Study Regeneration of Tengerine Citrus Batu 55 (Citrus reticulata) Through Somatic Embryogenesis Path Way

(1)

SOMATIK

JULIS ANTON MERIGO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Studi Regenerasi Tanaman Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L) Melalui Jalur Embriogenesis Somatik adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 15 September 2011

Julis Anton Merigo


(3)

JULIS ANTON MERIGO. Study Regeneration of Tengerine Citrus Batu 55 (Citrus reticulata) Through Somatic Embryogenesis Path Way. Supervised by AGUS PURWITO and ALI HUSNI

The global world market of citrus fruit that is consumed in fresh form to the current needs to fill a category of fruit that do not have seeds, easy to peel and has an attractive color (pigmented). Tangerine citrus Batu 55 is one of the mainstay of fresh fruit horticulture. Tangerine citrus Batu 55 has superior character who naturally have had so distinguished by citrus Siam but the characters are not as good as tangerine imports. Somatic embryogenesis is an important tool for supplying new varieties to be used cultivar genetic improvement programs in citrus, this technology has been extensively used and has many important implications. The objective of this research is to produce somatic embryos of Tangerine citrus Batu 55 from nucellar embryo. The research comprised: embryogenic callus induction, callus prolifertation, maturation of somatic embryo, germination of somatic embryo, shoot multiplication, roots induction, chromosome counting, acclimatization and grafting. The results showed that the medium of Murashige & Tucker + 3 mg/l BAP + 1 mg/l 2,4-D + 500 mg /l malt extract increased the percentage of the callus formation up to 40% after 4 weeks with total number of pre-embryos (PEM ) 31.0. The medium proliferation used was MS with the addition of vitamin Morell & Wetmore (MW) +3 mg/l BAP+300 mg/l casein hydrolisat. These medium improved callus diameter up to 2.3 mm after 4 weeks cultured. Maturation of embryos was obtained by transferring globular structure in the medium MW + 2.5 mg/l ABA + 500 mg/l malt extract. These medium increased the percentage of mature somatic embryo up to 98% after 4 weeks cultured. Somatic embryos up to 84% germinated when the cotyledons grown in the medium MW + 2.5 mg/l GA3. The shoot multiplication containing MW medium + 7 mg/l biotin +500 mg/l malt extract was able to produce the highest percentage of shoot multiplication up to 86 %. The root induction containing MS medium + 3 mg/l IBA was able to produce the highest percentage of root induction up to 86%. Acclimatization of plantlets with roots increased survival rate up to 90% after 5 weeks acclimatization.

Key words : Plant growth regulator, callus induction, regeneration, somatic embryogenesis, acclimatization, grafting.


(4)

reticulata L) Melalui Jalur Embriogenesis Somatik. Dibimbing oleh AGUS PURWITO dan ALI HUSNI

Kebutuhan pasar dunia secara global terhadap buah jeruk yang dikonsumsi dalam bentuk segar untuk saat ini perlu memenuhi kategori buah yang tidak berbiji (seedless), mudah dikupas (easy peeling) dan mempunyai warna yang menarik (pigmented). Jeruk keprok batu 55 merupakan salah satu andalan buah segar hortikultura. Jeruk keprok batu 55 mempunyai karakter unggul yang secara alami telah dimilikinya sehingga membedakan dengan jeruk Siam akan tetapi karakter tersebut tidak sebaik jeruk keprok impor. Jeruk keprok impor telah mengalami perbaikan secara genetik sehingga buah tersebut memiliki karakter-karakter unggul. Hal inilah yang menjadikan jeruk keprok lokal kalah bersaing. untuk itu perlu adanya kesinambungan antara pemuliaan konvensional dan pemuliaan secara bioteknologi dalam memperbaiki sifat-sifat genetik jeruk keprok lokal agar dapat bersaing dengan jeruk keprok impor.

Secara konvensional, perbaikan sifat dilakukan dengan persilangan antar varietas, spesies, genera atau kerabat yang lebih jauh yang memiliki sifat yang diinginkan. Namun teknik pemuliaan konvensional memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar. Perbaikan genetik jeruk melalui hibridisasi dihambat dan dibatasi oleh sifat heterozigositas yang tinggi dan inkompatibilitas. Salah satu alternatif pemecahan masalah yaitu melalui teknik kultur jaringan atau teknik in vitro. Dalam hal ini teknik regenerasi tanaman secara embriogenesis somatik sangat penting dalam keberhasilan pemuliaan non konvensional.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode regenerasi jeruk keprok Batu 55. Penelitian ini terdiri dari: induksi kalus embriogenik, proliferasi kalus, pendewasaan embrio somatik, perkecambahan embrio somatik, multiplikasi tunas, induksi akar, penghitungan jumlah kromosom, aklimatisasi planlet serta grafting.

Hasil penelitian menunjukan bahwa induksi kalus embriogenik terbaik adalah menggunakan eksplan nuselus yang ditumbuhkan pada media Murashige dan Tucker (MT) dengan penambahan ZPT 3 mg/l BAP + 1 mg/l 2,4-D dan penambahan 500 mg/l ekstrak malt dengan lama inisiasi kalus tercepat 22.4 hari dengan persentase pembentukan kalus 40%. Kalus yang didapat bersifat embriogenik dimana pada kalus ditemukan struktur pre embrio (PEM). Media terbaik untuk proliferasi kalus adalah media Murashige dan Skoog (MS) dengan penambahan vitamin Morell dan Wetmore (MW) dengan penambahan 3 mg/l BAP dan 300 mg/l kasein hidrolisat menghasilkan rata-rata penambahan diameter kalus selama empat minggu sebesar 2.3 mm. Pendewasaan embrio somatik dengan menggunakan media MS dengan penambahan vitamin MW + 2.5 mg/l ABA merupakan media terbaik dalam mendewasakan embrio somatik dengan efisiensi pendewasaan sebesar 82.6%. Media MS dengan penambahan vitamin MW + 2.5 mg/l GA3 merupakan konsentrasi terbaik untuk mengecambahkan embrio somatik dimana efisiensi perkecambahan sebesar 84%. Multiplikasi tunas terbaik didapat pada media MS dengan penambahan vitamin biotin pada konsentrasi 7 mg/l dengan efisiensi multiplikasi tunas sebesar 86%. Induksi akar


(5)

terlebih dahulu. Hasil grafting dengan menggunakan tunas ES selama 4 minggu menunjukkan persentase hidup 89 %.

Kata kunci : zat pengatur tumbuh, induksi kalus, regenerasi, embrio somatik, aklimatisasi, grafting


(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian besar pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan.yang.wajar.IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(7)

SOMATIK

JULIS ANTON MERIGO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Nama : Julis Anton Merigo

NIM : A253080101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. Agr Dr. Drs. Ali Husni, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Tri koesoemaningtyas, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya dalam penyelesaian tesis ini yang merupakan syarat untuk mendapat gelar Magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan judul “Studi Regenerasi Tanaman Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L) Melalui Jalur Embriogenesis Somatik”.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Purwito, Msc. Agr dan Dr. Ali Husni, Msi atas bimbingan, saran, ilmu, waktu serta perhatiannya dalam pelaksanaan penelitian sampai penulisan tesis ini dapat selesai dengan baik. Terima kasih juga disampaikan kepada dekan sekolah Pascasarjana IPB, Dr. Ir. Trikoesomaningtyas selaku ketua Program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB, seluruh staf pengajar, dan semua teknisi yang telah memberikan bantuan selama penulis belajar di IPB. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang mendalam penulis sampaikan kepada ayah dan ibu yang setia mendoakan, membimbing, dan mengarahkan saya menjadi anak lebih baik.

Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Bogor. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian atas izin yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di BB-Biogen. Terimakasih juga diucapkan kepada Dr. Ir. Ika Mariska, APU sebagai ketua Kelompok Peneliti dan kepada semua peneliti serta teknisi BB-BIOGEN Bogor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Ujang Hapid sebagai staf di LIPI dan bapak Joko sebagai staf di Laboraturium mikro teknik IPB yang telah banyak membantu penulis dalam pembuatan preparat dalam analisis jumlah kromosom.

Bogor, September 2011


(10)

Penulis dilahirkan di Palembang tanggal 02 Agustus 1983 dari ayah Isnaini Ibrahim dan ibu Murni Kuris. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Jenjang pendidikan penulis berturut-turut adalah lulusan sekolah dasar di SD Negeri 048 Pematang Reba Rengat pada tahun 1995, lulusan SLTP Negeri 2 Tembilahan 1998, lulusan SMK Muhammadyah 1 Pekanbaru pada tahun 2001. Tahun 2006 penulis mendapat gelar sarjana (S1) di Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru. Tahun 2008 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB untuk mengambil program magister dengan mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang ... Tujuan Penelitian... Hipotesis Penelitian... Diagram Alir Penelitian...

II. TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanam Jeruk Keprok Batu 55 ... Perkembangan Jeruk Keprok... Perkembangan Jeruk Keprok Batu 55………. Kultur Jaringan Tanaman Jeruk ... Embriogenesis Somatik... Embriogenesis Somatik pada Jeruk...

III. METODELOGI PENELITIAN

Tempat dan waktu... Bahan dan Alat... Metode Percobaan... 1. Induksi Kalus Embriogenik... 2. Proliferasi Kalus... 3. Pendewasaan Embrio Somatik... 4. Perkecambahan Embrio Somatik... 5. Multiplikasi Tunas... 6. Induksi Perakaran...

7. Penghitungan Kromosom ………

8. Aklimatisasi ……….

9. Grafting……… 1 1 3 3 4 5 5 6 7 9 13 14 17 17 17 17 17 18 19 19 19 20 20 20 21


(12)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Induksi Kalus Embriogenik... 2. Proliferasi Kalus... 3. Pendewasaan Embrio Somatik... 4. Perkecambahan Embrio Somatik... 5. Multiplikasi Tunas... 6. Induksi Perakaran... 7. Penghitungan Jumlah Kromosom ……….

8. Embrio Somatik Sekunder………

9. Aklimatisasi ………..

10. Grafting……….

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan... Saran...

VI. DAFTAR PUSTAKA VII. LAMPIRAN

22 25 24 28 32 35 37 40 41 44 46 50 50 50

51 59

58

58 60 62


(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Respon nuselus pada media induksi... 22

2. Pengaruh penambahan ABA pada embrio somatik... 28

3. Pengaruh penambahan GA3 pada embrio somatik... 31

4. Pengaruh konsentrasi biotin... 36

5. Pengaruh jenis auksin pada perakaran... 38

6. Pengaruh penambahan ABA pada embrio somatik sekunder. 42 7. Pengaruh penambahan GA3 pada embrio somatik sekunder. 43 8. Pengaruh aklimatisasi... 44

9. Perkembanan batang atas setelah grafting... 46


(14)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Alur kerangka pikir………...…. 4

2. Jeruk Keprok Batu 55………. 8

3. Bagian nuselus dan embrio pada jeruk……… 15

4. Pengamatan mikroskopis jaringan nuselus... 18

5. Induksi kalus embriogenik………. 23

6. Grafik laju pertambahan kalus…..………...…... 25

7. Proliferasi kalus... 27

8. Pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik... 31

9. Perkecambahan embrio somatik... 34

10. Variasi perkecambahaan... 35

11. Multiplikasi tunas... 37

12. Variasi induksi perakaran... 39

13. Pengamatan kromosom pada akar... 40

14. Embrio somatik sekunder... 43

15. Fase pendewasaan... 44

16. Aklimatisasi tunas embrio somatik... 46

17. Pertumbuhan tunas grafting umur 1 minggu... 48


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Lampiran deskripsi jeruk keprok batu 55……...…... 59 2. Lampiran komposisi media kultur... 61


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perdagangan bebas secara global (AFTA) yang telah dimulai tahun 2003 lalu telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara konsumen produk impor terbesar di Asia. Salah satu produk impor yang paling banyak dijumpai di pasaran adalah produk hortikultura khususnya buah-buahan (Deptan 2003). Salah satu produk buah-buahan impor tersebut adalah buah jeruk keprok Mandarin (Citrus reticulata.L). Jeruk keprok Mandarin sangat digemari karena penampilan yang menarik, kulitnya mudah dikupas, rasanya segar dan hampir tidak mempunyai biji (seedless). Hal inilah yang menjadikan jeruk keprok impor sangat digemari oleh masyarakat. Tingginya permintaan jeruk keprok impor ditandai dengan masih tingginya angka impor jeruk keprok dari tahun 2005-2009 sebesar

504.063 ton atau sekitar 100.813 ton/pertahun dengan nilai mencapai U$ 80.569.300 (Badan Pusat Statistik 2010). Jeruk keprok Mandarin sebagian

besar diimpor dari China dan Pakistan (Dirjen Hortikultura Departemen Pertanian 2008).

Tingginya kebutuhan buah yang dikonsumsi dalam bentuk segar menjadikan buah jeruk keprok sebagai salah satu buah yang paling disukai oleh masyarakat. Kebutuhan jeruk keprok nasional belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga harus dipenuhi dengan jeruk keprok impor. Salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya produksi jeruk nasional yaitu belum tersedianya bibit jeruk yang dapat berproduksi secara optimal, dapat beradaptasi dengan lingkungan ekstrim, bebas dari penyakit dan mudah dalam mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah yang banyak (Deptan 2003).

Pengembangan bibit unggul dan bermutu memegang peranan penting dalam upaya pengembangan tanaman jeruk keprok lokal. Salah satu cara yang memungkinkan yaitu dengan menerapkan teknik bioteknologi pada pemuliaan jeruk. Salah satu teknik dalam bioteknologi tersebut adalah teknik regenerasi tanaman melalui jalur embriogenesis somatik (ES). Embriogenesis somatik adalah pembentukan embrio dari sel-sel non seksual. Embrio somatik merupakan salah satu produk yang dapat dihasilkan dalam sistem regenerasi pada tanaman melalui


(17)

teknik kultur jaringan. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dengan keberhasilan yang tinggi dapat membantu mendapatkan varietas atau genotipe unggul melalui pemuliaan non konvensional. Keuntungan lain menggunakan teknik regenerasi ini adalah untuk memproduksi bibit dalam jumlah yang banyak, tidak dipengaruhi oleh musim, bebas penyakit, dan tidak merusak pohon induk.

Regenerasi tanaman melalui jalur ES sudah banyak dilakukan, akan tetapi belum pernah dilakukan pada jeruk keprok batu 55. Pembentukan embrio somatik dari berbagai jenis eksplan juga telah dilaporkan, namun tingkat keberhasilannya relatif rendah dan masih mengalami kesulitan dalam meregenerasikan menjadi planlet. Pembentukan ES bisa secara langsung maupun tidak langsung. Embrio somatik langsung adalah pembentukan ES secara langsung dari eksplan tanpa melalui pembentukan fase kalus, sedangkan ES tidak langsung proses pembentukannya melalui fase kalus. Pembentukan struktur bipolar pada ES merupakan pertumbuhan meristem tunas dan akar. Struktur bipolar tersebut juga dialami pada perkembangan embrio zigotik (Husni 2010), akan tetapi pada sebagian besar tanaman pembentukan embrio somatik masih tergolong sulit.

Faktor eksplan yang digunakan untuk ES sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan terbentuknya embrio somatik. Bagian nuselus merupakan eksplan yang paling baik digunakan untuk terbentuknya embrio somatik pada tanaman jeruk (Kepiro & Roose 2007). Maheshwari dan Rangaswamy (1958) pertama kali melaporkan keberhasilan pembentukan ES melalui eksplan nuselus. Regenerasi embrio somatik jeruk yang diinduksi dari jaringan nuselus telah dilaporkan oleh Rangan et al. (1968). Husni et al. (2011) juga telah melaporkan keberhasilan meregenerasikan kalus embriogenik tanaman jeruk siam Pontianak dan siam Simadu melalui jalur ES dengan tingkat keberhasilan tinggi. Keberhasilan embrio somatik ditentukan oleh pemilihan jaringan yang tepat sebagai sumber eksplan, selain juga ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya genotipe (Berthuoly & Michaux 1995) dan komposisi zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam media.

Teknik embriogenesis somatik telah banyak dilakukan dengan menggunakan induksi ZPT yang kuat dan mengkondisikannya pada lingkungan yang tepat. Senyawa zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan adalah golongan auksin, sitokinin, ABA, dan giberelin. Kultur in vitro tidak terlepas dari


(18)

penggunaan ZPT karena ZPT mempunyai kemampuan untuk merangsang pertumbuhan eksplan dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam menentukan arah pertumbuhan suatu kultur (Watimena 1998). Kelompok auksin adalah yang paling umum digunakan untuk menginduksi ES, selain itu ZPT sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel dalam proses embriogenesis somatik (Pierk 1987).

Pemberian jenis dan konsentrasi ZPT yang tepat diharapkan menghasilkan embrio yang pertumbuhannya normal dan memungkinkan untuk terbentuknya kalus atau sel-sel yang tersuspensi dalam media kultur. Kalus atau sel-sel tersebut akan terus berkembang sehingga mencapai jumlah yang cukup banyak, sehingga sebagian besar dari sel-sel tersebut menjadi sel embriogenik yang dapat berkembang dan menjadi embrio dan planlet.

Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik pada jeruk keprok Batu 55 sangat penting untuk dikuasai. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik memberi peluang untuk mendapatkan tanaman jeruk keprok Batu 55 yang lebih unggul melalui teknik mutasi, fusi protoplas dan teknik rekayasa genetika.

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode induksi kalus dan regenerasi ES yang berasal dari jaringan nuselus tanaman jeruk keprok Batu 55 hingga tahap aklimatisasi dan grafting.

Hipotesis Penelitian

1. Terdapat media yang tepat untuk menginduksi terjadinya kalus embriogenik jeruk keprok batu 55

2. Terdapat konsentrasi ABA terbaik untuk pendewasaan embrio somatik. 3. Terdapat konsentrasi GA3 terbaik terhadap perkecambahan embrio

somatik.

4. Terdapat konsentrasi biotin terbaik dalam multiplikasi tunas embrio somatik


(19)

Diagram alir penelitian

$

Gambar 1. Alur kerangka pikir regenerasi embrio somatik jeruk Keprok Batu 55 Jeruk keprok Batu 55

Nuselus

Induksi kalus Proliferasi kalus

Regenerasi

 Pendewasaan  Perkecambahan  Multiplikasi tunas  Induksi akar

Output :

 Media terbaik induksi kalus dan proliferasi kalus

 Kalus embriogenik

 Populasi kalus embriogenik

Output :

 Konsentrasi ABA untuk pendewasaan ES

 Konsetrasi GA3 untuk perkecambahan ES

 Konsentrasi Biotin untuk multiplikasi tunas

 Konsentrasi & jenis auksin untuk induksi akar

 Analisis jumlah kromosom  Aklimatisasi tunas

 Grafting

Output :

 Jumlah kromosom

 Tanaman aklimatisasi di polybag  Tanaman hasil grafting


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Jeruk Keprok Batu 55

Tanaman jeruk keprok (citrus reticulata. L) varietas Batu 55 merupakan tanaman subtropik yang dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal pada suhu optimum 25 - 30 °C. Curah hujan optimal untuk pertumbuhan dan produksi adalah 1.900 -2.400 mm/tahun dengan rata-rata 2 - 4 bulan basah dan 3 - 5 bulan kering. Tanah yang cocok bertekstur gembur, berpasir, hingga lempung berliat dengan kedalaman efektif lebih dari 60 cm. Tingkat keasaman tanah (pH) yang optimum sekitar 5 - 7, cocok adalah ditanam di daerah dengan ketinggian 700 - 1300 m dpl. Untuk dataran rendah tanaman jeruk keprok dapat tumbuh pada ketinggian 100 – 400 m dari permukaan laut (dpl). Jeruk keprok menghendaki iklim relatif kering dengan lama masa kering sekitar 3 bulan untuk proses pembungan dan berada di tempat terbuka. Klasifikasi Citrus reticulata L. dalam sistematika tumbuhan (Van Steenis 1975) adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Dicotyledonae Ordo : Rutales

Familia : Rutaceae Subfamili : Aurantioidae Genus : Citrus

Spesies : Citrus reticulata L

Tumbuhan ini merupakan jenis pohon dengan tinggi 2 - 5 meter. Tajuknya tidak beraturan, dahan kecil, cabangnya banyak, dan tajuknya rindang. Daun berbentuk tunggal, kecil, helaian daun berbentuk bulat telur memanjang, elliptic

atau berbentuk lanset dengan ujung tumpul, sedikit melekuk ke dalam. Tepi daun bergerigi beringgit sangat lemah dengan panjang 3,5 - 8 cm bertangkai pendek. Daun berwarna hijau tua, pada permukaan atas daun mengkilat. Tangkai daun bersayap sangat sempit sampai tidak bersayap, dengan panjang 0,5 - 1,5 cm.


(21)

Tanaman ini berbunga majemuk dimana bunga keluar dari ketiak daun atau pada ujung. Daun berbentuk cawan bulat telur dan tajuk bunga umumnya berjumlah lima lembar. Bekal buah berbentuk seperti bola dengan diameter rata-rata 0,1 - 0,2 cm. Buah yang sudah jadi bentuknya agak besar hampir seragam menyerupai bentuk bola tertekan dengan diameter cabang, bentuk bunga bulat telur panjang ke arah pangkal seragam dan berbau harum. Tangkai bunga pendek dengan bunga pelindungnya kecil, kelopak 5 - 8 cm dengan ruang buah (septa buah) 9 - 19. Tebal kulitnya 0,2 - 0,3 cm mudah dikupas, penuh pori-pori dan daging buahnya berwarna oranye dan sedikit berbau harum. Daging buah banyak mengandung air, tiap sapta mengandung banyak biji lebih kurang 10 - 30 biji (Badan Litbang Departement Pertanian 2006).

Perkembangan Jeruk Keprok

Karakter tanpa biji, muda dikupas, penampilan yang menarik, dan rasa yang manis merupakan karakteristik utama untuk pasar buah jeruk segar pada saat ini (Ladaniya 2008). Selain untuk dikonsumsi sebagai buah segar, karakter unggul tersebut sangat diharapkan oleh industri yang bergerak dibidang pembuatan jus, suplemen vitamin, dan senyawa aromatik. Masalah yang dijumpai pada buah jeruk sering dikaitkan dengan senyawa aromatik yang tidak menguntungkan, tingkat kepahitan akibat jumlah biji yang banyak dan tampilan yang kurang menarik (Singh & Rajam 2009).

Perkembangan jeruk keprok di Indonesia mengalami ketidakstabilan bahkan cenderung mengalami penurunan, hal tersebut ditandai dengan masih tinginya angka impor jeruk keprok tersebut. Penurunan produksi jeruk keprok tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti serangan hama dan penyakit yang ditimbulkan akibat perubahan iklim. Gencarnya impor buah khususnya jenis keprok juga mengakibatkan konsumen jeruk keprok lokal beralih untuk mengkonsimsi jeruk keprok impor yang memiliki karakter-karakter unggul atau beralih ke jeruk jenis Siam.

Perbaikan sifat genetik sangat penting dilakukan untuk perbaikan mutu buah jeruk terutama untuk perakitan buah unggul. Program pemuliaan tersebut dilakukan melalui pemuliaan konvensional (hibridisasi), pemuliaan, mutasi dan teknik bioteknologi. Namun, pemuliaan untuk jeruk keprok masih dihadapkan


(22)

dengan beberapa tingkat kesulitan seperti inkompatibilitas dan heterosigositas yang tinggi. Karakter unggul pada jeruk sangat dipengaruhi oleh aksesi jeruk dan faktor lingkungan (Mayer et al. 2009) Jeruk Mukaku Kishiu merupakan salah satu jenis jeruk yang benar-benar tanpa biji walau dalam kondisi lingkungan apapun, sementara pada Navel orange dan Mandarin Satsuma pada umumnya tanpa biji, namun jika dilakukan penyerbukan pada lingkungan yang berbeda akan menghasilkan biji (Olitrault et al. 2007).

Perbaikan sifat secara konvensional telah lama dikembangkan untuk perbaikan karakter akan tetapi masih terkendala oleh beberapa faktor seperti sifat inkompatibilitas pada tanaman. Selain itu, waktu yang digunakan untuk persilangan secara konvensional masih tergolong lama. Persilangan konvensianal pada intergeneric antara jeruk kultivar Kiyomi Tangor dengan jeruk Meiwa Kumquat untuk membentuk triploid dibutuhkan waktu ± 6 tahun (Yasuda et al.

2010). Sulitnya mendapatkan tanaman bebas virus juga menjadi kendala dalam perbaikan sifat tanaman. Terlepas dari teknik pemuliaan yang digunakan, beberapa varietas komersial penting jeruk keprok seperti Batu 55, Garut, SoE, dan Konde telah dikembangan melalui teknik induksi mutasi. Teknik induksi seperti iradiasi atau mutagen kimia dapat meningkatkan keragaman dalam spesies tanaman. Sifat acak yang dimiliki induksi mutasi yang menyebabkan arah mutasi tidak bisa diatur sehingga sulit dalam memperbaiki sifat genetik secara khusus (Sutarto 2009). Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pemuliaan jeruk keprok di atas maka perlu adanya sentuhan bioteknologi melalui teknik kultur jaringan. Perbaikan sifat melalui teknik kultur jaringan pada jeruk khususnya embrio somatik telah lama dikembangkan dan terbuki memberikan hasil yang baik (Husni 2010).

Perkembangan Jeruk Keprok Batu 55

Jeruk keprok Batu 55 banyak disukai karena beberapa sifat unggul yang secara alami telah dimiliki seperti aroma dan rasa yang khas yang tidak terdapat pada jeruk manis pada umumnya. Manfaat lain dari jeruk keprok tidak hanya terfokus pada daging buah saja akan tetapi pada bagian kulit juga terkandung beberapa senyawa metabolit sekunder (Copriady et al.2005). Kulit jeruk jenis keprok mempunyai berbagai macam senyawa diantaranya tangeraxanthin,


(23)

tangeritin, terpinen-4-ol, terpineolene, tetradecanal, threonine, thymol, thymyl-methyl-ether, tryptophan, tyrosine, nobiletin, cis-3-hexenol, cis-carveol, citric-acid, citronellal, citronellic-citric-acid, citronellyl-acetate, cystine, decanal, decanoic-acid, decanol. Senyawa dalam kulit jeruk keprok yang memiliki aktivitas antikanker adalah tangeritin dan nobiletin. Tangeritin merupakan senyawa

methoxyflavone yang mempunyai potensi sebagai agen antikanker (Ardiani et al. 2008).

Gambar 2 menunjukkan bahwa jeruk keprok batu 55 memiliki penampilan yang menarik dengan karakter warna kulit orange dengan daging berwarna kuning kemerahan. Selain rasa yang manis dan tanpa biji karakter panampilan yang menarik merupakan syarat untuk pasar buah segar.

Perkembangan jeruk keprok Batu 55 masih mengalami hambatan, terutama dalam memproduksi bibit yang bebas penyakit. Sulitnya mendapatkan bibit yang bebas virus dan seragam menjadi kendala dalam usaha peningkatan produksi jeruk keprok Batu 55. Menurut Deptan (2010) luas area pertanaman jeruk keprok Batu 55 di kota Batu mencapai 25 Ha. Dari 25 Ha area pertanaman hanya 5 Ha area terluas ditanami jeruk keprok Batu 55 yang terletak di dusun Dresel kecamatan Batu. Selain itu ada juga yang ditanam di area tempat tinggal penduduk. Tidak tersedianya bibit yang bebas penyakit menjadikan para petani jeruk keprok tidak optimum dalam usaha peningkatkan produksi jeruk tersebut.


(24)

Penyediaan bibit secara seperti: okulasi, cangkok, stek, dan perbanyakan melalui biji masih memiliki kelemahan sehingga perlu adanya peran teknik bioteknologi untuk mengatasi kelemahan tersebut. Teknik ES sangat membantu program peerbaikan sifat pada tanaman jeruk. Melalui teknik ES banyak kegiatan pemuliaan yang bisa dilakukan seperti mendapatkan tanaman bebas dari penyakit yang disebabkan oleh virus (D'Onghia et al. 2001), ketahanan terhadap salinitas (Carimi 2007), micro grafting (Germana et al. 2000), bahan fusi protoplas (Husni 2010), bahan transformasi gen (Bond et al. 1998) dan mutasi (Ling et al. 2000). Perbanyakan bibit secara massal dan bebas dari virus dan seragam juga dapat diusahakan melalui jalur embrio somatik (Sutanto & Azzis 2006).

Kultur Jaringan Tanaman Jeruk

Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dikembangkan berdasarkan teori sel yang pertama kali dikemukakan oleh Scheleiden dan Schawn, yaitu totipotensi sel. Namun kemudian pada perkembangannya teknik kultur jaringan menjadi sarana penting dalam bidang fisiologi tumbuhan dan dalam aspek biokimia tumbuh-tumbuhan serta pemuliaan tanaman (zulkarnain 2009). Totipotensi didefinisikan sebagai kemampuan setiap sel yang dari manapun sumbernya untuk berdeferensiasi dan tumbuh membentuk individu yang sempurna apabila sel tersebut ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya dan terkendali (Doyle & Griffiths 1999).

Teknik kultur jaringan pada tanaman jeruk berguna dalam mendapatkan tanamanan atau bibit dalam jumlah banyak dalam waktu singkat, mendapatkan tanaman yang bebas penyakit terutama virus, preservasi plasma nutfah yang bebas penyakit, terutama yang digunakan untuk pemuliaan (Alkhyari & Albahrany 2001). Selain itu perbaikan sifat juga dapat dilakukan dengan seleksi, transfer gen dan produksi senyawa–senyawa kimia yang bernilai ekonomi tinggi. Copriady et al. (2005) menyatakan bahwa pada jeruk mengandung senyawa metabolit skunder kumarin yang berfungsi sebagai antikoagulan darah dan dapat menghambat efek karsinogenik. Sedangkan kandungan flavanoid dan limbonoid juga ditemukan pada berbagai fase pertumbuhan jeruk Kalamondin dan purut (Devy et al. 2010). Keberhasilan teknik kultur jaringan pada tanaman berkayu khususnya tanaman jeruk sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti


(25)

bahan tanaman (eksplan), medium pertumbuhan, zat pengatur tumbuh yang digunakan (auksin, sitokinin, giberelin, zat inhibitor) dan asam amino (Carimi 2005).

Ladaniya (2008) menyatakan bahwa kultur jaringan pada jeruk telah lama dipergunakan sebagai metode untuk propagasi dan perbaikan sifat. Perbaikan sifat jeruk melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti teknik ES, induksi mutasi, fusi protoplas, variasi somaklonal, dan seleksi in vitro

(Yuwono 2008).

Eksplan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan suatu teknik kultur jaringan. Penggunaan eksplan dalam teknik kultur jaringan pada dasarnya adalah pemanfaatan sifat totipotensi sel yang terdapat pada eksplan (Wetter & Constabel 1992). Sifat tersebut mungkin terdapat pada semua jaringan tanaman akan tetapi ekspresinya terbatas pada kondisi tertentu yaitu sel yang meristematik. Ada lima faktor yang harus diperhatikan dalam regenerasi in vitro

dari eksplan, yaitu: organ yang digunakan, umur fisiologis, musim pada saat pengambilan eksplan, ukuran eksplan dan kualitas tanaman asal. Hampir semua jaringan tanaman dapat dijadikan eksplan akan tetapi memerlukan kajian khusus untuk mempelajari sistem perkembangan sel hingga menjadi jaringan. Daun, kotiledon, hipokotil, bagian dari embrio, struktur repoduktif, tunas aksilar dan tunas lateral merupakan organ yang umum untuk regenerasi secara in vitro.

Media tanam yang digunakan dalam teknik kultur jaringan berperan sangat penting. Media kultur pada prinsipnya harus dapat menyediakan unsur–unsur hara untuk pertumbuhan seperti tanaman di lapang. Umumnya media pada teknik kultur jaringan terdiri dari campuran garam-garam anorganik, karbon, vitamin, asam amino, dan zat pengatur tumbuh. Beberapa kasus tertentu penggunaan arang aktif biasa digunakan pada media tanam. Dalam kultur jaringan dikenal beberapa jenis media yang umum digunakan diantaranya media solid dan cair. Pemilihan jenis media tergantung pada jenis tanaman, faktor aerasi, bentuk pertumbuhan dan diferensiaisi yang diinginkan.

Sukrosa merupakan persenyawaan yang paling sering digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur. Ammirato (1983) menyatakan embriogenesis somatik in vitro tanaman dikotil menggunakan sukrosa pada konsentrasi 2-4 %.


(26)

Persenyawaan lain yang dapat digunakan adalah glukosa, maltosa dan fruktosa (Altaf et al. 2009). Tomaz et al. (2001) menyatakan bahwa jenis dan konsentrasi gula sebagai sumber energi sangat mempengaruhi inisiasi kalus embriogenik jeruk keprok. Vitamin yang paling sering digunakan dalam media kultur jaringan tanaman adalah thiamin, niacin, dan pyridoxine (Gunawan 1992). Beberapa media juga mengandung pantotenat dan biotin (Gamborg & Shyluk 1981). Penambahan myoinositol pada media kultur dapat memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis, sehingga sering dipandang sebagai golongan vitamin untuk tanaman (George & Sherrington 1984).

Asam-asam amino merupakan sumber nitrogen organik yang lebih cepat tersedia dari pada nitrogen yang terdapat dalam bentuk nitrogen anorganik media (shiaty et al. 2004). Asam amino yang umum digunakan pada media kultur adalah sistein, L-glutamin, asparagin, L-arigin, l-tirosin, glisin serta campuran glutamin dan asparagin serta campuran asam amino kompleks seperti kasein hidrolisat, ekstak mal dan yeast ekstrak. Konsentrasi glutamin dan asparagin yang umum digunakan 100 mg/l, L-argini dan sistein 10 mg/l, L-tirosin 100 mg/l, glisin 2 mg/l dan asam amino kompleks 0.05% - 0.1% (Wattimena 1999).

Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan faktor yang menentukan arah perkembangan eksplan. ZPT memainkan peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan, pembelahan, pembesaran dan diferensiasi sel (Zulkarnain 2009; Davies 2004). Tanpa ZPT pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat terganggu sebab untuk pembelahan sel dan pembesaran volume sel suatu jaringan memerlukan ZPT tertentu terutama dari golongan auksin dan sitokinin (Wattimena 1998). Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media dan yang diproduksi secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Pemberian auksin yang lebih tinggi dari sitokinin akan menyebabkan diferensiasi mengarah kepada pertumbuhan akar, sebaliknya jika sitokinin lebih tinggi dari auksin, diferensiaisi akan mengarah kepada pertumbuhan tunas (Santoso dan Nursandi 2001). ZPT merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah dapat bersifat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Watimena 1992). ZPT dapat menstimulasi pembelahan dan


(27)

perkembangan sel, terkadang jaringan atau eksplan dapat memproduksi ZPT sendiri (endogen). Menurut Gunawan (1992) pemberian ZPT dari luar adalah untuk mengubah nisbah ZPT yang ada pada tanaman. Perubahan nisbah selanjutnya dapat mengubah laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penggunaan konsentrasi ZPT yang tepat dapat menghasilkan perkembangan sel ke arah yang dikehendaki.

Berdasarkan kegunanya ZPT digolongkan kedalam lima golongan yaitu: auksin, sitokinin, asam absisik (ABA), giberelin dan etilen. Menurut Wattimena (1998) 2,4-D merupakan salah satu auksin yang mempunyai aktivitas tinggi jika dibandingkan dengan auksin alami seperti IAA. Senyawa 2,4-D digunakan secara luas dalam kultur jaringan terutama untuk merangsang pembentukan kalus yang bersifat embriogenik. Hal tersebut disebabkan karena 2,4-D merupakan auksin sintesis yang sangat aktif dan kuat, cukup resisten terhadap degradasi ensimatik dan proses konjungasi dengan senyawa lain (Moore 1979). Sedangkan kelompok sitokinin yang sering digunakan untuk membantu penginduksian kalus yaitu BAP dan kinetin. Sitokinin berperan dalam pembelahan sel pada jaringan yang digunakan sebagai eksplan. Menurut Wattimena (1992) pada beberapa tanaman sitokinin sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus. Husni (2010) menyatakan bahwa pemberian BAP dapat digunakan untuk proliferasi kalus embriogenik jeruk Siam.

Sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman dapat berfungsi antara lain untuk proses pembelahan sel. Selain meningkatkan pembelahan sel dan inisiasi tunas, sitokinin terlibat pula di dalam kontrol perkecambahan biji, mempengaruhi absisi daun dan transpor auksin (Davies 2004). Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dan sitokinin. Keduanya berinteraksi pula dengan senyawa-senyawa kimia lainnya yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan cahaya (Gunawan 2002). Auksin pada kondisi tertentu dapat bersifat seperti sitokinin ataupun sebaliknya. Meskipun demikian, baik auksin dan sitokinin keduanya seringkali digunakan secara bersamaan pada media kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun rasio untuk menginduksi perakaran maupun tunas tidak selalu bersamaan (Zulkarnain 2009).


(28)

Kelompok ZPT GA3 merupakan kelompok ZPT yang paling banyak dijumpai di dalam tanaman. Hampir pada setiap perkembangan tanaman GA3 berperan aktif termasuk pada proses perkecambahan benih, pembentukan trikoma pada daun, pemanjangan batang dan daun, induksi pembungaan, perkembangan anter dan buah serta perkembangan benih (Acar et al 2010). Penggunaan GA3 pada kultur jaringan khususnya untuk elongasi tunas. GA3 akan mendorong percepatan pertumbuhan dari setiap sel jaringan sehingga perkembangan tanaman menjadi optimal. Ricci et al. 2001 menyatakan bahwa penambahan GA3 pada media kultur dapat memperbesar peluang jeruk untuk melakukan proses elongasi tunas.

Embriogenesis Somatik

Perkembangan media kultur jaringan dalam perbanyakan sel dan jaringan vegetatif telah sampai pada level yang memungkinkan untuk melakukan industrialisasi perbenihan dan penyediaan bahan dasar industri. Selain mampu menghasilkan tanaman yang sama dengan induknya, menghasilkan tanaman yang bebas patogen sistemik, memungkinkan untuk propagasi tanaman secara masal, dan mengatasi perbanyakan tanaman yang tidak dapat diperbanyak secara konvensional (zulkarnain 2009). Teknologi ini kemudian dikenal dengan istilah teknologi embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik merupakan teknologi yang sangat efisien dan memiliki potensi propagasi secara massa yang komersil dengan biaya yang relatif murah. Embrio somatik berpotensi dikembangkan dalam sistem regenerasi tanaman karena kapasitas proliferasi yang tinggi, memungkinkan untuk mendapatkan sel tunggal yang dapat menghindarkan dari resiko kimera pada pemuliaan mutasi dan teknologi rekombinan DNA ( Lou et al. 1999)

Embriogenesis somatik merupakan suatu proses berkembangnya sel somatik menjadi suatu jaringan tanpa melalui adanya fusi gamet. Selama fase awal embriogenesis, sel-sel somatik harus memulai beberapa fase perkembangan seperti dediferensiasi, induksi dan arah perkembangan . Pierk (1987) menyatakan bahwa embrio somatik bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung yaitu proses terbentuknya embrio tanpa melalui proses kalus sedangkan tidak langsung dimana proses pembentukan embrio melalui proses pembentukan


(29)

kalus. Proses embrio somatik dimulai dengan terbentuknya sel-sel yang embriogenik berukuran kecil dengan isi sitoplasma yang penuh, nukleus yang besar, vakuola yang kecil dan kaya akan butiran-butiran pati yang padat, kemudian sel-sel tersebut berubah menjadi pre embrio yang bekembang menjadi fase globular, jantung, dan kotiledon. Tahapan perkembangan dari embrio somatik sama dengan perkembangan sel pada embrio zigotik dimana pada embrio somatik terdapat ciri struktur bipolar yaitu mempunyai dua calon meristem yaitu meristem akar dan meristem tunas (Husni et al.2010).

Embrio somatik juga bermanfaat sebagai model untuk mempelajari fungsi gen yang terlibat dalam embriogenesis karena ada persamaan antara regenerasi tanaman secara in vitro ataupun in vivo. Secara umum perkembangan embrio somatik terjadi pada dua tahapan, tahap pertama disebut morfogenetik yaitu pembentukan stuktur dasar sel yang mengarah ke arah pembentukan bipolar dan pembentukan jaringan-jaringan primer yang meristem (Husni et al. 2010). Tahap kedua yaitu perkembangan embrio pada fase ini terjadi pematangan sel yang ditandai dengan adanya aktifitas perkembangan jaringan menjadi organ dan penyimpanan makro molekul seperti protein dan karbohidrat yang diperlukan selama proses perkecambahan dan pertumbuhan (Carimi 2005). Embrio somatik merupakan salah satu teknik in vitro yang dapat membantu konservasi tanaman dengan penyediaan bibit yang cepat. Kunitake et al. (2005) menyatakan bahwa penelitian embrio somatik pada jeruk sangat penting dalam aplikasi teknik rekayasa sel untuk meningkatkan hasil produksi.

Embriogenesis Somatik pada Jeruk

Teknik embriogenesis somatik pada tanaman jeruk telah banyak diteliti baik digunakan untuk mendapatkan tanaman yang seragam dan bebas virus ataupun sebagai bahan untuk perbaikan sifat genetik. Pentingnya mendapatkan bibit tanaman jeruk yang bebas penyakit terutama virus menjadikan embrio somatik pada jeruk terus berkembang (Sawi et al. 2005). Selain mendapatkan tanaman bebas virus teknologi embrio somatik juga dimafaatkan untuk memproduksi jeruk untuk batang bawah. Ricci et al. (2001) melaporkan bahwa penggunaan embrio somatik pada jeruk dengan menggunakan eksplan embrio nuselus dapat memproduksi secara masal untuk jenis jeruk batang bawah yang seragam.


(30)

Perbaikan sifat tanaman melalui embrio somatik juga telah banyak dilakukan pada tanaman jeruk salah satu metode yang dapat dilakukan dengan hibrida somatik (Saito et al. 1994 ; Guo & Deng 1998 ; Guo & Grosser 2005; Husni 2010), studi protoplas (Kunitake et al. 2005), serta uji ketahan (Gmiter & Moore 2005; Carimi et al. 2007). Konsep regenerasi tanaman melalui embrio somatik pada tanaman jeruk tidak berbeda halnya pada tanaman dikotil lainya. Keberhasilan regenerasi dari embrio somatik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: eksplan, ZPT, media tanam serta arah tujuan perkembangan yang diinginkan (Yujin & Xiuyin 2002).

Nuselus pada tanam jeruk merupakan eksplan yang mempunyai peluang

lebih besar dalam mengiduksi sel yang embriogenik (Saito et al. 1994; Ricci et al 2001; Altaf et al. 2009; Husni 2010). Adapun beberapa keuntungan menggunakan jaringan nuselus sebagai eksplan antara lain: memiliki struktur genetik identik dengan tanaman induk (true to type), tingkat keberhasilan menghasilkan kalus yang embrionik lebih tinggi jika dibandingkan dengan organ vegetatif lainnya, tidak dipengaruhi oleh mutasi secara alami sebagai mana yang dialami oleh kebanyakan embrio zigotik (Krueger & Navarro 2007).

Jaringan nuselus berkembang dari jaringan ovul yang mengelilingi atau menyelimuti kantung embrio seksual (embryo sac) dan mempunyai materi genetik yang sama dengan indukya (Kepiro & Roose 2007). Jaringan nuselus umumnya terdapat pada bji yang diperoleh dari buah yang muda.

Gambar 3 menunjukan bahwa perkembangan jaringan nuselus tidak terlalu berbeda dengan perkembangan embrio zigotik. Perkembangan nuselus akan terhenti jika buah telah memasuki fase masak. Nuselus yang terdapat pada buah muda lebih mudah untuk diinduksi karena pada fase ini jaringan memiliki sel-sel Gambar 3. Bagian nuselus dan embrio pada jeruk (sumber Carimi F 2005)


(31)

yang aktif membelah (Obukosia & Waithaka 2000). Embrio yang dihasilkan dari jaringan nuselus mempunyai vigor yang tinggi (Iwamasa et al. 2007). Donghia

et al. (2001) dan Carimi (2007) menambahkan bahwa embrio yang dihasilkan dari jaringan nuselus sebagai bahan eksplan sering dimanfaatkan pada teknik kultur jaringan khususnya untuk perbanyakan tanaman jeruk bebas dari virus (Obukosia & Waithaka 2000).

Penggunaan eksplan nuselus pada jeruk pertama kali digunakan pada kultur jaringan untuk mengembangkan tanaman yang bebas virus (Tomaz et al. 2000). Nuselus yang digunakan sebagai sumber eksplan haruslah dari tanaman yang sehat dan tidak dalam keadaan stress atau mengalami mutasi secara spontan, dan umur buah saat diisolasi. Hal tersebut penting diperhatikan karena pembentukan kalus sangat tergantung pada status jaringan. Inisiasi kalus lebih mudah terjadi pada jaringan yang masih muda karena eksplan masih mengandung sel-sel yang aktif membelah (Carimi 2007). Nuselus merupakan eksplan yang sangat baik untuk penginduksian kalus embriogenik (Ricci et al. 2007). Christopani (1991) menyatakan bahwa nuselus sangat baik digunakan sebagai eksplan karena memiliki peluang yang lebih besar dalam menghasilkan jumlah sel yang embriogenik. Faktor lingkungan tumbuh, genotipe, umur eksplan, komposisi media tanam juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam induksi kalus embriogenik pada eksplan nuselus (Grosser & Gmiter 1990).

Selain faktor eksplan ZPT juga merupakan hal yang penting dimana ZPT berperan penting dalam proses induksi kalus embriogenik. Setelah terbentuk kalus embriogenik peran ZPT selanjutnya adalah mendewasakan serta menumbuhkan embrio tersebut. Selama proses pendewasaan embrio akan menyimpan cadangan protein dan karbon untuk selanjutnya memasuki fase perkecambahan pada media perkecambahan. Ricci et al. (2007) dan Tomaz et al. (2001) menggunakan konsentrasi gula yang berbeda-beda untuk proses pendewsaan embrio somatik jeruk. Pendewasaan embrio somatik dengan menggunakan ABA pada tanaman berkayu telah banyak diteliti seperti: Husni (2010) pada hasil fusi Siam Simadu dengan Mandarin Satsuma; Husni et al. (2011) pada Siam Pontianak; George et al. (2008) dengan eksplan daun pada jeruk; Gutman et al. (2006) pada pinus; Kong et al. (1994) pada cemara.


(32)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboraturium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi dan Jaringan Sel Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian dan di Laboraturium Kultur Jaringan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakutas Pertanian IPB, berlangsung mulai dari Juni 2010 sampai Mei 2011

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah jaringan nuselus jeruk keprok Batu 55 dari buah muda berumur 60 - 70 hari setelah antesis. Media tanam yang digunakan media Murashige & Skoog (1962), Murashige & Tucker (1969) dan MW (MS modifikasi, Husni et al. 2010) kombinasi zat pengatur tumbuh (2,4-D, BAP, Picloram, Kinetin, ABA, GA3, NAA, IAA, dan IBA). Vitamin yang digunakan meliputi vitamin MS Vitamin MT dan vitamin Morel & Wetmore. Sedangkan alat yang digunakan air flow cabinet, dan perlengkapan kultur jaringan lainnya

Metode Percobaan

Penelitian ini dilakukan dalam 7 tahap kegiatan: 1) induksi kalus

embriogenik. 2) proliferasi kalus embriogenik. 3) pendewasaan ES. 4) perkecambahan ES. 5). multiplikasi 6) induksi akar ES. 7) penghitungan

kromosom. 8) aklimatisasi ES. 9) grafting tunas ES

1. Induksi Kalus Embriogenik

Induksi kalus bertujuan untuk mendapatkan kalus yang bersifat embriogenik. Rancangan lingkungan yang digunakan untuk induksi kalus adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan empat perlakuan media terdiri dari: M1 = Murashige dan Tucker (MT) + 3 mg/l BAP + 1mg/l 2,4-D. M2 = Murashige dan Skoog (MS) + 3 mg/l BAP. M3 = MS + vitamin Morell dan Wetmore (MW). M4 = MT + 0,5 mg/l NAA + 1,5 mg/l BAP. Semua media perlakuan ditambahkan 500 mg/l ekstrak malt. Ulangan 20 kali dimana satu


(33)

ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan enam eksplan. Bahan yang digunakan adalah buah jeruk keprok Batu 55 muda yang berumur 60 - 70 hari setelah antesis. Buah disterilisasi dengan alkohol 96% selama 15 menit kemudian dilewatkan pada bunsen hingga api padam lalu dibilas dengan aquades steril sebanyak tiga kali. Kulit jeruk dibuka di bawah kondisi steril. Biji muda diambil dari buah dan dipindah pada petridish steril dengan bantuan stereo microscope, bagian nuselus (Gambar 4) ditanam pada berbagai kombinasi media perlakuan.

Pengamatan pada percobaan ini meliputi perkembangan eksplan. Peubah yang diamati adalah: waktu terbentuknya kalus (hari), jumlah PEM (pre embrio) dan persentase pembentukan kalus. Peresntase pembentukan kalus didapat dengan cara :

2. Proliferasi Kalus.

Prolifersai kalus embriogenik bertujunan untuk mendapatkan populasi PEM yang banyak. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah kalus embriogenik yang diperoleh dari hasil induksi kalus pada percobaan satu. Data diolah berdasarkan standar deviasi setiap perlakuan pada setiap minggu. Kalus disubkultur pada media perlakuan yang terdiri dari: MK1 = MS + 500 mg/l Ekstrak malt. MK2 = MS + 300 mg/l Casein hidrolisat. MK3 = MW + 500 mg/l Ekstrak malt. MK4 = MW + 300 mg/l Casein hidrolisat. Semua media kultur ditambah 3 mg/l BAP. Peubah yang diamati adalah: penambahan diameter kalus per minggu.

Gambar 4. Pengamatan mikroskopik dengan binokular (jaringan nuselus dan embrio zigotik keprok Batu 55 ).

Nuselus

Nuselus Zigotik

Jumlah kalus yang terbentuk Jumlah eksplan X 100 %


(34)

3. Pendewasaan Embrio Somatik

Pendewasaan embrio somatik bertujuan agar didapat embrio dewasa pada fase kotiledon. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL satu faktor dengan empat perlakuan taraf konsentrasi ABA yaitu: 1.5 mg/l, 2 mg/l, 2.5 mg/l dan 3 mg/l dengan media dasar MW diulang 10 kali. Satu ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan 15 struktur globular. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah struktur globular yang diperoleh dari percobaan dua. Peubah yang diamati adalah: perubahan globular menjadi fase jantung, fase terpedo, kotiledon, dan efisiensi pendewasaan. Efisiensi pendewasaan didapatkan dengan cara :

4. Perkecambahan Embrio Somatik.

Perkecambahan kotledon bertujuan agar didapat planlet dengan sturktur bipolar. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL satu faktor dengan empat perlakuan konsentrasi GA3 yaitu: 1.5 mg/l, 2 mg/l, 2.5 mg/l dan 3 mg/l dengan media dasar MW diulang 10 kali. Satu ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan 10 struktur kotiledon. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah struktur kotiledon yang diperoleh dari percobaan tiga dan ditanam pada media dasar MW. Peubah yang diamati adalah jumlah planlet yang terbentuk dan fisiensi perkecambahan. Efisiensi perkecambahan didapatkan dengan cara :

5. Multiplikasi Tunas

Multiplikasi tunas bertujuan agar didapat duplikasi tunas. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL satu faktor dengan lima perlakuan konsentrasi biotin yaitu: 0 mg/l, 1 mg/l, 3 mg/l, 5 mg/l, dan 7 mg/l dengan media dasar MW diulang 15 kali. Satu ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan 5 tunas emrbrio somatik. Multiplikasi tunas embrio somatik menggunakan tunas ES yang didapat pada percobaan empat dan ditanam pada media dasar MW. Peubah yang diamati adalah embrio somatik yang bertunas, jumlah tunas, umur muncul tunas dan efisiensi multiplikasi tunas.

Efisiensi multiplikasi tunas :

Jumlah tahap pendewasaan ES

(fase jantung, fase terpedo dan kotiledon) Jumlah globular awal X 100 %

Jumlah planlet yang terbentuk

Jumlah fase kotiledon awal X 100 %

Jumlah tunas yang bermultiplikasi


(35)

6. Induksi Perakaran

Induksi akar dilakukan dengan tujuan agar didapat akar sekunder pada tunas. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL satu faktor dengan ulangan 15 kali. Satu ulangan adalah satu botol sebagai unit percobaan dengan 1 tunas emrbrio somatik. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah planlet hasil perkecambahan yang dihasilkan dari percobaan lima dan ditanam pada media MW. Percobaan dilakukan pada berbagai jenis auksin (IBA, NAA, dan IAA) konsentrasi 3 mg/l. Sebagai kontrol tunas tanpa media auksin. Peubah yang diamati adalah: umur muncul akar, jumlah akar, panjang akar dan efisiensi induksi akar.

Efisiensi induksi akar : 7. Penghitungan Kromosom

Penghitungan kromosom dilakukan dengan metode praperlakuan lengkap (Sastrosumarjo 2006). 20 Sampel akar diambil secara acak kemudian diberi perlakuan. Pengamatan dilakukan dibawah microscope. Penghitungan kromosom diulang 10 kali pada setiap sampel.

8. Embrio Somatik Sekunder

Bahan yang digunakan adalah embrio somatik sekunder yang didewasakan pada media dengan konsentrasi ABA terbaik embrio somatik primer. Peubah yang diamati adalah perubahan globular menjadi fase jantung, fase terpedo, kotiledon, dan efisiensi pendewasaan. Perkecambahan embrio somatik sekunder pada media dengan konsentrasi GA3 terbaik embrio somatik primer. Peubah yang diamati adalah jumlah planlet yang terbentuk dan efisiensi perkecambahan.

9. Aklimatisasi

Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah planlet ES yang mempunyai akar primer dan skunder hasil induksi perakaran. Percobaan dilakukan pada planlet 20 ES hasil induksi perakaran dan 20 ES tanpa induksi perakaran. Media aklimatisasi yang digunakan merupakan campuran sekam dan kompos. Peubah yang diamati adalah: jumlah dan persentase tunas embrio somatik yang bertahan hidup.

Jumlah tunas yang berakar


(36)

10. Grafting

Grafting dilakukan dengan tujuan agar tunas in vitro dapat menyesuaikan diri dengan batang bawah.Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah tunas ES sebanyak 40 tunas. Batang bawah yang digunakan jeruk JC (Japanese Citroen). Peubah yang diamati adalah jumlah daun baru, tinggi tunas setelah grafting dan persentase tunas yang hidup setelah digrafting. Efisiensi tunas yang hidup dapat dicari dengan cara : Jumlah tunas grafting hidup


(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Induksi Kalus Embriogenik.

Jenis media dasar dan komposisi media yang digunakan dalam kultur in vitro sangat mempengaruhi kecepatan terjadinya induksi kalus dari jaringan yang digunakan. Selain itu, adanya zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam media kultur juga merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan induksi kalus dari jaringan eksplan yang dikulturkan. Shirin et al. (2007) mengatakan bahwa adanya auksin 2,4-D dalam media kultur dapat mempercepat terjadinya induksi kalus. Tao (2002) menyatakan bahwa 2,4-D merupakan golongan auksin paling baik untuk mengiduksi terjadinya kalus dibandingkan golongan auksin 4-CPA, NAA, 2.4.5-T, MCPA, dicamba, dan picloram.

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa respon nuselus terhadap perlakuan media kultur memberikan pengaruh terhadap peubah lamanya induksi kalus. Berdasarkan uji F terhadap umur tumbuh kalus dari setiap media kultur yang di uji (M1, M2, M3, M4) secara umum memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Tabel 1 menunjukan bahwa komposisi media kultur M1 merupakan media yang terbaik untuk menginduksi terjadinya kalus dari eksplan nuselus, diikuti oleh media M2, M3 dan M4. Kecepatan induksi kalus pada media M1 adalah selama 22.4 hari, 25.2 hari pada media M2, 27.3 hari pada media M3, dan 29.1 hari pada media M4.

Tabel. 1 Respon nuselus terhadap perlakuan media kultur terhadap lama inisiasi kalus dan persentase pembentukan kalus.

Media kultur Lama inisiasi kalus (hari)

Persentase eksplan menjadi kalus (%)

rata-rata jumlah PEM M1 M2 M3 M4 22.4 a 25.2 ab 27.3 b 29.1 b 40.00 a 32.12 b 25.00 b 27.02 b 31.0 26.0 22.2 26.1 Keterangan :Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama

menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. M1 = Murashige & Tucker + 3 mg/l BAP + 1 mg/l 24-D, M2 = Murashige & Skoog + 3mg/l BAP, M3 = Murashige & Skoog + Vit. MW, M4 = Murashige & Tucker + 0,5 mg/l NAA + 1,5 mg/l BAP . Semua media perlakuan ditambah 500 mg/l ekstark malt.


(38)

Kecepatan terjadinya induksi kalus pada media M1 diduga karena adanya kombinasi auksin (1 mg/l 2,4-D) dengan sitokonin (3 mg/l BAP) dan penambahan 500 mg/l ekstrak malt. 2,4-D merupakan senyawa golongan auksin yang sangat baik untuk mengiduksi terbentuknya kalus. Kiong et al. (2008) menyatakan 2,4-D merupakan senyawa auksin yang paling baik digunakan untuk induksi kalus embriogenik pada berbagai jenis eksplan jeruk manis dimana waktu inisiasi rata-rata selama 25.7 hari. Watter dan Constabel (1992) menyatakan bahwa BAP dapat memacu pertumbuhan kalus baru dan dapat meningkatkan persentase terbentuknya tunas. Aftal et al. 2009. Menyatakan bahwa BAP merupakan sitokinin yang sangat baik untuk memacu pertumbuhan kalus setelah terinduksi oleh auksin. Husni (2010) menyatakan bahwa dengan pemberian 3 mg/l BAP dapat mempercepat waktu inisiasi kalus dimana rata-rata waktu yang dibutuhkan selama 14 hari pada jeruk Siam Simadu dan Siam Pontianak. Hal ini didukung oleh Wattimena (1992) yang menyatakan bahwa pada beberapa tanaman sitokinin sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus. Sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman berfungsi antara lain untuk proses pembelahan sel.

Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa persentase kalus terbesar yang terbentuk juga berasal dari media kultur M1 dengan persentase kalus tumbuh sebesar 40%. Hal ini berbeda nyata dengan perlakuan pada media kultur M2, M3 dan M4 dimana persentase terbentuknya kalus tumbuh berturut 32.12%, 25% dan 27.02%. Husni 2010 menyatakan bahwa media MT merupakan media terbaik bila dibandingkan dengan media MS dan MW dimana persenatse pembentukan kalus pada media MT sebesar 82 %. Altaf et al. 2009 menyatakan bahwa kombinasi 0.25 mg/l BAP dan 0.05 mg/l 2,4 D juga dapat menginduksi kalus embriogenik pada jeruk Kinov Mandarin.

Kalus yang dihasilkan dari media perlakuan M1 bersifat embriogenik dimana ciri kalus embriogenik yaitu mempunyai sturktur pre embrio (PEM) (Husni 2010). Tingginya jumlah PEM yang dihasilkan pada media M1, selain pengaruh ZPT yang diberikan kemungkinan dikarenakan komposisi media dasar dan vitamin penunjang. Komposisi media dasar pada media kultur M1 adalah Murashige & Tucker (MT) dimana komposisi vitaminnya10 kali lebih banyak dari pada kompsisi vitmain media kultur Murashige & Skoog (MS). Hal ini didukung


(39)

Gambar 5. Induksi kalus embriogenik dari eksplan nuselus pada media perlakuan M1 (A= nuselus, B = kalus, C = PEM perbesaran 40x, D = kalus embriogenik mengandung PEM dan globular)

Hasil penelitian Husni (2010) yang menggunakan media dasar tersebut mendapatkan persentase pembentukan kalus pada jeruk siam Simadu sebesar 86% dan jeruk siam Pontianak sebesar 88%. PEM yang dihasilkan merupakan calon embrio somatik (Gambar 5C). PEM akan berkembang menjadi tanaman baru setelah ditumbuhkan pada media pendewasaan dan dilanjutkan pada media perkecambahan. Media M1 merupakan media yang baik untuk menginduksi kalus embriogenik walaupun hasilnya tidak berbeda nyata dengan media lainnya. Gambar 5B menunjukkan kalus terbaik pada media M1 stelah 4 MST dengan tekstur yang remah. Rata-rata PEM yang terbentuk pada media M1 adalah 31.0, kemudian diikuti media perlakuan M2, M4 dan M3. Gambar 5D memperlihatkan struktur kalus yang embriogenik dimana pada kalus tersebut terlihat banyak PEM dan sebagian ada yang mangandung struktur globular. Selain pengaruh ZPT diduga komposisi vitamin yang terdapat pada media MT lebih kaya unsur hara yang dibutuhkan sel untuk dapat berkembang. Hal ini didukung oleh pendapat Olivera et al. (1994) yang melaporkan bahwa media dasar MT merupakan media yang baik untuk menginduksi kalus embriogenik pada jeruk Cleopatra Mandarin (Citrus reticulata Blanco). Hal serupa juga dilaporkan oleh Husni et al. (2010)

B A

C

D

C

Globular Pre embrio

Pre embrio

Globular


(40)

yang melaporkan bahwa media MW dan MT merupakan media terbaik untuk menginduksi terjadinya kalus dengan struktur PEM pada jeruk siam Simadu dan Pontianak.

2. Proliferasi Kalus Embriogenik

Komposisi media dasar sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kalus. Inisiasi pembentukan kalus baru berhubungan dengan penambahan diameter kalus. Diharapkan dengan terbentuknya kalus baru maka peluang memperbanyak kalus yang embriogenik semakin besar. Selain media dasar, komposisi vitamin sebagai faktor penunjang juga memberikan peranan penting dalam terjadinya pembentukan kalus baru.

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa kandungan media dasar, penambahan vitamin dan komponen penunjang sangat berpengaruh terhadap penambahan diamater kalus yang terlihat pada grafik laju pertambahan diameter kalus pada Gambar 6.

MK4 merupakan media kultur terbaik jika dibandinagkan dengan media MK1, MK2, dan MK3. Grafik pertambahan diameter kalus memperlihatkan bahwa Perlakuan MK4 merupakan media yang sangat responsif terhadap pertambahan diameter kalus. Selama 4 minggu rata-rata pertambahan diameter kalus pada media MK4 sebesar 2.3 mm pada minggu ke-1, 2.5 mm pada minggu ke-2, 2.4 mm pada minggu ke-3, dan 2.2 mm pada minggu ke-4. Media dasar MK4 adalah MW dengan penambahan Kasein hidrolisat. Kasein hidrolisat berperan dalam inisiasi pembentukan kalus baru (Shiaty et al. 2004) Kasein

1,8 1,4 1,5 1,2 1,4 1,7 1,6 1,5 1,7 1,7 1,5 1,8

2,3 2,5 2,4 2,2

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0

1 2 3 4

P er ta m ba h an d ia m et er k al us (m m )

Laju pertambahan kalus minggu ke

MK1

MK2

MK3

MK4

Gambar 6. Pertambahan diamater kalus pada media perlakuan MK1, MK2, MK3, dan MK4.


(41)

hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks dan ditambahkan dalam media

in vitro sebagai sumber asam amino (Gunawan 1992). Sukma (2004) menyatakan Penambahan kasein hidrolisat dapat membantu meningkatkan hasil biomasa dan kandungan protein total yang didapat dari kultur tanaman paria belut (Trichosanthes cucumerina).

Vitamin yang digunakan pada media kultur MK4 adalah MW dimana di

dalam komposisi vitamin ini terdapat biotin dan ca-pantothenat. Peran

ca-panthotenat pada media MW sebagai penyumbang kalsium dan asam panthotenat yang berfungsi untuk mencegah terjadinya penuaan pada jaringan. Defisiensi kalsium menyebabkan translokasi karbohidrat terganggu sehingga sel yang terdapat pada jaringan yang aktif membelah menjadi mati (Gunawan 1992). Sedangkan asam pantotenat yang terdapat pada ca-panthotenat berperan dalam proses perubahan karbohidrat menjadi energi dan dapat mempercepat proses proliferasi jaringan (Wetter & Constabel 1992). Hal ini sesuai dengan pendapat Husni (2010) yang menyatakan bahwa respon inisiasi kalus dari eksplan nuselus jeruk Siam terbaik berasal dari media kultur dengan penambahan vitamin MW. Penambahan vitamin MW pada induksi kalus embriogenik, regenerasi kalus embriogenik menjadi tunas, regenerasi protoplas menjadi kalus dan tunas pada tanaman terung-terungan sangat baik digunakan (Husni et al. 2004).

Penambahan kasein hidorlisat pada media MK4 turut memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan media kultur lainnya. Pengaruh kasein hidrolisat terhadap pertumbuhan sel kalus pernah dilaporkan Rahim et al. (2000); Ricci et al. (2007); Carimi (2005) menyatakan bahwa asam amino yang terdapat pada kasein hidrolisat dapat meningkatkan bobot dan laju pertumbuhan kalus. Kasein hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks dan dapat ditambahkan dalam media in vitro sebagai sumber asam amino (Siregar et al. 2004). Penambahan kasein hidrolisat pada media kultur dapat memperbesar fase sekunder dari eksplan yang dikulturkan (Sukma et al. 2003).

Penambahan kasein hidrolisat ke dalam media dapat memacu pembentukan kalus yang embriogenik. Kasein hidrolisat merupakan sumber N di dalam media dimana asam amino yang terdapat pada kasein hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks sebagai sumber N organik. Sumber N organik lebih cepat


(42)

diserap tanaman dari pada sumber N anorganik. Lestari et al. (2009) menyatakan bahwa penambahan 500 mg/l kasein hidrolisat memberikan pengaruh yang baik dalam regenerasi kalus embriogenik. Kalus yang dihasilkan pada media kultur MK4 juga tetap bersifat embriogenik dengan struktur kalus yang remah dan banyak mengandung PEM (Gambar 7C )

Gambar 7. Proliferasi kalus embriogenik dari pada media MK4 (A= umur kalus 3 minggu, B = penampakan kalus secara mikroskopik C= PEM ).

Penambahan kasein hidrolisat pada media yang mengandung vitamin Morel dan Wetmore (MK4) terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan kalus baru sehingga diameter kalus bertambah. Gambar 7B menunjukkan bahwa kalus yang dihasilkan masih bersifat embriogenik dimana terlihat banyak PEM. Heimer dan Filner (1970) melaporkan bahwa kasein hidrolisat pada media merupakan sumber nitrogen yang sangat baik untuk pertumbuhan kalus pada tembakau, kacang-kacangan (Crocomo et al. 1976) dan produksi kalus dari tanaman ercis (Cardi & Monti 1993).

Vitamin Morel dan Wetmore merupakan vitamin yang komposisinya lebih lengkap dibandingkan dengan vitamin MS, yaitu mengandung kalsium pantotenat dan biotin yang dapat memacu pertumbuhan jaringan. Elshiaty et al. (2004) dan Badawy et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian biotin mempengaruhi perkembangan kalus embriogenik. Penambahan komponen tersebut pada media berpengaruh baik terhadap regenerasi kalus sebesar 63% pada pepaya (Damayanti 2007) dan dapat memacu proliferasi kalus nilam (Hutami el al. 2001)


(43)

3. Pendewasaan embrio somatik

Embriogenesis somatik secara langsung terbentuk dari sel-sel tunggal yang meristemoid dengan sifat embrioid serta aktif membelah sehingga tumbuh dan berkembang membentuk embrio somatik yang mempunyai dua kutub (bipolar) yang muncul sebagai tunas dan akar (Husni 2010). Salah satu faktor paling penting yang berkaitan dengan pertumbuhan dan pendewasaan dari jaringan embrio somatik adalah komposisi media kultur yang digunakan.

Tabel 2 menunjukan bahwa penambahan 2.5 mg/l ABA berbeda nyata dengan semua perlakuan pada peubah fase jantung dan fase kotiledon. Penambahan 2.5 mg/l ABA dalam media kultur merupakan konsentrasi ABA yang paling baik memacu pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik struktur globular menjadi fase jantung, fase torpedo, dan fase kotiledon dengan efisiensi pendewasaan sebesar 98.6 %. Efisiensi pendewasaan adalah kemampuan ABA dalam mendewasakan struktur globular hingga didapat embrio dengan fase akhir yaitu kotiledon. Efisiensi pendewasaan didapatkan dengan cara menjumlahkan tahap pendewasaan ES (fase jantung, fase terpedo dan kotiledon) kemudian dibagi dengan jumlah globular awal dan dikali 100%.

Tabel 2. Pengaruh penambahan ABA terhadap rata-rata pendewasaan embrio somatik pada umur 4 minggu setelah tanam.

Media kultur MW dengan Penambahan ABA (mg/l)

Tahap pendewasaan embrio somatik Jumlah globular awal Fase Jantung Fase Terpedo Fase Kotiledon Efisiensi pendewasaan (%) 1.5 2.0 2.5 3.0 15 15 15 15

3.6 b 4.4 b 6.2 a 4.2 b

3.6 b 4.4 a 3.6 b 4.2 ab 3.4 b 3.8 b 5.0 a 4.0 b 70.6 88.0 98.6 82.6

Rata-rata jumlah embrio somatik fase jantung ati adalah 6.2, fase torpedo 3.6 dan fase kotiledon 5.0 kemudian diikuti penambahan 2 mg/l ABA dengan efisiensi pendewasaan sebesar 88%, penambahan 3 mg/l ABA sebesar 82% dan pemberian 1.5 mg/l ABA sebesar 70.6%. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik pada fase globular menjadi fase jantung, torpedo, kotiledon dan sitologinya terdapat pada Gambar 8. Hasil percobaan pendewasaan Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama

menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin Morel & Wetmore


(44)

embrio somatik pada Tabel 2 terlihat bahwa penambahan konsentrasi 2.5 mg/l ABA pada medium MW berpengaruh nyata terhadap semua fase pendewasan embrio.Tingginya efisiensi pendewasaan embrio somatik yang terdapat pada perlakuan dengan penambahan 2.5 mg/l ABA diduga karena konsentrasi yang diberikan mampu untuk mempercepat fase pendewasaan embrio somatik. Perlakuan dengan penambahan 3 mg/l ABA efisensi pendewasannya sebesar 82.6 % lebih kecil jika dibandingkan dengan penambahan konsentrasi 2 mg/l ABA dengan efisiensi 88%. Hal ini kemungkinan disebabkan ABA yang diberikan terlalu besar sehingga menghambat proses pendewasaan embrio somatik. Hal serupa juga disampaikan oleh Kobashi et al. (2001) yang menyatakan bahwa penambahan konsentrasi 10-6 mg/l ABA berpengaruh nyata bila dibandingkan penambahan konsentrasi 10-4 mg/l ABA dengan sumber gula fruktosa.

Pendewasaan embrio somatik pada tanaman jeruk sangat tergantung dari komposisi ZPT yang diberikan kepada eksplan (Husni 2010). Pendewasaan embrio somatik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lintasan kultur in vitro, konsentrasi karbohidrat, dan level dari ABA (Anjaneyulu & Giri 2008). Embrio somatik pada proses pendewasaan akan berhenti berproliferasi, ukurannya membesar, dan mulai mengakumulasi cadangan nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Embrio dirangsang untuk menjadi dewasa dengan menggunakan asam absisik (ABA) dan meningkatkan potensial osmotik (Egerstsdotter 1999). Menurut Renukdas et al. (2006) peningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik dapat dilakukan dengan penambahan etilen antagonis pada konsentrasi tinggi (10 μM) seperti spermidine, ABA, dan AgNO3. Pemberian ABA harus sesuai dengan konsentrasi yang diberikan karena akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan (Santi & Kusumo 1996). Husni (2010) menambahkan bahwa dengan penambahan 0.5 mg/l ABA dapat meningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik jeruk Siam sampai 90%. ABA merupakan salah satu inhibitor yang berperan dalam proses pematangan atau pendewasaan.

Gambar 8 menunjukan bahwa terjadi perkembangan globular menjadi fase jantung. Fase jantung merupakan awal pembentukan embrio dimana terdapat struktur awal bipolar (Gambar 8B) yang akan terus berkembang menjadi fase


(45)

terpedo (Gambar 8C). Memasuki fase terpedo, sel akan mengarahkan pertumbuhannya ke arah bawah dan membentuk meristem akar hal ini ditandai dengan terbentuknya struktur batang. Akhir dari pematangan embrio akan terbentuk kotiledon sempurna dimana pada bagian meristem tunas dan meristem akar mulai terbentuk (Gambar 8D).

Pemberian ABA pada embrio somatik bertujuan agar mempercepat fase pendewasaan sehingga didapat kotiledon yang siap ditumbuhkan. Selain itu pemberian ABA juga dapat menekan terjadinya pertumbuhan embrio yang prematur. Kotiledon yang terbentuk pada akhir fase pematangan kemudian dipindah ke media perkecambahan agar berkembang menjadi tanaman utuh (planlet). Hal tersebut juga dilaporkan oleh Cardoza et al. (2002) bahwa pemberian konsentrasi 0.5 mg/l ABA pada kalus yang diinduksi dari nuselus menunjukan adanya fase pendewaasan embrio somatik yang dimulai dari globular kemudian jantung dan kotiledon. Pemberian konsentrasi 10 μM ABA pada oak dapat meningkatkan persentase pendewasaan sebesar 36% (Mauri 2004). Pendewasaan embrio somatik pada jeruk dimulai dari terbentuknya globular kemudian fase jantung, fase terpedo dan kotiledon (Husni 2010). Hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa pengaruh konsentrasi ABA terhadap pendewasaan embrio somatik menunjukan hasil yang nyata. Faktor endogen yang terdapat pada eksplan juga sudah cukup besar sehingga dengan penambahan eksogen yang terlalu besar justru memberikan efek negatif. Penurunan efisiensi perkecambahan juga dilaporkan oleh Mauri dan Manzenera (2004) yang menggambarkan bahwa pemberian ABA dengan penambahan 40 μM ABA tidak lebih baik dari pada penambahan ABA 10 μM untuk pendewasaan embrio somatik pada Holm oak.


(46)

A1 A2

B1 B2

C1 C2

D1 D2

kotiledon

Bakal tunas

Bakal akar

Gambar 8. Perkembangan embrio somatic dan sitologinya ( A1 & A2 = Fase globular, B1 & B2 = Fase heart, CI & C2 = Fase torpedo, D1 & D2 = Kotiledon)


(47)

4. Perkecambahan Embrio Somatik.

Perkecambahan embrio somatik setelah fase pendewasaan menjadi tanaman lengkap sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengaruh faktor lingkungan (suhu dan cahaya ) dan komposisi ZPT yang terdapat pada media perkecambahan. Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang mampu mendorong, mengatur dan menghambat proses fisiologis tanaman. Salah satu ZPT yang berperan dalam proses perkecambahan embrio somatik adalah GA3 (Davies, 2004). GA3 berperan dalam menggiatkan fungsi kerja aktivitas α-amilase dalam metabolisme sehingga terjadi perkecambahan (Woodger et al. 2004). Hal ini juga terbukti pada perkecambahan embrio somatik jeruk siam Simadu dan Pontianak dengan menggunakan GA3 yang mengakibatkan efisiensi perkecambahan menjadi meningkat (Husni 2010).

Tabel 3. Pengaruh penambahan GA3 terhadap rata-rata perkecambahaan embrio somatik pada umur 4 minggu setelah tanam.

Media kultur MW dengan penambahan GA3 (mg/l)

Tahap Perkecambahaan embrio somatik Jumlah fase kotiledon Awal Rata-rata Planlet Efisiensi perkecambahaan (%) 1.5 2.0 2.5 3.0 10 10 10 10 5.2 b 5.4 b 8.4 a 6.8 b 52.0 54.0 84.0 68.0

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan 2.5 mg/l GA3 berbeda nyata dengan semua taraf perlakuan pada peubah jumlah planlet yang terbentuk. Berdasarkan data percobaan yang telah diperoleh didapatkan informasi bahwa pemberian konsentrasi GA3 pada media kultur berpengaruh terhadap fase perkecambahan dari embrio somatik menjadi tanaman lengkap. Tabel 3 menunjukan bahwa efisiensi perkecambahan terbesar terdapat pada perlakuan penambahan konsentrasi 2.5 mg/l GA3. Efisiensi perkecambahan tanaman pada media dengan pemberian 2.5 mg/l GA3 adalah sebesar 84% dengan rata-rata planlet 8.4. Efisiensi perkecambahan adalah kemampuan dari konsentrasi GA3 yag diberikan dalam mengecambahkan kotiledon hingga tahap planlet. Efisiensi


(1)

Tomaz ML, Mendes BJ, Assis F, Filho M, Jansakul N, Rodriguez AD. 2000. Somatic embyogenesis in citrus SPP : carbohydrate stimulation and hutododifferentation. Scientia Horticulturae Vol 93 :295-301.

Tokuji Y, Kuriyama K. 2003. Involvement of gibberellin and cytokinin in the formationof embryogenic cell clumps in carrot (Daucus carota). J Plant Physiol 160:133–141.

Van Steenis CG. 1975. Flora Voor de Scholen in Indonesie. Ed. Sorjowinoto M, edisi VI. PT. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Wattimena GA. Gunawan LW, Mattjik NA, Syamsudin, iendi NMA, Ernawati A. 1992. Bioteknologi Tanaman Kultur Jaringan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. hlm. 66-67.

Wattimena G.A 1998. Zat pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. hlm. 145.

Wattimena G.A 1999. Aplication of Biotechonology on Horticultural Crops Production. In Proseding Seminar on bioteknology: Aplication of of Biotechonology on Horticultural Crops Production. Bogor Agricultural University-DFID British Council, bogor, April 14.

Wetter, L.R, F. Constabel. 1992. Plant Tissue Culture Methods. Praire Regional Laboratory, Saskatoon, Saskatcchewan, Canada. 190 pp.

Woodger F, Jacobsen JV, Gubler F. 2004. Gibberllin Action in germinated cereal grains in davies, P.J (Eds) Plant Hormones. Kluwer Academics Publisher. Yasuda K, Yahata M, Komatsu H, Kurogi Y, Kunitake H. 2010. Triploid and

Aneuploid Hybrids from Diploid-diploid Intergeneric Crosses between Citrus Cultivar „Kiyomi‟ Tangor and Meiwa Kumquat (Fortunella Crassifolia Swingle) for Seedless Breeding of Kumquats. J.Japan. Soc. Hort. Sci. 79 (1):16-22.

Yuwono, T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yujin H, Xiuxin D. 2002. Stress treatment and DNA methylation affect the somatic embryogenesis of citrus callus. Acta Botanica Sinica. 44(6):673-677.


(2)

LAMPIRAN

Lampiran 1.Deskripsi jeruk keprok Batu 55

DESKRIPSI JERUK KEPROK VARIETAS BATU 55 Nomor : 307/Kpts/SR.1204/4/2006

Asal : Loka Peneliiitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik, Desa Sidomulyo, Kecamatan Sidomulyo, Kota Batu Propinsi Jawa Timur. Silsilah : Seleksi pohon induk

Golongan tanaman : Klon

Bentuk tanaman : Bulat agak memanjang (speroid) Tinggi tanaman : ± 2,2 m

Bentuk tajuk : Relatif bulat

Ukuran tajuk : Panjang ± 0,75 m, lebar ± 0,75 m Bentuk penampang batang : Bulat

Duri batang : Tidak ada Diameter pangkal batang : ± 8,5 cm

Percabangan : Rapat mengarah kaatas

Tipe daun : Tunggal

Warna daun bagian atas : Hijau tua Permukaan daun bagian atas : Halus Warna daun bagian bawah : Hijau muda Permukaan daun bagian bawah : Halus

Bentuk daun : Oval

Ukuran daun : Panjang ± 7,1 cm, lebar ± 3,8 cm

Tepi daun : Beringgit

Ujung daun : Meruncing

Panjang tangkai daun : ± 1,5 cm Warna mahkota bunga : Putih Panjang mahkota bunga : ± 0,9 cm Jumlah mahkota bunga : 5 buah

Warna kepala putik : Kuning kecoklatan

Panjang putik : ± 0,2 cm

Warna benang sari : Kuning kecoklatan Panjang benang sari : ± 0,5 cm

Jumlah benang sari : 17 buah Warna bunga mekar : Putih

Panjang bunga : ± 1,1 cm

Panjang Kelopak bunga : ± 0,2 Panjang tangkai bunga : ± 0,3 cm Jumlah bunga per tandan : 2 – 6 kuntum Warna kulit buah matang : Kuning kehijauan

Permukaan kulit buah matang : Kasar agak bergelombang Ketebalan kulit buah : ± 3 mm

Bentuk buah : Bulat


(3)

Bentuk ujung buah : Cekung ke dalam

Ukuran buah : Tinggi ± 7,9 cm, diameter ± 5,9 cm Warna daging buah : Oranye

Rasa daging buah : Manis agak masam Tekstur daging buah : Lunak

Kadar gula : 11,6 %

Kadar asam : 0,52 %

Kadar air : 89,88 %

Kandungan vitamin C : 32,27 mg/100 g Volume sari buah : 61 ml/buah Berat sari buah : ± 60 g/buah

Bentuk biji : Oval

Ukuran biji : Panjang 1,1 – 1,2 cm, lebar 0,6 – 0,7cm Jumlah biji per buah : 12 biji

Jumlah juring per buah : 10 juring Persentase buah yang dapat

dimakan : 80 %

Berat per buah : ±110,62 g

Panjang tangkai buah : ± 0,5 – 1,4 cm Jumlah buah per dompol : 2 – 5 buah

Waktu berbunga : September – Oktober Waktu panen : Juni – Juli

Hasil : 15 - 25 kg/pohon/tahun

Identitas pohon induk tunggal :Tanaman milik Loka Penelitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik, Desa Sidomulyo, Kecamatan Sidomulyo, Kota Batu, Propinsi Jawa Timur dengan PIT nomor : PIT/JR/a/JTM/104;7855 Perkiraan umur pohon induk tunggal : 15 tahun

Keterangan : Beradaptasi dengan baik di dataran tinggi dengan ketinggian 700 –1.200 m dpl


(4)

Lampiran 2. Komposisi media dasara kultur, vitamin dan komponen lainya.

Komposisi MS

(mg/l)

MW (mg/l)

MT (mg/l) Macronutrient

KNO3 1900.00 1900.00 1900.00

NH4Cl - - -

NH4NO3 1650.00 1650.00 1650.00

(NH4 )2.SO4 - - -

MgSO4.7H2O 180.54 180.54 180.54

CaCl2.2H2O 332.02 332.02 332.02

NaH2PO4.2H2O - - -

K2HPO4 170.00 170.00 170.00

KH2PO4 - - -

KCl - - -

Micronutrient

Na2EDTA - - -

FeSO4.7H2O - - -

FeNaEDTA 36.700 36.700 36.70

MnSO4.4H2O 16.900 16.900 16.90

ZnSO4.7H20 8.600 8.600 8.600

CuSO4.5H2O 0.025 0.025 0.025

CoCl2.6H2O 0.025 0.025 0.025

KI 0.830 0.830 0.830

H3BO3 6.200 6.200 6.200

Na2MoO4.2H2O 0.250 0.250 0.250

Vitamin

Myo inositol 10.00 10.00 100.00

Nicotinic acid 0.50 1.0 5.0

Pyridoxine HCl 0.50 1.0 5.0

Thiamine HCl 0.10 1.0 1.0

Biotin - 1.0 -

Ca-panthotenat - 0.5 -

Nicotinamide 0.50 1.0 5.0

Ph 5.8 5.8 5.8

Extract malt 500 500 500

Casein hydrolisat 300 300 300

MS = Murashige dan Skoog + vitamin Murashige dan Skoog MW = Murashige dan Skoog + vitamin Morell dan Wetmore MT = Murashige dan Tucker + vitamin Murashige dan Tucker


(5)

Lampiran 3. Metode analisis kromosom (Sarsidi Sastrosumerdjo 2008)

a. Metode dengan Pra-perlakuan Lengkap Bahan :

 8-Hydroxyquinolin 0,002M  Asam asetat 45%

 HCl 1N

Aceto orcein 2% Metode:

1. Ujung akar dipotong 0,5-1 cm. Kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi larutan 8-Hydroxyquinolin 0,002 M. Cara pembuatan larutannya : Hydroxyquinolin 0,002 M ditimbang sebanyak 0,3 g dilarutkan dalam 1 liter aquades pada suhu 70oC, kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 1 jam sampai terlihat warna kekuningan. Botol dimasukkan ke dalam lemari pendingin (± 4oC) selama 90 menit.

2. Setelah 90 menit dalam lemari pendingin, botol dikeluarkan dan akar kemudian dicuci dengan air, direndam dalam asam asetat 45% selama 10 menit.

3. Akar dimasukkan dalam botol yang berisi campuran HCl dengan asam asetat 45% dengan perbandingan 3 : 1 selama 2 menit. Kemudian dipanaskan dalam waterbath dengan suhu 60oC selama 2 menit.

4. Setelah proses pemanasan, akar dipindahkan dalam gelas arloji dengan posisi ujung akar di bagian dalam gelas arloji. Teteskan Aceto orcein 2% dan diamkan selama 10 menit.

5. Ujung akar diletakkan pada gelas objek. Ujung akar dipotong 1–2 mm, kemudian ditetesi dengan Aceto orcein 2% lalu tutup dengan cover glass. Preparat dilewatkan di atas api bunsen 2-3 kali. Kemudian diketuk dengan pensil berkaret (squashing), kemudian ditekan dengan ibu jari. Diamati di bawah mikroskop. Penyebaran kromosom yang baik diambil gambarnya.


(6)

b. Metode tanpa Pra-perlakuan Lengkap Bahan :

 HCl 1N

Aceto orcein 2% Metode :

1. Ujung akar 0,5-1 cm dipotong. Dimasukkan dalam cawan petri yang telah diberi HCl 1 N dan dibiarkan selama 10-15 menit.

2. Akar dipindahkan ke dalam cawan petri dengan posisi ujung akar berada di bagian dalam gelas arloji.

3. Teteskan Aceto orcein 2% dan biarkan selama 10-15 menit.

4. Ujung akar kemudian diletakkan di gelas objek. Ujung akar dipotong 1-2 mm, ditetesi Aceto orcein 2% dan ditutup dengan cover glass.

5. Preparat dilewatkan terlebih dahulu di atas api bunsen sebelum diketuk dengan pensil berkaret (squashing); kemudian ditekan dengan ibu jari. Diamati di bawah mikroskop dan dilakukan pemotretan pada kromosom yang penyebarannya baik.