32
dapat dilihat dalam perkawinan itu ialah menghalangi umat dari hal-hal atau perbuatan yang tidak diizinkan syara dan menjaga kehormatan diri dari
kerusakan seksual.
21
Dari hikmah- hikmah perkawinan yang disebutkan di atas, dapatlah penulis ambil untuk ilmu secara pribadi dan pada saatnya semua manusia juga
dapat merasakan dan menjadikan hikmah ini sebagai motivasai untuk kedepannya dan menjadikan kita selalu manusia yang selalu bersyukur kepada
Allah SWT.
D. Pencegahan atau Larangan dalam Pernikahan
Larangan perkawinan dalam aturan perdata di Indonesia di atur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 13 yang
berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
”.
22
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksudkan dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal, yakni:
Pertama; Persyaratan Administrasi, dan Kedua; Persyaratan Materil. Persyaratan Administrasi berhubungan dengan Administrasi Perkawinan. Adapun Syarat
Materil menyangkut hal-hal yang mendasar seperti larangan perkawinan. Misalnya, Perkawinan yang dapat dicegah apabila salah seorang atau kedua
mempelai masih terikat perkawinan dengan orang lain, pecegahan ini tidak
21
Amir Syarifuddin, Garis- Garis Besar Fiqih Jakarta : Prenada Media, 2003, h.81.
22
Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan,cet. II, Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008, h. 84
33
berlaku terhadap seorang suami yang telah mendapat izin dispensasi poligami oleh Pengadilan Agama.
Larangan Kawin BAB VI Pasal 39 dalam Kompilasi Hukum Islam, Larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
disebabkan, sebagai berikuti:
23
1. Karena pertalian nasab :
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya; b.
Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c.
Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 2.
Karena pertalian kerabat semenda : a.
Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b.
Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c.
Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan bekas isterinya itu qobla Dukhul;
d. Dengan seorang wanita bekas isteri kerturunannya.
3. Karena Pertalian Sesusuan;
a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas; b.
Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
23
Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008, h.11-12.
34
c. Dengan saudara wanita sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Adapun mekanisme yang ditempuh dari pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan
ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan dan diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah atau KUA kantor urusan
agama. Dan pasal 14 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
yang berbunyi:
24
1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis lurus ke
atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Mereka yang tersebut pada ayat 1 pasal ini juga berhak mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang masing-masing mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti dalam ayat 1 Pasal 1.
Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan : “Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah
24
Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008, h. 84
35
satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat 2 dan
pasal 4 Undang- undang ini”.
25
Pasal 16 Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, mempunyai kewenangan untuk melakukan pencegahan perkawinan. Dan pada
ayat 1, yakni Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. Dan pada ayat 2, yakni Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat 1 pasal
ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Dan Dipertegas dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
Pasal 20, yaitu : “Pegawai pencatatan perkawinan tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dalam dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan
pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
26
25
Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008, h. 84- 85.
26
Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008, h. 85-86
36
BAB III DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR
A. Pengertian Dispensasi Nikah Di Bawah Umur
Pernikahan di bawah umur atau Dispensasi Nikah ialah pernikahan yang terajdi pada pasangan atau salah satu calon yang ingin menikah pada usia di
bawah standar batas usia nikah yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum perkawinan.
Perkawinan di bawah umur tidak dapat diizinkan kecuali pernikahan tersebut meminta izin nikah atau dispensasi nikah oleh pihak Pengadilan Agama
untuk bisa disahkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama KUA, dan sebelum mengajukan permohonan izin menikah di Pengadilan Agama terlebih
dahulu kedua calon pasangan yang ingin menikah harus mendapat izin dari kedua orang tua.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada Bab II pasal 7 disebutkan bahwasannya perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 16 tahun. Dalam batas usia pernikahan
menurut Kompilasi Hukum Islam KHI sama dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 15
ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur