherins), yang merupakan molekul adhesi yang tergantung Ca2+, dan keduanya mengekspresikan gluotathione-independent prostaglandin D2 synthase.
Gambaran histologi meningioma meningothelial (syncytial) memiliki ciri sel yang tersusun rapat dengan batas sitoplasma yang tidak jelas.
2.1.4. Klasifikasi
Pada tahun 2000, WHO mengklasifikasikan meningioma pada bagian tumor-tumor dari susunan saraf pusat (Tumors of the nervous system) di bawah bagian tumor dari meninges dan sub-bagian tumor dari sel-sel meningothelial. WHO mengenal tiga derajat berdasarkan kriteria patologinya dan risiko rekurensi serta pola pertumbuhannya (Al-Mefty et al, 2011).
Menurut klasifikasi WHO, meningioma dibagi menjadi 3 grade, yaitu Jinak (Benign : Grade I), Atipikal (Atypical : Grade II), dan Ganas (Malignant :
Grade III). (Tabel 2.1). Meningioma meningothelial, meningioma fibrous (fibroblastik), meningioma transisional, meningioma psammomatous, meningioma angiomatosa, meningioma mikrokistik, meningioma sekretorik, meningioma lymphoplasmacyte-rich, meningioma metaplastik diklasifikasikan sebagai grade I. Meningioma chordoid, meningioma clear-cell, meningioma atypical diklasifikasikan sebagai grade II. Meningioma papillary, meningioma rhabdoid, meningioma anaplastik diklasifikasikan sebagai grade III. Distribusi meningioma intrakranial adalah sebagai berikut: convexity (35%), para sagittal (20%), sphenoid ridge (20%), intraventricular (5%), tuberculum sellae (3%),
(24)
infratentorial (13%), dan lain-lain (4%) (Otsuka, 2004; Louis, 2000; Marwin et al, 2010).
Lokasi umum meningioma primer dari urutan paling sering adalah parasagital, cavernous, tubercullum sellae, lamina cribrosa, foramen magnum, zona torcular, tentorium cerebelli, sudut serebelopontin, dan sinus sigmoid. Meningioma dengan frekuensi lebih rendah dapat terjadi di medula spinalis, intraventricular, orbita (optic nerve sheath dan foramina opticum), intraoseus (tulang temporal petrosa), pineal, ekstrakalvaria, dan ektopik (cavum nasi, sinus paranasal, glandula parotis, paru-paru, glandula adrenal, dan mediastinum (Chou dan Miles, 1991; Otsuka, 2010).
Selain yang telah disebutkan di atas, berdasarkan Bitzer et al (1998), lokasi meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya pada konveksitas, falx, sphenoid wing, frontobasal, temporobasal, supraselar, tentorial, infratentorial, dan lainnya.
Berdasarkan pola pertumbuhannya, meningioma dapat tumbuh sebagai suatu masa (en masse) atau tumbuh memanjang seperti karpet (en plaque). Varian en plaque pada awalnya dideskripsikan oleh Cushing sebagai suatu karakteristik tipikal meningioma sphenoid ridge, yang dapat juga disebut sebagai “hyperostosing en plaque meningiomas”. Deskripsi ini kemudian direvisi oleh Bonnal pada tahun 1980, dengan tipe-tipe dari meningioma sphenoid ridge
adalah : en masse, invading en plaque, dan invading en masse. En masse adalah meningioma globular klasik, meningioma invading en plaque didefinisikan sebagai tumor berbentuk seperti karpet dengan adanya abnormalitas tulang, sedangkan meningioma en masse didefinisikan sebagai bentuk antara dari en masse klasik dan meningioma invading en plaque dengan perlekatan dura yang luas tetapi tanpa tampilan seperti karpet (Talacchi et al, 2011).
(25)
Tabel 2.1. Grade meningioma menurut WHO (Louis, 2000)
GRADE I GRADE II GRADE III
Meningiothelial Fibrous (Fibroblastic)
Transitional Psammomatous
Microcystic Secretory
Lymphoplasmacyte-rich Metaplastic
Atypical Clear cell Chordoid
Rhabdoid Papillary
Anaplastic (malignant)
Secara mikroskopis, meningioma fibroblastic menunjukkan gambaran sel spindel yang memanjang dan tersusun berlapis-lapis. Stroma terdiri dari serat reticulin dan kolagen. Meningioma transitional merupakan kombinasi tipe meningothelial dan fibroblastic. Tipe ini memiliki ciri kumparan selular, yang dipisahkan oleh sel spindel yang memanjang. Variasi pada histologi meningioma dapat menunjukkan mutasi pada lokus genetik yang berbeda, dimana loss of heterozytosity pada kromosom 22 lebih umum dijumpai pada tipe fibroblastic dibanding varian meningothelial (Chou dan Miles, 1991).
Banyak varian meningioma lain yang telah dilaporkan termasuk psammomatous, angiomatous, microcystic (humid), xanthomatous, lipoblastic, myxoid (myxomatous), osteoblastic, chondroblastic, secretory, melanotic, lymphofollicular, chordoid, hemangiopericytic, oncocytic, dan papillary. Tidak semua istilah untuk varian ini digunakan pada saat ini.
Meningioma atypical berhubungan dengan angka rekurensi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih agresif. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa meningioma atipikal tidak tergantung pada subtipe meningioma. Meningioma atipikal menunjukkan gambaran peningkatan aktifitas mitosis atau tiga atau lebih gambaran berikut: peningkatan selularitas, sel kecil dengan rasio nukleus dan sitoplasma yang tinggi, nukleoli yang prominen, pertumbuhan yang
(26)
tak berpola atau sheetlike growth, dan fokus nekrosis. Untuk varian ini, peningkatan aktifitas mitosis telah dideskripsikan sebagai empat atau lebih mitosis per 10 kali pembesaran kuat (high power field). (Otsuka, 2010).
Definisi pasti dari meningioma maligna dan anaplastik masih menjadi perdebatan. Satu ciri khusus yang tidak diragukan lagi menjadi ciri meningioma maligna adalah: metastasis ekstraneural jauh. Tempat tersering yang menjadi metastase meningioma adalah liver, paru, pleura, dan lymph nodes.
Pemeriksaan epithelial membrane antigen (EMA) adalah positif pada 80% meningioma. Hasil pewarnaan S-100 adalah cukup bervariasi. Meningioma juga mengekspresikan marker untuk fibroblasts (vimentin) dan sel epitel (EMA dan cytokeratins). Antileu7, merupakan antibody yang ditemuaka pada schwannoma, tidak ditemukan pada meningioma. Glial fibrillary acidic protein (GFAP) juga negatif pada meningioma. Meningioma meningothelial dan syncytial mengekspresikan E-cadherin. (Talacchi et al, 2011).
2.1.5. Radiologi
Foto polos pada meningioma menunjukkan tiga temuan khas: hyperostosis, peningkatan gambaran vaskularisasi, dan kalsifikasi. Pada CT non kontras, meningioma secara tipikal menunjukkan gambaran isodense sampai sedikit hyperdense. Kalsifikasi dapat dijumpai. Meningioma biasanya menyangat kontras dengan homogen dan kuat. Tumor ini berbatas tegas dan biasanya terletak pada struktur tulang atau pun dura. Manifestasi perubahan tulang yang sering dijumpai adalah hyperostosis. Sekitar 15% meningioma benigna memiliki gambaran yang tidak khas, termasuk nekrosis sentral atau dijumpainya kavitasi kista (cystic meningioma). Edema peritumoral yang mengelilingi meningioma bervariasi. Dura mater yang melekat dapat menunjukkan penyangatan kontras, temuan ini dikenal sebagai dural tail.
Pada T1WI MRI, 60% meningioma adalah isointense dan 30% lainnya sedikit hypointense dibandingkan dengan gray matter. Pada T2WI, tumor menunjukkan gambaran isointense (50%) atau sedikit hyperintentse (40%).
(27)
Gambaran hyperintense pada T2WI mengindikasikan tingginya kandungan air,
sering dijumpai pada meningioma meningothelial, vaskular, atau yang agresif.
2.1.6. Terapi pembedahan dan rekurensi tumor
Terapi definitif satu-satunya untuk meningioma adalah reseksi bedah total. Semakin sedikit tumor yang tersisa, akan memberikan kesempatan rekurensi tumor yang lebih kecil. Pada 1957 Simpson memperkenalkan lima tingkatan klasifikasi untuk reseksi bedah pada meningioma (Tabel 2.2.).
Tabel 2.2. Simpson Grading Sistem (Simpson, 1957)
GRADE DESCRIPTION 10 Years Recurrence
I Macroscopically complete tumor remofal with excision of the tumor’s dural attachment and any abnormal bone
9 %
II Macroscopically complete tumor removal with coagulation of its dural attachment
19%
III Macroscopicallay complete removal of the intradural tumor without resection of coagulation of its dural attachment or extradural extension
29%
IV Subtotal removal of the tumor 40% V Simple decompression of the tumor
Rekurensi untuk grade I adalah sekitar 10%; tumor dengan grade II memiliki angka rekurensi dua kali lebih tinggi. Angka rekurensi tumor jauh lebih tinggi sesuai dengan Simpson grade. Reseksi tumor yang menyertakan reseksi tambahan pada dura mater sejauh 2 cm dikenal sebagai grade 0. Pada satu studi disebutkan bahwa tidak dijumpai rekurensi pada pasien yang mendapatkan reseksi dengan Simpson grade 0. (Talacchi et al, 2011)
2.1.7. Prognosis
Meningioma memiliki prognosis yang berbeda pada setiap klasifikasi atau derajatnya. Invasi parenkim otak dan lokasi anatomi akan memengaruhi prognosis serta laju rekurensi. Tumor yang berada pada dasar tengkorak seperti
(28)
pada ala sphenoidalis atau invasi struktur yang penting seperti sinus venosus akan menimbulkan kesulitan dalam total removal dari tumor sehingga menimbulkan angka rekurensi yang tinggi. Walaupun meningioma yang berbatas tegas dapat diangkat secara keseluruhan, meningioma yang memiliki ekstensi ke ruang subdural (10% kasus) akan sulit untuk direseksi seluruhnya, seperti pada meningioma en plaque. Selain dari invasi parenkim dan lokasi anatomi, rekurensi juga kerap terjadi pada meningioma yang memiliki profil ganas, seperti pada pola hemangiopericytic atau papiler. Kriteria selular keganasan adalah adanya mitosis, peningkatan selularitas, polimorfisme inti sel, dan nekrosis fokal. Indeks mitosis yang tinggi juga salah satu aspek yang mengarah pada keganasan (Al-Mefty et al, 2011).
2.2. Protein S100
Anggota dari ‘S100 protein family’ merupakan protein multifungsional dengan berbagai peran dalam proses selular. Protein S100 bekerja dengan perantaraan ikatan kalsium, walaupun nampaknya Zn2+ dan Cu2+ juga memiliki peranan dalam aktifitas biologis protein ini.
Anggota ‘S100 protein family’ yang paling banyak dipelajari adalah protein S100B, yang memiliki aktifitas neurotropik (pada konsentrasi fisiologis) atau neurotoksik (pada konsentrasi tinggi). Ekspresi protein ini baik pada serum maupun pada pewarnaan imunohistokimia dijumpai pada berbagai kelainan klinis. Ekspresi imunohistokimia protein ini telah secara umum dikenal sebagai petanda untuk tumor schwannoma dan melanoma.
2.2.1. Struktur dan Fungsi Protein S100
‘S100 protein family’ memiliki subgrup lengan EF pengikat Ca2+. Protein ini disebut S100 dikarenakan kelarutannya dalam ammonium sulfat pada pH normal sebesar 100%. Protein ini pertama kali diidentifikasi oleh B.W.Moore pada 1965 (Moore, 1965).
Protein S100 merupakan protein asam berukuran kecil, 10-12kDa, dan memiliki dua lengan EF yang terpisah, 4 segmen α-helix, memiliki ‘central hinge
(29)
region’ dengan panjang yang bervariasi dan juga domain N- dan C- terminal. Berbeda dengan gen S100 yang sangat banyak terdapat pada vertebrata, protein ini tidak dijumpai pada invertebrata. Sampai sekarang ini terdapat paling sedikit 25 protein yang telah teridentifikasi sebagai anggota S100 protein family, dimana 21 diantaranya memiliki gen pada kromosom lokus 1q21. Kelompok gen ini dikenal sebagai kompleks diferensiasi epidermal (Marenholz, 2004; Donato, 2003).
Gambar 2.1. Struktur dimer protein S100. Protein S100 dapat dijumpai dalam bentuk homodimer, heterodimer, dan oligodimer. Setiap monomer terdiri dari dua lengan EF yang dihubungkan oleh hinge region (Heizmann, 2002).
2.2.2. Anggota dari S100 protein family dan lokasinya pada berbagai gen spesifik
Keluarga protein S100 merupakan protein multifungsional yang diekspresikan pada banyak jaringan. Interaksi protein S100 dengan berbagai dengan berbagai protein efektor dalam sel berperan dalam berbagai proses selular seperti kontraksi, motilitas, diferensiasi dan pertumbuhan sel, progresi siklus sel, transkripsi, organisasi struktural membran sel, dinamika kandungan
(30)
sitoskeleton, proteksi sel terhadap kerusakan sel oksidatif, fosforilasi protein dan sekresi (Santamaria, 2006).
Variasi fungsi protein S100 ini nampaknya disebabkan oleh:
1. Diversifikasi yang luas pada anggota protein S100 (25 anggota pada manusia)
2. Perbedaan ikatan metal ion yang berbeda-beda pada setiap protein S100 3. Distribusi ruang pada kompartemen intraselular spesifik atau
kompartemen ekstraselular
4. Kemampuan protein S100 untuk membentuk homodimer dan
heterodimer non kovalen, sehingga memungkinkan pertukaran subunit S100
Protein S100 tidak memiliki kapasitas katalis intrinsik. Protein ini secara umum memiliki cara kerja yang mirip dengan calmodulin dan troponin C, yang mengalami perubahan struktur dan memodulasi aktifitas biologis melalui ikatan kalsium (Ikura 1996).
Tabel 2.3. Anggota S100 protein familly dan lokasinya pada berbagai gen spesifik (Sedaghat, 2008)
(31)
Gambar 2.2. Gen S100 yang terdapat pada kromosom 1q21. Kebanyakan gen S100 pada manusia terletak pada kompleks diferensiasi epidermal pada kromosom 1q21, yang merupakan area yang rentan terhadap penyusunan ulang. Protein S100B, S100P, S100Z dan S100G terletak pada kromosom 21q22, 4p16, 5q14 dan Xp22 (Heizmann, 2002).
S100B yang merupakan salah satu protein pada S100 protein family yang paling banyak dipelajari, interaksi protein ini dengan RAGE (Receptor for Advanced Glycation Endproduct) telah terdokumentasi (Donato, 2007; Donato et al., 2008; Leclerc et al., 2009).
S100B secara spesifik terdapat dalam jumlah yang besar di otak dan diekspresikan oleh astrosit, oligodendrosit, dan sel Schwann. Protein ini diduga berperan sebagai sinyal regulator intraselular dan ekstraselular, yang dapat
(32)
menghasilkan efek neurotropik dan neurotoksik yang tergantung pada konsentrasinya pada sel neuron (Donato et al., 2008).
S100 juga mengaktifasi microglia, dan mungkin berperan dalam patogenesis kelainan neurodegeneratif. S100B diekspresikan berlebih pada astrositoma dan glioblastoma (Camby et al., 1999), schwannoma dan melanoma (Salama et al., 2008).
2.2.3 Metode dan Pengukuran
Protein S100 dapat dideteksi dengan berbagai metoda analisa seperti immunoradiometric assay (IRMA), mass spectroscopy, western blot, ELISA (enzyme linked immunosorbent assay), electrohemiluminence dan PCR kuantitatif, dapat mendeteksi perubahan ekspresi imunohistokimia atau pada serum dengan sensitifitas tinggi, sehingga dapat menjadi alat ukur penting pada diagnosa klinis (Sangtec Medical, 2000).
Protein S100B (homodimer dari subunitβ) memiliki berat molekul sebesar 21kD dan dikodekan dari lengan panjang kromosom 21 (21q22.3). Waktu paruh dari S100B adalah sekitar 30 menit. Peningkatan kadar serum protein S100 secara persisten mengindikasikan adanya pelepasan secara terus menerus dari jaringan yang terlibat. Protein S100 dieliminasi melalui ginjal (Wild, 2001).
Penyakit yang berhubungan dengan perubahan ekspresi protein S100 dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori.
1. Kelainan Neurologis
Sebagaimana GFAP (glial fibrillary acidic protein), protein S100B diproduksi oleh astrosit pada CNS, peningkatan ekspresi protein ini menandakan adanya aktifitas astrosit (Steiner, 2007).
Protein S100B lebih tidak spesifik dibandingkan dengan GFAP, dimana protein ini terdapat pada berbagai jenis sel neural. Efek autokrin protein ini pada astrosit (upregulation dari IL-6, ekspresi TNF-alpha) dimediasi melalui interaksi protein S100 dengan RAGE (Ponath, 2007).
(33)
Sekresi S100B merupakan proses awal respon sel glia terhadap cedera metabolik (kekurangan oksigen, serum, glukosa). Hubungan antara kondisi stress (cedera otak, gangguan sawar darah otak, iskemik) dan kadara serum S100 nampaknya tergantung glucocorticoid (Scaccianoce, 2004).
Traumatic brain injuries (TBI) result in an increase in S100B levels in blood and CSF.
Cedera otak traumatik akan mengakibatkan peningkatan kadar S100 pada serum dan juga pada cairan serebrospinal. Setelah terjadinya cedera otak traumatik, terjadi peningkatan konsentrasi S100B dan S100A1B pada 31% dan 48% pasien, tanpa hubungan yang signifikan dengan tanda dan gejala gangguan kognitif.
S100B juga dihasilkan oleh jaringan ekstraserebral, terutama sel lemak dan kondrosit, oleh karena itu interpretasi peningkatan kadar serum S100B sebagai marker cedera otak harus dilakukan secara berhati-hati.
Kenaikan kadar serum S100B tergantung pada integritas sawar darah otak. Oleh karena itu peningkatan dini S100 setelah cedera otak traumatik berhubungan baik dengan gangguan sawar darah otak maupun ekspresi aktif dari jaringan otak yang terlibat pada reaksi inflamasi sistemik.
Peranan S100 pada cedera otak merupakan bidang yang sedang diteliti secara luas, beberapa studi menunjukkan indikasi bahwa S100B dapat menurunkan cedera neuronal dan/atau berperan dalam proses perbaikan neuron setelah cedera otak traumatik, memicu penyembuhan luka pada trauma dan memiliki aktifitas tropik parakrin pada jaringan disekitarnya (Sedaghat, 2008).
2. Kelainan Neoplastik
Terdapat berbagai tumor yang menunjukkan ekspresi protein S100; antara lain S100B, S100A2, S100A4, S100A6, dan S100P (Hsieh, 2003).
S100-RAGE signalling pathway memainkan peranan penting dalam hubungan inflamasi dan kanker, dan progresi tumor. Tumor yang memiliki kadar
(34)
RAGE rendah akan mengalami akselerasi apoptosis, penurunan aktifasi NFκB dan secara signifikan mengakibatkan gangguan proliferasi (Semov, 2005).
Peningkatan kadar S100A4 (metastasin) berhubungan dengan survival rate yang rendah pada pasien dengan kanker payudara, dan pada tikus terbukti menginduksi metastase. Peningkatan konsentrasi serum S100A4 juga ditemukan pada tumor esofagus dan kolon, pankreas, paru, kandung kemih dan berhubungan dengan hasil akhir yang lebih buruk dan aktifitas tumor yang lebih agresif (Semov, 2005).
Terdapat sekresi S100B yang tinggi pada melanoma maligna, yang berhubungan dengan stadium dan prognosa tumor. Kadar serum S100B digunakan sebagai petanda untuk deteksi dini dan rekurensi tumor (Von, 1996).
Hubungan antara anggota S100 protein family dan beberapa jenis kanker tampak pada tabel 2.4.
Tabel 2.4. Hubungan antara anggota S100 protein family dan beberapa jenis kanker
Walaupun pada kebanyakan kasus peranan protein S100 pada kanker masih belum diketahui dengan jelas, pola ekspresi spesifik protein ini dapat digunakan sebagai alat prognostik. Protein S100A4 dan S100B berikatan dengan
(35)
gen supressor tumor p53 dan menghambat fosforilasi, sehingga mengakibatkan down regulation p53 yang tergantung kalsium.
Berbagai studi telah dilakukan untuk mengetahui peranan p53 wild type
pada neoplasma yang berhubungan dengan S100B melalui inhibisi interaksi p53 dan S100B.
Protein S100 lain menghasilkan efek berbeda terhadap aktifitas p53 (S100A2 memicu aktifitas transkripsi p53, dan sebagainya)
3. Kelainan Jantung
S100A1 secara spesifik diekspresikan dalam konsentrasi tinggi pada miokardium mamalia, dimana protein ini memodulasi kontraktilitas jantung melalui interaksi protein ini dengan filamen kontraktil dan dengan protein pada retikulum sarkoplasma (Ehlermann, 2000).
Kombinasi Skala Koma Glasgow (<6 poin) dengan peningkatan
konsentrasi serum dari NSE (>65ng/mL) dan S100 (> 1.5μg/l) pada 48-72 jam setelah resusitasi kardiopulmonar pada pasien yang mengalami cardiac arrest, merupakan faktor prediktor hasil akhir neurologis dan gangguan kognitif dengan spesifitas 100% (sensitifitas 42%) (Ekmektzoglou, 2007; Grubb, 2007).
Peningkatan S100 sendiri meningkatkan risiko kematian dan persistent vegetative state sebesar 12,6 kali lipat (Carrier, 2006).
4. Penyakit Inflamasi
S100A8, S100A9, dan S100Al2, diekspresikan secara predominan pada sel fagosit dan berhubungan kuat dengan fungsi proinflamasi. Protein-protein ini disekresikan terutma pada tempat inflamasi. Konsentrasi serum dari protein S100 berhubungan dengan aktifitas penyakit inflamasi; seperti rheumatoid arthritis, bronkhitis kronis, dan sistik fibrosis (Foell, 2004).
S100A7, S100A8, S100A9, dan S100A12 mengalami proses upregulation pada lesi psoriasis aktif dan berbagai penyakit inflamasi epidermis lain, dermatitis atopi, mycosis fungoides dan penyakit Darier (Eckert, 2004).
(36)
Peningkatan kadar S100B pada urin yang ditemukan pada bayi baru lahir dengan gangguan pertumbuhan dalam rahim pada minggu pertama sesudah kelahiran berhubungan dengan tingkat kerusakan otak. Kadar S100B berhubungan dengan derajat gangguan neurologis bayi tersebut (Florio, 2006).
2.2.4. S100 dan Meningioma
Marker diagnostik meningioma terpenting adalah imunoreaktifitas membaran terhadap EMA (Epithelial Membrane Antigen) (Abramovich, 1999; Burger 2007)
Dari subtipe dasar meningioma, pewarnaan imunohistokimia EMA mungkin lebih jelas pada tipe meningothelial dan transisional dibandingkan pada tipe fibrous.
Sekitar 20% meningioma reaktif terhadap pewarnaan S100, dimana meningioma tipe fibrous merupakan varian yang paling reaktif terhadap pewarnaan ini. (Burger, 2007; Sav 2010)
Dari semua anggota keluarga S100, hanya ekspesi S100A5 yang berhubungan dengan nilai prognostik signifikan terhadap rekurensi tumor. Analisa regresi Cox menunjukkan nilai prognostik yang signifikan ini independen terhadap usia pasien. Kombinasi dari usia pasien dan pewarnaan S100A5 memungkinkan identifikasi kelompok pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami rekurensi tumor. Hancq S et al menyimpulkan bahwa S100A5 mungkin memiliki peranan terhadap rekurensi meningioma grade I WHO yang telah direseksi total (Hancq, 2004).
Dijumpainya protein S100 pada beberapa tipe meningioma bukan merupakan hal yang tidak terduga. Spesimen baru meningioma kadang-kadang menunjukkan jejak atau reaksi positif terhadap protein S100 pada microcomplement fixation assay.
Meningioma secara umum dianggap merupakan tumor yang berasal dari meningen. Embryologis mengindikasikan bahwa sel dari leptomeninx manusia
(37)
berasal dari sel neural crest embryo, sementara sel meningen lain adalah fibroblast yang berasal dari jaringan mesenkim disekitarnya. Penjelasan ini memudahkan pengertian mengapa meningioma memiliki berbagai tampilan histologi, dan mengapa meningioma sering menjadi bagian kelainan displasia sel selubung saraf yang dikenal sebagai penyakit von Recklinghausen (Neurofibromatosis tipe I).
Alasan mengapa distribusi protein S100 yang berbeda diantara subgrup meningioma belum dapat dimengerti sepenuhnya. Peneliti menduga sel glia yang terletak berdekatan dengan meningioma mungkin terlibat dalam pembentukan tumor dan mengalami stimulasi untuk proliferasi oleh sel tumor. Namun tampaknya teori ini tidak sesuai dengan sifat meningioma yang tumbuh lambat, globular, dan sangat jarang menginfiltrasi jaringan otak.Teori lain menyebutkan meningioma yang berasal dari prekursor non neuronal mungkin mensintesa protein S100 de novo sebagai akibat ekspresi gen yang berubah menjadi maligna. Teori ini juga memiliki kelemahan karena kenyataannya meningioma adalah tumor yang secara biologis bersifat jinak.
Teori histogenesis menjelaskan bahwa meningioma terdiri dari berbagai tumor dengan berbagai histogenesis yang berbeda. Meningioma yang menunjukkan ekspresi protein S100 dapat berasal baik dari komponen neuroectodermal maupun mesenkim.
Beberapa penulis menduga bahwa beberapa sel pada pachymeninx mungkin dapat mensekresikan protein S100, karena studi imunohistokimia sebelumnya gagal menunjukkan protein S100 disekresikan oleh leptomeninx. (Tabuchi, 1984)
Pewarnaan imunohistokimia S100 yang positif dijumpai pada 40% meningioma chordoid. Reaktifitas terhadap S100 mungkin dapat mengeksklusikan diagnosa meningioma chordoid (Ankur, 2009).
(38)
2.3. Kerangka Konseptual
Gambar 2.3. Kerangka konsep penelitian
Ekspresi S100 pada meningioma 1. Karakteristik Jenis Kelamin
2. Karakteristik Usia
3. Karakteristik Lokasi Tumor 4. Karakteristik grade WHO 5. Karakteristik Jenis
Histopatologi
(39)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif retrospektif yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 dari pasien yang sebelumnya telah terdiagnosis sebagai penderita meningioma di RSUP HAM pada perioda Pebruari 2010 - Pebruari 2013.
3.2. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan laboratorium patologi anatomi RS. Murni Teguh, Medan, Sumatera Utara, dilaksanakan mulai bulan Juni – Juli 2013.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi target adalah penderita meningioma
Populasi terjangkau adalah penderita meningioma yang menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel diambil dengan tekhnik total sampling, yaitu seluruh spesimen meningioma dari pasien-pasien meningioma intrakranial dan spine yang telah menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan dari Pebruari 2010 – Pebruari 2013, dengan hasil pemeriksaan histopatologi jaringan sesuai dengan gambaran meningioma. Dalam periode ini diperoleh total sampel sebanyak 31 spesimen meningioma.
(40)
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1. Kriteria Inklusi
Penderita tumor intrakranial dan spine yang menjalani operasi untuk pengangkatan masa tumor, dengan hasil pemeriksaan histopatologi sesuai dengan gambaran meningioma.
3.4.2. Kriteria Eksklusi
Pasien yang menderita tumor intrakranial dan/atau spine selain meningioma.
3.5. Persetujuan / Informed Consent
Sampel diambil dari spesimen yang telah dilakukan blok parafin oleh seorang patologist dari pasien-pasien yang telah terdiagnosis menderita meningioma sehingga tidak membutuhkan informed consent.
3.6. Etika Penelitian
Penelitian ini juga disetujui oleh Komite Etis Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.7. Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.7.1. Cara Kerja
Sampel
Seluruh spesimen blok parafin meningioma yang sebelumnya telah dilakukan pewarnaan dasar hematoxylin-eosin dan dikonfirmasi sebagai suatu meningioma dari Pebruari 2010 – Pebruari 2013 dikumpulkan dan dilakukan pencatatan data-data pasien yang diperoleh dari rekam medik pasien dan assessmen departemen bedah saraf. Data yang dicatat meliputi jenis kelamin, usia, lokasi tumor, grade WHO, jenis histopatologi, rekurensi tumor.
(41)
Pewarnaan imunohistokimia S100
Proses pewarnaan memakan waktu selama ± 270 menit dengan rincian
sebagai berikut:
• Blok parafin dari spesimen meningioma dipotong dengan microtome dengan ketebalan 3 micron
• Slide hasil potongan microtome dipanaskan pada hotplate dengan suhu 60 0
• Dehidrasi dengan alkohol absolut, 80% dan 70% selama 2 menit C selama 60 menit
• Kemudian slide dibilas dengan air mengalir (keran) selama 2 menit
• Bilas lagi dengan aquades selama 5 menit
• Masukkan slide kedalam TRS yang sudah dihangatkan
• Masukkan kedalam microwave samsung TDS dengan kondisi sebagai berikut: 800 watt panaskan selama 2,5-3 menit dan 100 watt panaskan selama 10 menit
• Setelah itu dinginkan slide selama 20 menit
• Slide dibilas lagi dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit
• Kemudian bloking dengan DAKO FLEX Peroxidase selama 5 menit
• Bilas dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit
• Antibodi primer selama 20-60 menit
• Bilas dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit
• DAKO FLEX HRP selama 20 menit
• Bilas dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit
• DAKO FLEX DAB + SUBSTRAT selama 5 menit
• Bilas dengan air mengalir (keran) selama 5 menit
• Hematoxylin selama 2 menit
• Bilas dengan air mengalir (keran) selama 5 menit
• Dihidrasi dengan alkohol 70%, 80% dan absolut selama 2 menit
• Xylene 2 kali selama 2 menit
• Mounting medium dan coverslip
(42)
Penilaian staining intensity (SI)
Staining intensity dinilai dengan melakukan pengamatan slide dibawah mikroskop dengan interpretasi sebagai berikut:
• Pewarnaan negatif (0) adalah apabila pada gambaran mikroskopis jaringan tumor tidak menyerap warna sama sekali.
• Pewarnaan positif satu (+1) adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat <25% jaringan tumor yang menyerap warna
• Pewarnaan positif dua (+2) adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat 25-75% jaringan tumor yang menyerap warna.
• Pewarnaan positif tiga (+3) adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat >75% jaringan tumor yang menyerap warna. (Samson W, 2004)
3.7.2. Alur Penelitian
Seluruh spesimen blok parafin meningioma yang sebelumnya telah dilakukan pewarnaan dasar hematoxylin-eosin dan dikonfirmasi sebagai suatu meningioma dilakukan pewarnaan imunohistokimia S100. Setelah dilakukan pewarnaan, staining intensity (SI) dihitung skornya dari skala 0-3 (dari yang tidak menyerap warna sampai yang paling kuat menyerap warna).
(43)
Gambar 3.1. Bagan alur penelitian
3.8. Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Mengioma Nominal
Variabel tergantung Skala
Pewarnaan histokimia S100 Ordinal
3.9. Definisi Operasional
• Meningioma adalah tumor yang berasal dari arachnoid cap cell yang terdapat pada selaput arachnoid yang melapisi seluruh permukaan otak (Louis et al, 2000).
• S-100 adalah suatu famili protein calcium – binding, dimerik, berat molekul 9 – 13 kDa. S100A1 (α) dan S-1OOB (β) merupakan spesies senyawa protein pertama ditemukan oleh Moore pada tahun 1965 dari preparat jaringan otak sapi. Nama S100 karena substrat larut 100% dalam larutan ammonium sulfat (Kilby et al., 1996, Smith and Shaw 1998, Korfias et al., 2006).
Meningioma
S100
Pewarnaan Negatif /
Negative Staining
Pewarnaan Positif /
Positive Staining
(44)
• Pewarnaan negatif (0) adalah apabila pada gambaran mikroskopis jaringan tumor tidak menyerap warna sama sekali.
• Pewarnaan positif satu (+1) adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat <25% jaringan tumor yang menyerap warna
• Pewarnaan positif dua (+2) adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat 25-75% jaringan tumor yang menyerap warna.
• Pewarnaan positif tiga (+3) adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat >75% jaringan tumor yang menyerap warna. (Samson W, 2004)
3.10. Rencana Pengolahan dan Analisa Data
Data medis dan demografis dianalisa secara deskriptif dalam bentuk tabel distribusi frekuensi atau diagram dan persentase untuk data kategori dan data rataan dan simpangan baku untuk data kontinu.
(45)
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. HASIL PENELITIAN
Sampel penelitian diambil dari bulan Pebruari 2010 sampai dengan bulan Pebruari 2013. Dalam kurun waktu tersebut diperoleh 31 spesimen dari dari pasien-pasien meningioma intrakranial dan spinal yang telah menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan dengan hasil pemeriksaan histopatologi jaringan sesuai dengan gambaran meningioma. Dari spesimen meningioma yang telah dilakukan blok parafin tersebut dilakukan pewarnaan imunohistokimia S100. Pemeriksaan imunohistokimia EMA juga dilakukan pada spesimen-spesimen ini untuk lebih memastikan diagnosis meningioma. Hasil lengkap data penderita dapat dilihat pada lampiran.
4.1.1 Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin
Setelah dilakukan pendataan dan memasukkan data tersebut ke dalam tabel, didapatkan sampel berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan sampel laki-laki, dimana sampel perempuan sebanyak 20 (64,5%) kasus dan laki-laki sebanyak 11 (35,5%) kasus.
Tabel 4.1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin n %
Laki-Laki 11 35,5
Perempuan 20 64,5
Total 31 100.0
4.1.2. Distribusi Berdasarkan Usia
Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap usia didapati bahwa mean
adalah 42 ± 9,77 tahun dengan nilai minimal 19 tahun dan maksimal 69 tahun.
(46)
Terhadap sampel dilakukan klasifikasi usia berdasarkan dekade kehidupan. Kejadian meningioma memiliki frekuensi kejadian terbanyak pada kelompok usia 40 – 49 tahun sebanyak 13 (41,9%) kasus. Sedangkan frekuensi kejadian yang paling sedikit ada pada kelompok usia 60-69 sebanyak 1 (3,2%) kasus
Tabel 4.2. Analisis Deskriptif Berdasarkan Usia
Nilai
Mean 42,00
Median 42,00
Std. Deviation 9,774
Minimum 19
Maximum 69
Kelompok Usia n %
20 – 29 4 12,9
30 – 39 8 25,8
40 – 49 13 41,9
50 – 59 5 16,2
60 – 69 1 3,2
Total 31 100.0
4.1.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor
Terhadap sampel dilakukan klasifikasi berdasarkan lokasi terjadinya meningioma. Setelah dilakukan tabulasi diperoleh frekuensi terbanyak adalah pada konveksitas dan parasagital meningioma dengan masing-masing 8 (25,8%) kasus.
(47)
Tabel 4.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor
Lokasi Tumor n %
Convexity 8 25,8
Parasagital 8 25,8
Sphenoid Ridge 2 6,5
Falx 1 3,2
Tuberculum Sellae 3 9,7
Foramen Magnum 1 3,2
Petroclival 1 3,2
Enplaque 1 3,2
Olfactory groove 1 3,2
Spine 3 9,7
Posterior Fossa 2 6,5
Total 31 100.0
4.1.4. Distribusi Berdasarkan Grade WHO
Berdasarkan grade WHO, diperoleh frekuensi terbanyak adalah tipe meningioma benign sebanyak 28 (90,3%) kasus. Diikuti oleh atypical sebanyak 2 (6,5%) kasus dan anaplastic sebanyak 1 (3,2%) kasus.
Tabel 4.4. Distribusi Berdasarkan Grade Tumor
Grade WHO n %
Benign 28 90,3
Atypical 2 6,5
Anaplastic 1 3,2
Total 31 100.0
4.1.5. Distribusi Berdasarkan Jenis Histopatologi Tumor
Berdasarkan jenis histopatologi tumor, diperoleh frekuensi terbanyak adalah meningothelial meningioma sebesar 14 (70%) kasus, diikuti oleh
(48)
transitional meningioma 3 (15%) kasus, fibroblastic meningioma 2 (10%) kasus, dan atypical meningioma 1 (5%) kasus.
Tabel 4.5. Distribusi Berdasarkan Jenis Histopatologi Tumor
Jenis Histopatologi n %
Meningothelial 17 54,8
Fibroblastic 4 12,9
Psammomatous 2 6,5
Transitional 4 12,9
Secretory 1 3,2
Atypical 2 6,5
Anaplastic 1 3,2
Total 31 100.0
4.1.6. Distribusi Berdasarkan Rekurensi Tumor
Berdasarkan rekurensi tumor, didapati 4 (12,9%) orang penderita yang mengalami rekurensi meningioma.
Tabel 4.6. Distribusi Berdasarkan Rekurensi Tumor
Rekurensi n %
Ya 4 12,9
Tidak 27 87,1
Total 31 100.0
4.1.7. Distribusi Staining Intensity S100 pada Meningioma
Dari seluruh sampel meningioma yang diberi pewarnaan imunohistokimia S100, didapatkan hasil 20 sampel (64,5%) memiliki SI 0 atau tidak menyerap warna, 7 sampel meningioma (22,6%) memiliki SI +3, 1 sampel meningioma memiliki SI +2 dan 3 sampel meningioma (9,7%) memiliki SI +1.
(49)
Tabel 4.7. Distribusi Staining Intensity S100 pada Meningioma
Staining Intensity S100 n %
0 20 64,5
+1 3 9,7
+2 1 3,2
+3 7 22,6
Total 31 100.0
4.1.8. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari jenis kelamin laki-laki, 5 orang tidak menunjukan intensitas pewarnaan pada protein S100, 3 orang menunjukkan intensitas pewarnaan +1 dan 3 orang lainnya menunjukkan intensitas pewarnaan +3. Sedangkan jenis kelamin perempuan, 15 orang tidak menunjukkan intensitas pewarnaan protein S100, 1 orang menunjukkan intensitas pewarnaan +2 dan 4 lainnya menunjukkan intensitas pewarnaan +3.
Tabel 4.1.8. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Kelamin
SI Pewarnaan S100 Total
0 +1 +2 +3
Jenis Kelamin
Laki-laki 5 3 0 3 11
Perempuan 15 0 1 4 20
Total 20 3 1 7 31
4.1.9. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Usia
Setelah dilakukan cross tabulation antara SI dan usia diperoleh hasil dari 4 kasus kelompok umur 20-29, 1 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan, dan 3 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Pada kelompok usia 30-39, 5 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan, 2 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan sedikit, 1 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan
(50)
sedang. Pada kelompok usia 40-49, 11 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan, dan 2 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Pada kelompok usia 50-59, 3 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan, dan 2 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Sedangkan pada kelompok usia 60-69, 1 orang menunjukkan intensitas pewarnaan sedikit.
Tabel 4.1.9. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Usia
SI Pewarnaan S100 Total
0 +1 +2 +3
Kelompok Usia
20 – 29 1 0 0 3 4
30 – 39 5 2 1 0 8
40 – 49 11 0 0 2 13
50 – 59 3 0 0 2 5
60 – 69 0 1 0 0 1
Total 20 3 1 7 31
4.1.10. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Lokasi Tumor
Setelah dilakukan cross tabulation antara SI dan lokasi tumor diperoleh data dari 8 kasus meningioma convexity yang tidak menunjukkan intensitas pewarnaan sebanyak 6 kasus, yang menunjukkan intensitas pewarnaan sedikit sebanyak 1 kasus dan yang paling kuat intensitas pewarnaannya sebanyak 1 kasus. Pada meningioma parasagital, dari total 8 kasus yang tidak menunjukkan intensitas pewarnaan sebanyak 6 kasus dan yang menunjukkan intensitas pewarnaan sedikit sebanyak 2 kasus. Dua kasus sphenoid ridge meningioma, semuanya menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Satu kasus falx meningioma
juga menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Tiga kasus meningioma
tuberculum sella, tidak ada yang menunjukkan intensitas pewarnaan. Satu kasus
foramen magnum dan petroclival meningioma menunjukkan intensitas pewarnaan kuat, Satu kasus enplaque dan olfactory groove meningioma tidak
(51)
menunjukkan intensitas pewarnaan kuat, 1 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan sedang dan 1 kasus lagi menunjukkan intensitas pewarnaan kuat dan dari 2 kasus posterior fossa meningioma keduanya tidak menunjukkan intensitas pewarnaan S100.
Tabel 4.1.10. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Lokasi Tumor
SI Pewarnaan S100 Total
0 +1 +2 +3
Lokasi Tumor
Convexity 6 1 0 1 8
Parasagital 6 2 0 0 8
Sphenoid Ridge 0 0 0 2 2
Falx 0 0 0 1 1
Tuberculum Sella 3 0 0 0 3
Foramen Magnum
0 0 0 1 1
Petroclival 0 0 0 1 1
Enplaque 1 0 0 0 1
Olfactory Groove 1 0 0 0 1
Spine 1 0 1 1 3
Posterior Fossa 2 0 0 0 2
Total 20 3 1 7 31
4.1.11. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Grade WHO
Setelah dilakukan cross tabulation antara SI dan grade WHO diperoleh data dari 28 kasus meningioma benign, 20 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan S100, 1 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan yang sedikit, 1 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan sedang dan 6 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Dari 2 kasus atypical meningioma, keduanya menunjukkan intensitas pewarnaan sedikit dan dari 1 kasus anaplastic
(52)
Tabel 4.1.11. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Grade WHO
SI Pewarnaan S100 Total
0 +1 +2 +3
Grade WHO Benign 20 1 1 6 28
Atypical 0 2 0 0 2
Anaplastic 0 0 0 1 1
Total 20 3 1 7 31
4.1.12. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Histopatologi Dari semua sampel meningioma, hanya 11 (35,48%) sampel yang menunjukkan intensitas pewarnaan terhadap protein S100. Dari semua jenis histopatologi hanya fibroblastic, secretory dan atypical meningioma yang menunjukkan intensitas pewarnaan yang kuat (+3) terhadap protein S100.
Tabel 4.12. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Histopatologi
SI Pewarnaan S100 Total
0 +1 +2 +3
Histopatolo gi
Meningothelial 15 1 0 1 17
Fibroblastic 0 0 0 4 4
Psammomatou s
2 0 0 0 2
Transitional 3 0 1 0 4
Secretory 0 0 0 1 1
Atypical 0 2 0 0 2
Anaplastic 0 0 0 1 1
(53)
4.1.13. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Rekurensi Tumor
dari 4 kasus yang mengalami tumor rekuren, 1 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan dan 3 kasus lainnya mempunya intensitas pewarnaan S100 yang kuat. Sedangkan pada 27 kasus baru (non rekuren), 19 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan, 3 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan S100 yang sedikit, 1 kasus mempunyai intensitas pewarnaan S100 yang sedang dan 4 kasus mempunyai intensitas pewarnaan kuat..
Tabel 4.13. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Rekurensi Tumor
SI Pewarnaan S100 Total
0 +1 +2 +3
Rekurensi Ya 1 0 0 3 4
Tidak 19 3 1 4 27
Total 20 3 1 7 31
4.2. PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel dari parafin blok pasien yang telah diperiksa histopatologi, dan dikonfirmasi sebagai meningioma. Ada 31 sampel paraffin blok yang dianalisis selama periode waktu penelitian. Analisis dilakukan dengan melakukan pewarnaan immunohistokimia S100 pada sampel yang ada dan dihitung intensitas pewarnaannya yang diberi skor 0-3 (dari yang tidak menyerap warna sampai yang paling kuat menyerap warna).
Dari 31 sampel meningioma pada penelitian ini didapatkan sampel berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan sampel laki-laki, dimana sampel perempuan 20 orang (64,5%) dan laki-laki 11 orang (35,5%) dengan perbandingan 1.8:1. Temuan ini sama dengan literatur-literatur lain yang terdahulu. Berdasarkan umur penderita pada studi ini ditemukan bahwa pada kelompok umur 40-49 merupakan rentang usia yang paling sering menderita meningioma. Pada kelompok umur ini ditemukan meningioma pada 13 orang (41,9%). Dari studi yang dilakukan Einav dkk pada tahun 2008, tidak ditemukan
(54)
perbedaan secara statistik pewarnaan protein S100 terhadap jenis kelamin dan umur.
Berdasarkan lokasi tumor, meningioma convexity dan meningioma parasagital merupakan lokasi tersering tumor ini dengan 8 orang penderita (25,8%), hal ini juga sesuai dengan laporan pada literatur sebelumnya dimana disebutkan distribusi meningioma intrakranial adalah sebagai berikut: convexity (35%), para sagittal (20%), sphenoid ridge (20%), intraventricular (5%), tuberculum sellae (3%), infratentorial (13%), dan lain-lain (4%) (Otsuka, 2004; Louis, 2000; Marwin et al, 2010).
Berdasarkan grade menigioma menurut kriteria WHO, diperoleh frekuensi terbanyak adalah tipe meningioma benign sebanyak 28 (90,3%) kasus diikuti oleh tipe atypical meningioma sebanyak 2 (6,5%) kasus dan tipe anaplastic meningioma sebanyak 1 (3,2%) kasus. Hal ini juga sama dengan yang pernah dilaporkan oleh literatur-literatursebelumnya.
Jenis histopatologi yang paling banyak pada penelitian ini adalah meningothelial meningioma Meningothelial sebanyak 14 kasus (70%), diikuti oleh Transitional meningioma 3 kasus (15%), Fibroblastic meningioma 2 kasus (10%), dan Atypical meningioma 1 kasus (5%). Dari semua meningioma hanya 11 kasus (35,48%) yang menunjukkan pewarnaan protein S100, dan dari jenis histopatologinya hanya pada jenis meningothelial, fibroblastic, transitional, secretory dan anaplastic yang menunjukkan intensitas pewarnaan pada protein S100 dan khusus pada jenis fibroblastic, semuanya (4 kasus) menunjukkan intensitas pewarnaan protein S100 yang paling kuat (+3). Peresentase pewarnaan S100 lebih besar pada penelitian ini dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Perry dkk pada tahun 1997 dan Calisaneller dkk pada tahun 2008 yang mendapatkan pewarnaan positif S100 pada meningioma sebanyak 20% dan pada jenis fibroblastic sebanyak 80%. Dari studi Hancq pada tahun 2004 disebutkan bahwa protein S100 memiliki peran dalam rekurensi tumor pada meningioma WHO grade 1 yang direksi secara total.
(55)
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN
Dalam penelitian ini didapatkan 31 kasus meningioma intrakranial pada RSUP. H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu penelitian sekitar tiga tahun dengan rata-rata umur 46,20 ± 16,3 tahun dan dengan dominasi jenis kelamin perempuan terhadap laki-laki dengan ratio 1.8:1. Berdasarkan lokasi terjadinya meningioma, urutan paling sering adalah convexity meningioma dan parasagital meningioma (masing-masing 8 penderita, 25.8%). Tiga puluh satu spesimen meningioma diklasifikasikan gradingnya menurut kriteria WHO: benign 28/31 (90,3%), atypical 2/31 (6,5%) dan anaplastic 1/31 (3,2%). Ketiga kriteria ini diklasifikasikan lagi menurut jenis histopatologinya. Meningothelial meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling banyak 17/31 (54,8%).
Dari keseluruhan spesimen sampel, hanya 11/31 (35,5%) spesimen yang mengekspresikan pewarnaan S100, sisanya 20/31 (64,5%) tidak mengekspresikan pewarnaan S100 dan ekspresi pewarnaan S100 yang positif didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Dari 11 spesimen yang mengekspresikan pewarnaan S100, meningioma benign mengekspresikan 8/28 (28,6%) dan fibroblastic meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling kuat mengekspresikan S100 (+3).
5.2. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan sampel kelompok tipe histopatologi meningioma yang lebih besar, sehingga dapat dilakukan analisa statistik hubungan ekspresi S100 pada setiap jenis histopatologi meningioma. 2. Perlu dilakukan follow up lebih lama untuk kasus meningioma sehingga data rekurensi tumor dan hubungannya dengan ekspresi S100 dapat diketahui dengan lebih baik.
(56)
DAFTAR PUSTAKA
AB Sangtec Medical, Sangtec 100 IRMA. 2000.
Abramovich, C.M; Prayson, R.A. 1999. Histopathologic features and MIB-1labeling indices in recurrent and nonrecurrent meningiomas. Arch Pathol Lab Med. 123:793.
Immunoradiometric assay for the quantification of protein S100B. Instruction for use.
Ankur, R; Sangoi, M.D; Mohanpal, S; Dulai, M.D; Andrew, H; Beck, M.D; Daniel, J; Brat, M; Hannes, V. 2009. Distinguishing Chordoid Meningiomas From Their Histologic Mimics An Immunohistochemical Evaluation. Am J Surg Pathol . Volume 33. Number 5.
Al-Mefty, O; Abdulrauf, S.I; Haddad, G.F. Meningioma. 2011. In Youmans Neurological Surgery, edited by Winn HR, 6th
Al-Rodhan, N.R.F; Laws, E.R. 1991. The History of Intracranial Meningiomas. In
Meningiomas, edited by Al-Mefty, O. Raven Press. New York. 1:1-7. ed. Elsevier, People’s Republic of China. 131:1426-49.
Burger, P.C; Scheithauer, B.W; 2007 Meningiomas. Atlas of Tumor Pathology: Tumors of the Central Nervous System. Washington, DC: American Registry of Pathology.
Chou, S.M; Miles, J.M; 1991. The Pathology of Meningiomas. In Meningiomas, edited by Al-Mefty O. Raven Press, New York. 4:37-57.
Calisaneller, T; Ozen, O; Altinors, N; 2008. Tentorium Schwannoma Mimicking Meningioma: An Unusual Location. Turkish Neurosurgery. 18(3): 316-319.
Donato, R. 2003. Intracellular and extracellular roles of S100 proteins.
Carrier, M; Denault, A; Lavoie, J; Perrault, L.P; 2006. Randomized controlled trial of pericardial blood processing with a cell-saving device on neurologic markers in elderly patients undergoing coronary artery bypass graft surgery. Ann Thorac Surg. 82:51–55.
Microsc Res Tech. 60:540–551.
(57)
Ehlermann, P; Remppis, A; Guddat, O. 2000. Right ventricular upregulation of the Ca(2+) binding protein S100A1 in chronic pulmonary hypertension. Eckert, R.L; Broome, A.M; Ruse, M; Robinson, N; Ryan, D; Lee, K. 2004. S100
proteins in the epidermis. J Invest Dermatol. 123:23–33.
Biochim Biophys Acta. 1500
Einav, S; Itshayek, E; Kark, J. 2008. Serum S100 Level After meningioma Surgery: A Comparison of Two Laboratory Assays. BMC Clinical Pathology. 8(9): 1-7.
:249–255.
Florio, P; Marinoni, E; Di Iorio, R. 2006. Urinary S100B protein concentrations are increased in intrauterine growth-retarded newborns.
Ekmektzoglou, K.A; Xanthos, T; Papadimitriou, L. 2007. Biochemical markers (NSE, S-100, IL-8) as predictors of neurological outcome in patients after cardiac arrest and return of spontaneous circulation. Resuscitation. 75:219–228.
Pediatrics. 118:e747–e754
Foell, D; Wittkowski, H; Hammerschmidt, I. 2004. Monitoring neutrophil activation in juvenile rheumatoid arthritis by S100A12 serum concentrations. Arthritis Rheum. 50:1286–1295.
Hancq, S; Salmon, I; Brotchi, J. 2004. S100A5: a marker of recurrence in WHO grade I meningiomas. Neuropathology and Applied Neurobiology. 30: 178–187
Grubb, N.R; Simpson, C; Sherwood, RA. 2007. Prediction of cognitive dysfunction after resuscitation from out-of-hospital cardiac arrest using serum neuron-specific enolase and protein S-100. Heart. 93:1268–1273.
Heizmann, C.W; Fritz, G; Schafer, B.W; 2002. Frontiers in Bioscience. 1;7:d1356-68).
Hsieh, H.L; Schafer, B.W; Sasaki, N; Heizmann, C.W. 2003. Expression analysis of S100 proteins and RAGE in human tumors using tissue microarrays.
(58)
Ikura, M. 1996. Calcium binding and conformational response in EFhand proteins. Trends Biochem Sci. 21:14–17.
Louis, D.N; Scheihauer, B.W; Budka, H. 2000. Meningiomas. In: Kleihues P, Cavenee WK, eds. Pathology and Genetics of Tumours of the Nervous System. Lyon, France: IARC Press: 176-180
Marenholz, I; Heinzman, C.W; Fritz, G. 2004. S100 protein in mouse and man: from evolution to function and pathology. Biochem Biophys Res Commun. 322
Marwin, C; Perry, A. 2010. Pathological classification and molecular genetics of meningiomas. J Neurooncol. 99:379-391.
:1111–1122.
Moore, B.W. 1965. A soluble protein characteristic of the nervous system.
Biochem Biophys Res Commun. 19
Otsuka, S; Tamiya, T; Ono, Y; Michiue, H; Kurozumi, K; Daido, S. 2004. The relationship between peritumoral brain edema and the expression of vascular endothelial growth factor and its receptors in intracranial meningiomas. J Neurooncol. 70:349-357.
:739–744.
Perry, A; Scheithauer, B.W. 1997. Nascimento immunophenotypic spectrum of meningeal hemangiopericytoma: a comparison with fibrous meningioma and solitary fibrous tumor of meninges. Am J Surg Pathol. 21:1354-1360.
Santamaria–Kisiel, L; Rintala–Dempsey, A.C; Shaw, G.S. 2006. Calcium dependent and independent interactions of the S100 protein family.
Ponath, G; Schettler, C; Kaestner, F. 2007. Autocrine S100B effects on astrocytes are mediated via RAGE. J Neuroimmunol. 184:214–222.
Biochem J. 396
Sav, A; Scheithauer, B.W. 2010. Neuropathology of Meningiomas. In: Pamir M.N; Black, P; Fahlbusch, R. (eds) In: Meningiomas: A Comprehensive Text. Philadelphia, Elsevier Saunders. (6):99-120
(59)
Sedaghat, F; Notopoulos, A. 2008. S100 protein family and its application in clinical practice. Hippokratia. 12(4): 198–204.
Scaccianoce, S; Del Bianco, P; Pannitteri, G; Passarelli, F. 2004. Relationship between stress and circulating levels of S100B protein. Brain Res.
1004:208–211
Semov, A; Moreno, M.J; Onichtchenko, A. 2005. Metastasis-associated protein S100A4 induces angiogenesis through interaction with Annexin II and accelerated plasmin formation. J Biol Chem. 280
Semov, A; Moreno, M.J; Onichtchenko, A. 2005. Metastasis-associated protein S100A4 induces angiogenesis through interaction with Annexin II and accelerated plasmin formation. J Biol Chem. 280:20833–20841.
:20833–20841.
Simpson, D. 1957. The recurrence of intracranial mengiomas after surgical treatment. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 20:22
Tabuchi, K; Ohnishi, R; Furuta, T. 1984. Immunohistochemical Demonstration of S-100 Protein in Meningioma. Neurol Med Chir (Tokyo) 24:466-470 Steiner, J; Bernstein, H.G; Bielau, H. 2007. Evidence for a wide extra-astrocytic
distribution of S100B in human brain. BMC Neurosci. 8:2.
Talacchi, A; Corsini, F; Gerosa, M. 2011. Hyperostosing meningiomas of the cranial vault with and without tumor mass. Acta Neurochir. 153:53-61. Von, S.E; Hansson, L.O; Djureen, E. 1996. Prognostic value of serum analyses of
S100B protein in malignant melanoma. Melanoma Res. 6:133–137
Yamasaki, F; Yoshioka, H; Hama, S; Sugiyama, K; Arita, K; Kurisu, K. 2000. Recurrence of meningiomas. Cancer. 89(5):1102-10.
Wild, D. 2001. The immunoassay handbook. 2nd ed. London: Nature Publishing Group. 660 pp
(60)
(1)
s100
20 64,5 64,5 64,5
3 9,7 9,7 74,2
1 3,2 3,2 77,4
7 22,6 22,6 100,0
31 100,0 100,0
negatif pos1 pos2 pos3 Total Valid
Frequency Percent Valid P ercent
Cumulative Percent
Rekurensi * s100 Crosstabulation
Count
1 0 0 3 4
19 3 1 4 27
20 3 1 7 31
ya tidak Rekurensi
Total
negatif pos1 pos2 pos3
s100
Total
(2)
tidak
ya
Count
20
15
10
5
0
Bar Charts100
s100 * PTEI Crosstabulation
Count
11 4 1 16
0 1 0 1
3 1 1 5
14 6 2 22
negatif pos1 pos3 s100
Total
ringan sedang berat
PTEI
Total
(3)
pos3 pos2 pos1 negatif
Count
12.510.0
7.5
5.02.5
0.0
Bar Chart
Histologi * s100 Crosstabulation
Count
15 1 0 1 17
0 0 0 4 4
2 0 0 0 2
3 0 1 0 4
0 0 0 1 1
0 2 0 0 2
0 0 0 1 1
20 3 1 7 31
meningothelial fibroblastic psammomatous transitional secretory atypical anaplastic Histologi
Total
negatif pos1 pos2 pos3
s100
Total
(4)
anaplastic secretory psammomatous meningothelial
Count
15
10
5
0
Bar Charts100
Sex * s100 Crosstabulation
Count
5 3 0 3 11
15 0 1 4 20
20 3 1 7 31
Laki-laki Perempuan Sex
Total
negatif pos1 pos2 pos3
s100
Total
(5)
SexPerempuan Laki-laki
Count
15
10
5
0
Bar Charts100
s100 * Lokasi Crosstabulation Count
6 6 0 0 3 0 0 1 2 1 1 20
2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
0 1 2 1 0 1 1 1 0 0 0 7
8 8 2 1 3 1 1 3 2 1 1 31
negatif pos1 pos2 pos3 s100
Total
parasagital convexity
sphenoid
ridge falx
tuberculum sellae
foramen
magnum petroclival spine
fossa posterior
olfactory
groove en plaque
Lokasi
Total
(6)
pos3 pos2 pos1 negatif
Count
6
5
4
3
2
1
0
Bar ChartLokasi